BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
C. Analisis Data Penelitian
4. Integrasi Hasil Analisis Tiga Partisipan
Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian ini, ditemukan empat
tema utama, yaitu: konflik peran ganda, emosi negatif, regulasi emosi dan
faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Empat tema utama pada
penelitian ini memiliki beberapa sub tema. Untuk tema konflik peran ganda,
terdapat tiga sub tema, diantaranya: konflik peran ganda, tuntutan rumah
tangga dan tuntutan pekerjaan. Ketiga partisipan mengalami konflik peran
ganda yang diakibatkan oleh banyaknya tuntutan yang harus dikerjakan oleh
partisipan dalam rentang waktu bersamaan.
Konflik peran ganda yang dirasakan oleh ketiga partisipan memiliki
kemiripan, satu dengan lainnya. Ketiga partisipan merasakan kesibukan
yang sangat ketika harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah, mengurus
suami serta anak dan segera menyiapkan diri untuk ke kantor.
“Kemrungsung mbak hehe, kabeh pagi itu tuh
kemrungsung, tapi yaudah mau gemana, kalo pagi
itu kalo sempet mandiin yang si lintang ini, ya saya
mandiin kalo gak sempet ya biar mbahnya, kalo
yang kedua ini sifatnya lebih netral ya sama siapa
aja gak masalah meskipun nanti sore makannya
harus sama ibunya, namanya kemrungsung itu jadi
ya kalo pagi itu ya ubek-ubekan tapi ya dinikmati
aja..” (line 1244-1253, partisipan 1)
Ketiga partisipan juga merasakan adanya konflik kuat yang terasa
dalam diri mereka ketika meninggalkan anak pertama kalinya untuk bekerja.
Dalam diri ketiga partisipan, ada dorongan kuat untuk tetap bersama anak,
mengasuh dan merawatnya. Pergolakan ini semakin besar dirasakan oleh
para partisipan ketika anak mereka sakit.
“..paling kalo sakit kalo sakit kan nama ya anak
kecil paling rewel kan jadi mungkin nggak mau di
tinggal gitu kan ya apa kan...sedih nya kalo pas
kalo lagi sakit gitu lho saya nggak bisa yang
seratus persen ngerawat..”(line 86-88 & 673-675,
partisipan 3)
Banyaknya tuntutan dalam diri perempuan menikah yang bekerja,
membuat dirinya mudah terpancing emosi. Dua dari tiga partisipan
kebetulan memutuskan untuk tinggal bersama mertua ketika sudah
membangun rumah tangganya dengan suami. Hal ini membuat dua
partisipan tidak nyaman, karena mertua partisipan terkadang ikut campur
urusan rumah tangganya. Tindakan atau perkataan mertua sempat membuat
dua partisipan tidak nyaman dan menambahkan konflik dalam kehidupan
partisipan.
“..kadang masalahnya itu kan nggak cuma masalah
kerjaan aja kita kita dirumah itu kan nggak cuma
keluarga pokok aku suamiku sama anakku, disitu
ada mertuaku kan nah ada masalah masalah
misalnya kayak apa suka ngomel lah mertuaku suka
ngomel aku misalnya apa ada sesuatu yang mereka
yang dia lakukan tapi menurutku tidak berkenan
kadang kan jadi bikin aku emosi..” (line 251-260
bagian 1, partisipan 2)
Ketika di rumah pun, perempuan menikah yang bekerja belum tentu
bisa lepas dari tuntutan pekerjaan mereka di kantor. Sesekali dua dari tiga
partisipan masih memikirkan dan mengerjakan pekerjaan kantor ketika
sudah di rumah. Dua dari partisipan menyatakan bahwa mereka sempat
beberapa kali membawa pekerjaan mereka yang sudah dekat deadline dan
belum terselesaikan di kantor untuk mereka selesaikan di rumah.
“..kan kita nama nya kayak pekerjaan kita pasti di
tuntut harus selesai gitu ya mungkin ada saat nya
kita kondisi nggak bisa menyelesaikan waktu di
perusahaan ya terus kita di tuntut harus bisa masuk
gitu kan sedangkan kayak saya kan kerja
nyangitungin tagihan gitu kan jadi nggak boleh
telat ya mau nggak mau jadi ya dengan terpaksa ya
bukan yang terpaksa bagaimana jadi kayak lebih ke
tanggung jawab saya harus menyelesaikan jadi ya
mau nggak mau dibawa pulang..” (line 428-440,
partisipan 3)
Hasil analisis data ketiga partisipan ditemukan, adanya tuntutan
pekerjaan yang kemudian ditambah dengan tuntutan rumah tangga membuat
ketiga partisipan mengalami konflik peran ganda. Pada saat-saat tertentu
hidupnya, sempat ditempatkan pada situasi yang mengharuskan ketiga
partisipan menyelesaikan semua tuntutan tersebut secara bersamaan. Akan
tetapi, sebagai manusia biasa yang tentunya memiliki beberapa keterbatasan,
keadaan seperti di atas membuat ketiga partisipan merasakan emosi-emosi
negatif dalam dirinya.
Pada tema emosi negatif, tidak memiliki sub-tema yang pasti karena
munculnya emosi negatif antara satu partisipan dengan partisipan yang lain
sangat beragam. Emosi negatif yang dirasakan ketiga partisipan karena
konflik peran ganda yang mereka alami, di antaranya: bingung, tertekan,
tidak nyaman, gelisah, cemas, khawatir, ragu, sedih, berat hati, bosan, jenuh,
terkekang, marah, putus asa, pesimis, sensitif dan stres.
“..kadang-kadang kita suka down ya maksudnya
ee.. putus asa kayak misalnya capek gitu lho udah
harus ngurusin ini ini ini aku kan juga nyuci sendiri
kan nyuci maksudnya nggak ada pembantu di
rumah gitu ee..capek ngurusin rumah ee.. kadang
kerjaannya bikin pusing gitu kan terus ee.. ya ini sih
maksudnya anakku lebih maksudnya aku lebih ke
anak ku kadang-kadang aku itu emang suka,suka
down gitu ya suka down suka putus asa..” (line
231-240 bagian 2, partispan 2)
“Sedih, yaampun kok yo mesti tak tinggal, gek
besok asinya gemana, gek nanti saya di sini mikir
anaknya rewel gak ya, gitu...yang pertama ya berat,
sedih, kadang nangis “kok yo tak tinggal” gitu pas
anak pertama, kan rasanya berat gitu ya..”..” (line
1079-1081 & 1099-1101, partisipan 1)
Emosi negatif yang dirasakan ketiga partisipan membuat mereka
terhambat dalam menyikapi dan menyelesaikan konflik peran ganda yang
timbul. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa emosi negatif yang
timbul dan tidak teratasi dengan baik akan berdampak pada diri partisipan
dan orang-orang di sekitarnya.
“pernah sampe aku tuh emosi maksudnya dia itu
tak bentak gitu lho tak bentak “Kenapa sih?”
sampe aku keras dan dia tuh nangis gitu makanya
aku tuh sampe nyesel karena bikin sedih anakku
gitu lho walo..ee..karena aku tuh melalukan
pekerjaan rumah yang nggak selesai-selesai itu
waktu di tinggalsama eh pokoknya aku dirumah
sendiri cuma berdua sama Carol gitu kan nggak
ada yang bantuin kan nah itu dia tak bentak dia tak
bentak itu sampe dia nangis jadi aku yang nyesel
sendiri kan..” (line 1191-1200 bagian 2, partisipan
2)
Untuk mencegah kejadian di atas berulang, maka dibutuhkan
regulasi emosi pada ketiga partisipan yang merupakan perempuan menikah
yang bekerja. Adanya konflik peran ganda yang menimbulkan emosi negatif
dalam diri ketiga partisipan akan memberikan dampak negatif yang tidak
hanya dirasakan oleh dirisendiri tetapi juga orang-orang disekitar partisipan.
Pada bagian tema regulasi emosi ini, peneliti membaginya menjadi
lima sub-tema yang merupakan bentuk-bentuk regulsi emosi itu sendiri.
Bentuk-bentuk regulasi emosi yang muncul dalam penelitian ini didasarkan
pada hasil analisis ketiga partisipan. Dua dari ketiga partisipan melakukan
kelima bentuk regulasi emosi, tetapi satu di antaranya hanya melakukan
empat dari lima bentuk regulasi emosi. Bentuk regulasi yang muncul dalam
penelitian ini adalah Situation selection, Situation modification, Attention
deployment, Cognitive change, Response modulation.
Bentuk regulasi emosi situation selection atau pemilihan situasi
terlihat dari bagaimana partisipan menghadapi atau menghindari situasi
peran ganda atau individu yang memunculkan emosi negatif baginya.
Seluruh partisipan mengalami bentuk regulasi ini, terlihat ketika partisipan
menghadapi rutinitas peran gandanya di pagi hari. Meskipun membuat
partisipan mengurangi jam tidur dan merasa tertekan, tetapi seluruh
partisipan berusaha untuk tetap menjalaninya dengan sebaik mungkin.
Kemudian, bentuk regulasi ini juga tercermin dalam perilaku partisipan
ketika berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga meskipun
memiliki banyak keterbatasan dalam dirinya.
“Lebih menghadapi karena kalo nggak di hadapi
nggak bakalan selesai nanti mesti belakang nya
bakalan numpuk-numpuk lagi..” (line 1126-1128
bagian 2, partisipan 2)
Selain itu, bentuk regulasi ini juga muncul ketika partisipan
menghindari individu yang memicu munculnya emosi negatif. Ketika
partisipan mengalami konflik dengan mertua atau suami, terkadang
partisipan memilih untuk menjauh dari mertua atau suaminya ketika merasa
tidak berkenan, sensitive dan marah.
“..malesnya ya gitu dan kalo males ya udah trimo
pergi gitu aja,..” (line 941-942, partisipan 1)
Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk regulasi ini dapat
digabungkan dengan beberapa bentuk regulasi emosi yang lain untuk
meregulasi emosi negatif yang muncul pada diri mereka. Peneliti melihat
hasil data yang menunjukkan bahwa ketiga partisipan pasti melakukan
bentuk ini yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk regulasi emosi lainnya.
Peneliti melihat jika partisipan tidak menghadapi situasi atau orang yang
memunculkan emosi negatifnya maka hanya akan berhenti pada bentuk
regulasi ini. Akan tetapi, jika partisipan memilih untuk menghadapi situasti
atau orang yang memunculkan emosi negatifnya maka partisipan akan
melakukan bentuk regulasi yang lainnya.
“Ya pasti nya menghadapi lah ya kalo ibarat nya
kayak cobaan lah ya cobaan kalo misal kita nggak
hadapi kan juga nggak bisa selesai kan pasti kan
nggak mungkin kita di kasih cobaan yang nggak bisa
kita kerjakan jadi kan pasti solusi nya tuh kan pasti
ada jalan keluar nya jadi ya di hadapi aja
gitu..”(line 390-397, partisipan 3)
“Ini di buat biasa aja, yang penting kita jalan
semua pekerjaan selesai, ya tiap hari kita ruh-ruhi
aja nanti dia sudah jadi pekewuh sendiri, nantinya
dia akan baik kok.” (line 219-223, partisipan 1)
Bentuk regulasi emosi selanjutnya adalah situation modification.
Bentuk regulasi ini lebih menekankan pada modifikasi situasi lingkungan
eksternal perempuan menikah yang bekerja agar emosi negatif yang
dirasakannya dapat teralihkan. Para partisipan melakukan bentuk regulasi ini
dengan membuat pembagian waktu yang digunakannya untuk
menyelesaikan tuntutan peran ganda. Selain itu partisipan juga melakukan
bentuk regulasi ini dengan bantuan keluarga. Partisipan mencoba
menghubungi keluarga yang mengasuh dan menjaga anaknya ketika bekerja.
Hal ini dilakukan partisipan untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan
khawatir dan cemas dalam diri partisipan terhadap keadaan anaknya.
“Lebih ke bangun pagi lebih menyiasati waktu..”
(line 1143 bagian 2, partisipan 2)
“..nanti ketika udah surut mangkele, dan ketika
tempat dan waktunya tepat malah nanti lebih enak
ngobrol-ngobrolnya..” (line 824-827, partisipan 1)
Selain itu, ketiga partisipan juga membentuk komunikasi serta
kerjasama yang baik antara partisipan dengan suami. Hal ini dilakukan
ketiga partisipan dalam upaya memodifikasi situasi agar tidak semakin rumit
dan memancing emosi negatifnya. Perilaku ini dilakukan ketiga partisipan
dengan harapan suami partisipan mengerti keadaan psikis dan fisiknya
sehingga dapat lebih peka membantu partisipan tanpa diminta.
Bentuk regulasi situation modification pada penelitian ini lebih
banyak ketiga partisipan lakukan dengan bantuan orang lain di sekitar
partisipan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ketiga pastisipan
melakukan bentuk regulasi ini dengan lebih fokus pada pembagian waktu
dan tenaga mereka untuk memenuhi tuntutan rumah tangga dan tuntutan
pekerjaan sehingga konflik peran ganda dapat diminimalisir. Jika konflik
peran ganda dan tuntutan yang lain dapat diminimalisir begitu juga dengan
emosi negatif yang timbul, tentunya akan jarang muncul.
Bentuk regulasi emosi yang ketiga adalah attention deployment.
Bentuk regulasi emosi attention deployment dibagi menjadi dua, yaitu
distraksi dan konsentrasi. Distraksi adalah bentuk yang paling mudah
dilakukan oleh partisipan ketika mengalami emosi negatif akibat peran
ganda. Partisipan mencoba melakukan kegiatan lain, seperti berpergian,
refreshing, bermain bersama anak, browsing hingga menulis untuk
mengalihkan atau menyalurkan emosi negatif yang mereka rasakan.
“Pernah sih pasti lah ya nama nya kita beraktifitas
tiap hari seperti itu gitu nah jadi ya untuk
mengatasi nya paling kita ya kayak liburan lah
kemana refreshing seperti itu kadang kalo misal
sore gitu jalan-jalan kemana sama anak..” (line
555-560, partisipan 3)
Bentuk regulasi attention deployment yang kedua adalah
konsentrasi.Bentuk konsentrasi juga dilakuakan partisipan ketika mengalami
emosi negatif. Partisipan terkadang mencoba fokus pada pekerjaannya
dengan harapan agar cepat selesai dan bisa bertemu anak. Fokus pada
pekerjaan juga digunakan oleh salah satu partisipan untuk mengalihkan
perasaan negatifnya akibat masalah-masalah rumah tangga.
“..tapi ya yang terpenting dulu aja lah..” (line 374
-375, partisipan 3)
“..kita bisa ngobrol, kita melepaskan diri dari
rumah ada macem-macem gitu toh..” (line 125-127,
partisipan 1)
Bentuk keempat dari regulasi emosi adalah cognitive change. Bentuk
regulasi ini terjadi ketika pastisipan menghadapi konflik peran gandanya
yang memunculkan emosi negatif. Dengan keadaan tersebut, maka
partisipan mencoba memaknai kejadian yang dialami sebagai konsekuensi
yang harus diterima dan dijalaninya sebagai akibat dari pilihannya menjalani
peran ganda. Pada bentuk regulasi ini, temuan penelitian menunjukkan
adanya perilaku yang sama antar ketiga partisipan. Perilaku tersebut
disatukan dalam tiga (3) kelompok: perubahan cara pandang yang
dipengaruhi kognitif, perubahan cara pandang yang dipengaruhi oleh
religiusitas dan perubahan cara pandang yang dipengaruhi oleh budaya.
Bentuk regulasi cognitive change pada partisipan karena adanya
proses kognitif yang dialami, tercermin dalam perilaku berikut: menyadari
adanya sebab akibat dari munculnya sebuah situasi yang tidak
menyenangkan, adanya proses pembelajaran untuk menerima orang lain
yang tidak sesuai dengan harapan partisipan, menemukan hikmah atau sisi
positif dari situasi tidak menyenangkan yang dialami, dan berusaha berpikir
positif terhadap situasi yang terjadi atau orang lain.
“Nggak, nggak sih karena kan memang tanggung
jawab ya tanggung jawab kerjaan itu kan juga juga
penting yaa maksudnya ee..toh nanti kan ujung nya
buat anak juga kan maksudnya kan hasilnya juga
buat keluarga juga ee..” (line 87-91 bagian 2,
partisipan 2)
Bentuk regulasi emosi cognitive change yang membuat partisipan
merubah cara pandangnya karena adanya pengaruh religiusitas tercermin
ketika partisipan merasa bahwa Tuhan adalah tempat mereka bersandar dan
berserah jika segala upaya sudah dilakukan semaksimal mungkin dalam
mengatasi konflik peran ganda yang ada. Ketiga partisipan memiliki
kepercayaan bahwa kesusahan yang dialami bukanlah bukti bahwa Tuhan
tidak adil tetapi melainkan takdir atau ujian yang harus dilalui. Selain itu,
ketiga partisipan juga melakukan kegiatan agama ketika merasakan emosi
negatif. Mereka merasakan adanya ketenangan setelah menjalani kegiatan
agama tersebut.
“..saya sih juga sering berdoa, pagi berdoa, pagi
itu serahkan segalanya ini pada Tuhan, malem ini
pokoknya anak-anak, suami semuanya kita
serahkan pada Tuhan, apa yang terjadi di
kehidupan kita itu sudah Tuhan yang atur,..” (line
1177-1182, partisipan 2)
Terakhir, bentuk regulasi emosi cognitive change yang membuat
partisipan merubah cara pandangnya karena adanya ilmu kebudayaan yang
dimiliki partisipan. Terkadang partisipan mampu merubah cara pandangnya
menjadi lebih positif terhadap emosi negatif yang dialaminya juga
dikarenakan adanya ilmu kebudayaan seperti filosofi-filosofi jawa. Salah
satu partisipan mampu merubah cara pandangnya karena adanya filosofi
jawa yang didapatnya.
“..terus yang paling besar manfaatnya itu kita
membaca filosofi- filosofi jawa.. Ada, jadi saya itu
pernah gini, ada pernah namanya Pak dato ngasih
saya sebuah sabda tama, jadi ee gini “wong ki nek
pengen mamah ki yo obah” gitu “yen sengit karo
uwong iku podo wae nyengeti awake dewe” jadi ya
seperti itu, jadi kita itu lebih bisa mengontrol diri
sih..” (line 199-209, partisipan 1)
Berdasarkan hasil analisis data dari ketiga partisipan, peneliti melihat
bahwa bentuk regulasi emosi ini mendominasi ketiga partisipan dalam
mengatasi emosi negatif yang muncul. Tanpa disadari, adanya proses
kognitif dan pengubahan cara pandang akan suatu hal atau situasi membantu
ketiga partisipan menemukan solusi dalam meregulasi emosi negatifnya
serta mengatasi konflik yang terjadi selama menjalani peran ganda. Emosi
negatif yang muncul mampu diubah menjadi emosi positif yang membantu
ketiga partisipan bangkit dari kesulitan dan membuatnya lebih positif
menjalani peran gandanya.
“..suka down gitu ya suka down suka putus asa
karena ya capek itu tadi ya capek itu tadi tapi ee..
harus percaya diri gitu lho tapi ya itu percaya diri
itu emang harus dari kita sendiri gitu ya ee..
percaya diri bahwa aku itu bisa untuk jadi seorang
ibu yang multitasking jadi ya bekerja juga masih
ngurusin rumah tangga gitu pokoknya optimis aja
gitu kalo aku itu bisa ngurusin keluarga dengan
baik .. pokoknya kayak gitu jadi ee.. kalo kita udah
optimis kayak gitu kan kita.. punya semangat gitu
lho untuk melakukan kayak gitu tuh nggak ada
beban gitu jadi yaa tetep ada rasa cinta maksudnya
ee.. kita melakukan sesuatu hal kayak gitu kan
dengan rasa cinta ee.. buat anak nya buat suami
nya kayak gitu kan ..membuat yang lebih optimal
gitu lah apa yang kita lakukan itu..” (line 240-260
bagian 2, partisipan 2)
Bentuk regulasi emosi yang kelima adalah response modulation.
Response modulation adalah usaha yang dilakukan perempuan menikah
yang bekerja untuk mengatur dan menampilkan respon emosi negatif yang
tidak berlebihan. Peneliti hanya menemukan dua partisipan yang melakukan
dan satu partisipan tak ditemukan dalam datanya melakukan bentuk regulasi
emosi ini. Bentuk regulasi ini terjadi ketika partisipan merasa marah dan
tertekan menghadapi pasien yang mendesak partisipan untuk segera
menyelesaikan pekerjaan serta memberikan hasil kerjanya. Maka partisipan
akan mencoba untuk menarik nafas, bersabar dan tetap tersenyum ketika
berhadapan dengan pasien tersebut.
“Menjelaskan, dan kalo kita “ini kok orangnya
pengen..” hmm tarik nafas “ini loh bu gini ya kan
ibu yang salah, jadi ya gini…” paling ya seperti
itu. .” (line 353-356, partisipan 1)
Bentuk regulasi emosi yang dilakukan ketiga partisipan tidak
terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor kognitif memiliki
peranan penting dalam mempengaruhi ketiga partisipan untuk pemilihan
regulasi emosi bentuk cognitive change. Telah dibahas di penjelasan
sebelumnya bahwa regulasi emosi bentuk cognitive change memiliki
pengaruh yang besar dalam meregulasi emosi negatif ketiga pastisipan dan
paling efektif memberikan dampak positif yang langsung dapat dirasakan
oleh ketiga partisipan.
“..nggak sih jadi ya karena ya saya kerja buat
bantu suami buat nambah perekonomian jadi ya
kayak bukan beban jadi kan karena memang itu
tanggung jawab kita gitu ya jadi nggak di bawa
beban..” (line 642-647)
Selain itu, faktor kognitif juga membuat partisipan mengarahkan
bentuk regulasi emosinya pada bentuk attention deployment. Dengan
bantuan proses kognitif, partisipan dapat menentukan tuntutan mana yang
harus diselesaikan terlebih dahulu serta membantu dalam menentukan
kegiatan yang efektif untuk mengubah emosi negatifnya, seperti: jalan-jalan,
refreshing, browsing atau menulis.
Kemudian, faktor berikutnya yang mempengaruhi regulasi emosi
ketiga partisipan adalah dukungan keluarga dan teman (rekan
kerja/tetangga). Dukungan keluarga sangat membantu ketiga partisipan
ketika berada dalam keadaan sulit yang terkadang mengarah ke perasaan
putus asa. Dengan adanya dukungan keluarga, ketiga partisipan merasa
mendapatkan dukungan moril untuk menghadapi keadaan sulit tersebut.
Rasa kasih sayang, pengertian dan toleransi antara ketiga partisipan dengan
keluarganya membuatnya menemukan tempat bersadar yang sekaligus dapat
menguatkannya dalam menjalani peran ganda.
“..aku kayak gitu terus apa maksudnya down, ya
misalnya kayak gitu down gitu ee.. pekerjaannku
nggak bakal nggak bakal selesai gitu jadi ya paling
suamikuorangtuaku juga tetep nyupport aku kok
maksudnya ee.. aku keluar gitu tanya anaknya
rewel nggak gitu, nggak ini udah mainan gini-gini
kan banyak yang bantu gitu lho jadi nggak perlu
nggak nggak sedih sih maksudnya nggak kepikiran
gitu sih.” (line 133-142 bagian 2)
Dukungan teman (rekan kerja/ tetangga) juga tak sedikit
mempengaruhi bentuk regulasi emosi ketiga partisipan. Dukungan teman
yang dirasakan ketiga partisipan berupa: kerjasama, saling memback-up
pekerjaan, mengasuh anak partisipan dan saling membentuk pertemanan
harmonis sehingga nyaman bekerja di kantor.
“..cuma kembali lagi sih aku tetep kerjasama sama
temen ku buat nyelesein itu semua gitu kayak gitu
tok..” (line 939-941 bagian 2)
Dukungan keluarga dan teman adalah faktor yang mempengaruhi
bentuk regulasi emosi pada ketiga partisipan. Adanya faktor dukungan
keluarga dan teman mempengaruhi partisipan pada bentuk regulasi emosi
situation modulation. Adanya dukungan keluarga dan teman membantu
ketiga partisipan untuk mengubah situasi lingkungan fisiknya menjadi
situasi yang baru dan emosi negatifnya akan teralihkan.
Dalam dokumen
Regulasi emosi pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda
(Halaman 94-107)