• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Hasil Analisis Tiga Partisipan

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

C. Analisis Data Penelitian

4. Integrasi Hasil Analisis Tiga Partisipan

Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian ini, ditemukan empat

tema utama, yaitu: konflik peran ganda, emosi negatif, regulasi emosi dan

faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Empat tema utama pada

penelitian ini memiliki beberapa sub tema. Untuk tema konflik peran ganda,

terdapat tiga sub tema, diantaranya: konflik peran ganda, tuntutan rumah

tangga dan tuntutan pekerjaan. Ketiga partisipan mengalami konflik peran

ganda yang diakibatkan oleh banyaknya tuntutan yang harus dikerjakan oleh

partisipan dalam rentang waktu bersamaan.

Konflik peran ganda yang dirasakan oleh ketiga partisipan memiliki

kemiripan, satu dengan lainnya. Ketiga partisipan merasakan kesibukan

yang sangat ketika harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah, mengurus

suami serta anak dan segera menyiapkan diri untuk ke kantor.

“Kemrungsung mbak hehe, kabeh pagi itu tuh

kemrungsung, tapi yaudah mau gemana, kalo pagi

itu kalo sempet mandiin yang si lintang ini, ya saya

mandiin kalo gak sempet ya biar mbahnya, kalo

yang kedua ini sifatnya lebih netral ya sama siapa

aja gak masalah meskipun nanti sore makannya

harus sama ibunya, namanya kemrungsung itu jadi

ya kalo pagi itu ya ubek-ubekan tapi ya dinikmati

aja..” (line 1244-1253, partisipan 1)

Ketiga partisipan juga merasakan adanya konflik kuat yang terasa

dalam diri mereka ketika meninggalkan anak pertama kalinya untuk bekerja.

Dalam diri ketiga partisipan, ada dorongan kuat untuk tetap bersama anak,

mengasuh dan merawatnya. Pergolakan ini semakin besar dirasakan oleh

para partisipan ketika anak mereka sakit.

“..paling kalo sakit kalo sakit kan nama ya anak

kecil paling rewel kan jadi mungkin nggak mau di

tinggal gitu kan ya apa kan...sedih nya kalo pas

kalo lagi sakit gitu lho saya nggak bisa yang

seratus persen ngerawat..”(line 86-88 & 673-675,

partisipan 3)

Banyaknya tuntutan dalam diri perempuan menikah yang bekerja,

membuat dirinya mudah terpancing emosi. Dua dari tiga partisipan

kebetulan memutuskan untuk tinggal bersama mertua ketika sudah

membangun rumah tangganya dengan suami. Hal ini membuat dua

partisipan tidak nyaman, karena mertua partisipan terkadang ikut campur

urusan rumah tangganya. Tindakan atau perkataan mertua sempat membuat

dua partisipan tidak nyaman dan menambahkan konflik dalam kehidupan

partisipan.

“..kadang masalahnya itu kan nggak cuma masalah

kerjaan aja kita kita dirumah itu kan nggak cuma

keluarga pokok aku suamiku sama anakku, disitu

ada mertuaku kan nah ada masalah masalah

misalnya kayak apa suka ngomel lah mertuaku suka

ngomel aku misalnya apa ada sesuatu yang mereka

yang dia lakukan tapi menurutku tidak berkenan

kadang kan jadi bikin aku emosi..” (line 251-260

bagian 1, partisipan 2)

Ketika di rumah pun, perempuan menikah yang bekerja belum tentu

bisa lepas dari tuntutan pekerjaan mereka di kantor. Sesekali dua dari tiga

partisipan masih memikirkan dan mengerjakan pekerjaan kantor ketika

sudah di rumah. Dua dari partisipan menyatakan bahwa mereka sempat

beberapa kali membawa pekerjaan mereka yang sudah dekat deadline dan

belum terselesaikan di kantor untuk mereka selesaikan di rumah.

“..kan kita nama nya kayak pekerjaan kita pasti di

tuntut harus selesai gitu ya mungkin ada saat nya

kita kondisi nggak bisa menyelesaikan waktu di

perusahaan ya terus kita di tuntut harus bisa masuk

gitu kan sedangkan kayak saya kan kerja

nyangitungin tagihan gitu kan jadi nggak boleh

telat ya mau nggak mau jadi ya dengan terpaksa ya

bukan yang terpaksa bagaimana jadi kayak lebih ke

tanggung jawab saya harus menyelesaikan jadi ya

mau nggak mau dibawa pulang..” (line 428-440,

partisipan 3)

Hasil analisis data ketiga partisipan ditemukan, adanya tuntutan

pekerjaan yang kemudian ditambah dengan tuntutan rumah tangga membuat

ketiga partisipan mengalami konflik peran ganda. Pada saat-saat tertentu

hidupnya, sempat ditempatkan pada situasi yang mengharuskan ketiga

partisipan menyelesaikan semua tuntutan tersebut secara bersamaan. Akan

tetapi, sebagai manusia biasa yang tentunya memiliki beberapa keterbatasan,

keadaan seperti di atas membuat ketiga partisipan merasakan emosi-emosi

negatif dalam dirinya.

Pada tema emosi negatif, tidak memiliki sub-tema yang pasti karena

munculnya emosi negatif antara satu partisipan dengan partisipan yang lain

sangat beragam. Emosi negatif yang dirasakan ketiga partisipan karena

konflik peran ganda yang mereka alami, di antaranya: bingung, tertekan,

tidak nyaman, gelisah, cemas, khawatir, ragu, sedih, berat hati, bosan, jenuh,

terkekang, marah, putus asa, pesimis, sensitif dan stres.

“..kadang-kadang kita suka down ya maksudnya

ee.. putus asa kayak misalnya capek gitu lho udah

harus ngurusin ini ini ini aku kan juga nyuci sendiri

kan nyuci maksudnya nggak ada pembantu di

rumah gitu ee..capek ngurusin rumah ee.. kadang

kerjaannya bikin pusing gitu kan terus ee.. ya ini sih

maksudnya anakku lebih maksudnya aku lebih ke

anak ku kadang-kadang aku itu emang suka,suka

down gitu ya suka down suka putus asa..” (line

231-240 bagian 2, partispan 2)

“Sedih, yaampun kok yo mesti tak tinggal, gek

besok asinya gemana, gek nanti saya di sini mikir

anaknya rewel gak ya, gitu...yang pertama ya berat,

sedih, kadang nangis “kok yo tak tinggal” gitu pas

anak pertama, kan rasanya berat gitu ya..”..” (line

1079-1081 & 1099-1101, partisipan 1)

Emosi negatif yang dirasakan ketiga partisipan membuat mereka

terhambat dalam menyikapi dan menyelesaikan konflik peran ganda yang

timbul. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa emosi negatif yang

timbul dan tidak teratasi dengan baik akan berdampak pada diri partisipan

dan orang-orang di sekitarnya.

“pernah sampe aku tuh emosi maksudnya dia itu

tak bentak gitu lho tak bentak “Kenapa sih?”

sampe aku keras dan dia tuh nangis gitu makanya

aku tuh sampe nyesel karena bikin sedih anakku

gitu lho walo..ee..karena aku tuh melalukan

pekerjaan rumah yang nggak selesai-selesai itu

waktu di tinggalsama eh pokoknya aku dirumah

sendiri cuma berdua sama Carol gitu kan nggak

ada yang bantuin kan nah itu dia tak bentak dia tak

bentak itu sampe dia nangis jadi aku yang nyesel

sendiri kan..” (line 1191-1200 bagian 2, partisipan

2)

Untuk mencegah kejadian di atas berulang, maka dibutuhkan

regulasi emosi pada ketiga partisipan yang merupakan perempuan menikah

yang bekerja. Adanya konflik peran ganda yang menimbulkan emosi negatif

dalam diri ketiga partisipan akan memberikan dampak negatif yang tidak

hanya dirasakan oleh dirisendiri tetapi juga orang-orang disekitar partisipan.

Pada bagian tema regulasi emosi ini, peneliti membaginya menjadi

lima sub-tema yang merupakan bentuk-bentuk regulsi emosi itu sendiri.

Bentuk-bentuk regulasi emosi yang muncul dalam penelitian ini didasarkan

pada hasil analisis ketiga partisipan. Dua dari ketiga partisipan melakukan

kelima bentuk regulasi emosi, tetapi satu di antaranya hanya melakukan

empat dari lima bentuk regulasi emosi. Bentuk regulasi yang muncul dalam

penelitian ini adalah Situation selection, Situation modification, Attention

deployment, Cognitive change, Response modulation.

Bentuk regulasi emosi situation selection atau pemilihan situasi

terlihat dari bagaimana partisipan menghadapi atau menghindari situasi

peran ganda atau individu yang memunculkan emosi negatif baginya.

Seluruh partisipan mengalami bentuk regulasi ini, terlihat ketika partisipan

menghadapi rutinitas peran gandanya di pagi hari. Meskipun membuat

partisipan mengurangi jam tidur dan merasa tertekan, tetapi seluruh

partisipan berusaha untuk tetap menjalaninya dengan sebaik mungkin.

Kemudian, bentuk regulasi ini juga tercermin dalam perilaku partisipan

ketika berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga meskipun

memiliki banyak keterbatasan dalam dirinya.

“Lebih menghadapi karena kalo nggak di hadapi

nggak bakalan selesai nanti mesti belakang nya

bakalan numpuk-numpuk lagi..” (line 1126-1128

bagian 2, partisipan 2)

Selain itu, bentuk regulasi ini juga muncul ketika partisipan

menghindari individu yang memicu munculnya emosi negatif. Ketika

partisipan mengalami konflik dengan mertua atau suami, terkadang

partisipan memilih untuk menjauh dari mertua atau suaminya ketika merasa

tidak berkenan, sensitive dan marah.

“..malesnya ya gitu dan kalo males ya udah trimo

pergi gitu aja,..” (line 941-942, partisipan 1)

Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk regulasi ini dapat

digabungkan dengan beberapa bentuk regulasi emosi yang lain untuk

meregulasi emosi negatif yang muncul pada diri mereka. Peneliti melihat

hasil data yang menunjukkan bahwa ketiga partisipan pasti melakukan

bentuk ini yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk regulasi emosi lainnya.

Peneliti melihat jika partisipan tidak menghadapi situasi atau orang yang

memunculkan emosi negatifnya maka hanya akan berhenti pada bentuk

regulasi ini. Akan tetapi, jika partisipan memilih untuk menghadapi situasti

atau orang yang memunculkan emosi negatifnya maka partisipan akan

melakukan bentuk regulasi yang lainnya.

“Ya pasti nya menghadapi lah ya kalo ibarat nya

kayak cobaan lah ya cobaan kalo misal kita nggak

hadapi kan juga nggak bisa selesai kan pasti kan

nggak mungkin kita di kasih cobaan yang nggak bisa

kita kerjakan jadi kan pasti solusi nya tuh kan pasti

ada jalan keluar nya jadi ya di hadapi aja

gitu..”(line 390-397, partisipan 3)

“Ini di buat biasa aja, yang penting kita jalan

semua pekerjaan selesai, ya tiap hari kita ruh-ruhi

aja nanti dia sudah jadi pekewuh sendiri, nantinya

dia akan baik kok.” (line 219-223, partisipan 1)

Bentuk regulasi emosi selanjutnya adalah situation modification.

Bentuk regulasi ini lebih menekankan pada modifikasi situasi lingkungan

eksternal perempuan menikah yang bekerja agar emosi negatif yang

dirasakannya dapat teralihkan. Para partisipan melakukan bentuk regulasi ini

dengan membuat pembagian waktu yang digunakannya untuk

menyelesaikan tuntutan peran ganda. Selain itu partisipan juga melakukan

bentuk regulasi ini dengan bantuan keluarga. Partisipan mencoba

menghubungi keluarga yang mengasuh dan menjaga anaknya ketika bekerja.

Hal ini dilakukan partisipan untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan

khawatir dan cemas dalam diri partisipan terhadap keadaan anaknya.

“Lebih ke bangun pagi lebih menyiasati waktu..”

(line 1143 bagian 2, partisipan 2)

“..nanti ketika udah surut mangkele, dan ketika

tempat dan waktunya tepat malah nanti lebih enak

ngobrol-ngobrolnya..” (line 824-827, partisipan 1)

Selain itu, ketiga partisipan juga membentuk komunikasi serta

kerjasama yang baik antara partisipan dengan suami. Hal ini dilakukan

ketiga partisipan dalam upaya memodifikasi situasi agar tidak semakin rumit

dan memancing emosi negatifnya. Perilaku ini dilakukan ketiga partisipan

dengan harapan suami partisipan mengerti keadaan psikis dan fisiknya

sehingga dapat lebih peka membantu partisipan tanpa diminta.

Bentuk regulasi situation modification pada penelitian ini lebih

banyak ketiga partisipan lakukan dengan bantuan orang lain di sekitar

partisipan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ketiga pastisipan

melakukan bentuk regulasi ini dengan lebih fokus pada pembagian waktu

dan tenaga mereka untuk memenuhi tuntutan rumah tangga dan tuntutan

pekerjaan sehingga konflik peran ganda dapat diminimalisir. Jika konflik

peran ganda dan tuntutan yang lain dapat diminimalisir begitu juga dengan

emosi negatif yang timbul, tentunya akan jarang muncul.

Bentuk regulasi emosi yang ketiga adalah attention deployment.

Bentuk regulasi emosi attention deployment dibagi menjadi dua, yaitu

distraksi dan konsentrasi. Distraksi adalah bentuk yang paling mudah

dilakukan oleh partisipan ketika mengalami emosi negatif akibat peran

ganda. Partisipan mencoba melakukan kegiatan lain, seperti berpergian,

refreshing, bermain bersama anak, browsing hingga menulis untuk

mengalihkan atau menyalurkan emosi negatif yang mereka rasakan.

“Pernah sih pasti lah ya nama nya kita beraktifitas

tiap hari seperti itu gitu nah jadi ya untuk

mengatasi nya paling kita ya kayak liburan lah

kemana refreshing seperti itu kadang kalo misal

sore gitu jalan-jalan kemana sama anak..” (line

555-560, partisipan 3)

Bentuk regulasi attention deployment yang kedua adalah

konsentrasi.Bentuk konsentrasi juga dilakuakan partisipan ketika mengalami

emosi negatif. Partisipan terkadang mencoba fokus pada pekerjaannya

dengan harapan agar cepat selesai dan bisa bertemu anak. Fokus pada

pekerjaan juga digunakan oleh salah satu partisipan untuk mengalihkan

perasaan negatifnya akibat masalah-masalah rumah tangga.

“..tapi ya yang terpenting dulu aja lah..” (line 374

-375, partisipan 3)

“..kita bisa ngobrol, kita melepaskan diri dari

rumah ada macem-macem gitu toh..” (line 125-127,

partisipan 1)

Bentuk keempat dari regulasi emosi adalah cognitive change. Bentuk

regulasi ini terjadi ketika pastisipan menghadapi konflik peran gandanya

yang memunculkan emosi negatif. Dengan keadaan tersebut, maka

partisipan mencoba memaknai kejadian yang dialami sebagai konsekuensi

yang harus diterima dan dijalaninya sebagai akibat dari pilihannya menjalani

peran ganda. Pada bentuk regulasi ini, temuan penelitian menunjukkan

adanya perilaku yang sama antar ketiga partisipan. Perilaku tersebut

disatukan dalam tiga (3) kelompok: perubahan cara pandang yang

dipengaruhi kognitif, perubahan cara pandang yang dipengaruhi oleh

religiusitas dan perubahan cara pandang yang dipengaruhi oleh budaya.

Bentuk regulasi cognitive change pada partisipan karena adanya

proses kognitif yang dialami, tercermin dalam perilaku berikut: menyadari

adanya sebab akibat dari munculnya sebuah situasi yang tidak

menyenangkan, adanya proses pembelajaran untuk menerima orang lain

yang tidak sesuai dengan harapan partisipan, menemukan hikmah atau sisi

positif dari situasi tidak menyenangkan yang dialami, dan berusaha berpikir

positif terhadap situasi yang terjadi atau orang lain.

“Nggak, nggak sih karena kan memang tanggung

jawab ya tanggung jawab kerjaan itu kan juga juga

penting yaa maksudnya ee..toh nanti kan ujung nya

buat anak juga kan maksudnya kan hasilnya juga

buat keluarga juga ee..” (line 87-91 bagian 2,

partisipan 2)

Bentuk regulasi emosi cognitive change yang membuat partisipan

merubah cara pandangnya karena adanya pengaruh religiusitas tercermin

ketika partisipan merasa bahwa Tuhan adalah tempat mereka bersandar dan

berserah jika segala upaya sudah dilakukan semaksimal mungkin dalam

mengatasi konflik peran ganda yang ada. Ketiga partisipan memiliki

kepercayaan bahwa kesusahan yang dialami bukanlah bukti bahwa Tuhan

tidak adil tetapi melainkan takdir atau ujian yang harus dilalui. Selain itu,

ketiga partisipan juga melakukan kegiatan agama ketika merasakan emosi

negatif. Mereka merasakan adanya ketenangan setelah menjalani kegiatan

agama tersebut.

“..saya sih juga sering berdoa, pagi berdoa, pagi

itu serahkan segalanya ini pada Tuhan, malem ini

pokoknya anak-anak, suami semuanya kita

serahkan pada Tuhan, apa yang terjadi di

kehidupan kita itu sudah Tuhan yang atur,..” (line

1177-1182, partisipan 2)

Terakhir, bentuk regulasi emosi cognitive change yang membuat

partisipan merubah cara pandangnya karena adanya ilmu kebudayaan yang

dimiliki partisipan. Terkadang partisipan mampu merubah cara pandangnya

menjadi lebih positif terhadap emosi negatif yang dialaminya juga

dikarenakan adanya ilmu kebudayaan seperti filosofi-filosofi jawa. Salah

satu partisipan mampu merubah cara pandangnya karena adanya filosofi

jawa yang didapatnya.

“..terus yang paling besar manfaatnya itu kita

membaca filosofi- filosofi jawa.. Ada, jadi saya itu

pernah gini, ada pernah namanya Pak dato ngasih

saya sebuah sabda tama, jadi ee gini “wong ki nek

pengen mamah ki yo obah” gitu “yen sengit karo

uwong iku podo wae nyengeti awake dewe” jadi ya

seperti itu, jadi kita itu lebih bisa mengontrol diri

sih..” (line 199-209, partisipan 1)

Berdasarkan hasil analisis data dari ketiga partisipan, peneliti melihat

bahwa bentuk regulasi emosi ini mendominasi ketiga partisipan dalam

mengatasi emosi negatif yang muncul. Tanpa disadari, adanya proses

kognitif dan pengubahan cara pandang akan suatu hal atau situasi membantu

ketiga partisipan menemukan solusi dalam meregulasi emosi negatifnya

serta mengatasi konflik yang terjadi selama menjalani peran ganda. Emosi

negatif yang muncul mampu diubah menjadi emosi positif yang membantu

ketiga partisipan bangkit dari kesulitan dan membuatnya lebih positif

menjalani peran gandanya.

“..suka down gitu ya suka down suka putus asa

karena ya capek itu tadi ya capek itu tadi tapi ee..

harus percaya diri gitu lho tapi ya itu percaya diri

itu emang harus dari kita sendiri gitu ya ee..

percaya diri bahwa aku itu bisa untuk jadi seorang

ibu yang multitasking jadi ya bekerja juga masih

ngurusin rumah tangga gitu pokoknya optimis aja

gitu kalo aku itu bisa ngurusin keluarga dengan

baik .. pokoknya kayak gitu jadi ee.. kalo kita udah

optimis kayak gitu kan kita.. punya semangat gitu

lho untuk melakukan kayak gitu tuh nggak ada

beban gitu jadi yaa tetep ada rasa cinta maksudnya

ee.. kita melakukan sesuatu hal kayak gitu kan

dengan rasa cinta ee.. buat anak nya buat suami

nya kayak gitu kan ..membuat yang lebih optimal

gitu lah apa yang kita lakukan itu..” (line 240-260

bagian 2, partisipan 2)

Bentuk regulasi emosi yang kelima adalah response modulation.

Response modulation adalah usaha yang dilakukan perempuan menikah

yang bekerja untuk mengatur dan menampilkan respon emosi negatif yang

tidak berlebihan. Peneliti hanya menemukan dua partisipan yang melakukan

dan satu partisipan tak ditemukan dalam datanya melakukan bentuk regulasi

emosi ini. Bentuk regulasi ini terjadi ketika partisipan merasa marah dan

tertekan menghadapi pasien yang mendesak partisipan untuk segera

menyelesaikan pekerjaan serta memberikan hasil kerjanya. Maka partisipan

akan mencoba untuk menarik nafas, bersabar dan tetap tersenyum ketika

berhadapan dengan pasien tersebut.

“Menjelaskan, dan kalo kita “ini kok orangnya

pengen..” hmm tarik nafas “ini loh bu gini ya kan

ibu yang salah, jadi ya gini…” paling ya seperti

itu. .” (line 353-356, partisipan 1)

Bentuk regulasi emosi yang dilakukan ketiga partisipan tidak

terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor kognitif memiliki

peranan penting dalam mempengaruhi ketiga partisipan untuk pemilihan

regulasi emosi bentuk cognitive change. Telah dibahas di penjelasan

sebelumnya bahwa regulasi emosi bentuk cognitive change memiliki

pengaruh yang besar dalam meregulasi emosi negatif ketiga pastisipan dan

paling efektif memberikan dampak positif yang langsung dapat dirasakan

oleh ketiga partisipan.

“..nggak sih jadi ya karena ya saya kerja buat

bantu suami buat nambah perekonomian jadi ya

kayak bukan beban jadi kan karena memang itu

tanggung jawab kita gitu ya jadi nggak di bawa

beban..” (line 642-647)

Selain itu, faktor kognitif juga membuat partisipan mengarahkan

bentuk regulasi emosinya pada bentuk attention deployment. Dengan

bantuan proses kognitif, partisipan dapat menentukan tuntutan mana yang

harus diselesaikan terlebih dahulu serta membantu dalam menentukan

kegiatan yang efektif untuk mengubah emosi negatifnya, seperti: jalan-jalan,

refreshing, browsing atau menulis.

Kemudian, faktor berikutnya yang mempengaruhi regulasi emosi

ketiga partisipan adalah dukungan keluarga dan teman (rekan

kerja/tetangga). Dukungan keluarga sangat membantu ketiga partisipan

ketika berada dalam keadaan sulit yang terkadang mengarah ke perasaan

putus asa. Dengan adanya dukungan keluarga, ketiga partisipan merasa

mendapatkan dukungan moril untuk menghadapi keadaan sulit tersebut.

Rasa kasih sayang, pengertian dan toleransi antara ketiga partisipan dengan

keluarganya membuatnya menemukan tempat bersadar yang sekaligus dapat

menguatkannya dalam menjalani peran ganda.

“..aku kayak gitu terus apa maksudnya down, ya

misalnya kayak gitu down gitu ee.. pekerjaannku

nggak bakal nggak bakal selesai gitu jadi ya paling

suamikuorangtuaku juga tetep nyupport aku kok

maksudnya ee.. aku keluar gitu tanya anaknya

rewel nggak gitu, nggak ini udah mainan gini-gini

kan banyak yang bantu gitu lho jadi nggak perlu

nggak nggak sedih sih maksudnya nggak kepikiran

gitu sih.” (line 133-142 bagian 2)

Dukungan teman (rekan kerja/ tetangga) juga tak sedikit

mempengaruhi bentuk regulasi emosi ketiga partisipan. Dukungan teman

yang dirasakan ketiga partisipan berupa: kerjasama, saling memback-up

pekerjaan, mengasuh anak partisipan dan saling membentuk pertemanan

harmonis sehingga nyaman bekerja di kantor.

“..cuma kembali lagi sih aku tetep kerjasama sama

temen ku buat nyelesein itu semua gitu kayak gitu

tok..” (line 939-941 bagian 2)

Dukungan keluarga dan teman adalah faktor yang mempengaruhi

bentuk regulasi emosi pada ketiga partisipan. Adanya faktor dukungan

keluarga dan teman mempengaruhi partisipan pada bentuk regulasi emosi

situation modulation. Adanya dukungan keluarga dan teman membantu

ketiga partisipan untuk mengubah situasi lingkungan fisiknya menjadi

situasi yang baru dan emosi negatifnya akan teralihkan.

Dokumen terkait