• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian sebagai Basis Kebijakan: Studi tentang HIV dan AIDS pada Fase Awal Epidem

Dalam dokumen kajian dokumen kebijakan hiv publish (Halaman 65-70)

EVOLUSI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

3.2 Penelitian sebagai Basis Kebijakan: Studi tentang HIV dan AIDS pada Fase Awal Epidem

Penelitian mengenai epidemi HIV dan AIDS sejalan dengan perkembangan

pro gram penanggulangannya. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya

data dalam perumusan kebijakan program maupun kebijakan publik. Dalam kurun 1997–2003, telah dilakukan sedikitnya 65 penelitian tentang HIV dan AIDS yang tersebar di 12 provinsi. Topik utama penelitian mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku (knowledge, attitude and practice) pada populasi WPS (14 penelitian), pelanggan WPS (10), waria penjaja seks (4 penelitian), dan penasun (7 penelitian) yang terkait dengan risiko tertular IMS dan HIV (Balitbangkes 2005). Selain itu, juga ditemui beberapa penelitian tentang adat/budaya/ritual yang terkait dengan risiko penularan infeksi seksual termasuk HIV (9 penelitian). Selain 65 penelitian tersebut, dilakukan juga SSP oleh Depkes (sekarang Kemenkes) bersama BPS di 13 provinsi. Sebagai sebuah survei surveilans, SSP ditujukan untuk mengetahui bukan hanya tingkat risiko suatu populasi, tetapi juga mengumpulkan informasi terkait kondisi

23 Wilayah yang dikunjungi adalah: Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

sosial ekonomi dan situasi kelembagaan terkait penanganan IMS dan HIV­AIDS. Endang Basuki et. al (2002) meneliti tentang berbagai alasan mengapa WPS di lokalisasi tidak menggunakan kondom. Salah satu alasan mereka ialah karena mereka berkeyakinan bahwa pasangan seksual kelihatan sehat dan tidak dapat menularkan penyakit menular seksual. Alasan lainnya, mereka telah melakukan upaya­upaya pencegahan lain seperti minum obat antibiotik. Studi ini juga menunjukkan bahwa para mucikari tidak begitu mendukung program penggunaan kondom. Tiga tahun sebelumnya, Ivan Wolffers et. al (1999) menyampaikan bahwa karakteristik WPS di Indonesia dalam pengertian pendapatan, cara­cara memperoleh tamu, alasan masuk ke pekerjaan seks, dan perkembangan kariernya sangat berpengaruh pada perilaku seksnya. Penelitian Wolffers berupaya untuk menggambarkan hubungan antara WPS dan tamu serta pasangan laki­laki lainnya di Surabaya dan Jakarta. Persepsi yang berbeda tentang hubungan (pacar dan pelanggan) diasosiasikan dengan sikap yang berbeda pula dalam membersihkan diri (badan), persepsi risiko, perilaku mencegah, dan penggunaan kondom. Konsep identitas mereka beragam, karena beragam pula ha rapan terhadap peran­peran dan perilaku tertentu pasangannya. Penelitian ini menyarankan program intervensi seharusnya memperhatikan kompleksitas dari iden­ titas ganda dan hubungan sosial ini, sekaligus menyadari bahwa pekerja seks sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya terbatas pada transaksi seksual yang dilakukan.

Studi yang mendalam mengenai konsepsi budaya tentang HIV dan AIDS di Indonesia terkini telah dikerjakan oleh Crisovan (2006) yang melihat gagasan budaya tentang HIV dan AIDS, khususnya persepsi tentang risiko. Studi lapangan selama dua tahun dengan teknik survei (n=413) dan wawancara mendalam (n=60) serta observasi partisipatif antropologis ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membangun sebuah pemahaman yang menyeluruh tentang dampak dan efektivitas program pendidikan HIV dan AIDS yang ada. Hasil studi ini menunjukkan bahwa gagasan “risiko” dari Barat digunakan untuk mendefinisikan, membangun, dan mendanai program pendidikan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Konstruksi seperti ini ternyata sering kali gagal dalam mempertimbangkan gagasan budaya Indonesia yang berkaitan dengan HIV dan AIDS. Studi ini melihat bahwa terdapat permasalahan dengan penggunaan konsep “kelompok berisiko tinggi” maupun konsep “perilaku berisiko tinggi”. Pemahaman antropologis tentang persepsi budaya kaitannya dengan HIV dan AIDS serta risiko sangat membantu untuk menjelaskan bagaimana konsepsi Barat tentang “risiko” tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia.

di Indonesia akan lebih efektif jika mampu mengenali: (a) identitas yang beragam dari orang­orang yang menjadi sasaran program; (b) pentingnya kategori budaya dan bagaimana mereka berlaku dalam berbagai ideologi religius dan situasi yang kompleks; dan (c) bahwa definisi budaya dan programatis tentang “risiko” sering tidak konsisten. Pemahaman konsepsi budaya memungkinkan untuk memahami lebih dalam cara­cara yang efektif untuk mengembangkan kebijakan dan program yang sesuai dan sensitif secara budaya di berbagai tempat di Indonesia.

Secara umum, studi­studi di atas dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah studi etik yang mengaitkan tingginya risiko suatu popu lasi terhadap IMS/HIV dengan karakteristik individu (persepsi, konsepsi, dan penge­ tahuan). Studi­studi dengan pendekatan etik yang mencoba melihat pemaknaan subyektif (subjective meaning) perilaku berisiko dari sudut pelaku juga sering kali terjebak dalam model penjelasan seperti ini, yaitu masih mengaitkan antara perilaku

berisiko dengan kurangnya pengetahuan dan nilai­nilai yang diberi kan subyek

dalam tindakannya. Kelompok kedua ialah studi yang melihat pengaruh struktural (setidaknya struktur sosial dalam populasi sasaran) terhadap perilaku anggota­ang­ go tanya. Studi­studi dalam kelompok ini menyarankan bahwa perilaku berisiko itu merupakan produk situasi struktural. Kita lihat bahwa dua kelompok studi ter sebut menempatkan diri nya dalam posisi yang saling berhadapan. Yang pertama mene­ kankan peran individu dalam kontrol terhadap perilaku berisiko, sedangkan yang kedua melihat perilaku berisiko sebagai produk struktural.

Penelitian Kharisma Nugroho (2008) menjelaskan bahwa ada dua paradigma utama dalam kajian­kajian tentang HIV dan AIDS, yaitu yang bersifat psikobiologis dan sosiokultural. Pendekatan psikobiologis mencoba menghubungkan aspek psikologis (knowledge, attitude, and practice) dan biologis (prevalensi infeksi) dengan tingkat risiko mereka untuk tertular virus HIV. Ketika epidemi ini mulai melonjak di suatu wilayah, pendekatan ini menjelaskan bahwa ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan sikap kelompok populasi itu tentang perilaku yang aman. Pandangan demikian menganut paham reduksionisme psikologis yang menyatakan bahwa logika penularan HIV mengikuti logika perilaku individu­individunya. Perilaku seksual, sebagai salah satu jalur penularan utama, ditempatkan dalam ranah yang sangat privat sehingga faktor­faktor psikologis dianggap lebih tepat untuk menjelaskan tindakan itu. Mereka berusaha mengidentifikasi motif atau tekanan yang dialami individu, dan mengembangkan teori bagaimana tekanan­tekanan yang dialami tersebut menjadi motif bagi pelaku seks berisiko. Di lain pihak, penjelasan sosiokultural menyatakan hal sebaliknya: penyebaran epidemi HIV mempunyai logika tersendiri, yang berbeda

dengan logika (knowledge, attitude and practice) individu­individunya. Dengan kata lain, mereka yakin bahwa mekanisme, struktur, dan sarana kolektif di luar individu, yaitu alat yang digunakan manusia untuk mentransformasikan dirinya, merupakan obyek kajian yang lebih tepat untuk menjelaskan perbedaan satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Dua pandangan di atas mencerminkan inti dari perdebatan tentang agensi (agency) dan struktur, yaitu pertanyaan tentang “apakah manusia bebas untuk memilih bagaimana berpikir dan bertindak, ataukah sebenarnya ada kekuatan di luar mereka yang mengatur cara berpikir dan bertindak mereka?” Implikasi kebijakan dari masing­masing pendekatan tersebut akan berbeda. Jika manusia dianggap bebas memilih, maka cara untuk mengurangi perilaku berisiko HIV ialah menyerahkan kepada populasi kunci dengan cara memberikan bekal yang cukup (pengetahuan dan ketrampilan) agar mampu mengambil keputusan sebaik­baiknya. Pendekatan yang kedua akan berfokus pada variabel di luar individu yang dianggap mampu memengaruhi tindakan individu.

Data yang diolah dari SSP 2004 oleh FHI menunjukkan fakta yang menarik: bahwa kekuatan daya sosial berperan penting juga dalam mengurangi perilaku berisiko HIV. Data menunjukkan bahwa pengetahuan, intensitas program, dan persepsi risiko tidak sejalan dengan perilaku aman yang diharapkan. Pertanyaan yang seharusnya diajukan ialah bukan hanya mengapa hal ini terjadi, melainkan apakah yang kita lakukan untuk sebagian kelompok yang pengetahuannya masih salah. Pasalnya, kelompok yang sudah tinggi pengetahuan dan intensitas keterpaparan program, serta merasa berisiko saja perilakunya tidak sesuai dengan karakteristik­karakteristik tersebut. Jika kita coba (lagi) memberikan informasi yang benar, meningkatkan kesadaran akan risiko, dan meningkatkan intensitas pendampingan, sepertinya kita akan sampai dalam situasi yang sama. Untuk itu, perlu dilakukan terobosan dalam analisis, yaitu melihat perubahan perilaku yang baik dan kemudian mencoba melihat adakah peran social forces dalam proses tersebut. Pertanyaan ini secara sosiologis bisa diartikan sebagai pertanyaan tentang bagaimana mengubah perilaku manusia melalui intervensi pada sesuatu di luar diri manusia.

Coba kita lihat data tentang peran infrastruktur kesehatan terhadap tingkat pemakaian kondom dalam Gambar 13. Data ini menunjukkan bahwa semakin sering subyek berkunjung ke klinik untuk pemeriksaan (screening) infeksi menular seksual, pengobatan yang tidak benar—seperti konsumsi antibiotik sendiri—dan perilaku berisiko mereka menjadi lebih rendah. Dalam kunjungan keempat, klien sudah mulai meninggalkan kebiasaan mengobati IMS sendiri dengan mengkonsumsi antibiotik atau cara­cara lainnya.

(Sumber: Klinik Program FHI/ASA 2004)

Gambar 13 Frekuensi Kunjungan ke Klinik dan Perubahan Perilaku Berisiko

Begitu juga untuk pemakaian kondom, hanya dibutuhkan empat kali kunjungan untuk meningkatkan pemakaian kondom dari 19% menjadi lebih dari dua kali lipat (43%). Coba bandingkan dengan penyuluhan yang membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk meningkatkan pemakaian kondom sebesar 2% (SSP 2002 dan 2004). Kesadaran untuk datang ke klinik dengan kemauan sendiri juga meningkat tajam dari hanya 20% di kunjungan pertama menjadi hampir tiga kali lipat (58%) dalam kunjungan keempat. Salah satu perilaku berisiko yang terkait dengan keberadaan klinik ialah pencarian pengobatan (health seeking behaviour) yang benar. Perilaku ini penting karena tanpa pengobatan yang benar, IMS sulit sembuh dan orang dengan IMS berisiko lebih besar untuk tertular HIV. Dalam SSP ditanyakan apakah responden pernah mengalami gejala­gejala IMS. Jika jawabannya ya, apa yang dilakukan: pergi ke tenaga kesehatan atau mengobati sendiri? Berikut adalah data mengenai pola pencarian pengobatan ketika mengalami gejala IMS.

(Submer: SSP 2004)

Gambar 14 Pola Pencarian Pengobatan Ketika Mengalami Gejala IMS

Perilaku pemeliharaan kesehatan terkait erat dengan keberadaan dan aksesi­ bilitas terhadap klinik. Pertanyaan yang muncul terkait dengan keberadaan klinik dan perilaku pemeliharaan kesehatan ibarat pertanyaan “ayam atau telur yang perlu ada dulu?” Apakah kita meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang pemeliharaan kesehatan lebih dulu atau keberadaan klinik lebih dulu. Dalam bahasa sosiologisnya, apakah perubahan perilaku itu karena ide (pengetahuan dan sikap) atau karena material (adanya klinik). Data menunjukkan bahwa keberadaan klinik ternyata juga bisa sekaligus meningkatkan pengetahuan dan kesadaran, meskipun tidak sedikit pula keberadaan klinik juga tidak menolong perubahan perilaku akibat kegagalan klinik untuk masuk dalam sistem budaya kelompok sasaran. Argumen yang sama juga bisa ditarik dari korelasi antara peran logistik keberadaan kondom dengan tingkat pemakaian kondom. Tingkat pemakaian kondom ternyata lebih tinggi jika tersedia materi­materi edukasi sekaligus kondom—keduanya sering disebut sebagai materi pencegahan—dibanding pada responden yang tidak memiliki kedua­duanya atau hanya salah satu saja.

Dalam dokumen kajian dokumen kebijakan hiv publish (Halaman 65-70)