• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP)

Dalam dokumen kajian dokumen kebijakan hiv publish (Halaman 91-96)

KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

4.2 Kebijakan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP)

Pada awalnya, mayoritas program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia mengacu pada berbagai program yang pernah dilakukan di berbagai negara dan pedoman yang dikeluarkan oleh WHO. Terminologi yang dipakai pun mengacu pada terminologi WHO, seperti care, support and treatment (CST). Pada 2010­an istilah CST dalam dokumen SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2010–2014 disebut dengan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP). Tujuan dari program PDP ialah penguatan dan pengembangan layanan kesehatan serta koordinasi antar­layanan dengan beberapa target, yakni 1) Tersedianya layanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 2) 100 % ODHA yang memerlukan pencegahan dan pengobatan IO dapat mengakses layanan kesehatan sesuai kebutuhan; 3) Memberikan pengobatan ARV kepada orang terinfeksi HIV yang membutuhkan sesuai dengan standar WHO untuk kualitas hidup yang lebih produktif; 4) Pengembangan perawatan komunitas untuk memberikan dukungan psikologis dan sosial; dan 5) Meningkatkan kapasitas ODHA melalui pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Untuk melihat kinerja program dan capaiannya, beberapa laporan dari instansi terkait di­review. Laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia tahun 2013 dari Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, menunjukan hasil sebagai berikut:

• Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut faktor risiko heterokseksual cen­

derung meningkat tahun 2010–2013;

• Persentase AIDS yang dilaporkan menurut risiko dari tahun 1987 sampai dengan

September 2013 adalah 60,9% heteroseksual dan 17,4 % penasun;

• Persentase AIDS yang dilaporkan menurut faktor risiko pada Juli–September

2013 mayoritas adalah heteroseksual (81,9%).

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa penularan HIV dan AIDS melalui hubungan seks masih tinggi sampai saat ini, walaupun banyak program yang sudah dilaksanakan.

Progam PDP saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Jumlah rumah sakit, pus­ kes mas dan klinik layanan meningkat pesat sejalan dengan meningkatnya temuan kasus. Berbagai kebijakan dibuat untuk memperbaiki penyediaan layanan. Kebijakan yang berhubungan dengan PDP mayoritas dikeluarkan oleh Kemenkes, kementerian dan badan teknis yang menjadi anggota KPAN. Kebijakan dari Kemenkes berupa UU Kesehatan, Permenkes, Kepmenkes dan Surat Edaran dan Instruksi Menkes. Di tingkat daerah ada juga keputusan kepala dinkes di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Dalam SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2010–2014 disebutkan bahwa

la yanan yang dibutuhkan VCT, IMS, CST, PMTCT, LASS, PTRM dan outlet kondom. Komponen dalam program PDP bagi ODHA secara signifikan ada dua, yakni layanan ARV dan penjangkauan dan pendampingan.

Antiretroviral Treatment (ART)

Ringkasan Kebijakan

2004–2007: Penambahan jumlah dan sebaran layanan ARV, serta standarisasi layanan dan pemeriksaan diagnostik.

2010–2011: Revisi terhadap pedoman nasional atas terapi ARV sebagai penye­ suaian langkah global bahwa ARV bukanlah langkah “pengobatan HIV” melain­ kan sebagai “pengobatan untuk pencegahan HIV”.

Pokdisus RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan dokter­dokter RS Dr. Soetomo mulai kewalahan menangani ODHA dalam stadium lanjut. Mereka kemudian

mem pelopori advokasi penyediaan ARV di rumah sakit. Hasilnya, pada tahun

2006 dikeluarkan Kepmenkes Nomor 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan Bagi ODHA dan Standar Pelayanan Rumah Sakit Rujukan ODHA dan Satelitnya (25 rumah sakit). Jumlah rumah sakit ditingkatkan menjadi 75 di tahun 2007, dan 278 rumah sakit di tahun 2011 di seluruh Indonesia melalui Kepmenkes Nomor 760/Menkes/SK/VI/2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujuk an Bagi ODHA dan Kepmenkes Nomor 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi ODHA. Penanganan Infeksi Oportunistik juga penting dikembangkan setelah terjadi inisiasi melalui Kepmenkes Nomor 241/Menkes/SK/ IV/2006 tentang Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksaan HIV dan Infeksi Oportunistik.

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2010–2014 menyatakan menargetkan tersedianya pelayanan komprehensif di mana semua ODHA yang memenuhi syarat dapat menerima ARV, pengobatan, perawatan dan dukungan yang manusiawi, profe­ sional dan tanpa diskriminasi, serta didukung oleh sistem rujukan dan pembinaan serta pengawasan yang memadai. Persyaratan ODHA yang dapat menerima ARV disesuaikan dengan situasi global sebagaimana pedoman WHO tahun 2010

Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents in Resource- limited Settings: Towards Universal Access Recommendations for A Public Health yang merupakan pemutahiran strategi penurunan epidemi.

Perbedaan mendasar pada indikasi pemberian ARV menurut pedoman terbaru ini yakni ARV diberikan pada ODHA dengan hasil pemeriksaan CD4 kurang dari 350 sel/mm kubik. Perbedaan juga terlihat pada ODHA hamil, dengan koinfeksi

TB dan Hepatitis B, yakni pemberian ARV tanpa memandang jumlah CD4. Begitu juga dengan rejimen terapi ARV yang digunakan di mana pada panduan terbaru

TDF digunakan sebagai lini pertama dan mulai dilakukannya phase out D4T dan

mulai terapi AZT atau TDF, mengingat efek samping dari D4T. Semua ini ditetapkan melalui Permenkes Nomor 21/2013 yang telah diantisipasi akan berimplikasi pada pembengkakan jumlah pasien ARV sehingga harus ada perbaikan manajemen logistik dan distribusi ARV dari nasional ke sub­nasional. Setahun sebelumnya (2012), pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 76/2012 tentang Pelaksaaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral, yang intinya mengatur tentang “hak guna pemerintah”—sejenis lisensi wajib yang membebaskan pemerintah dari pembatasan hak paten. Langkah ini ditempuh guna memproduksi tujuh jenis obat­obatan generik yang sangat penting dalam terapi HIV dan Hepatitis B.

Pada periode 2004–2011 diterapkan kolaborasi TB­HIV melalui Kemenkes Nomor 1990/Menkes/SK/X/2004 tentang pemberian gratis Obat Anti­Tuberklosis (OAT) dan obat Antiretroviral (ARV) untuk HIV dan AIDS. Kolaborasi ni semakin diperkuat dengan adanya Kepmenkes Nomor 1190/Menkes/SK/X/2004 tentang pemberian gratis Obat Antituberkulosis (OAT) dan Obat Antiretroviral (ARV) untuk HIV dan AIDS.

Bisa dilihat bahwa sektor yang aktif mengeluarkan peraturan dengan tujuan meningkatkan capaian dan kualitas layanan HIV dan AIDS ialah Kemenkes. Bebe­ rapa kebijakan lainnya yang telah dihasilkan antara lain Kemenkes Nomor 1508/ Menkes/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah Perawatan, Dukung an dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV/AIDS tahun 2005–2009. Ke­ menkes mengeluarkan Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005–2009, dilan­ jutkan dengan Rencana Strategis Kementrian Kesehatan 2010–2014, dan dalam proses periode 2015–2019. Kebijakan terbaru terkait penanggulangan HIV dan AIDS dari Kemenkes berupa Surat Edaran Menkes Nomor 129/2013 yang menya­ takan bahwa pelaksanaan pengendalian HIV/AIDS dan IMS untuk mencapai tujuan MDGs yang keenam.

Program ART merupakan bagian dari respons yang lebih luas terhadap HIV/ AIDS. Keberadaannya melengkapi program yang sudah ada dan dibangun dari pro­ gram tersebut, sebagaimana digariskan dalam Stranas dan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS. Program ART mendukung upaya pencegahan dengan mendorong warga yang berperilaku berisiko tinggi untuk menggunakan layanan konseling dan tes. Program ART dalam pelayanan komprehensif perawatan, dukungan dan pengobatan ODHA harus memperkuat sistem kesehatan nasional serta layanan kesehatan dasar untuk menjamin layanan efektif dari perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS

secara paripurna. Pelayanan ini terintegrasi ke dalam tersedianya layanan kesehatan di semua tingkatan daerah kabupaten/kota maupun provinsi dan nasional.

Secara khusus pelaksanaan ART tidak akan mengurangi dana untuk prioritas dan program perawatan kesehatan lain yang sama pentingnya. Investasi dalam pro­ gram ini akan banyak digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan, termasuk pengembangan SDM, mengadakan perlengkapan sarana kesehatan, dan menata sistem pemantauan, pengadaan dan manajemen.

Jumlah layanan VCT, PDP, IMS, PPIA dan TB­HIV dari tahun ke tahun cende­ rung naik secara kuantitas, sebagaimana terlihat dalam Tabel 6.

Tabel 6 Layanan HIV dan AIDS yang Aktif Melapor 2011–2013

Jenis Layanan

Jumlah pada tahun

2011 2012 s.d. September 2013 VCT 500 503 889 PDP 303 235 Rs Rujukan 68 Satelit 338 239 Rs Rujukan 89 Satelit 380 266 RS rujukan 114 satelit IMS 643 370 PPIA 90 113 TB­HIV 223 223

(Sumber: Dirjen PP dan PL, Kemenkes RI, 2013)

(Sumber: Dirjen PP dan PL, Kemenkes RI, 2013)

Jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan September 2013 sebanyak 36.483 orang. 96,42% (35.178 orang) menerima jenis ARV lini 1 dewasa dan 3,19% (1.163 orang) menerima lini 2, sementara 1,27% tidak diketahui. Jumlah ini lebih banyak dibanding dengan tahun 2013— ada 31.002 ODHA yang mendapat pengobatan ARV yang terdiri atas 96% dewasa dan 4% anak­anak. Indikator lain dari keberhasilan ART ialah angka kematian ODHA. Walaupun case fatality rate (CFR) fluktuatif, namun secara umum trennya menurun sejak tahun 2000 hingga September 2013. Pada tahun 2004 dan 2005, CFR lebih tinggi daripada tahun 2001, 2002 dan 2003. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2005 pendistribusian ARV masih sentralistik, dan sejak 2011 distribusinya didesentarisasikan ke provinsi.

Pengadaan ARV sejak tahun 2005 di bawah koordinasi Dirjen Farmasi. Dananya bersumber dari GFATM dan APBN. Tahun 2010, pembiayaan ARV dari APBN sebesar 70% dan 30% dari GFATM. Rencana penganggarannya per tahun terintegrasi dengan anggaran tahunan Kemenkes. Distribusinya dikirimkan langsung ke layanan yang membutuhkan sesuai dengan permintaa. Pemusatan ini dilakukan untuk memudahkan pemantauaan penggunaan dan ketersediaan obat di layanan, mengingat karakteristik penyakit dan konsumsi obat ARV yang spesifik, di mana obat harus dikonsumsi tepat waktu dan seumur hidup. Pendistribusian yang terpusat ini sering menimbulkan masalah karena panjangnya rantai distribusi sehingga sering mengalami keterlambatan dan kekosongan persediaan. Pada tahun 2011, diberikan pendelegasian pendistribusian ke daerah agar memudahkan dan menyederhanakan sistem distribusi. Selain itu, stakeholder daerah, seperti KPAD, Dinkes, organisasi masyarakat sipil, dan ODHA dapat memantau pengadaan dan pendistribusiannya.

Penjangkauan dan pendampingan

Program penjangkauan dan pendampingan saat ini bisa dibilang masih minim sehingga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Minimnya program penjangkauan dan pendampingan bisa menurunkan kualitas program. Sejak kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987 di Bali yang diikuti dengan meningkatnya penemuan kasus tidak terlepas dari upaya pendampingan dan penjangkauan oleh kelompok masyarakat sipil. Seperti kasus di Bali, penjangkauan dan pendampingan dipelopori oleh Yayasan Kerthi Praja untuk WPS dan Yayasan Citra Usadha Indonesia untuk homoseksual. Selanjutnya, Yayasan Hati­Hati mulai menjangkau kelompok penasun. Kegiatan ini direplikasi oleh lembaga lain di beberapa wilayah di Indonesia. Sangat disadari bahwa upaya LSM ini digerakkan oleh orang­orang yang peduli dan didukung oleh donor. Program mereka dirancang dengan mengutamakan penjangkauan dan

pendampingan sebagai ujung tombak. Hasilnya nyata, mereka yang rentan terkena HIV terpapar informasi dan mulai mengakses layanan.

Sejalan dengan perkembangan program, kegiatan penjangkauan dan pendam­ pingan selalu mendapat pro dan kontra dari berbagai pihak. Saat ini kegiatan la­

pangan dikoordinir oleh Community Organizer. Sedangkan kegiatan penjangkauan

dan pendampingan disederhanakan dengan pembagian KIE, pendistribusian material pencegahan, dan perujukan ke layananan kesehatan. Bentuk dan pola program KIE

dengan memanfaatkan penyuluhan massal dan edutainment menjadi pilihan saat

ini. Pelaksanaannya pun hanya pada waktu tertentu, seperti pada bulan Desember menjelang Hari AIDS Sedunia. Program penjangkauan dan pendampingan merupakan langkah awal dan pintu masuk untuk upaya pencegahan dan perawatan. Sayangnya, program penjangkauan dan pendampingan tereduksi dengan pembagian materi pencegahan saja, semisal kondom dan pelicin.

Masalah lain yang senantiasa mengemuka ialah kelompok berisiko tinggi dalam kehidupan sehari­hari selalu mendapat perlakuan diskriminasi dan stigma negatif. Kondisi ini menghambat mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan. Di sinilah perlunya program penjangkauan dan pendampingan, bukan hanya penyuluhan dan program yang sifatnya kondisional dan seremonial semata. Selanjutnya, kalau dicermati lebih detail, kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia saat ini terlalu banyak kegiatan koordinasi, pembuatan regulasi, dan pertemuan, sedangkan kegiatan nyata di lapangan dan pelibatan masyarakat masih belum optimal.

Dalam dokumen kajian dokumen kebijakan hiv publish (Halaman 91-96)