• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELI DI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELI DI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA KABUPATEN GOWA"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

Variety of Languages in Interaction in the Central Market Buy Sell Sungguminasa Gowa

TESIS

ANDI RAHMANIA NIM: 04.06.645.2011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

(2)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia Disusun dan Diajukan oleh

ANDI RAHMANIA NIM: 04.06.645.2011

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

(3)

Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa Nama Mahasiswa : Andi Rahmania

NIM : 04.06.645.2011

Program Studi : Pendidikan Bahasa

Kekhususan : Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum.

Ketua Sekretaris

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana

Pendidikan Bahasa Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Sastra Indonesia,

Dr. Abd, Rahman Rahim, M. Hum. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd.

NBM 866922 NBM 988463

(4)

SURAT KETERANGAN PERBAIKAN TESIS Berdasarkan Hasil Ujian tesis Program Magister:

Nama : Andi Rahmaniah

No.Pokok : 04.06.645.2011

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Tesis :Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa

oleh Tim Penguji, harus dilakukan perbaikan. Perbaikan tersebut dilakukan dan telah disetujui oleh Tim Penguji.

No Nama Tim Penguji Jabatan Disetujui

Tanggal Tanda

Tangan 1. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. Ketua

2. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Sekretaris 3. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M.,M.Pd. Anggota 4. Dr. Abd, Rahman Rahim, M. Hum. Anggota

(5)

Syukur alhamdulillah, penulis ucapkan ke hadirat Allah subhanahu wa taala berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Kekhususan Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penyusunan tesis ini banyak mendapat bantuan dalam bentuk bimbingan, petunjuk, saran, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Pertama-tama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Tadjuddin Maknum, S.U.

pembimbing I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar beserta staf, yang telah memberikan bantuan dan kemudahan kepada penulis, baik pada waktu mengikuti perkuliahan,

(6)

telah membekali penulis berbagai pengetahuan selama perkuliahan sampai pada hasil penelitian ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada yang tercinta suami tercinta dan anakda yang tersayang, serta seluruh keluarga yang senantiasa setia mendoakan penulis agar dapat meraih kesuksesan.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat terhadap pengembangan bahasa Indonesia, khususnya ragam berbahasa. Semoga bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak mendapatkan pahala dari Allah Swt.

Makassar, Juni 2014 Penulis,

(7)

Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. Tesis. Dibimbing oleh Tadjuddin Maknun sebagai Pembimbing I dan Andi Sukri Syamsuri sebagai Pembimbing II.

Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan (1) Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. (2) Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. (3) Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian ini adalah tuturan yang diperoleh dari peristiwa tutur antara penjual dan pembeli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. Bahasa merupakan objek penelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi subjek dalam penelitian ini. Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli, yang terjadi dalam transaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2013. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu metode observasi, simak, rekam, dan catat. Analisis data dilakukan dengan menganut alur analisis data model alir yang mencakup empat langkah kegiatan, yakni (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan/verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas (a) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Makassar; (b) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek Makassar; (c) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Bugis; (d) Penjual menggunakan bahasa Indonesia dialek Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta; (e) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta; (f) Penjual menggunakan bahasa Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia; (g) Penjual menggunakan bahasa Makassar alih bahasa Indonesia dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia; (h) Penjual menggunakan bahasa Makassar alih bahasa Bugis dan pembeli menggunakan bahasa Bugis; (i) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar atau bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. (2) Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas (a) tujuan transaksi; (b) hubungan penjual dengan pembeli bersifat personal: (c) tawar-menawar; (d) penjual di dalam interaksinya mengembangkan persuasi verbal; (e) pembeli dalam interaksi mengembangkan persuasi verbal. (3) Tingkat tutur penjual dan pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas tingkat tinggi, sedang, dan madya.

(8)

Buy Sell Sungguminasa Gowa. Thesis. Guided by Tadjuddin Maknun as Supervisor I and Andi Sukri Syamsuri as Supervisor II.

The purpose of this study is to describe (1) The form of buying and selling a variety of language in the Central Market Sungguminasa Gowa. (2) The pattern of interaction in the buying and selling interaction in Central Market Sungguminasa Gowa. (3) The level of speech used in the interaction of buyers and sellers in the sale of Central Market Sungguminasa Gowa.

This study used a qualitative approach. The data of this study were obtained from the speech said events between sellers and buyers in the Central Market Sungguminasa Gowa. Language is an object of research and the use of language (sellers and buyers) to subjects in this study. Sources of data in the form of speech sellers and buyers, which occurs in the sale and purchase transactions in the Central Market Sungguminasa Gowa conducted from May to July 2013. Methods used in collecting the data is the method of observation, see, record, and record. Data analysis was performed by following the flow of data analysis models that include a four-step flow of activities, namely (1) data collection, (2) data reduction, (3) presentation of data, and (4) conclusion / verification.

The results showed that (1) The form of buying and selling a variety of language in the Central Market Sungguminasa Gowa consisting of (a) the seller and the buyer to use the native language; (b) Sellers and buyers using Indonesian Makassar dialect; (c) The seller and the buyer uses the Bugis language; (d) The seller uses dialect Makassar Indonesian and Indonesian buyers using Jakarta dialect; (e) Sellers and buyers using Jakarta Indonesian dialect; (f) The seller and the buyer to use the native language using Indonesian; (g) The seller uses the native language than Indonesian and Indonesian buyers use; (h) Seller uses language interpreter Bugis Makassar and Bugis buyers use; (i) The seller and buyer using mixed language code of the language or languages of Bugis and Makassar Indonesian. (2) The pattern of interaction in the buying and selling interaction in Central Market Sungguminasa Gowa consisting of (a) the purpose of the transaction; (b) the buyer seller relationship is personal: (c) a bargain; (d) the seller interaction in the developing verbal persuasion; (e) a buyer in the interaction develop verbal persuasion. (3) The level of said sellers and buyers on the buying and selling interaction in Central Market Sungguminasa Gowa consists of high-level, medium, and intermediate.

(9)

HALAMAN PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 9

A. Kajian Pustaka 9

1. Sosiolinguistik 9

2. Masyarakat Bahasa 14

3. Bahasa 15

4. Komunikasi 24

5. Interaksi dan Situasi Kebahasaan 26

6. Peristiwa Tutur 33

7. Tingkat Tutur 35

(10)

BAB III METODE PENELITIAN 42

A. Variabel dan Variabel Penelitian 42

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 44

C. Definisi Istilah 44

D. Data dan Sumber Data 44

E. Metode Pengumpulan Data 45

F. Teknik Analisis Data 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49

A. Hasil Penelitian 49

B. Pembahasan Hasil Penelitian 80

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 86

A. Simpulan 86

B. Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 89

LAMPIRAN 92

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap kelompok sosial manusia yang ada dalam suatu masyarakat selalu melakukan proses interaksi sosial, yaitu suatu interaksi antaranggota kelompok dalam masyarakat, baik yang bersifat verbal maupun yang bersifat nonverbal. Proses interaksi sosial yang bersifat verbal menggunakan bahasa sebagai medium sentralnya. Bentuk-bentuk proses interaksi sosial, seperti musyawarah, bertegur sapa, negosiasi, diskusi, berkhotbah, dan bercerita merupakan aktivitas sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium verbal utamanya, sedangkan proses interaksi sosial, seperti kerja bakti, pertandingan sepak bola, menari, cara duduk merupakan aktivitas sosial yang mempunyai medium nonverbal sebagai sentralnya (Santoso, 2003:23).

Interaksi antarmasyarakat dalam berbagai konteks tersebut menempatkan bahasa sebagai medium yang esensial. Bahasa juga menjadi faktor pembeda yang utama antara manusia dengan makhluk lainnya. Melalui bahasa, manusia dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya, baik secara lisan maupun tertulis kepada orang lain.

Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi satu dengan yang lain sepanjang hidupnya. Manusia yang hidup senantiasa

1

(12)

membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Agar manusia dapat berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain dengan sempurna (efektif), diperlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Tanpa bahasa, komunikasi yang efektif tidak akan tercipta karena hanya bahasa yang mampu menyampaikan sesuatu yang dirasakan dan diinginkan seseorang kepada orang lain dengan jelas.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Keraf (1984: 32) yang menyatakan bahwa dengan adanya bahasa, maka semua yang berada di alam sekitar mendapat tanggapan dalam pikiran manusia dan diungkapkan kembali sebagai bahan komunikasi. Bahasa memungkinkan setiap orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Di samping itu, bahasa dapat menjadi alat untuk mengekspresikan diri dalam mempengaruhi tingkah laku orang lain. Menurut Trudgill (1987: 2), fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi adalah alat untuk menyatakan diri dan wahana untuk memeliharan hubungan dengan orang lain.

Dewasa ini, sangat sedikit orang yang hanya menguasai satu bahasa (monolingual). Kedwibahasaan merupakan fenomena yang paling umum pada masyarakat dewasa ini. Penggunaan dua bahasa dalam berkomunikasi terjadi dalam semua ranah atau domain, termasuk ranah jual beli di pasar.

Fenomena penggunaan dua bahasa atau lebih dalam ranah jual beli jelas bukan sesuatu yang janggal. Penggunaan bahasa harus sesuai dengan

(13)

keadaan (situasi) pada ucapan, tujuan, dan suasana yang ada (Hymes- SPEAKING) (Hymes, 1972).

Manusia dalam kehidupan berkomunikasi dan berinteraksi sebagai bentuk dari aktivitas sosial. Salah satu alat yang digunakan untuk berkomunikasi, baik antarindividu maupun kelompok adalah bahasa. Chaer (2003: 32) mendefinisikan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri, dan sebuah bahasa diperoleh ketika masih anak-anak hingga dewasa. Di daerah Kabupaten Gowa, bahasa komunikasinya sangat variatif. Sebagian ada yang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Makassar, kadang bahasa Bugis, dan bahasa Jawa. Hal tersebut disebabkan oleh keadaan geografisnya, yaitu letaknya yang berdekatan dengan Kota Makassar dan penduduk yang bermukim di daerah ini berasal dari berbagai daerah. Di daerah ini, bisa dikategorikan masyarakat bahasa atau masyarakat tutur, karena sedikitnya telah menguasai tiga bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan berbahasa Jawa, terutama orang Jawa yang sudah lama tinggal dan bermukim di wilayah Sungguminasa.

Ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam kajian sosiolinguistik, karena sosiolinguistik mengkaji tentang ciri-ciri khas variasi bahasa, dan bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam sebuah masyarakat tertentu. Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki kaidah-

(14)

kaidah. Penggunaan bahasa yang tentu sudah disepakati oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri, sehingga dapat terjadi komunikasi yang efektif antara pengguna bahasa, karena masyarakat pengguna bahasa tersebut sudah mengetahui arti dan maksud tentang bahasa yang digunakan.

Menurut Rahardi (2001: 13) sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan bahasa dengan masyarakat khususnya masyarakat penutur bahasa.

Salah satu perwujudan ragam dan variasi bahasa dapat dijumpai dalam keramaian dan interaksi sosial seperti di pasar. Pasar merupakan tempat penjual dan pembeli bertemu, barang dan jasa tersedia untuk dijual dan akan terjadi pemindahan hak milik (Suharsono, 2003: 50). Pertemuan penjual dan pembeli memungkinkan tejadinya interaksi sosial. Dalam interaksi hampir tidak mungkin tanpa melibatkan bahasa meskipun dalam batas-batas tertaentu dimungkinkan manusia berintraksi tanpa menggunakan bahasa, akan tetapi kesempurnaan interaksi itu hanya dapat dijamin melalui bahasa.

Dalam proses komunikasi di pasar, interaksi dapat bermacam-macam bentuknya, misalnya bekerja, bermain-main, bersenda gurau dan salah satunya adalah tawar-menawar dalam jual beli antara penjual dan pembeli.

Proses inilah yang memicu situasi kebahasaan dengan berbagai jenis dan bentuknya.

(15)

Dalam interaksi sosial di pasar seperti tawar-menawar di dalamnya tentu melibatkan bahasa. Dengan demikian, tawar-menawar termasuk salah satu peristiwa tutur (speech event). Sebagai salah satu peristiwa tutur, wujud pemakaian bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti situasi dan peristiwa, peserta tutur, tujuan berbicara, norma-norma interaksi dan sebagainya (Suharsono, 2003: 1). Kegiatan tawar menawar yang dipengaruhi faktor tersebut, sudah tentu akan mengakibatkan pemakaian bahasa yang beragam. Misalnya, dari segi penutur yaitu penjual dan pembeli yang berasal dari berbagai latar belakang, geografis dan status sosial yang berbeda, maka tuturan yang muncul akan berbeda pula.

Perlu ditekankan bahwa keragaman bahasa itu disebabkan karena adanya para penutur yang tidak heterogen, tetapi dalam wacana jual beli terutama jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa, juga disebabkan adanya hubungan keintiman antara penjual dan pembeli. Tuturan antara penjual dan pembeli yang sudah kenal dan akrab karena seringnya pembeli berbelanja di tempat tersebut. Akan berbeda dengan bentuk tuturan antara penjual dengan pembeli baru yang belum kenal sama sekali. Pada dasarnya, ragam bahasa yang digunakan dalam jual beli mempunyai makna tertentu. Tawar menawar akan menghasilkan ragam bahasa yang berbeda. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian ragam bahasa bagi penutur di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

(16)

Pengamatan sepintas di Pasar Sentral Sungguminasa menunjukkan bahwa dwibahasawan seringkali menggunakan bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian, bergantung pada keadaan pertuturan.

Pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian disebabkan oleh faktor- faktor tertentu lazim dinamakan alih kode (code switching). Variasi atau ragam bahasa tersebut terjadi akibat faktor sosial dan tujuan komunikasi.

Misalnya, pembeli yang awalnya menggunakan bahasa Indonesia saat mengawali percakapan dengan penjual, lalu beralih ke bahasa Makassar. Hal ini disebabkan oleh keinginan pembeli untuk mengakrabkan diri dengan penjual dengan harapan dan dispensasi harga yang ditawarkan.

Penelitian tentang variasi bahasa dalam situasi jual beli masih kurang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian Pomiati (2001) dengan judul penelitian “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Daging Sapi di Pasar Pagi Pemalang, Cilacap dengan Kajian Sosiolinguistik”. Penelitian lain yakni Sidiq (2004) yang mengkaji tentang alih kode dan campur kode dalam khotbah Jumat di Kabupaten Selayar. Penelitian Nuraeni (2010) dengan judul ”Alih Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa pada Ranah Keagamaan (Analisis Pemakaian Bahasa Majelis Taklim) di Kabupaten Gowa”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak peristiwa alih kode dan campur kode dalam khotbah Jumat tersebut (dari bahasa Indonesia ke bahasa Selayar, dan ke bahasa Arab). Hal ini dipengaruhi oleh faktor situasi penutur (jamaah), ingin menghibur, gengsi, dan menekankan maksud (isi) khotbah yang

(17)

disampaikan. Kurangnya penelitian ragam bahasa dalam situasi jual beli memotivasi penulis mengkaji masalah yang relevan dengan judul ”Ragam Bahasa Indonesia pada Interaksi Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa?

2. Bagaimana pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa?

3. Bagaimana tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini bertujuan mendeskripsikan:

1. Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

(18)

2. Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

3. Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan untuk perkembangan linguistik pada umumnya dan kajian sosiolinguistik pada khususnya. Selain itu, penelitian ini dapat menambah perbendaharaan peristilahan dalam ragam jual beli. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli bagi masyarakat di Sungguminasa.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca untuk dapat menggunakan bahasa sebagai cara untuk menghormati seseorang yang diajak berbicara di pasar dalam komunikasi jual beli. Hasil penelitian ini dapat pula dijadikan referensi peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang memunyai kaitan sangat erat. Untuk memahami sosiolinguistik, terlebih dahulu dibicarakan yang dimaksud dengan sosiologi dan linguistik. Sosiologi telah banyak batasan yang telah dibahas oleh para sosiolog yang sangat bervariasi, tetapi intinya adalah bahwa sosiologi itu adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Mempelajari gejala sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, cara mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat.

Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu

9

(20)

antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial serta variabel linguistik yang dipergunakan dalam suatu kelompok, sambil berusaha mengorelasikan variabel tersebut dengan unit-unit demografik tradisional pada ilmu-ilmu sosial, seperti: umur, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, pengelompokan regional, status, dan lain-lain. Bahkan, pada akhir- akhir ini juga diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi- fungsi sosial dalam interaksi intrakelompok, untuk tingkatan mikronya, serta korelasi antara pemilihan bahasa dan fungsi sosial dalam skala besar untuk tingkat makronya (Ibrahim, 1995: 9).

Sosiolinguistik bukan sekadar mengacu kepada pemakaian data kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial. Sebaliknya, sosiolinguistik juga mengacu kepada data kemasyarakatan dan dianalisis ke dalam linguistik. Misalnya orang bisa melihat adanya dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa, kemudian mengaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis kelamin sehingga bisa disimpulkan, misalnya, ragam A didukung oleh wanita dan ragam B didukung oleh pria dalam masyarakat itu. Sebaliknya, orang bisa memulai dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi wanita dan pria, kemudian dianalisis bahasa atau tutur yang biasa dipakai wanita dan tutur yang biasa dipakai pria (Sumarsono dan Partana, 2004:49).

(21)

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, tetapi dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur (Fishman, 1972: 10).

Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik sehingga Kridalaksana (2001: 10) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara variasi bahasa dan perilaku sosial. Ia mengutip pendapat Fishman yang mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.

Sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dalam kritik sosial pemakaiannya. Tujuannya untuk menunjukkan kesepakatan-kesepakatan atau kaidah-kaidah penggunaan bahasa (yang disepakati oleh masyarakat), dikaitkan dengan aspek-aspek sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu.

Hudson (1987: 10) mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat dan sosiologi bahasa

(22)

merupakan kajian mengenai masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa. Selanjutnya, ia mengatakan sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa. Nababan (1984:

10) mengatakan sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.

Pateda (1992: 11) mengemukakan tentang sosiolinguistik tanpa menambah definisi yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya, bahwa dengan sosiolinguistik dapat terpanggil untuk mempelajari dan menyelesailcan konflik bahasa dan perencanaan bahasa di daerah tertentu, dengan mengemukakan komponen-komponen sosiolinguistik sebagai suatu cabang linguistik, kita (orang) mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya.

Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dan penutur, (2) identitas sosial dan pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dan dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dan penelitian sosiolinguistik (Dittmar, 1976: 11).

Ketujuh dimensi ini hanya tiga aspek yang berkaitan dengan kajian penelitian

(23)

ini, yaitu (1) identitas sosial dan penutur, (2) identitas sosial dan pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, dan (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi.

Identitas sosial dan penutur antara lain dapat diketahui dengan pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.

Identitas sosial dan pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur.

Identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik, kakak, paman, dan sebagainya), teman karib, guru, murid, tetangga, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.

Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur tejadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur.

Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara

(24)

dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.

Sehubungan dengan konsep konteks situasi, Hymes dalam artikelnya yang berjudul Model of Interaction of Language and Social Life (1972) membahas komponen tutur (speech component). Komponen tutur ini dianggap sebagai konteks sosial yang banyak mempengaruhi wujud wacana yang dituturkan oleh seseorang dalam suatu adegan tutur atau peristiwa tutur (speech event).

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa sosiolinguistik sebenarnya tidak memperhatikan “aturan permainan” dalam bahasa (tata bahasa), tetapi yang diperhatikan bagaimana pemakaian bahasa sehingga dapat menjalankan fungsinya semaksimal mungkin. Sebelum lahir sosiolinguistik, orang lebih banyak memperhatikan struktur. Setelah timbul konflik-konflik bahasa karena fungsinya, maka orang mencari jalan dan lahirlah sosiolinguistik. Dengan uraian ini, jelaslah bahwa sosiolinguistik lahir karena ingin menempatkan bahasa sesuai dengan fungsinya. Fungsi utama bahasa yakni sebagai alat komunikasi. Kalau demikian, sosiolinguistik banyak bersangkut-paut dengan bahasa sebagai alat komunikasi.

2. Masyarakat Bahasa

Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan yang disebut masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan

(25)

bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 36) masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidaknya mengenal satu variasi bahasa serta norma- norma yang sesuai dengan penggunaannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Sungguminasa merupakan masyarakat bahasa atau masyarakat tutur, karena sedikitnya telah mengusai tiga bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Bugis beserta norma-normanya. Pemakaian ketiga bahasa tersebut juga mempunyai peran dan fungsinya masing-masing.

3. Bahasa

a. Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakaan manusia bisa juga dikategorikan sebagai alat penghubung manusi dalam berkomunikasi dan berinteraksi denagan lawan bicara. Bagian-bagian yang terdapat dalam bahasa yaitu yang meliputi: pengertian bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa, dan ragam bahasa.

Menurut Kridalaksana (2007: 1) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang abriter yang dipergunakan dalam masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa dipergunakan manusia dalam segala aktivitas kehidupan. Dengan damikian, bahasa merupakan hal

(26)

yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Recing Koen (dalam Aslinda dan Safyahya, 2007: 5) menyatakan, bahwa hakekat bahasa bersifat mengerti, individual, kooperatif dan sebagai alat komunikasi.

Berdasarkan beberapa pandangan mengenai bahasa tersebut maka dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan interaksi sosial di dalam suatu masarakat yang berwujud lambang bunyi atau simbol yang bersifat abriter, konvsional dan bermakna yang dapat membentuk identitas pemakainya serta mengembangkan budaya suatu masyarakat tertentu.

b. Fungsi Bahasa

Menurut Soeparno (2002: 5) fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat.

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 14) fungsi bahasa secara tradisional kalau ditanyakan apakah bahasa itu, akan di jawab bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,dalam arti, alt untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan.

(27)

Dari pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulaan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan berinteraksi yang dilakukan manusia pada umumnya.

c. Ragam Bahasa

1) Pengertian Ragam Bahasa

Sebagai langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, faktor penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen. Oleh karena itu, wujud bahasa yang konkret disebut parole, menjadi tidak seragam. Dengan demikian, bahasa menjadi bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, melainkan juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam.

Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Marauke.

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium

(28)

pembicara. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.

Chaer dan Agustina (2004: 73) menyatakan bahwa berbicara mengenai variasi bahasa yang berkenaan dengan penutur dan penggunaanya secara konkret. Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa itu berkenaan dengan idiolek, dialek, soiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan register. Pembicaran tentang variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa yang juga melihat secara sosiolinguistik. Hanya bedanya dalam pembicaraan jenis ini bukan hanya berurusan dengan suatu bahasa, serta variasinya, juga berusaha dengan sejumlah bahasa baik yang dimiliki repertoir suatu masarakat tutur maupun yang dimiliki dan digunakaan oleh sejumlah masarakat tutur.

Chaer dan Agustina (2004: 61) mengemukakan variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik. Sedangkan variasi itu adanya bentuk yang lebih dari satu. Sumarsono dan Partana (2004: 31) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variasi atau ragam bahasa merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik sebagai perwujudan

(29)

interaksi masyarakat bahasa yang pemakaiannya disesuaikan berdasarkan fungsi, situasi dan perasaan sosial pemakaian bahasa itu sendiri.

2) Jenis Ragam Bahasa

Bahasa dapat dipandang secara diakronis dan sinkronis. Secara diakronis, dapat dibedakan tahapan-tahapan bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara sinkronis, variasi-vriasi bahasa dapat dibedakan menurut pemakaian bahasa dan pemakai bahasa. Dari segi pemakai bahasa dialek regional (geografis), terdiri atas (1) dialek sosial, (2) dialek khusus dan, (3) idiolek. Dari segi pemakaian bahasa, variasi-variasi bahasa disebut ragam bahasa, yang dapat dibagi menurut bidang pembicaraan, cara berbicara, dan hubungan di antara pembicara (Kridalaksana, 2007: 93).

Chaer dan Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa dari berbagai segi yaitu:

a) Variasi Bahasa dari Segi Keformalan (Situasi)

Berdasarkan tingkat keformalan (situasi) dapat dibagi atas:

(1) Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi.

Ragam resmi atau formal. Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Ragam ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar.

(30)

(2) Ragam usaha atau ragam konsultatif. Wujud ragam usaha ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.

(3) Ragam akrab atau ragam intim, adalah variasi bahasa yang biasanya digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan pengunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek- pendek, dan artikulasi yang sering kali tidak jelas.

(4) Ragam santai atau ragam kasual. adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang- bincang dengan keluarga atau teman akrab.

b) Variasi Bahasa dari Segi Sarana

Berdasarkan segi sarana dibagi menjadi dua tingkatan yaitu:

(1) Ragam lisan, menyampaikan informasi secara lisan dapat dibantu dengan nada suara, gerak-gerik tangan dan sejumlah gejala fisik lainya.

(2) Ragam tulisan, dalam berbahasa tulis lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang disusun bisa dipahami pembaca.

c) Variasi Bahasa dari Segi Penutur (Pemakai)

Berdasarkan penutur berarti, siapa yang menggunakan bahasa itu, apa jenis kelaminnya dan kapan bahasa digunakan. variasi dari segi penutur ada variasi yang disebut:

(1) Idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.

(31)

(2) Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.

(3) Sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial pada penuturnya.

(4) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada zaman tertentu.

d) Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian

Variasi dari segi pemakaian atau penggunaanya berarti bahasa untuk itu digunakan untuk apa, bidang apa, apa jalur dan alatnya dan bagaimana situasi keformalannya. Variasi bahasa menurut penggunaannya pemakaiannya fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakain menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa, sehingga muncullah beberapa ragam bahasa, seperti: (1) variasi bahasa atau ragam bahasa sastra, (2) ragam bahasa jurnalistik, (3) ragam bahasa militer, (4) ragam bahasa ilmiah, (5) ragam bahasa niaga atau perdagangan (ragam jual beli).

Menurut Soeparno (2002: 71-78) ragam bahasa atau variasi bahasa, dapat dibedakan atas:

(1) Variasi kronologis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh keurutan waktu atau masa (kronolek).

(32)

(2) Variasi geografis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor geografis atau regional(varia regional).

(3) Variasi sosial yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan sosiologis (sosiolek).

(4) Variasi fungsioal yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan fungsi pemakaian bahasa (fungsiolek).

(5) Variasi gaya yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan gaya bahasa (style).

(6) Variasi kultural yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan budaya masyarakatnya.

(7) Individual yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan perorangan (idiolek).

Dengan demikian variasi bahasa sangat ditentukan oleh faktor waktu, faktor tempat, faktor sosiokultural, faktor situasi dan faktor medium pengungkapan. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke masa. Variasi regional membedakan bahasa yang dipakai di satu tempat dengan yang ada di tempat lain atau disebut dialek sosial. Variasi situasional timbul karena pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi tertentu sehingga timbul adanya ragam bahasa formal dan informal. Faktor medium pengungkapan membedakan bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam bahasa juga dibagi menurut situasi, sarana, pemakai dan pemakaian.

Sedangkan ragam menurut situasi dibedakan atas formal dan informal.

(33)

Sedangakan menurut saran ragam bahasa dibedakan atas tulisan dan lisan.

Menurut pemakaian ragam bahasa dibedakan atas empat (4) macam yaitu idiolek, dialek, sosiolek dan kronolek. Sedangkan menurut pemakaian ragam bahasa dibedakan atas ragam jual beli, ragam sastra, ragam jurnalistik, ragam hukum dan ragam ilmiah sedangkan sosiolek dibedakaan atas pendidikan, pekerjaan, usia dan jenis kelamin.

3) Ciri-Ciri Ragam Bahasa Jual Beli

a) Wujud Tuturan Penjual dan Pembeli

Menurut Kridalaksana (2007: 248) bahwa tuturan dapat diartikan wacana yang menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu. Sedangkan wujud, diartikan sebagai bentuk. Wujud tuturan penjual dan pembeli diartikan bentuk ujaran penjual dan pembeli.

b) Pola Interaksi Penjual dan Pembeli

Suharsono (2003: 5-7) menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat sosial, misalnya yang berhubungan dengan diferensiasi kerja, tujuan interaksi, dan hubungan peranan di antara penjual dan pembeli, mempengaruhi pola interaksi jual beli, yang pada akhirnya mempengaruhi pula wujud dan bentuk tuturan. Mengenai model interaksi antara penjual dan

(34)

pembeli dapat diihat dari lima segi, yaitu: (a) sifat organisasi, (b) tujuan interaksi, (c) sifat hubungan, (d) harga.

Model interaksi antara penjual dan pembeli memiliki ciri-ciri berikut: (a) Memberi peluang pertukaran kata bersifat goal oriented, tetapi juga untuk mengembangkan hubungan interpersonal, (b) Hubungan bersifat interpersonal, tidak temporer, (c) Tawar menawar merupakan bagian tidak terpisahkan dalam interaksi penjual dan pembeli. (d) Masing-masing pelaku dalam interaksi mengembangkan persuasi verbal.

4. Komunikasi

a. Pengertian Komunikasi

Menurut Uchjana dan Effendi (2007: 9) istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata kommunis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama kata. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna apa yang sedang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasar, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat.

(35)

Chaer dan Agustina (2004: 17) mengutip dari webster menyebutkan komunikasi adalah proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Pengertian komunikasi itu paling tidak melibatkan dua orang atau lebih, dan proses pemindahan pesannya dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara komunikasi yang dilakukan oleh seseorang.

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 17) dalam setiap komunikasi harus ada komponen pokok, yaitu:

1) Partisipan, yaitu pihak yang berkomunikasi, pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan. Pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tentunya ada dua orang atau ada dua kelompok orang, yaitu pertama yang mengirim (sender) informasi, dan kedua yang menerima (receiver) informasi.

2) Informasi yang dikomunikasikan. Informasi yang dikomunikasikan tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan, atau pesan.

3) Alamat yang digunakan dalam komunikasi. Alat yang digunakan dapat berupa simbol atau lambang seperti bahasa.

Dengan demikian proses komunikasi akan berjalan dengan lancar dan bahasa sebagai media komunikasi apa bila dalam interaksi ditandai adanya umpan balik dari penerima pesan (receiver) atau lawan tutur kepada pengirim pesan (sender) atau penutur dan komunikasi menurut jenisnya dibagi menjadi dua macam yaitu verbal dan nonverbal.

(36)

b. Jenis Komunikasi

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 20) membagi jenis komunikasi menjadi dua macam:

1) Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal atau komunikasi bahasa adalah komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ini tentunya harus berupa kode yang sama-sama dipahami oleh pihak penutur dan pihak pendengar yaitu yang berupa bahasa tulis dan bahasa lisan.

2) Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan alat, seperti bunyi peluit, cahaya (lampu, api), isyarat bendera (semaphore).

5. Interaksi dan Situasi Kebahasaan

Interaksi merupakan bagian dari fungsi bahasa. Di sebuah masyarakat, lingkungan pendidikan bahkan di Pasar sekalipun manusia sering melakukan interaksi. Dengan adanya interaksi bahasa tersebut berarti manusia melakukan sebuah kontak sosial dan komunikasi.

Menurut Suharsono (2003: 64) bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan antara orang-orang, perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi

(37)

sosial dimulai pada saat itu, mereka saling menegur, berjabat tangan, saling bicara atau bahkan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu, adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, kontak sosial yang bersifat negatif pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan interaksi sosial.

Apabila seorang pedagang menawarkan barang dagangannya kepada calon pembeli serta diterima dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya jual beli, maka kontak tersebut bersifat positif. Lain halnya, apabila pembeli tampak bersungut-sungut sewaktu ditawarkan barang dagangan maka, kemungkinan besar tidak akan terjadi jual beli. Dalam hal ini terjadi kontak negatif yang menyebabkan tidak berlangsungnya interaksi sosial. Dalam interaksi mencakup tiga hal, yaitu diglosia, alih kode, dan campur kode.

a. Diglosia

Di dalam masyarakat bahasa khususnya di daerah Sungguminasa bahasanya sangat bervaiatif. Sebagian daerah tertentu ada yang menggunakan bahasa Makassar sebagian daerah lain ada yang menggunakan bahasa Bugis bahkan ada pula yang menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 92) bahwa keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa

(38)

yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu disebut diglosia. Ferguson juga membagi pengertian diglosia menjadi tiga yaitu:

1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek utama (lebih tepat, ragam-ragam utama) dari satu bahasa terdapat ragam lain.

2) Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa dialek biasa, dan bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.

3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri: Sudah sangat terkodifikasi. Gramatikalnya lebih komplek. Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati. Dipelajari melalui pendidikan formal. Digunakan dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal. Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.

Kriteria diglosia yang sangat penting menurut Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 93) adalah bahwa dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi dan yang kedua disebut dialek rendah.

Dengan demikian bahwa masyarakat Sungguminasa khususnya para penjual pembeli merupakan masyarakat bahasa (masyarakat tutur) yang memiliki variasi bahasa dan ini bisa mengakibatkan timbulnya bahasa

(39)

campuran (campur kode) dan peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain atau biasa disebut alih kode.

b. Alih Kode

Menurut Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 106) alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi yang disebabkan oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab tertentu.

Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) menyatakan bahwa alih kode adalah apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Fasold (dalam Chaer dan Leoni, 2004: 115) berpendapat bahwa alih kode adalah apabila suatu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatikal bahasa lain.

Variasi bahasa lain yang dapat dijumpai dalam pergaulan masyarakat adalah peralihan kode yang digunakan untuk menyesuaikan diri penutur dengan peran. Di samping penyesuaian peran yang dihadapi oleh penutur, alih kode juga dapat di sebabkan oleh dorongan batin penutur, misalnya karena adanya perasaan kecewa, ketidakpuasan dan tanggapan terhadap sesuatu yang sedang dialami dan dilihat pada saat itu.

Istilah bahasa kadang-kadang digunakan dalam makna yang sama dengan istilah kode, namun mengandung arti yang lebih umum dan biasanya

(40)

berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota masyarakat bahasa (Thaha, 1985:4). Alih kode tidak terjadi secara kebetulan, tetapi berhubungan erat dengan berbaga situasi tertentu, misalnya perubahan dalam situasi penuturan, perubahan kehendak atau suasana hati penutur secara tiba-tiba atau karena faktor kompetensi berbahasa dan berbagai faktor kebahasaan lainnya (Thaha, 1985:5).

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila seorang penutur menggunakan kode A (misalnya dalam bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misanya bahasa Makassar), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti ini disebut alih kode (code switching).

Dalam alih kode, penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh setiap bahasa mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya dan (berkategori) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Syamsuddin dkk., (1997:121) mengatakan bahwa alih kode merupakan salah satu aspek analisis percakapan yang lengkap di dalam pembahasan wacana dialog dan alih kode erat pula hubungannya dengan sistem bertutur, peristiwa tutur, tindak tutur, variasi bahasa, dan ragam bahasa tutur. Bahkan, erat sekali hubungannya dengan rasa berbahasa dan tatakrama berbicara dalam percakapan pada semua tingkatan atau status pemakai bahasa.

(41)

Kridalaksana (2001: 7) mengemukakan bahwa alih kode adalah penggunaan-variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau keadaan lain. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah dalam bentuk penyesuaian bahasa dalam tindak tutur dari penutur kepada lawan tuturnya apabila ada istilah yang dapat dipahami oleh lawan tuturnya.

Alih kode dapat pula terjadi karena beralihnya persoalan ke persoalan yang lain yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Pateda (1992: 85) bahwa alih kode adalah peralihan kode. Seperti yang dikemukakan oleh Appel, yaitu siapa yang berbicara dan mendengar, pokok pembicaraannya, konteks verbal, bagaimana bahasa dihasilkan, dan bekas pembicaraan (Pateda, 1987: 36).

c. Campur Kode

Di dalam bahasa Indonesia sering ditemui suatu keadaan ketika seseorang mencampur dua atau lebih bahasa dalam satu tindak berbahasa.

Apabila diperhatikan hubungan antara kemampuan dalam dua bahasa tersebut pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laku dalam kedua bahasa tersebut adalah berpisah dan bekerja secara sendiri-sendiri yang dapat menyebabkan terjadinya campur kode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, campur kode adalah (1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di

(42)

dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya (Depdikbud, 2005: 168).

Nababan (1984: 32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa yang lain ialah bagaimana orang mencampur dua atau lebih bahasa ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa.

Dalam kondisi demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.

Kridalaksana (2001: 35) mendefinisikan campur kode sebagai penguraian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk mempertegas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hymes bahwa campur kode ini bukan hanya terjadi antar bahasa, melainkan dapat pula terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya dalam suatu bahasa (Chaer dan Agustina, 2004: 142).

Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara konsisten dan apabila dalam satu tuturan terjadi pencampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama (Suwito, 1983: 77). Apabila dalam suatu tuturan terjadi pencampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode (Suwito, 1983: 76).

(43)

Peristiwa campur kode lazim terjadi di dalam masyarakat yang dwibahasa ataupun yang multibahasa. Keduanya memiliki persamaan yang besar sehingga seringkali susah dibedakan. Persamaaanya ialah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua variasi dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur, rasional, alih gaya atau alih register berhadapan dengan lawan tutur.

Menurut Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) campur kode adalah apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari kalusa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid prases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:

115) menyatakan bahwa campur kode adalah apabila seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari suatu bahasa.

6. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atu berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melebihi dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di Pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer dan Agustina, 2004: 47).

(44)

Percakapan yang tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan ditentukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap- cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti tidak disebut sebagai peristiwa tutur apabila memenuhi delapan komponen tutur, yang dihuruf-huruf pertanyaan dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING, Delhemes dalam (Chaer dan Leoni, 2004: 48) komponen itu adalah:

S = Setting and scene P = Partisipant

E = End: purpuse and goal A = Act sequncs

K = Key: tenor sepirit of act I = Instrumentalistis

N = Norm of interaction and interpretation G = Genres

Dari beberapa pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulaan bahwa komunikasi merupakaan proses pertukaraan informasi antar individu yang berupa simbol, tanda gerak, atau tingkah laku yang umum. Kemudiam jenis komunikasi di bagi menjadi dua bagian yaitu verbal dan nonverbal. Komunikasi yang dilakukan manusia pada umumnya ialah komunikasi verbal, sebuah komunikasi yang dilakukan oleh manusia yang menggunakaan bahasa lisan yang berupa kata atau kalimat yang terjadi pada peristiwa tutur itu dipengaruhi oleh tempat dan waktu, pihak yang

(45)

berkomunikasi, nada tutur, sarana tutur, jenis tutur. Di daerah Sungguminasa tidak menutup kemungkinan akan terjadi interaksi, karena daerahnya yang dekat dengan perbatasan maka akan menimbulkan variasi bahasa, dari variasi bahasa itu akan timbul campur kode dan alih kode sebagai alat komunikasinya, itu dikarenakan agar komunikasi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar. Berkomunikasi dan berinteraksi tidak akan terlepas pada peristiwa tutur.

7. Tingkat Tutur

a. Pengertian Tingkat Tutur

Tingkat tutur atau disebut dengan istilah undha usuk, Chaer dan Agustina (2004: 40) menyebutkan bahwa variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial. Dijelaskan adanya tingkat-tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur tersebut untuk mengetahui terlebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap lawan bicaranya.

Rahardi (2001: 52-53) menyebutkan bahwa tingkat tutur dapat dikatakan sistem kode dalam masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan mitra tutur.

b) Faktor yang Memengaruhi Tingkat Tutur

Mengenai berbagai faktor yang menyebabkan adanya bentuk tingkat tutur, Rahardi (2001: 53) membagi ke dalam beberapa faktor, yakni dihormati

(46)

atau tidak dihomati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosialnya, kekuatan dan pengaruh politisnya, alur kekerabatan, usia, jenis kelamin, dan kondisi psikisnya.

Tingkat sosial para penutur sangat menentukan dalam menentukan variasi tingkat tutur. Terdapat anggota masyarakat tertentu yang sangat perlu dihormati, tetapi ada juga golongan masyarakat yang tidak perlu mendapatkan penghormatan khusus.

Untuk mengetahui keterkaitan tersebut, Kuntjaraningrat dalam Chaer dan Agustina (2004: 39-40) membagi masyarakat terkecuali masyarakat di Sungguminasa atas empat tingkat, yaitu (a) masyarakat biasa, (b) golongan pedagang, (c) golongan pejabat, (d) golongan orang kaya. Penggolongan di atas jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Makassar, berdasarkan tingkat-tingkat sosialnya. Lebih jelasnya bahwa pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah.

c) Bentuk-Bentuk Tingkat Tutur

Sehubungan dengan tingkat tutur, bentuk tingkat tutur bahasa terbagi atas dua, yaitu tingkat tinggi dan tingkat rendah. Di antara tingkat tinngi dan rendah masih terbagi menjadi beberapa tingkat. Uhlenbeck (dalam Chaer

(47)

dan Agustina, 2004: 40) membagi tingkat variasi bahasa menjadi tiga, yakni:

tinggi, madya, rendah.

1) Tingkat Tinggi

Tingkat tutur ini memiliki rasa yang tidak berjarak antara penutur dan mitra tutur. Hubungan antar keduanya tidak dibatasi oleh rasa segan. Bentuk ini sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak memperhatikan kedudukan dan usia (Purwadi dkk., 2005: 22).

2) Tingkat Tutur Madya

Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kadar kesopanan tigkat tutur madya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja. Dengan kata lain, tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan setengah tidak sopan.

3) Tingkat Tutur Rendah

Tingkat tutur rendah adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan disebabkan karena relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik (akrab).

(48)

8. Register

Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek.

Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa (Chaer dan Agustina, 2004: 69).

Register merupakan konsep semantik yang dapat didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang berhubungan secara khusus dengan susunan situasi tertentu dari medan, pelibat dan sarana (Halliday dan Hasan, 1994: 53. Kemudian dijabarkan bahwa regiser dapat didefinisikan sebagai ragam bahasa yang digunakan pada saat itu, tergantung pada apa yang sudah dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register itu mencerminkan tingkat sosial dalam arti proses yang merupakan macam-macam kegiatan sosial yang biasanya melibatkan orang (Halliday dan Hasan, 1994: 56).

Halliday dan Hasan (1994: 57) juga menyebutkan register itu beragam, di satu sisi, terdapat register yang berorientasi pada kegiatan, yang di dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yaitu yang kadang- kadang disebut bahasa tindakan dan terdapat pula register yang berorientasi pada bicara, yang kebanyakan isinya bersifat kebahasaan dan tidak banyak hal lain yang terjadi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa register adalah jenis ragam bahasa berdasarkan fungsinya yang pemakaiannya

(49)

ditentukan oleh sifat dan bidang kegiatan pada saat itu, tergantung peran sosial masyarakat pemakai bahasa. Register akan terus berkembang sesuai jenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat melalui kontak bahasa baik komunikasi maupun berinteraksi satu sama lain.

Ciri ragam bahasa jual beli yaitu yang berupa, wujud tuturan pola/

bentuk interaksi tingkat tutur dan register.

B. Kerangka Pikir

Wacana jual beli adalah suatu bentuk interaksi yaitu antara penjual dengan pembeli yang bersifat informal. Interaksi tersebut tidak terlepas dari pemakaian bahasa dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal dengan tujuan untuk menyampaikan pesan dari setiap penutur.

Kerangka pikir penelitian digambarkan dari yang menjadi patokan dan teori dalam penelitian ini sehingga menunjukkan sistem matriks yang disesuaikan dengan penelitian kenyataan yang terdapat di daerah penelitian.

Urut-urutan kerangka pikir ini sebagai berikut: bahwa masyarakat bahassa mengunakan bahasa, dan bahasa di bagi menjadi empat aspek yaitu, pengertian bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa, ragam bahasa. Kemudian fungsi bahasa, dibagi menjadi dua aspek yaitu sebagai alat komunikasi dan berinteraksi. Kemudian wujud dari komunikasi yaitu berupa verbal dan nonverbal. Dari interaksi itu akan timbul diglosia (variasi bahasa) dan dari variasi bahasa akan mengakibatkan timbulnya alih kode dan campur kode.

(50)

Komunikasi verbal yaitu berupa tulis dan lisan sedangkan nonverbal berupa cahaya dan bunyi. Komunikasi verbal atau komunikasi yang dilakukan secara lisan yaitu berupa kata, kalimat,dan peristiwa tutur, (SPEAKING).

Jenis bahasa dalam penelitian dini yaitu berupa bahasa Makassar, Bugis, Jawa, dan bahasa Indonesia. Kemudian ragam bahasa dibagi menjadi empat faktor yaitu faktor situasi, sarana, pemakai, dan pemakaian. Dari faktor situasi bahasa yang digunakaan, formal, dan informal, dari faktor sarana, bahasa tulis dan bahasa lisan, dari faktor pemakai yaitu, idiolek, dialek, sosiolek, dan kronolek. Ragam bahasa dari faktor pemakaian di pisahkan atas, ragam jual beli, ragam sastera, ragam jurnallistik, ragam hukum, dan ragam ilmiah.

Ragam bahasa menurut pemakai pada sosiolek yaitu dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, dan usia. Kemudian yang mencakup kedalam ciri-ciri ragam bahasa jual beli yaitu berupa, wujud bahasa/tuturan penjual dan pembeli, pola/bentuk interaksi, dan tingkat tutur. Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir yang menjadi dasar penelitian dapat dilihat pada bagan berikut ini.

(51)

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Interaksi Jual Beli di Pasar

Sentral Sungguminasa

Pembeli sebagai Penyampai dan Penerima Informasi

Penjual sebagai Penyampai dan Penerima Informasi

Ragam (Variasi) Bahasa

Bahasa Bugis/Makassar (B-1)

Bahasa Indonesia (B-2)

Bahasa Jawa (B-2)

Ragam Bahasa Penjual dan Pembeli pada Interaksi Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa

Kabupaten Gowa

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Variabel Penelitian Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif maksudnya adalah membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat dan hubungan fenomena yang diteliti (Sudaryanto, 1993: 8).

Penelitian ini termasuk penelitian sosiolinguistik yang didesain secara deskriptif kualitatif. Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2000) menjelaskan bahwa penelitian dengan desain kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan dalam peristilahannya. Selain itu, Bogdan dan Taylor (1975) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Usman dan Akbar, 2000). Hasan (1990)

42

(53)

mengungkapkan bahwa ciri penelitian kualitatif adalah sumber data yang berupa natural setting. Data dikumpulkan secara langsung dari lingkungan nyata (natural setting) dalam situasi sebagaimana adanya yang dilakukan oleh subjek dalam kegiatan sehari-hari.

Ciri-ciri terpenting penelitian kualitatif adalah: (1) memberikan perhatian utama pada makna dan pesan sesuai dengan hakikat objek, (2) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah, (3) tidak ada jarak antara peneliti dengan objek penelitian, peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya, dan (4) penelitian bersifat alamiah karena terjadi dalam konteks budaya masing-masing.

Di dalam penelitian bahasa, metode penelitian deskriptif cenderung digunakan dalam penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini dikatakan sebagai pencarian data dengan interpretasi yang tepat, terutama dalam mengumpulkan data, serta menggambarkan data secara ilmiah. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial termasuk fenomena kebahasaan yang telah diteliti.

2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah wujud, pola, tingkat, dan register bahasa penjual dan pembeli dalam interaksi jual beli pada Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

(54)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat pengambilaan data ini yaitu di Pasar Sentral Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Pasar ini tergolong pasar besar dan beroprasai setiap hari sehingga berpeluang terjadinya situasi kebahasaana yang beragam.

Penelitian ini direncanakan berlangsung mulai bulan Maret sampai dengan Mei 2013.

C. Definisi Istilah

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ragam bahasa, pola tuturan, dan tingkat tuturan.

Ragam bahasa merupakan varian dari bahasa yang digunakan oleh penjual dna pembeli dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa.

Pola tuturan adalah suatu model, situasi (konteks), sifat, dan tujuan komunikasi seperti sifat organisasi, tujuan interaksi, sifat hubungan, dan harga. Tingkat tuturan yang dimaksud adalah suatu tataran bahasa yang dikomunikasikan antara penjual maupun pembeli yang disebabkan oleh strata sosial.

D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data dalam penelitian ini berbentuk tuturan yang diperoleh dari peristiwa tutur antara penjual dan pembeli dalam peristiwa komunikasi jual

(55)

beli (tawar menawar) di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang sungguh-sungguh terdapat dalam masyarakat bahasa. Bahasa merupakan objek penelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi subjek dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli, yang terjadi dalam transaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2013.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu metode observasi, simak, rekam, dan catat. Teknik tersebut dilakukan untuk menyediakan data selengkap-lengkapnya. Observasi dilakukan dengan mengamati proses interaksi jual beli bahasa yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk menyediakan data. Penyediaan data merupakan upaya peneliti menyediakan data secukupnya. Data di sini dimengerti sebagai fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud.

Dalam tahap penyediaan data, sekurang-kurangnya melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu: 1) mengumpulkan yang ditandai dengan pencatatan, 2) pemilihan dan pemilah-milah dengan membuang yang tidak perlu, 3)

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka PikirInteraksi Jual Beli di Pasar

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi sistem pengendalian internal khususnya pada sistem penjualan tunai dan penjualan kredit pada Koperasi

Sesuai dengan fungsinya, aplikasi pengolahan angka kredit jabatan fungsional pustakawan dapat digunakan pustakawan untuk membantu mereka dalam hal penyimpanan dan

Karya tulis ilmiah dengan judul “PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA OPERASI PEMASANGAN PLATE AND SCREW PADA FRAKTURE ANTEBRACHII 1/3 PROXIMAL” Telah

Dengan adanya sistem pendukung keputusan penentuan lokasi kuliner di Semarang dengan metode simple additive weigting dapat digunakan sebagai solusi untuk menentukan lokasi

Di sini pendekatan deduktif dalam pengajaran Matematik telah digunakan dimana guru terlebih dahulu menunjukkan graf yang terhasil dari data yang dikumpul yang telah

Studi penggunaan metode preseptorship pada mahasiswa keperawatan STIKES Widyagama Husada di Instalasi Gawat Darurat (IGD) perlu dilakukan untuk memperoleh model

Bazaar di dalam gedung diperuntukkan bagi sponsor yang mendapatkan kuntungan booth serta bagi tenant yang ingin mengisi stand tanpa keuntungan yang disebutkan di paket

§ Mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat prilaku kekerasan yang perlu dikaji pengetahuan tentang akibat lanjut