• Tidak ada hasil yang ditemukan

Provinsi Sumatera Utara dipenuhi para pemuda dengan nama besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia yang pernah mengunjunginya serta tinggal bersama-sama kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Utara. Sebut saja, Dr. Sutomo pernah tinggal di Pakam dan Tanjung Morawa, Tan Malaka, Dr. Pirngadi60, dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan kebijakan exorbitante rechten (hak istimewa) pemerintah Kolonial Belanda menjalankan praktek ”pengasingan” atau “pembuangan” para pejuang dari daerahnya ke berbagai tempat lainnya di Nusantara. Bung Karno dan Hatta beserta beberapa tokoh pejuang lainnya pernah diasingkan atau dibuang ke Sumatera Utara. Demikian beberapa peristiwa penting yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pemuda di Sumatera Utara hingga memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia.61

Proklamasi Kemerdekaan RI resmi diumumkan, di Sumatera Utara, oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan pada tanggal 30 September 1945. Sedangkan Pemerintahan Republik Indonesia baru berjalan di Kota Medan tanggal 3 Oktober 1945. Itupun secara diam-diam karena masih takut pada pemerintah dan tentara Jepang. Lalu sepuluh hari kemudian, 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran di hotel “Pension Wilhelmina” di Jalan Bali, Medan, antara rakyat dengan tentara Belanda yang disusupkan sekutu/Inggris (NICA). Pertempuran serupa juga terjadi di Pematang

      

60 Saat ini nama Dr. Pirngadi sebagai nama Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Medan.

61 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah

(KND) yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 provinsi masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 April itulah ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1956 ditetapkan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Aceh.

Siantar 15 Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945.62

Wujud lain kehidupan segregatif (terpisah-pisah) masyarakat Kota Medan terefleksi dalam organisasi keagamaan beserta kepemudaannya. Keanggotaan kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori, namun masih menyiratkan etnisitas. Ada organisasi Muhammadiyah yang didominasi warga etnis Minangkabau; Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen Protestan Simalungun; Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja Methodist Indonesia (Cina); dan seterusnya. Hal yang sama terjadi pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA (Himpunan Keluarga Mandailing); Minang Saiyo (Minangkabau); IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh); Persatuan Warga Sunda (PWS); PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera); dan lain-lain. Sementara di tingkat pelajar/mahasiswa terdapat IMA-Tapsel (Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan); Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (Minangkabau), HIMAH (Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah) dari etnis Melayu; dan sebagainya. Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya memiliki ciri-ciri resmi (formal). Besar kemungkinannya kelompok etnis tersebut mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem administrasi yang jelas.

Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering disebut preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak

      

62

Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-II/BB. hal. 19-24

memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai organisasi resmi kepada pemerintah, partai politik, maupun organisasi kemasyarakatan dan lain- lain. Bahkan di mata pihak keamanan kota, kelompok-kelompok preman itulah yang seharusnya diberantas atau “didekati” karena ada anggapan bahwa banyak kerusuhan yang terjadi di kota, didalangi oleh preman. Tetapi apapun alasannya sepanjang daya serap sektor formal masih sangat terbatas, serta tingkat putus sekolah masih tinggi, maka fenomena preman masih akan sulit ditiadakan. Lebih-lebih dalam keadaan dimana kepastian hukum tidak berjalan, atau keadaan kurang aman, maka kehadiran preman justru menjadi sentral. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan menawarkan dirinya untuk dijadikan tenaga “pengaman” bayaran.

Dalam masa-masa awal kemerdekaan, belum banyak ditemukan perubahan menyangkut sifat segregatif pemukiman. Daerah tapal batas pemukiman masih tetap sebagai daerah rawan kerusuhan. Senggolan fisik dan kesalahpahaman saja dapat melahirkan perkelahian antar individu yang justru sering menjadi perkelahian antar kelompok kampung yang berlarut-larut. Peristiwa perkelahian seperti itu tetap sulit diredam terkait dengan belum berkurangnya jumlah pengangguran di setiap kampung. Daya serap lapangan pekerjaan di sektor formal sangat kecil, sementara angka drop out sekolah di kalangan pemuda tetap tinggi. Di satu sisi sektor formal semakin mengutamakan pendidikan, sedangkan di sisi lain kesempatan memasuki sekolah masih terbatas. Bahkan proses penyelesaian pendidikan di sekolah pun amat berat. Tidak banyak anak muda yang dapat menyelesaikan sekolahnya hingga akhir.63

      

63

Kemiskinan menjadi persoalan utama di masyarakat Kota Medan. Banyak keluarga yang tidak dapat memberikan pendidikan sekolah secara formal kepada anak-anaknya karena tidak memiliki uang untuk membayar sekolah dan membeli peralatan belajar. Sementara program pemerintah untuk sektor

Gaya hidup di pusat Kota Medan merepresentasikan gaya hidup urban atau perkotaan, sedang yang lainnya merepresentasikan gaya hidup rural atau pedesaan. Sementara pada kawasan pinggir Kota Medan banyak para pendatang baru datang dan tinggal menetap dari berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sehingga kawasan pinggiran tersebut tumbuh menjadi kantong-kantong pemukiman kelompok etnis. Di sekitar pusat kota lama (daerah Kesawan dan Polonia) dihuni oleh para elit pemerintahan serta orang Cina dan Timur Asing yang bergerak di bidang perdagangan. Sementara itu di kawasan pinggiran Kota Medan bermukim kelompok-kelompok etnis Bumiputera yang juga hidup secara segregatif. Di pinggiran Kota Medan tersebut banyak terjadi kerawanan sosial seperti perampokan, penjambretan, perkelahian, berdirinya pondok-pondok prostitusi liar, dan tempat perjudian. Penyebab dari kerawanan sosial itu menurut Pelly berpangkal pada segregasi kehidupan pemukiman antar etnis, antar strata sosial, dan okupasi.64

Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari masing-masing kelompok etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis semakin terpelihara dan loyalitas kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan antar kelompok etnis yang identik dengan persaingan antar kampung (teritori) di Kota Medan tersebut memiliki potensi konflik (latent conflict) dalam kehidupan sehari-hari. Daerah-daerah perbatasan teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh kerusuhan berupa “perang massal” antar kampung. “Perang massal” ini biasanya dipelopori oleh para

       

pendidikan sangat kecil dan tidak memungkinkan untuk dinikmati oleh banyak kalangan warga miskin di Kota Medan.

64

pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau di kantong-kantong pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satu penyebab munculnya perkelahian antar kampung. Anak-anak muda di tiap kampung/pemukiman kelompok etnis di pinggiran Kota Medan, pada waktu itu, membentuk satuan-satuan pemuda dengan dasar solidaritas teritorial/etnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat satuan- satuan pemuda dengan nama: Cross-Boys Medan Baru, Jati Boys di Jalan Jati, Seri Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame, dan lain-lain. Satuan-satuan pemuda kampung itu juga merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat oleh kesadaran etnis dan teritorialnya. Akan tetapi walaupun bersatu dalam satu kesatuan “pemuda kampung”, namun antara pemuda menganggur dan pemuda sekolah tetap terdapat perbedaan. Pemuda bersekolah tetap melakukan kegiatan sehari-hari seperti pemuda pengangguran, duduk-duduk selepas sekolah di persimpangan jalan, mereka itu dinamakan cross-boys (anak-anak simpang) atau biasa juga disebut “pemuda roman”. Sedangkan pemuda kampung yang betul-betul menganggur dan hidup selamanya di jalanan, dinamakan “preman”.

Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada dasawarsa 1950-an hingga awal 1960-an.65 Di waktu itu sebagian anak- anak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah polanya yang “nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari kontrol orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda perempuan dan juga mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak

      

65

Era ini sering disebut “masa aman” karena dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi-aksi militer berkenaan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan dari tekanan musuh masih berlangsung. Para kumpulan pemuda di Kota Medan relatif lebih bebas melakukan kegiatan yang mereka inginkan.

jarang kelakuan mereka memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya “mejeng” anak muda dewasa ini. Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya yang disebut chips. Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai “preman lontong”.

Lain halnya dengan pemuda yang bernama “preman”. Mereka terdiri dari orang-orang pengangguran yang hidup di jalanan sambil “mencari makanuntuk kebutuhan sendiri, terutama di bioskop-bioskop terdekat. Mereka mengelola penjualan tiket melalui “sistem catut” atau black market. Kegiatan ini pada dasarnya “direstui” oleh pengelola bioskop, entah dengan terpaksa atau tidak. Namun dengan adanya kesempatan bagi preman itu untuk mengelola karcis “catut” maka kerusuhan di bioskop tidak terjadi. Orang lain tidak akan berani membuat kerusuhan di bioskop itu kalau tidak mau ambil resiko berkelahi dengan preman bioskop tersebut. Oleh sebab itu, menurut anggota-anggota preman itu sendiri, kehadiran mereka di salah satu bioskop itu dipandangnya sebagai satuan pengaman bagi bioskop itu sendiri. Keamanan di bioskop tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik atau pengelola bioskop itu sendiri.

Selain berfungsi mengamankan bioskop terdekat, kelompok preman ini juga merasa difungsikan mengamankan kampungnya sendiri. Atas dasar itulah, menurut beberapa preman era 1950-an dan 1960-an66, para orang tua kampung setempat selalu simpati pada preman ketika itu. Mereka tidak membuat kerusuhan di kampungnya dan sebaliknya karena mereka pula, orang dari kampung lain tidak berani membuat kerusuhan di

      

66 Di antara mereka yang dikenal sebagai preman adalah Effendi Nasution (Pendi Keling), Rosiman

(preman yang mengusai Medan Bioskop), Yan Paruhuman Lubis (Ucok Majestik), Paruhum Siregar. Selain itu, Effendi Nasution dan Rosiman juga dikenal sebagai petinju yang sering bertanding dalam turnamen yang diselenggarakan di Kota Medan.

kampung tersebut. Itu sebabnya anak-anak cross-boys yang tidak berhasil meneruskan sekolahnya, sebagian terjun ke dunia preman. Jarang pulang ke rumah, cari makan dan pakaian sendiri-sendiri di jalanan. Sedangkan yang mampu meneruskan sekolah, memperoleh manfaat, ada sebagian di antara mereka berhasil menduduki jabatan strategis di pemerintahan, militer atau perusahaan.

Oleh karena klain mereka disebut sebagai kelompok pengamanan, maka tidak jarang anggota preman itu membekali diri mereka dengan seperangkat keahlian “bela diri” (silat, karate, dan lain-lain). Bahkan menurut sebagian preman era 1950-an itu, tidak jarang di antara mereka juga harus memiliki ilmu batin, yang berarti “ilmu kebal”. Orang-orang yang memiliki “keahlian lebih” itulah yang muncul sebagai kapala bagi kelompoknya. Seorang yang menjadi kapala harus berani, kuat, disegani lawan dan kawan, bersifat setia dan melindungi anggota, serta mampu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan kelompoknya.

Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu kesatuan yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat, mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan sumber-sumber penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat yang lain. Hal ini menjadi suatu keharusan karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis, sepatu mengkilap ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah dan meminum minuman keras, menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan. Oleh karenanya, keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok

preman lain di bioskop yang terletak di kampung etnis lain juga tidak bisa dihindari.

Perkelahian antar kelompok preman pada dasarnya merupakan perkelahian antar kelompok warga etnis kampung tertentu. Preman kelompok etnis dari satu kampung tertentu menyerang dan merebut bioskop yang telah dikuasai preman kelompok etnis kampung yang lain. Demikian misalnya, pada era 1960-an awal, terjadi penguasaan bioskop- bioskop Kota Medan secara etnis. Bioskop Rex atau Mega Ria dikuasai oleh preman etnis Aceh, Astana Ria dikuasai oleh preman etnis Karo, Bioskop Morning dikuasai preman etnis Minangkabau, Bioskop Olimpia dikuasai preman etnis Toba, Bioskop Majestic dikuasai oleh preman etnis Mandailing, serta bioskop-bioskop yang lain dengan preman-preman dari etnis yang lain pula.