• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi merupakan bagian dari fungsi bahasa. Di sebuah masyarakat, lingkungan pendidikan bahkan di Pasar sekalipun manusia sering melakukan interaksi. Dengan adanya interaksi bahasa tersebut berarti manusia melakukan sebuah kontak sosial dan komunikasi.

Menurut Suharsono (2003: 64) bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan antara orang-orang, perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi

sosial dimulai pada saat itu, mereka saling menegur, berjabat tangan, saling bicara atau bahkan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu, adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, kontak sosial yang bersifat negatif pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan interaksi sosial.

Apabila seorang pedagang menawarkan barang dagangannya kepada calon pembeli serta diterima dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya jual beli, maka kontak tersebut bersifat positif. Lain halnya, apabila pembeli tampak bersungut-sungut sewaktu ditawarkan barang dagangan maka, kemungkinan besar tidak akan terjadi jual beli. Dalam hal ini terjadi kontak negatif yang menyebabkan tidak berlangsungnya interaksi sosial. Dalam interaksi mencakup tiga hal, yaitu diglosia, alih kode, dan campur kode.

a. Diglosia

Di dalam masyarakat bahasa khususnya di daerah Sungguminasa bahasanya sangat bervaiatif. Sebagian daerah tertentu ada yang menggunakan bahasa Makassar sebagian daerah lain ada yang menggunakan bahasa Bugis bahkan ada pula yang menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 92) bahwa keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa

yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu disebut diglosia. Ferguson juga membagi pengertian diglosia menjadi tiga yaitu:

1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek utama (lebih tepat, ragam-ragam utama) dari satu bahasa terdapat ragam lain.

2) Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa dialek biasa, dan bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.

3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri: Sudah sangat terkodifikasi. Gramatikalnya lebih komplek. Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati. Dipelajari melalui pendidikan formal. Digunakan dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal. Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.

Kriteria diglosia yang sangat penting menurut Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 93) adalah bahwa dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi dan yang kedua disebut dialek rendah.

Dengan demikian bahwa masyarakat Sungguminasa khususnya para penjual pembeli merupakan masyarakat bahasa (masyarakat tutur) yang memiliki variasi bahasa dan ini bisa mengakibatkan timbulnya bahasa

campuran (campur kode) dan peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain atau biasa disebut alih kode.

b. Alih Kode

Menurut Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 106) alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi yang disebabkan oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab tertentu.

Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) menyatakan bahwa alih kode adalah apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Fasold (dalam Chaer dan Leoni, 2004: 115) berpendapat bahwa alih kode adalah apabila suatu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatikal bahasa lain.

Variasi bahasa lain yang dapat dijumpai dalam pergaulan masyarakat adalah peralihan kode yang digunakan untuk menyesuaikan diri penutur dengan peran. Di samping penyesuaian peran yang dihadapi oleh penutur, alih kode juga dapat di sebabkan oleh dorongan batin penutur, misalnya karena adanya perasaan kecewa, ketidakpuasan dan tanggapan terhadap sesuatu yang sedang dialami dan dilihat pada saat itu.

Istilah bahasa kadang-kadang digunakan dalam makna yang sama dengan istilah kode, namun mengandung arti yang lebih umum dan biasanya

berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota masyarakat bahasa (Thaha, 1985:4). Alih kode tidak terjadi secara kebetulan, tetapi berhubungan erat dengan berbaga situasi tertentu, misalnya perubahan dalam situasi penuturan, perubahan kehendak atau suasana hati penutur secara tiba-tiba atau karena faktor kompetensi berbahasa dan berbagai faktor kebahasaan lainnya (Thaha, 1985:5).

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila seorang penutur menggunakan kode A (misalnya dalam bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misanya bahasa Makassar), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti ini disebut alih kode (code switching).

Dalam alih kode, penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh setiap bahasa mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya dan (berkategori) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Syamsuddin dkk., (1997:121) mengatakan bahwa alih kode merupakan salah satu aspek analisis percakapan yang lengkap di dalam pembahasan wacana dialog dan alih kode erat pula hubungannya dengan sistem bertutur, peristiwa tutur, tindak tutur, variasi bahasa, dan ragam bahasa tutur. Bahkan, erat sekali hubungannya dengan rasa berbahasa dan tatakrama berbicara dalam percakapan pada semua tingkatan atau status pemakai bahasa.

Kridalaksana (2001: 7) mengemukakan bahwa alih kode adalah penggunaan-variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau keadaan lain. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah dalam bentuk penyesuaian bahasa dalam tindak tutur dari penutur kepada lawan tuturnya apabila ada istilah yang dapat dipahami oleh lawan tuturnya.

Alih kode dapat pula terjadi karena beralihnya persoalan ke persoalan yang lain yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Pateda (1992: 85) bahwa alih kode adalah peralihan kode. Seperti yang dikemukakan oleh Appel, yaitu siapa yang berbicara dan mendengar, pokok pembicaraannya, konteks verbal, bagaimana bahasa dihasilkan, dan bekas pembicaraan (Pateda, 1987: 36).

c. Campur Kode

Di dalam bahasa Indonesia sering ditemui suatu keadaan ketika seseorang mencampur dua atau lebih bahasa dalam satu tindak berbahasa.

Apabila diperhatikan hubungan antara kemampuan dalam dua bahasa tersebut pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laku dalam kedua bahasa tersebut adalah berpisah dan bekerja secara sendiri-sendiri yang dapat menyebabkan terjadinya campur kode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, campur kode adalah (1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di

dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya (Depdikbud, 2005: 168).

Nababan (1984: 32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa yang lain ialah bagaimana orang mencampur dua atau lebih bahasa ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa.

Dalam kondisi demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.

Kridalaksana (2001: 35) mendefinisikan campur kode sebagai penguraian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk mempertegas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hymes bahwa campur kode ini bukan hanya terjadi antar bahasa, melainkan dapat pula terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya dalam suatu bahasa (Chaer dan Agustina, 2004: 142).

Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara konsisten dan apabila dalam satu tuturan terjadi pencampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama (Suwito, 1983: 77). Apabila dalam suatu tuturan terjadi pencampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode (Suwito, 1983: 76).

Peristiwa campur kode lazim terjadi di dalam masyarakat yang dwibahasa ataupun yang multibahasa. Keduanya memiliki persamaan yang besar sehingga seringkali susah dibedakan. Persamaaanya ialah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua variasi dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur, rasional, alih gaya atau alih register berhadapan dengan lawan tutur.

Menurut Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) campur kode adalah apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari kalusa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid prases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:

115) menyatakan bahwa campur kode adalah apabila seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari suatu bahasa.

Dokumen terkait