• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PADA PEMILU

3.4. Pentingnya Pendidikan Politik

Pola relasi yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1 yang dilakukan atas dasar simbiosis mutualisme dan transaksional berpotensi akan menghambat konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di tingkat lokat. Konsolidasi demokrasi yang dimaksud, salah satunya, adalah memastikan bahwa penyelenggaraaan pemilihan umum anggota legislatif dilakukan dengan mengutamakan prinsip kebebasan, kesetaraan politik (political equality) dan akuntabilitas lokal yang memadai. Sementara, pola relasi yang dilakukan oleh calon anggota DPR dengan organisasi pemuda di Dapil Sumut 1 pada saat Pemilu 2014 tidak mencerminkan kedua prinsip tersebut. Jika pola itu dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda, yang menjadi salah satu sumber dalam proses regenerasi kepemimpinan, maka jalan untuk menuju ke arah pemantapan pelaksanaan demokrasi akan ditempuh semakin panjang.

Hubungan simbiosis mutualisme yang dilakukan atas dasar transaksional dengan mengandalkan kekuatan uang menjadi penanda bahwa kebebasan, kesetaraan dan akuntabilitas politik akan semakin sulit diwujudkan. Padahal kedua persyaratan itu menjadi pesan penting untuk diwujudkan dalam proses berdemokrasi. Potensi hambatan tersebut akan berlangsung lama karena para pelakunya adalah calon pemimpin politik yang aktif di organisasi pemuda. Artinya bahwa pemahaman tentang pentingnya demokrasi yang terwujud dalam pelaksanaan pemilihan umum belum dimiliki secara utuh di kalangan pemuda. Kalau pemahaman tentang demokrasi belum dimengerti oleh pemuda, maka akan sulit meminta agar pemuda memiliki prilaku dan sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi sampai dapat disebut sebagai seorang demokrat.

Ruang untuk menjadi seorang demokrat telah disediakan oleh negara melalui aturan perundang-undangan yang memastikan hak-hak politik warga negara yaitu memilih dan dipilih terpenuhi. Itulah yang disebut demokrasi dalam konteks prosedural karena aturan pemilu telah memenuhi prinsip kebebasan, kesetaraan, dan akuntabilitasnya. Seharusnya demokrasi prosedural itu akan diiringi dengan prilaku dan sikap yang mengutamakan prinsip demokrasi atau disebut sebagai demokrasi substansial. Mewujudkan demokrasi substansi perlu langkah- langkah yang terencana dan bersifat holistik serta menjadi kemauan bersama terutama dari para pemimpin masyarakat. Menghargai kompetisi yang fair sebagai cara untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas merupakan salah satu contoh sikap seorang demokrat. Oleh karena itu, pembelajaran demokrasi harus dilakukan melalui pendidikan politik kepada para calon pemimpin yang berasal dari masyarakat itu sendiri.

Selama ini, pemahaman tentang pendidikan politik hanya menjadi tugas partai politik agar konstituen dan anggota partai memiliki pemahaman yang cukup tentang demokrasi. Pada saat yang sama, sumber rekrutmen anggota dan pengurus partai politik mayoritas berasal dari aktivis atau penggiat organisasi kemasyarakatan dan pemuda. Semestinya pendidikan politik diberikan sejak dini terutama kepada para pemuda apalagi yang tergabung dalam organisasi pemuda karena akan lebih mudah mengumpulkan kadernya melalui struktur organisasi yang ada. Kendala utama yang sering diperoleh – dari berbagai informasi – untuk melakukan pendidikan politik adalah minimnya sumber pendanaan kegiatan organisasi pemuda yang masih mengutamakan bantuan dari pemerintah.

Isu kemandirian dalam menopang aktivitas organisasi pemuda penting dikemukakan, karena bila kemandirian dalam pendanaan tidak ada, maka sikap ketregantungan dan keberpihakan terhadap kepentingan

pihak pemberi dana akan kerapkali menjadi sikap resmi organisasi pemuda. Ketiadaan dukungan dana secara mandiri ini juga yang menyebabkan para aktivis muda potensial memutuskan segera bergabung dengan partai politik, meskipun partai politik yang dimasukinya bukanlah partai kader yang bisa mengoptimalkan potensinya. Situasi ini secara struktural menempatkan pemuda pada struktur bawah dalam polarisasi patron-klien di partai politik. Konsekuensinya, para pemuda hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik pimpinan partai. Bila tujuan yang akan dicapai itu baik, tentu saja akan memberikan pengalaman berharga bagi pemuda, namun bila ternyata tujuan tersebut harus dicapai melalui tindakan-tindakan curang dan manipulatif, maka pemuda akan menjadi pewaris tindakan-tindakan koruptif tersebut.

Praktik politik dan calon anggota legislatif di Indonesia telah menyajikan fakta betapa sikap sportifitas hampir hilang dalam kompetisi untuk meraih kekuasaan politik, baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Pada saat pemilu legislatif 9 April 2014 yang lalu, terlepas dari regulasi yang menyebabkan para calon anggota legislatif dalam satu partai harus saling bersaing keras, praktik money politics terjadi begitu massif, baik di level pemilihan legislatif pusat maupun daerah. Organ penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi proses penyelenggaraan pemilu yakni Bawaslu dan jajarannya hingga ke desa/kelurahan, tidak sanggup mencegah terjadinya politik uang tersebut. Bahkan Bawaslu pun tidak sanggup menindak para pelaku dan aktor intelektual dari praktik yang tergolong modus korupsi tersebut. Lemahnya pengawasan dan penindakan menyebabkan warga pemilih menjadi permisif dengan politik uang dan tidak takut lagi dengan sanksi pidana penjara maupun denda yang telah termuat dalam UU Nomor 32 tahun 2004, meskipun sebenarnya nurani mereka juga tidak membenarkan. Dari sisi partai politik, telah jelas bahwa para calegnya telah “terlepas” dari pengawasan

pimpinan partai, sehingga pimpinan partai pun tak mampu menengahi upaya saling sikut antar caleg dalam satu daerah pemilihan.

Dalam pusaran konflik tersebut, di mana posisi pemuda kader parpol? Mereka terjebak ke dalam turbulensi praktik money politics. Sudah menjadi rahasia umum, modus money politics adalah dengan memberikan uang kepada pemilih, sesaat sebelum pemilih datang ke TPS yang dikenal dengan ‘serangan fajar’. Alamat pemilih yang disasar didapatkan melalui Daftar Pemilih Tetap (DPT), lalu pelaku menjalankan aksinya dari pintu ke pintu. Sering terjadi, warga pemilih telah lebih dahulu didatangi kompetitor, namun pelaku tidak peduli, dia terus menjalankan misinya karena memang posisinya adalah sebagai petugas pemberi. Pelaku atau petugas pemberi inilah yang didominasi oleh kaum muda yang memiliki energi, semangat dan belum banyak pertimbangan dalam memikirkan efek tindakannya. Mereka tidak sadar bahwa siklus korupsi dimulai dari proses rekruitmen politik yang sarat dengan tindakan manipulatif dan praktik politik uang. Kemenangan yang diraih caleg sebagai aktor intelektualnya, jelas amat bergantung dari para petugas (pemuda) yang melakukannya di lapangan.

Kurangnya pemahaman pemuda terhadap efek dari tindakannya diyakini banyak kalangan sebagai bukti minimnya pendidikan politik di kalangan kaum muda. Para pemuda yang melakukan praktik itu seperti terorganisir dalam satu wadah resmi yang sebenarnya diharapkan dapat melakukan transformasi ke tindakan demokrasi. Untuk memperkecil praktik yang tidak demokratis dalam pemilu, maka harus dilakukan pendidikan politik kepada pengurus dan kader-kader organisasi pemuda. Pendidikan politik akan memberikan materi ajar terkait pengertian politik sebagai sebuah ilmu dan seni untuk mewujudkan kesejahteraan masysrakat, arti dan pentingnya demokrasi, serta peran partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

BAB 4 PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Tumbuhnya beragam organisasi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara menandakan tingginya perhatian dan partisipasi masyarakat dalam aktifitas sosial politik terutama ketika pelaksanaan pemilihan umum. Provinsi Sumatera Utara memiliki 46 organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) telah terdaftar. Meskipun ada 46 OKP yang terdafar di Sumatera Utara, tetapi hanya Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK), dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) yang memiliki infrastruktur organisasi, kegiatan, dan anggota yang dikenal oleh mayoritas masyarakat di Sumatera Utara. Ketiga organisasi pemuda itu tidak terafiliasi dengan partai politik apapun.

Daerah Pemilihan (Dapil) Sumut 1 untuk Dewan Pemilihan Rakyat (DPR) yang meliputi Kota Medan, Kabupaten Deli serdang, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, menampilkan 119 calon anggota legislatif dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014. Hasil akhir dari pelaksanaan Pemilu 2014 pada 9 April 2014 telah terpilih 10 orang dari 119 calon anggota legislatif di Dapil Sumut 1. Hanya empat orang (Irmadi Lubis, Meutya Hafid, Hasrul Azwar, dan Nurdin Tampubolon) yang terpilih kembali menjadi anggota DPR Periode 2014-2019. Tifatul Sembiring dan Ruhut Poltak Sitompul terpilih kembali sebagai anggota DPR, tetapi pada Periode 2009-2014 bukan berasal dari Dapil Sumut 1. Sedangkan Mulfachri Harahap yang berhasil meraih suara terbanyak di PAN pernah terpilih sebagai anggota DPR Periode 2004-2009 dari Dapil Sumut 3, tetapi tidak terpilih pada Pemilu 2009. Dua orang disebut sebagai “wajah baru” yang mewakili Dapil Sumut 1 yaitu Prananda Surya Paloh dan dr. Sofyan Tan.

Melalui para tokoh organisasi pemuda, mayoritas calon anggota legislatif berupaya untuk bertemu dan berharap mendapat dukungan organisasi. Bentuk dukungan yang nyata di antaranya adalah tokoh dan pimpinan organisasi pemuda memerintahkan anggota masing-masing organisasi untuk memilih calon anggota DPR dan mencari tambahan suara. Selain itu, untuk meminimalisir kecurangan yang terjadi di TPS, maka pimpinan organisasi pemuda diyakini memiliki kemampuan untuk memberi perintah kepada kader-kadernya menjaga perolehan suara. Tidak hanya menjaga, tetapi lebih dari itu diupayakan menambah suara di TPS dengan cara apapun termasuk menggunakan ancaman.

Potensi kekuatan fisik yang dimiliki oleh organisasi pemuda di Sumatera Utara menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh calon anggota legislatif. Pada saat Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1 DPR, tercatat beberapa nama calon anggota legislatif yang menjadi anggota atau pengurus organisasi pemuda di tingkat pusat maupun daerah, seperti Ruhut Poltak Sitompul (Pemuda Pancasila), Akbar Himawan Bukhori (AMPI), Nurdin Tampubolon (GAMKI), Hardi Mulyono (Pemuda Pancasila), dan lain-lain. Keberadaan mereka akan berimplikasi pada perebutan basis suara yang diyakini dapat mendulang suara.

Calon anggota DPR Dapil Sumut 1 yang menjalin relasi dengan organisasi pemuda yaitu PP, IPK, dan FKPPI adalah Irmadi Lubis (PDIP, Nomor Urut 2) dengan Pemuda Pancasila, Meutya Hafid (Golkar, Nomor Urut 2) dengan Pemuda Pancasila, Hardi Mulyono (Golkar, Nomor Urut 10) dengan Pemuda Pancasila, Ruhut Poltak Sitompul (Demokrat, Nomor Urut 1) dengan Pemuda Pancasila dan FKPPI, Hasrul Azwar (PPP, Nomor Urut 1) dengan Pemuda Pancasila, dan Nurdin Tampubolon (Hanura, Nomo Urut 1) dengan Pemuda Pancasila dan FKPPI.

Bentuk transaksi yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda adalah memberikan dukungan suara kepada calon anggota DPR Dapil Sumut 1 dengan beberapa persyaratan seperti menyerahkan bantuan dana untuk operasional kegiatan pemenangan dan memberikan bantuan untuk kelancaran organisasi dan pribadi tokoh organisasi pemuda. Pola relasi yang dibentuk oleh tokoh organisasi pemuda ditandai oleh adanya koalisi yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Koalisi tersebut bekerja untuk membangun akses kekuasaan negara dan sumber-sumber daya lokal dengan cara merasionalkan pentingnya uang pada masyarakat yang sedang membutuhkannya. Pola relasi baru menjadi tumbuh subur pada saat sistem pemilu sangat memungkinkan konstelasi kekuasaan relatif dikendalikan oleh kepentingan elit organisasi pemuda.

4.2. Rekomendasi

Setelah mengetahui bentuk transaksi dan pola relasi yang dilakukan oleh tokoh dan pimpinan organisasi pemuda dengan calon anggota DPR RI Dapil Sumatera Utara 1, maka rekomendasi dari penelitian ini adalah:

a. Melakukan sosialisasi hasil penelitian kepada aktivis organisasi pemuda dan mahasiswa tentang bentuk transaksi dan pola relasi dalam menentukan pilihan politik terkait dengan dukungan yang diberikan dari tokoh dan pimpinan organisasi pemuda kepada calon anggota legislatif. Bentuk transaksi dan pola relasi yang mengutamakan imbalan secara langsung dalam bentuk simbiosis mutalisme akan menjadi penghambat dalam proses konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.

b.Menghimpun pendapat dari narasumber yang ahli untuk menyusun model pendidikan politik yang harus dilakukan anggota legislatif

dengan organisasi pemuda dengan dua judul, yaitu “Pemuda Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu”. Para ahli yang dijadikan narasumber adalah ilmuwan politik, tokoh pendidikan, pejabat birokrasi yang terkait dengan bidang tugas organisasi pemuda. Penyusunan model pendidikan politik tersebut akan diuraikan dalam bentuk kurikulum pendidikan politik yang dapat dijadikan sebagai bahan bagi anggota legislatif dalam menjalankan tugasnya melakukan pendidikan politik kepada konstituennya. Kurikukum akan dilengkapi dengan Satuan Acara Pembelajaran (SAP) dari Modul Mata Pelajaran yang akan dijadikan sebagai pedoman. c. Proses penyusunan modul pendidikan politik dengan judul “Pemuda

Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu” dilakukan melalui desk study, focus group discussion (FGD), dan wawancara mendalam.

d.Hasil rumusan penyusunan modul pendidikan politik akan dilakukan seminar terbatas dengan para ahli tertentu untuk mendapatkan masukan berupa ide-ide tentang aspek-aspek yang luput dari perhatian peneliti. e. Model pendidikan politik yang berjudul “Pemuda Sebagai Sumber

Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu” akan ditawarkan kepada pemerintah daerah, organisasi pemuda, dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk digunakan dalam program pendidikan politik di organisasi pemuda masing-masing. Peneliti akan menjajaki program kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melakukan pendidikan politik yang terprogram dan dilakukan secara terus-menerus bagi kader-kader organisasi pemuda yang berminat meniti karir sebagai politisi.

f. Peran organisasi pemuda di dalam momentum dan ajang demokrasi seperti pemilihan umum hendaknya mengedepankan prinsip kemandirian dan independensi, agar bangunan organisasi tidak

terpecah belah oleh konflik kepentingan, baik berupa konflik vertikal (antara pengurus di level atasan dengan level di bawahnya) maupun konflik horisontal (antar anggota dalam satu level kepengurusan). g.Proses regenerasi kepemimpinan politik salah satunya bersumber dari

organisasi pemuda yang hendaknya dilakukan dalam wujud internalisasi nilai-nilai kebangsaan, religiusitas, inklusifitas, serta moral antikorupsi, agar dalam momentum perhelatan demokrasi, pemuda tidak dijadikan alat menumbuhsuburkan praktik money politics oleh kelompok kepentingan yang tidak berpihak kepada keadilan. Relasi dalam pemberian dukungan politik yang dilakukan secara transaksional menjadi awal mula terjadinya korupsi di lembaga- lembaga eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah. Transaksi yang mengutamakan kekuatan uang menjadi penanda bahwa proses rekrutmen politik saat pemilu yang sarat dengan praktik-praktik money politics. Untuk memutus siklus tersebut maka penting untuk membersihkan jiwa generasi muda agar memiliki resistensi terhadap aneka bentuk korupsi yang ingin diwariskan oleh politikus generasi sebelumnya.

h.Pemerintah pusat dan daerah hendaknya memberi perhatian lebih terhadap pengembangan potensi kepemudaan, antara lain dengan membuat program-program yang mampu memberikan pendidikan politik yang benar kepada pemuda, serta menciptakan pemuda menjadi agen-agen perubahan yang memiliki jiwa patriotisme dan tanggung jawab, baik melalui lembaga pendidikan maupun lembaga kemasyarakatan.