• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi ke dalam Sektor Kesehatan

Dalam dokumen kajian dokumen kebijakan hiv publish (Halaman 138-141)

INTEGRASI PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM

6.2 Integrasi ke dalam Sektor Kesehatan

Penanggulangan HIV dan AIDS tentunya perlu diintegrasikan ke dalam sistem layanan kesehatan. Pengintegrasian ini perlu mencakup beberapa aspek. Penang­ gulangan HIV dan AIDS perlu diintegrasikan ke dalam mekanisme kelembagaan penyedia layanan, seperti antar­unit dalam rumah sakit. Pengintegrasian mekanisme kelembagaan ini juga memerlukan penguatan kelembagaan, baik secara internal unit lembaga tertentu maupun antar­unit. Penguatan hanya satu unit saja, misalnya klinik, sekaligus melupakan bagian administrasi, bisa menjadi faktor yang menyebab­ kan rendahnya kunjungan penasun. Kerjasama antara unit khusus yang menangani HIV dan AIDS dengan bagian umum, farmasi, dan bidang lainya mendesak untuk dikuatkan. Penguatan kerjasama ini tentunya perlu melalui jalan panjang mulai dari perencanaan program, perencanaan penganggaran, implementasi, serta pengawasan dan evaluasi secara terpadu.

Selain mencakup aspek mekanisme kelembagaan, pengintegrasian program penanggulangan HIV dan AIDS juga perlu mencakup aspek konseptual. Misalnya, integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS dengan layanan IMS dan kese­ hatan reproduksi; integrasi layanan PMTCT dengan layanan KIA. Beberapa daerah telah mengembangkan pengintegrasian layanan. Jawa Timur sudah mengintegrasi­ kan perawatan infeksi opportunistik sebagai bagian dari pengelolaan penyakit­pe­ nyakit kronis melalui skema asuransi pemerintah berupa Jamkesda untuk HIV dan

AIDS. Bali telah menguatkan SDM melalui pengembangan pelatihan dan insentif petugas kesehatan untuk program penanggulangan HIV. Sementara Jakarta sedang menguatkan sistem informasi kesehatan, infrastruktur dan manajemen logistik yang memberikan peningkatan kualitas kesehatan secara luas.

Terkait kualitas layanan, kebijakan soal jaminan kualitas layanan program pera­ watan dan pengobatan telah dikembangkan. SRAN 2010–2014 memberikan pan­ duan strategis untuk pencapaian jaminan kualitas layanan, yaitu melalui (1) pening­ katan ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas untuk memenuhi ketersediaan layanan yang bersahabat dan sesuai kebutuhan ODHA; (2) menjamin ketersediaan dukungan logistik untuk obat­obat esensial yang diperlukan dalam pengobatan ter­ kait HIV dan AIDS; (3) peningkatan peran layanan berbasis masyarakat untuk me­ lengkapi layanan yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi pada kenyataannya, panduan strategis tinggal menjadi panduan saja, mengingat keberhasilannya meng­ asumsikan “kepatuhan” Kemenkes dan Dinkes di daerah untuk melaksanakannya dalam program kerja mereka. Temuan di wilayah penelitian menunjukkan bahwa “kepatuhan” ini sulit ditemukan karena tidak ada insentif dan sanksi.

Upaya pencegahan yang dilaksanakan di wilayah penelitian juga sangat bera­ gam, mulai dari distribusi materi KIE, pembagian bahan material pencegahan seperti kondom, pelicin dan jarum suntik. Distribusi tersebut sudah dilakukan, bahkan sam­ pai pada komponen pemberdayaan lingkungan agar program mendapat dukungan dari berbagai pihak. Data anekdotal dari informan melaporkan hasil yang mengembi­ rakan, seperti upaya pencegahan melalui jarum suntik dapat mengurangi pemakaian jarum suntik bergantian dan mendorong pecandu menggunakan jarum dan peralatan steril. Namun, yang masih menjadi tantangan dalam dua dekade ini, sekalipun ber­ bagai jenis intervensi mulai dari penjangkauan individual, kelompok, sampai inter­ vensi struktural telah dilakukan, ialah rendahnya konsistensi pemakaian kondom dalam hubungan seks berisiko.

Komponen lain yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan ialah pen­ jang kauan dan pendampingan. Di akhir 1990­an, program penjangkauan individual mendominasi komponen pencegahan. Biaya terbesar dalam strategi ini ialah gaji

untuk petugas outreach. Di pertengahan tahun 2000­an, ketika model estimasi

populasi berisiko menunjukkan bahwa cakupan (coverage) jumlah populasi kunci

menjadi pusat dalam penanggulangan epidemi, efektivitas penjangkauan individual dalam meningkatkan cakupan program masih dipertanyakan. Minimnya program penjangkauan dan pendampingan saat ini bisa menurunkan kualitas program. Di sisi lain, upaya pendampingan dan penjangkauan oleh kelompok masyarakat sipil terus diupayakan. Seperti kasus di Bali, penjangkauan dan pendampingan

dipelopori oleh Yayasan Kerthi Praja untuk WPS dan Yayasan Citra Usadha Indo­ nesia untuk homo seksual. Sementara Yayasan Hati­Hati mulai menjangkau ke­ lom pok penasun.

Sejalan dengan perkembangan program, strategi dan pendekatan kegiatan penjangkauan dan pendampingan selalu mendapat pro dan kontra dari berbagai pihak. Saat ini kegiatan lapangan dikoordinasikan oleh organisator kelompok (com- munity organizer). Fokus perhatian mereka bukan hanya individu, melainkan juga lingkung an atau komunitas di mana kelompok kunci tinggal/beraktivitas. Metode penjangkauan dan pendampingan masih menggunakan kerangka KIE, baik melalui pendistribusian materi pencegahan, pendampingan dan advokasi untuk layanan publik, termasuk rujukan ke layananan kesehatan. Bentuk dan pola program KIE dengan memanfaatkan penyuluhan massal dan edutainment menjadi pilihan saat ini untuk “mengejar” target cakupan program.

Sementara itu, progam PDP ODHAsaat ini sudah menunjukkan kemajuan.

Jumlah rumah sakit, puskesmas, dan klinik layanan meningkat pesat, sejalan den­ gan meningkatnya temuan kasus. Berbagai kebijakan juga dibuat untuk memper­ baiki penyediaan layanan oleh para pemberi layanan tersebut. Meskipun demikian, masih ada kesenjangan terkait PDP ODHA, yakni masalah akses atas pelayanan, SDM, penyedia layanan, dan pendanaan. Isu utamanya ialah masalah kecukupan, kemerataan dan kualitas. Sedangkan untuk pendanaan bermasalah pada sumber dana, peruntukan, dan kecukupan. Selain itu, masalah dalam PDP ODHA yang sampai saat ini masih saja mengemuka ialah sitgma dan diskriminasi yang dialami ODHA dan populasi kunci.

Pemerintah telah berusaha untuk menyediakan layanan dan mendorong ke­ mudahan akses para klien. Beberapa musabab kesenjangan tersebut antara lain 1) Bias geografi dan tempat layanan. Umumnya layanan ada di kota besar dan di wilayah yang ada donornya; 2) Kendala akses disebabkan oleh program oriented, bu­ kan clientoriented. Sering kali layanan tersedia baik ketika tercakup dalam program yang masih mendapat dukungan dari donor. Tetapi, ketika tidak ada donor, layanan jadi sulit diakses, bahkan kerap kali tutup.

Di sektor kesehatan lebih luas, jalur integrasi yang bisa ditempuh ialah melalui indikator pencapaian bidang kesehatan yang tercantum dalam Standar Pelayan­ an Minimum (SPM) di Dinkes Kabupaten/Kota, yang meliputi 1) Pelayanan Ke­ sehatan Dasar (18 indikator); 2) Pelayanan Kesehatan Rujukan (2 indikator); 3) Penyelidik an Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa/KLB (1 indi­ kator); 4) Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Di beberapa wilayah kunjungan, penanggulangan HIV dan AIDS belum dimasukkan dalam indikator

SPM tersebut. Ini menunjukkan bahwa integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam layanan kesehatan masih perlu diperjuangkan.

Dalam dokumen kajian dokumen kebijakan hiv publish (Halaman 138-141)