• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS OLEH AMALIA AYUNINGTYAS H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS OLEH AMALIA AYUNINGTYAS H"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS

OLEH

AMALIA AYUNINGTYAS H14051325

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

RINGKASAN

AMALIA AYUNINGTYAS, Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI).

Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum. Negara-negara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single Market (ASM). Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia (De Rato dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui ASM ini pula lalu lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas negara anggota ASM. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negara-negara anggota ASM.

Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, diyakini bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi ini lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2000).

Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan

Optimum Currency Areas (OCA) di kawasan ASEAN+3 yang direalisasikan

dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota. Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia pada tahun 1997-1998 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Kedua, keterbukaan dan volume perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah

common currency sehingga dapat memfasilitasi perdagangan internasional yang

dapat mengurangi biaya transaksi. Ketiga, keberhasilan Euro yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar

(3)

keuangan telah membuat negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka

Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli ekonomi negara-negara Asia Timur. Mereka telah melakukan beberapa langkah untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negara-negara ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ini mulai membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar menukar guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis.

Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi ini (Bayoumi dan Mauro, 2001). Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang fenomena integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi dengan base country Singapura dan Jepang (Partisiwi, 2008) dan konvergensi kurs di ASEAN+3 dengan menggunakan PPP Test. G-PPP Test yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country. Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan.

Hasil empiris menunjukkan bahwa melalui analisis pertumbuhan ekonomi ditemukan bahwa Singapura lebih layak dijadikan sebagai negara acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 lainnya daripada Jepang. Hasil ini diperoleh dari hasil IRF dan FEVD yang mencerminkan kondisi optimal negara ASEAN+3. Sedangkan dari analisis konvergensi kurs dihasilkan bahwa Indonesia lebih cocok dengan mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura daripada terhadap Dollar AS. Dengan hasil ini maka sangat perlu dilakukan kebijakan yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi di antara negara ASEAN+3 sehingga dapat membentuk OCA. Terlebih lagi bagi Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan keunggulan komparatif industri-industri di Indonesia agar lebih mampu bersaing nantinya dan mempersiapkan tenaga kerja yang lebih terampil. Perlu juga dilakukan upaya menjaga kestabilan kurs masing-masing negara terhadap guncangan yang terjadi, khususnya rupiah yang masih rentan dan lemah. Masih harus pula ditingkatkan keterbukaan perekonomian di antara negara-negarar tersebut agar OCA yang terbentuk adalah sebuah kondisi yang benar-benar siap untuk menjadi kutub ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Pada penelitian ini belum dilakukan pemecahan periode penelitian (penggunaan dummy krisis Asia), karenanya untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memecah periode penelitian berkaitan dengan adanya krisis Asia.

(4)

KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS

OLEH

AMALIA AYUNINGTYAS H14051325

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Amalia Ayuningtyas Nomor Registrasi Pokok : H14051325

Departemen : Ilmu Ekonomi

Judul : Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 :

Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembibmbing

Noer Azam Achsani, Ph.D NIP : 19681229 199203 1 016

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Rina Oktaviani, Ph.D NIP : 19641023 198903 2 002

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Amalia Ayuningtyas H14051325

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Amalia Ayuningtyas lahir pada tanggal 16 Agustus 1987 di Bogor yang merupakan kota hujan sekaligus kota satelit dari Ibu Kota Indonesia ini. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Djufronny Zakaria dan Titie Sri Suprapti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Panaragan 2 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2005.

Penulis tidak pernah meninggalkan kota Bogor tercinta dari pertama lahir hingga saat ini. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan dan organisasi seperti UKM Lises Gentra Kaheman dan HIPOTESA.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs” ini dengan baik. Integrasi Asia Timur merupakan topik yang sangat menarik dan sedang menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan ahli-ahli ekonomi dunia, khususnya Asia. Proses integrasi ini diharapkan akan membawa dampak positif terhadap kesejahteraan negara-negara di kawasan tersebut. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Bapak juga telah membuka wawasan penulis mengenai integrasi ekonomi. Terlebih lagi, Bapak bukan hanya menjadi dosen pembimbing, melainkan juga orang tua.

2. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi banyak saran yang membangun demi kebaikan karya ini.

3. Jaenal Effendi, MA selaku komisi pendidikan yang telah memberi saran mengenai tata cara penulisan yang baik.

4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku dosen yang senantiasa membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ade Holis, SE dan Heni Hasanah, SE atas ilmu dan diskusi yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis, Djufronny Zakaria dan Titie Sri Suprapti (Alm.), serta kedua adik tersayang, Ghita Dwi Kartika dan Mahardian Tamma, yang selalu setia memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Kepada

(9)

almarhumah Ibunda tersayang, penulis akan selalu cinta, sayang, dan mendoakan agar senantiasa menjadi ahli surga di akhirat.

7. Sahabat-sahabat penulis dari masa kecil hingga saat ini, Mba Iie, Mba Pipit, Mba Dila, dan Ulya yang sudah seperti keluarga sendiri bagi penulis dan selalu memberikan doa dan dukungan serta selalu menjadi semangat hidup penulis.

8. Inna, Riri, Ginna, Renny, Dian, dan Anggi, sahabat-sahabat penulis yang selalu menemani hari-hari penulis selama di IE 42 dan senantiasa berbagi kesenangan, keceriaan, juga kesedihan bersama.

9. Gerry, Dewinta, Inna, dan Arisa, yang telah setia menjadi keluarga dan mengisi hari-hari dengan mengerjakan tugas minor bersama di LSI.

10.Sahabat-sahabat sepermainan penulis yang lain, Adit, Lukman, Gerry, Riza, Vagha, Adrian, dan Made, yang selalu senantiasa menghabiskan waktu bersama untuk melepaskan penat dan mengisi hari-hari penulis dengan penuh keceriaan.

11.Sahabat-sahabat penulis di Gentra Kaheman dan HIPOTESA yang telah memberikan warna baru dalam kehidupan penulis.

12.Teman-teman satu bimbingan, Putri, Tia, dan Suryarisman, yang selalu menjadi tempat bertukar pikiran dan berdiskusi dalam proses penyusunan skripsi ini.

13.Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulisan skripsi ini tidak akan sempurna tanpa kritik dan saran dari para peserta seminar dan dosen penguji. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Amalia Ayuningtyas H14051325

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR ISTILAH ... xv I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 11 1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 14

2.1. Integrasi Ekonomi ... 14

2.1.1. Optimum Currency Areas (OCA) ... 17

2.1.2. Asian Currency Unit (ACU) ... 19

2.2. Konvergensi Kurs ... 20

2.3. Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Theory ... 21

... 2.4. Sistem Kurs ... 22

2.5. Penelitian Terdahulu ... 24

2.6. Kerangka Pemikiran ... 29

III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 31

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 32

3.3. Analisis Vector Autoregression (VAR) ... 33

3.4. Analisis Vector Error Correction Model (VECM) ... 36

3.5. Analisis Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) ... 37

3.6. Pengujian Pra-Estimasi ... 40

(11)

3.6.2. Uji Stasioneritas Data ... 41

3.6.3. Penentuan Lag Optimal ... 43

3.6.4. Uji Kointegrasi ... 44

3.6.5. Uji Kausalitas Granger ... 45

3.6.6. Uji Matriks Korelasi ... 45

3.7. Analisis Impulse Response Function (IRF) ... 46

3.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ... 47

3.9. Model Penelitian ... 48

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN I ... 52

4.1. Uji Stasioneritas Variabel GDP ... 52

4.2. Penentuan Lag Optimal Variabel GDP ... 53

4.3. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP ... 55

4.4. Uji Kointegrasi Variabel GDP ... 56

4.5. Uji Kausalitas Granger Variabel GDP ... 57

4.6. Uji Matriks Korelasi Variabel GDP ... 58

4.7. Analisis Impulse response Function Perekonomian Negara ASEAN+3 ... 59

4.7.1. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Singapura ... 60

4.7.2. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Jepang ... 62

4.7.3. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Indonesia ... 65

4.7.4. Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian Negara ASEAN+3 ... 67

4.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Perekonomian Negara ASEAN+3 ... 70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN II ... 76

5.1. Uji Stasioneritas Variabel Kurs ... 76

5.2. Penentuan Lag Optimal Variabel Kurs ... 77

5.3. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs ... 80

(12)

5.5. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs ... 81

5.6. Uji Matriks Korelasi Variabel Kurs ... 82

5.7. Analisis Impulse response Function Kurs Negara ASEAN+3 ... 83

5.7.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 ... 84

5.7.2. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah ... 90

5.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Kurs Negara ASEAN+3 ... 9

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

6.1. Kesimpulan ... 103

6.2. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007) ... 3

2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore ... 15

2.2. Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit ... 20

3.1. Data dan Sumber Data ... 31

4.1. Uji Stasioneritas Variabel GDP ... 53

4.2. Uji Lag Optimal Variabel GDP ... 54

4.3. Johansen Cointegration Test Variabel GDP ... 57

4.4. Uji Kausalitas Granger Variabel GDP ... 58

4.5. Matriks Korelasi Variabel GDP ... 59

5.1. Uji Stasioneritas Data Kurs ... 76

5.2. Uji Lag Optimal Variabel Kurs ... 77

5.3. Johansen Cointegration Test Variabel Kurs ... 81

5.4. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs dengan Base Country Singapura 81 5.5. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs dengan Base Country Amerika Serikat ... 82

5.6. Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Singapura ... 83

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran ... 30 4.1. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan

Perekonomian Singapura ... 61 4.2. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan

Perekonomian Jepang ... 63 4.3. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan

Perekonomian Indonesia ... 66 4.4. Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian

Negara ASEAN+3 ... 68 4.5. Variance Decomposition Perekonomian Negara ASEAN+3 ... 71

5.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan

Base Country Singapura ... 85

5.2 Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan

Base Country Amerika Serikat ... 88

5.3 Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan

Base Country Singapura ... 92

5.4. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan

Base Country Amerika Serikat ... 93

5.5. Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country

Singapura ... 96 5.6. Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP ... 112

2. Impulse Response Function GDP Indonesia ... 112

3. Impulse Response Function GDP Malaysia ... 113

4. Impulse Response Function GDP Singapura ... 113

5. Impulse Response Function GDP Filipina ... 114

6. Impulse Response Function GDP Thailand ... 114

7. Impulse Response Function GDP Jepang ... 115

8. Impulse Response Function GDP Korea Selatan ... 115

BASE COUNTRY SINGAPURA 9. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs ... 116

10. Impulse Response Function Rupiah ... 117

11. Impulse Response Function Ringgit ... 117

12. Impulse Response Function Peso ... 118

13. Impulse Response Function Baht ... 118

14. Impulse Response Function Yen ... 119

15. Impulse Response Function Won ... 119

BASE COUNTRY AMERIKA SERIKAT 16. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs ... 120

17. Impulse Response Function Rupiah ... 121

18. Impulse Response Function Ringgit ... 121

19. Impulse Response Function SDollar ... 122

20. Impulse Response Function Peso ... 122

21. Impulse Response Function Baht ... 123

22. Impulse Response Function Yen ... 123

(16)

DAFTAR ISTILAH

1. Optimum Currency Area (OCA)

Sebuah kawasan yang terdiri dari negara-negara yang berintegrasi dengan menggunakan mata uang yang sama.

2. Contagion effect

Efek penularan yang diberikan oleh suatu negara yang terkena guncangan kepada negara lainnya.

3. Purely flexible rates

Sistem kurs yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain.

4. Hard peg

Sistem mata uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain yang dijadikan sebagai ”peg” atau patokan. 5. Common Currency / Single Currency

Mata uang tunggal yang digunakan oleh negara-negara yang berintegrasi.

6. Base Country / Peg Country

Negara yang dijadikan sebagai acuan bagi negara-negara lainny dalam integrasi ekonomi. Biasanya negara yang kuat dan stabil yang dijadikan sebagai acuan.

7. Common trend

Tren bersama yang diperlihatkan oleh negara-negara yang optimal membentuk suatu integrasi ekonomi.

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum (Girardin dan Steinherr, 2008). Negara-negara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk

mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single Market atau Pasar Tunggal Asia.

Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan ini pada dasarnya dilandasi oleh alasan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2000). Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan

(18)

dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota.

Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia pada tahun 1997. Krisis ini diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Peristiwa ini menimbulkan kesadaran dari berbagai pihak mengenai pentingnya memperkuat kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan Asia sehingga diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi krisis pada waktu yang akan datang serta untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.

Krisis Finansial Asia tahun 1997 silam telah membuat para ahli ekonomi negara-negara ASEAN+3 berpikir untuk membentuk suatu integrasi ekonomi di kawasan ini guna menjaga kestabilan kurs jika terjadi guncangan pada negara luar. Krisis ini menyebabkan penurunan output dan standar hidup secara signifikan di negara-negara Asia. Krisis Asia ini menunjukkan bahwa softly peg

regime yang rentan krisis tidak sesuai seiring dengan tingginya mobilitas modal

sekarang ini. Sistem yang dianggap sesuai pada kondisi saat ini adalah purely

flexible rates dan hard peg (Eichengreen dalam Ahn et al, 2005). Berdasarkan

pandangan tersebut, setiap negara harus memilih salah satu dari dua sistem kurs (two corner bipolar solutions), yaitu sistem kurs mengambang bebas dengan independensi kebijakan moneter dan sistem kurs tetap dengan tidak adanya

(19)

independensi kebijakan moneter. Purely flexible rates adalah sistem kurs yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Sedangkan hard peg diartikan sebagai suatu sistem mata uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain yang dijadikan sebagai “peg” atau patokan. Negara yang dijadikan sebagai patokan adalah negara maju atau negara industri besar, seperti Amerika Serikat. Berikut disajikan tabel tentang sistem kurs negara ASEAN+3 secara lengkap.

Tabel 1.1. Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007)

Negara Mata Uang Sistem Kurs

Indonesia Rupiah Mengambang Bebas

Jepang Yen Mengambang Bebas

Filipina Peso Mengambang Bebas

Kamboja Riel Mengambang Terkendali

China Yuan Mengambang Terkendali

Korea Selatan Won Mengambang Terkendali

Laos Kip Mengambang Terkendali

Myanmar Kyat Mengambang Terkendali

Singapura Dollar Singapura Mengambang Terkendali

Thailand Baht Mengambang Terkendali

Vietnam Dong Mengambang Terkendali

Malaysia Ringgit Tetap/peg

Brunai Dollar (BRD) Currency Board/pegged terhadap

Dollar Singapura

(20)

Faktor kedua yang melatarbelakangi ide pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan Asia adalah kecenderungan bertumbuhnya perdagangan atau arus investasi dan integrasi ekonomi di kawasan ini. Pertumbuhan tersebut telah memicu berkembangnya ide bahwa Asia Timur memerlukan suatu mata uang bersama (common currency). Seiring dengan globalisasi di pasar uang dan modal dunia, hampir di semua negara ASEAN aliran masuk dan keluar modal menjadi semakin terbuka. Mundell (1961) berpendapat bahwa currency union dapat memfasilitasi perdagangan internasional dan single medium dari kurs mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan regional. Rezim baru ini akan mendorong arus modal dan investasi, meningkatkan pertumbuhan dan kesempatan kerja, dan mengembangkan performa balance of payment (BOP). Madhur (2002) berpendapat bahwa single currency meningkatkan perdagangan diantara negara-negara yang termasuk dalam kawasan, oleh karena itu, keterbukaan dan volume perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah single

currency.

Ketiga, keberhasilan Euro. Pengalaman Eropa dalam membangun

European Unit of Account (EUA) di awal tahun 1970, kemudian dapat

membentuk European Monetary System (EMS) dan European Currency Unit (ECU) pada tahun 1979, dan membentuk European Monetary Union (EMU) dengan lahirnya mata uang Euro sebagai mata uang regional baru di tahun 1999, memberikan pelajaran dan pengalaman yang relevan untuk membentuk OCA. Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar keuangan telah membuat

(21)

negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka.

Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli ekonomi negara-negara ASEAN+3. Mereka telah melakukan beberapa langkah untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negara-negara ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ASEAN+3 mulai membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar-menukar guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis.

Akan tetapi, proses integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA mengalami banyak kendala karena besarnya perbedaan struktur ekonomi serta tahapan liberalisasi perdagangan dan keuangan yang menyebabkan tingkat disparitas yang tinggi dalam kemajuan ekonomi dan sistem keuangan antar negara di kawasan ASEAN+3. Perbedaan struktur ekonomi di antara negara-negara ASEAN+3 dicerminkan dari perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Dalam kawasan ASEAN+3 masih terdapat kesenjangan antara negara

(22)

maju dan berkembang. Selain itu, negara ASEAN+3 menerapkan rezim kurs yang berbeda-beda yang menjadi tantangan tersendiri dalam proses penyatuan mata uang ini (Kurniati, 2007). Keragaman rezim kurs ini dapat menyebabkan kegagalan kerjasama dalam memilih rezim kurs itu sendiri (Ogawa dan Ito, 2002). Otoritas moneter harus menetapkan sebuah kebijakan kurs untuk mengatasi kegagalan ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan kurs bersama. Kebijakan ini harus dapat menciptakan stabilitas kurs intra-regional di antara mata uang negara-negara ASEAN+3 (Ogawa dan Kawasaki, 2006). Agar kebijakan kurs bersama ini berhasil diterapkan, maka negara-negara ASEAN+3 harus menjadi OCA.

Penelitian ini akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi melalui pembentukan OCA di negara-negara ASEAN+3 dengan segala potensi dan kendala yang ada melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate

convergence analysis). Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia,

Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan.

1.2. Perumusan Masalah

Negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+3, seperti Indonesia termasuk dalam perekonomian terbuka kecil yang perekonomian dan pola perdagangannya tidak terlepas dari pengaruh negara lain dalam perekonomian global dan perdagangan internasional, khususnya perekonomian negara yang besar dan kuat seperti Amerika Serikat dan Jepang, dimana kedua negara tersebut

(23)

tergolong ke dalam negara industri maju yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, perekonomian yang kuat dan mantap serta didukung oleh teknologi dan sumberdaya manusia yang produktif. Selain itu, nrgara-negara tersebut pun memiliki kestabilan kurs yang mantap. Oleh karena itu, jika terjadi gejolak dalam perekonomian negara yang besar dan kuat, negara dengan perekonomian terbuka kecil seperti Indonesia akan terpengaruh.

Masing-masing negara mempunyai karakteristik kebijakan yang berbeda, baik itu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dicita-citakan di Asia adalah diadopsinya kebijakan moneter dan fiskal yang serupa oleh negara-negara anggota. Membentuk sebuah OCA diperlukan beberapa syarat. Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA menyebutkan ada tiga kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency

union, yaitu :

1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama.

2. Ukuran guncangan, baik guncangan permintaan maupun guncangan penawaran yang kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di antara negara-negara dalam kawasan.

3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-negara dalam kawasan.

Ketika faktor-faktor fundamental dalam ekonomi di antara negara-negara ASEAN+3 sudah cukup saling berhubungan dan terintegrasi satu sama lain, maka mereka dapat memperlihatkan share common trend dan memiliki hubungan kointegrasi jangka panjang yang memungkinkan membentuk sebuah OCA

(24)

(Enders dan Hurn, 1994). Kondisi ini dikenal dengan teori Generalized

Purchasing Power Parity (G-PPP).

Negara-negara anggota ASEAN berkomitmen akan tetap melanjutkan proses integrasi ekonomi regional meski krisis global tengah membayangi perekonomian dunia. Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia dan memberi kontribusi besar pada pertumbuhan global (De Rato dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui MEA ini pula lalu lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas negara anggota MEA. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negara-negara anggota MEA. Selain negara-negara-negara-negara ASEAN, ikut serta pula tiga negara-negara Asia Timur dalam usaha pembentukan integrasi ekonomi ini, yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan sebagai penyandang dananya, sehingga kawasan ini lebih dikenal sebagai ASEAN+3. Rencana penyatuan kawasan ini menjadi single

market pada 2015 ini akan menjadikan kawasan ini sebagai salah satu kutub

utama ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa.

Dalam literatur-literatur ekonomi, kajian tentang integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA dengan analisis pertumbuhan ekonomi sudah cukup banyak dilakukan, misalnya Xu, et al (2006), Ogawa dan Kawasaki (2006), Ahn, et al (2005) dan Bayoumi dan Eichengreen (1994). Akan tetapi, semua penelitian

(25)

tersebut tidak membahas secara lebih rinci bagaimana mengenai respon dan peran perekonomian masing-masing negara dalam kawasan ASEAN+3 tersebut dapat saling mempengaruhi dan negara mana yang pantas dijadikan sebagai negara dasar (peg) bagi negara-negara lainnya. Oleh karena itu, dirasa sangat perlu dilakukan penelitian tentang topik sejenis yang menganalisis tentang hal tersebut.

Begitu pun kajian tentang pembentukan OCA dengan menggunakan analisis konvergensi kurs melalui pendekatan Generalized Purchasing Power

Parity Test (G-PPP Test) sudah cukup banyak dilakukan dalam literatur-literatur

ekonomi,, misalnya Nevez, et al (2008), Lee (2003), Bernstein (2000), serta Enders dan Hurn (1997). Akan tetapi, untuk kajian tentang pembentukan OCA dengan menggunakan G-PPP Test ini sebagian besar terfokus pada negara-negara maju, khususnya negara-negara Uni Eropa, New Zealand, Australia, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan. Mayoritas dari penelitian tersebut menggunakan Jepang dan Amerika Serikat sebagai base country. Oleh karena itu, dirasa masih sangat perlu dilakukan penelitian sejenis yang menggunakan G-PPP Test di negara berkembang, khususnya ASEAN+3 dengan base country yang berbeda.

Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang fenomena pembentukan OCA melalui dua analisis. Pertama, analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dengan base country Singapura dan Jepang. Pemilihan dua negara ini berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Partisiwi (2008). Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa dengan asumsi negara anggota ASEAN

(26)

sebagai leader, maka Singapura yang paling layak untuk menjadi acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 dan dengan asumsi negara di luar ASEAN sebagai leader, maka Jepang yang paling layak.

Kedua, analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis) di ASEAN+3 dengan menggunakan G-PPP Test. G-PPP Test yang dilakukan dalam analisis ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country. Dasar pemilihan dua negara ini adalah karena Amerika Serikat merupakan negara besar dan kuat, dimana semua negara ASEAN+3 saat ini masih menjadikan Dollar AS sebagai kurs acuan mereka. Singapura dipilih karena berdasarkan hasil penelitian Partisiwi (2008), negara ini paling layak untuk menjadi acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 dengan asumsi negara anggota ASEAN sebagai leader. Selain itu juga saat ini dalam melakukan hubungan perdagangan internasional, Dollar Singapura pun sudah cukup banyak digunakan sebagai standar oleh negara-negara ASEAN+3 lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dari analisis pertumbuhan ekonomi :

1. Bagaimana respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3?

2. Bagaimana peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran

(27)

perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia?

Sedangkan dari analisis konvergensi kurs :

1. Bagaimana respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat?

2. Bagaimana peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat?

Dari kedua analisis ini akan terlihat negara mana yang lebih cocok dijadikan base

country oleh Indonesia agar memiliki kondisi optimal dalam membentuk OCA.

1.3. Tujuan Penelitian

Terkait dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3.

2. Menganalisis peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia.

3. Menganalisis respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.

(28)

4. Menganalisis peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Memberikan wawasan kepada kalangan akademisi lain dan masyarakat luas mengenai fenomena pembentukan Optimum Cuirrency Areas (OCA) atau integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+3

2. Manambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi untuk membuat penelitian-penelitian selanjutnya.

3. Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi melalui pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di negara-negara ASEAN+3 melaui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic

growth analysis) dengan menggunakan variabel Real Gross Domestik Product

(GDP Riil) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis) dengan menggunakan variabel Real Exchange Rate (RER) dan Consumer Price

Index (CPI). Fokus penelitian adalah pada tujuh negara yang terdiri dari lima

negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand) dan dua negara Asia Timur (Jepang dan Korea Selatan). China tidak diikutsertakan pada

(29)

penelitian ini karena keterbatasan data yang tersedia sehingga sulit untuk melakukan penelitian jika menyertakan China sebagai negara yang diteliti.

Dari analisis pertumbuhan ekonomi, penelitian ini hanya terfokus pada respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia saja serta respon perekonomian Indonesia secara khusus terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3. Fokus berikutnya pada peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia terhadap variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran perekonomian negara ASEAN+3 terhadap variabilitas perekoinomian Indonesia secara khusus. Sedangkan dari analisis konvergensi kurs, fokus penelitian ini hanya pada respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya serta peran kurs negara ASEAN+3 terhadap variabilitas Rupiah dan sebaliknya.

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka beberapa teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi melalui pembentukan Optimum Currency Area (OCA) di negara-negara ASEAN+3 adalah sebagai berikut :

2.1. Integrasi Ekonomi

Kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai penggabungan. Menurut Tinbergen dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan mengintroduksi semua bentuk-bentuk kerjasama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional.

Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di antara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Maksudnya, di lingkungan negara-negara yang menjadi anggota, berbagai bentuk hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negara-negara luar yang bukan merupakan anggota, masing-masing negara-negara anggota masih

(31)

berhak untuk menerapkan kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau non-tarif) atau tidak.

Salvatore menyebutkan bahwa tingkatan integrasi ekonomi bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial (preferential trade arrangements), yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan

kawasan/area perdagangan bebas (free trade area), kemudian menjadi persekutuan pabean (customs union), pasaran bersama (common market), dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh (economic union).

Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore

Tahapan Keterangan

Preferential Trade

Arangements

Dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang paling longgar.

Free Trade Area

(FTA)

Bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.

(32)

Customs Union Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas menentukan kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.

Common Market Pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan

barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal. Uni Eropa telah mencapai status common market pada akhir tahun 1992.

Economic Union Pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan

dilakukan lebih jauh, bahkan dengan menyeragamkan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini merupakan tipe kerja sama yang paling tinggi.

Sumber : Salvatore, 1997

Perkembangan terbaru yang menarik untuk dianalisis berdasarkan konsep-konsep di atas adalah kecenderungan dibentuknya zona bebas pajak (duty-free

zones) atau zona ekonomi bebas (free economic zones). Ini merupakan sebuah

wilayah kecil yang menjadi bagian dari suatu negara yang sengaja dibebaskan dari berbagai macam pajak untuk memikat investasi asing (di Indonesia contohnya adalah Pulau Batam). Setiap barang modal atau bahan-bahan mentah yang memasuki wilayah tersebut dibebaskan sama sekali dari berbagai tarif atau pungutan. Tujuannya jelas adalah agar perusahaan-perusahaan internasional mau menempatkan fasilitas produksinya di wilayah tersebut yang selanjutnya akan

(33)

menciptakan banyak lapangan kerja baru dan memunculkan dampak-dampak positif yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah sekitarnya. Berikut ini dijabarkan teori-teori yang termasuk dalam integrasi ekonomi yang menjadi landasan tentang pembentukan Optimum Currency Areas (OCA). Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

2.1.1. Teori Optimum Currency Areas (OCA)

Teori tentang Optimum Currency Areas pertama kali dikemukakan oleh Robert A. Mundell dengan papernya yang berjudul A Theory of Optimum

Currency Areas. Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Areas (OCA)

mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand yanng simetrik dan memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi :

1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external

factor mobility yang rendah.

2. Memiliki upah dan harga yang stabil.

3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional (budaya, bahasa, perundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national

borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor

pendukung.

Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori

Optimum Currency Areas. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa

(34)

mengekspor barang-barang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kenen menyebutkan bahwa kriteria-kriteria untuk membentuk sebuah

currency area adalah :

1. Mempunyai sedikit guncangan asimetrik.

2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat melawan guncangan asimetrik.

Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah optimum currency

area dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan

yang tinggi.

Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA menyebutkan ada tiga kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency union, yaitu :

1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama.

2. Ukuran guncangan, baik guncangan permintaan maupun guncangan penawaran kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di antara negara-negara dalam kawasan.

3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-negara dalam kawasan.

Kelompok negara yang memiliki guncangan simetrik cenderung akan memiliki respon kebijakan yang sama pula, sehingga besar peluangnya untuk dapat membentuk common currency area. Selain itu, jika negara-negara yang berada dalam kawasan memiliki guncangan makroekonomi yang kecil maka negara tersebut tidak akan terbebani dengan biaya yang besar untuk melepaskan otonomi kebijakannya untuk membentuk common currency area. Kemudian, jika

(35)

keseimbangan awal dari permintaan dan penawaran dapat diperbaiki dengan cepat maka guncangan makroekonomi yang terjadi tidak akan membebani negara tersebut dengan biaya yang besar.

2.1.2. Asian Currency Unit (ACU)

Asian Currency Unit (ACU) merupakan mata uang paralel yang dibentuk

dari sekeranjang mata uang (basket currency) negara anggota di kawasan Asia Timur untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam kawasan (Girardin dan Steinherr, 2008). ACU dijadikan sebagai mata uang untuk transaksi perdagangan dan keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap menggunakan mata uang domestik. Dalam hal ini, masing-masing negara anggota tetap memiliki kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya.

Eichengreen (2005) berpendapat bahwa pembentukan ACU dapat memelihara integrasi finansial dan moneter di Asia, mempercepat Asian bond

markets, dan menerapkan sistem nilai tukar Asia seperti sistem nilai tukar Eropa.

Proses pembentukan ACU memiliki manfaat dan biaya. Para ahli ekonomi berpandangan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses ini lebih besar dibandingkan dengan biayanya. Adapun manfaat dan biaya dari mata uang tunggal atau ACU secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.2. berikut ini.

(36)

Tabel 2.2. Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit

Manfaat Biaya

1. Mengurangi biaya

pertukaran/transaksi dan cadangan devisa serta koordinasi kebijakan yang lebih efektif antara negara anggota.

2. Mencegah persaingan devaluasi. 3. Mengurangi serangan yang

bersifat spekulatif.

4. Meningkatkan efisiensi mikro karena penggunaan uang yang lebih luas.

5. Perbaikan stabilisasi makro dan pertumbuhan karena stabilitas harga dan akses dana yang lebih besar daari integrasi finansial. 6. Memperkecil volatilitas dan

ketidakpastian nilai tukar.

7. Meningkatkan perdagangan dan investasi karena biaya transaksi yang rendah.

8. Memberikan suatu jangkar (anchor) nominal untuk kebijakan moneter.

1. Setiap negara yang tergabung harus menyerahkan kekuasaan dan kewenangan kebijakan moneternya secara individual kepada Bank Sentral bersama untuk merespon masalah ekonomi dalam negerinya.

2. Beberapa kelemahan di tingkat mikro, terutama pada tahap awal integrasi.

3. Terbatasnya pilihan instrumen kebijakan untuk stabilitas ekonomi makro.

4. Permasalahan disiplin, yaitu ada insentif bagi negara anggota untuk melakukan deviasi dari traktat ekonomi bersama.

5. Kehilangan seignorage

(penciptaan uang) untuk negara-negara dengan inflasi tinggi.

Sumber : Eudey, 1998 ; Warjiyo dalam Ariefianto, 2006 ; Lee dan Barro, 2006 ; dan Bean, 1992

2.2. Konvergensi Kurs

Konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama.

(37)

Konvergensi kurs adalah pergerakan searah atau menuju ke suatu titik yang sama pada kurs suatu negara. Dengan tercapainya konvergensi kurs berarti apa yang terjadi pada kurs suatu negara akan berdampak pada kurs negara lainnya demikian pula sebaliknya (Angeloni et al, 2005).

2.3. Teori Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP)

Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Theory sangat erat

kaitannya dengan teori Purchasing Power Parity (PPP). Menurut Batiz (1994), teori PPP atau paritas daya beli menggambarkan hubungan antara tingkat harga umum dan kurs pada waktu tertentu. Versi dasar dari PPP dapat dipandang sebagai generalisasi dari Hukum Satu Harga (The Law of One Price). Implikasinya adalah bahwa harga komoditi yang diperdagangkan antar negara haruslah sama walaupun didenominasikan dalam mata uang negara yang berlaku.

Teori tentang Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) pertama kali dikemukakan oleh Walter Enders dan Stan Hurn pada tahun 1994 dalam karya mereka yang berjudul Theory and Tests of Generalized Purchasing Power Parity :

Common Trends and Real Exchange Rates in the Pacific Rim. Ide ini diajukan

kepada negara-negara Pacific Rim dimana G-PPP ditolak pada saat itu dan negara-negara Pacific Rim tidak membentuk sebuah optimum currency area (OCA).

Teori ini melihat bagaimana kurs bilateral di antara negara-negara didasarkan pada sebuah mata uang yang dijadikan sebagai peg dapat memperlihatkan share common trend yang ditunjukkan oleh hubungan kointegrasi

(38)

di antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila di antara negara-negara tersebut dapat memperlihatkan share common trend maka mereka dapat membentuk sebuah optimum currency area (OCA).

2.4. Sistem Kurs

Sistem Kurs mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam meminimalisasi risiko dari fluktuasi kurs yang akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Saat ini sistem kurs yang dapat diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu disebut sebagai bipolar system. Dua sistem pengelolaan kurs tersebut adalah sistem kurs tetap (fixed exchange rate system) dan sistem kurs mengambang bebas ( floating exchange rate system).

Pada sistem kurs tetap, besarnya nilai mata uang suatu negara ditentukan nilainya secara tetap terhadap alat tukar lain yang dianggap kuat. Sistem nilai yang disepakati di dalam perjanjian, yang kemudian dikenal menjadi sistem

Bretton Woods, adalah penentuan kurs mata uang negara secara tetap kepada mata

uang kuat (Dollar AS) dengan suatu mekanisme penyesuaian. Sistem kurs Bretton

Woods disusun untuk dua tujuan. Di satu sisi untuk meghindarkan diri dari

kemungkinan terlalu berfluktuasinya kurs mata uang negara yang menganut sistem mengambang bebas. Di lain sisi, sistem ini juga disusun untuk menghindarkan diri dari kemungkinan negara-negara melakukan devaluasi nilai mata uangnya guna menyelesaikan masalah ketidakseimbangan neraca pembayaran yang dihadapinya.

(39)

Dalam sistem ini, suatu negara mengumumkan suatu tingkat kurs tertentu mata uangnya. Dalam menjaga kurs ini, bank sentral dapat menyetujui untuk membeli atau menjual valuta asing dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sempit. Pada sistem ini, otoritas moneter tidak memiliki keleluasaan dalam mengendalikan kondisi moneter domestik. Bank sentral dalam upayanya mempertahankan kurs, akan melakukan intervensi di pasar valuta asing dan mengurangi jumlah cadangan devisa yang berarti akan mengurangi jumlah uang beredar dan mendorong kenaikan suku bunga domestik, masing-masing mendekati tingkat semula. Setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing yang diinginkan dan untuk mempertahankan kursnya maka bank sentral juga melakukan jual beli valuta asing. Oleh karena itu, bank sentral harus memegang sejumlah cadangan devisa untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga kurs dapat dipertahankan. Walaupun demikian, kebaikan dari sistem kurs tetap ini adalah adanya kepastian akan kurs mata uang domestik dengan negara lain, sehingga para eksportir dan importir dapat memperhitungkan transaski perdagangan dengan pihak luar negeri.

Sedangkan sistem kurs mengambang bebas adalah sistem yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Dengan kata lain, bank sentral tidak menargetkan besarnya kurs dan tidak melakukan intervensi langsung ke pasar valuta asing. Di Indonesia, kurs Rupiah akan tergantung kepada permintaan dan penawaran Dollar AS. Jika

(40)

permintaan terhadap Dollar AS lebih besar dari penawarannya, maka harga Dollar AS yang diukur dengan Rupiah menjadi meningkat, atau sebaliknya nilai Rupiah menurun. Jika penawaran Dollar AS lebih besar dibandingkan permintaan terhadapnya, maka harga Dollar AS yang diukur dengan Rupiah menjadi menurun, atau sebaliknya nilai Rupiah meningkat. Sistem kurs mengambang bebas banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan sistem ini memiliki beberapa kekuatan, yaitu :

1. Sistem ini memungkinkan suatu negara mengisolasikan kebijakan makronya dari dampak kebijakan dari luar sehingga suatu negara mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang independen. Kebijakan yang dapat dilakukan misalnya adalah penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran.

2. Dalam penetapan sistem kurs ini bank sentral tidak perlu memegang cadangan devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas agar kurs dapat dipertahankan.

Akan tetapi sistem ini juga mempunyai kelemahan, yaitu penetapan kurs berdasarkan pasar dapat mengakibatkan kurs berfluktuasi. Depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan harga barang-barang impor dan pada akhirnya akan memicu inflasi di dalam negeri (Simorangkir dan Suseno dalam Partisiwi, 2008).

2.5. Penelitian Terdahulu

Partisiwi (2008) menganalisis kemungkinan penyatuan mata uang (currency unification) di ASEAN+3 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Flipina, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan) dengan menggunakan pendekatan

(41)

keragaman exchange rate. Peneliti menghitung OCA indeks dari delapan negara yang diteliti dengan Amerika Serikat sebagai negara peg. Semakin rendah nilai OCA indeks, maka semakin meningkat keuntungan untuk membentuk currency

union dibanding dengan biaya yang harus ditanggung, dan sebaliknya.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh negara dengan nilai OCA indeks yang terkecil yang akan menjadi negara peg selanjutnya adalah Singapura (asumsi negara ASEAN sebagai leader) dan Jepang (asumsi negara di luar negara ASEAN sebagai leader). Kemudian, penyatuan mata uang diawali dengan Jepang, Singapura, dan Malaysia (Tahap I). Hal ini akan dilanjutkan dengan penyatuan mata uang negara Korea, China, Thailand, dan Filipina (Tahap II).

Xu, et al (2006) menganalisis kemungkinan pembentukan single currency untuk negara-negara ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand) dengan menjadikan konvergensi ekonomi dan guncangan simetri pada permintaan dan penawaran sebagai pra syarat dari OCA menggunakan metode SVAR (data tahunan dari 1970-2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan konvergensi inflasi dan nilai tukar di Singapura, Malaysia, dan Thailand dan guncangan permintaan dan penawaran di Singapura, Malaysia, dan Thailand bersifat simetrik yang menjadikan ketiga negara ini memiliki kemungkinan membentuk currency union.

Ahn, et al (2005) menganalisis kemungkinan pembentukan Optimum

Currency Area (OCA) di Asia Timur dengan menggunakan metode SVAR dan

G-PPP (data tahunan). Dalam penelitian ini yang dijadikan base country adalah Jepang. Hasil penelitian dengan metode SVAR menunjukkan bahwa tujuh negara

(42)

(Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Korea, dan Taiwan) memenuhi syarat untuk menjadi anggota OCA. Kemudian, hasil dari metode G-PPP menunjukkan bahwa delapan negara (Indonesia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Jepang, Korea, dan Taiwan) yang memenuhi syarat untuk membentuk OCA.

Falianty (2006) dalam disertasinya meneliti kemungkinan currency area di wilayah ASEAN-5 dengan menggunakan pendekatan endogenitas upah, OCA, indeks, dan asymmetric shock. Dengan menggunakan model OLS dan SVAR (data tahunan) ditemukan bahwa hanya negara Thailand, Malaysia, dan Singapura saja yang mempunyai kemungkinan membentuk currency area.

Bayoumi dan Eichengreen (1994) menganalisis kemungkinan pembentukan monetary unification pada berbagai belahan dunia. Mereka menganalisis wilayah Eropa Barat, Asia Timur dengan metode SVAR (data tahunan) dan menjadikan ukuran guncangan, cross correlation antara negara anggota, dan kecepatan penyesuaian terhadap guncangan yang terjadi sebagai syarat pembentukan OCA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk wilayah Eropa Barat, negara-negara yang memenuhi syarat adalah Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, dan Belanda; wilayah Asia Timur adalah Jepang, Korea, dan Taiwan serta Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand; dan wilayah Amerika adalah Kanada-Meksiko dan Kanada-Amerika Serikat saja yang memenuhi syarat. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa monetary unification lebih kondusif di Asia Timur daripada di Amerika.

(43)

Nevez, et al (2008) menganalisis pembentukan Optimum Currency Area pada negara-negara Mercosur (kelompok dagang Amerika Selatan), yang terdiri dari Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, Venezuela, Bolivia, dan Chile dengan Amerika Serikat sebagai benchnark country dengan metode Generalized

Purchasing Power Parity (G-PPP). Penelitian ini menggunakan data consumer price index (CPI) dan exchange rate kuartalan dari tahun 1973:Q3 sampai

2006:Q3. Data-data ini diperoleh dari IMF’s International Financial Statistics. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan negara-negara Mercosur menunjukkan parameter vektor kointegrasi yang signifikan untuk membentuk OCA pada taraf satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa Amerika Serikat harus dilibatkan dalam pembentukan potential currency area ini dan negara-negara Mercosur sangat tergantung pada kebijakan fundamental Amerika Serikat. Akan tetapi, hasil ini tidak dapat disimpulkan lebih jauh bahwa Mercosur benar-benar siap untuk pembentukan mata uang tunggal karena dalam penelitian ini pun ditemukan perbedaan-perbedaan yang besar di antara negara-negara Mercosur ini.

Ogawa dan Kawasaki (2006) melakukan analisis G-PPP untuk negara-negara ASEAN+3 dengan menggunakan common currency basket sebagai mata uang dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dan China dapat membentuk sebuah

common currency basket area.

Lee (2003) menganalisis tentang eksistensi common trend diantara nilai tukar bilateral Australia dan Selandia Baru dengan dua negara mitra dagang

(44)

terbesar mereka, yaitu Jepang dan Amerika Serikat sebagai base country. Penelitian ini juga menggunakan metode G-PPP dengan data time series kuartalan untuk nominal spot exchange rates dan consumer price index (CPI) dari tahun 1975:Q1 sampai 2000:Q3. Data diperoleh dari IFS CD-ROM (International Monetary Fund, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurs bilateral Australia dan Selandia Baru dengan Jepang sebagai base country memiliki share

common trend yang dapat diinterpretasikan mampu membentuk optimum currency area, tetapi tidak untuk Amerika Serikat sebagai base country. Hal ini

mengindikasikan bahwa karakter Australia dan Selandia Baru lebih mirip dengan Jepang daripada dengan Amerika Serikat. Dengan begitu, akan ada keuntungan komparatif dalam perdagangan antara Australia, Selandia Baru, dan Jepang dalam lingkungan liberal.

Bernstein (2000) melakukan G-PPP test untuk negara-negara Euro dan ditemukan bahwa tidak terdapat kointegrasi diantara negara-negara tersebut. Hong (1999) juga menganalisis pembentukan OCA dengan menggunakan metode G-PPP untuk China, Hong Kong, Jepang, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut dapat membentuk sebuah optimum

currency area.

Enders dan Hurn (1997) juga melakukan G-PPP test kepada negara-negara yang tergabung dalam kelompok G7 pada tahun 1997. Penelitian ini menemukan vektor kointegrasi signifikan pada taraf lima persen, yang berarti kurs riil negara-negara kelompok G7 menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang yang optimal dalam membentuk sebuah optimum currency area. Dan

(45)

guncangan terhadap satu kurs akan mempengaruhi kurs yang lain pada jangka panjang.

2.6. Kerangka Pemikiran

Skema alur berpikir pada Gambar 2.1. digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Guncangan makroekonomi negara dalam kawasan yang simetrik dan berkorelasi tinggi, pola perdagangan yang sama di antara negara-negara dalam kawasan yang dicerminkan oleh share common trend, dan kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-negara dalam kawasan, merupakan kriteria utama pembentukan Optimum

Currency Areas (OCA) (Bayoumi dan Mauro, 2001 dan Lee, 2003).

Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menganalisis kriteria pertama dan kedua melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic

growth analysis) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis).

(46)

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

ASEAN+3

Kriteria utama pembentukan

Optimum Currency Area

(OCA) Guncangan makroekonomi negara dalam kawasan yang simetrik dan berkorelasi tinggi Pola perdagangan yang sama di antara negara-negara dalam kawasan yang dicerminkan oleh share common trend Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara dalam kawasan Base Country Singapura Amerika Konvergensi Kurs Share Common Trend

Optimal membentuk OCA

Kurs GDP Perekonomian Base Country Singapura Kesamaan Ekonomi Jepang Keterangan : : fokus

(47)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tujuh negara ASEAN+3, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, dan Korea Selatan dalam bentuk data deret waktu kuartalan (quarterly time series) untuk variabel GDP Riil dari Q1:1993 sampai Q3:2008 serta data deret waktu bulanan (monthly time series) untuk variabel Consumer Price Index (CPI) dan

Real Exchange Rate dari bulan Januari 1996 sampai bulan Oktober 2008.

Negara-negara ASEAN lainnya dan China tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena tidak tersedianya data secara lengkap. Semua data diolah dalam bentuk logaritma natural. Dalam penelitian ini negara yang dijadikan negara dasar (base country) pada analisis pertumbuhan ekonomi adalah Singapura dan Jepang (Partisiwi, 2008) dan pada analisis konvergensi kurs adalah Singapura dan Amerika Serikat. Penulis pun melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Adapun data yang digunakan pada penelitian ini tersaji dalam Tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3.1 Data dan Sumber Data

No. Variabel Sumber

1. Real Gross Domestic Product (GDP Riil) CEIC

2. Consumer Price Index (CPI) CEIC

3. Real Eexchange Rate (RER) Sauder School of Business

PACIFIC Exchange Rate

Gambar

Tabel 1.1.  Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007)
Tabel 2.1.  Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore
Tabel 2.2.  Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit
Gambar 2.1.  Kerangka Pemikiran ASEAN+3
+7

Referensi

Dokumen terkait