• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Tutur yang Digunakan Para Penjual dan Pembeli di Pasar Sungguminasa, Kabupaten Gowa

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

3. Tingkat Tutur yang Digunakan Para Penjual dan Pembeli di Pasar Sungguminasa, Kabupaten Gowa

a. Tuturan Tingkat Tinggi

Tingkat tutur ini memiliki rasa yang tidak berjarak antara penutur dan mitra tutur. Hubungan antara keduanya tidak dibatasi oleh rasa segan.

Bentuk ini sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak memperhatikan kedudukan dan usia. Ragam bahasa dalam interaksi jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa yang merupakan tuturan tingkat tinggi tampak pada data berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan kain

Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaq Pembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini) Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?

Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga simetereq?

Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ? Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.

Penjual : Dua puluh lima ribu.

Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempo hargana. (memanggil pembeli yang lain)

Pembeli : Kurang sedikit, Puang.

Penjual : Alani.

Konteks tuturan tersebut menggambarkan tuturan tingkat tinggi bagi penjual terutama pada tuturan “Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempo hargana.

(memanggil pembeli yang lain)”. Hal ini dinyatakan dengan model tuturan penjual terhadap pembeli. Penjual tampak mengenal dan bersahabat dengan pembeli sehingga bertutur dan menyapa pembeli dengan nada santai, bersahabat, tidak segan. Pembeli saat itu adalah langganan sehingga tampak tidak ada jarak strata antara penjual dan pembeli. Fenomena tingkat tuturan ini tidak mengutamakan kesantunan berbahasa.

Cermati pula data berikut ini yang menggambarkan tuturan tingkat tinggi.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan : Membeli barang sembako Pembeli : Ada beras Insyinyurtaq

Penjual : Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa tidak pesan memangki kemarin na lewatji di sini kuliat, kalau mau ki ini mo saja, bagusji juga, eh saya di rumah makan beras kepalaji, anak-anak pada suka.

Pembeli : Kalau minyak goreng bimolitaq ada?

Penjual : Ada Bu, maukiq yang berapa kilo?

Pembeli : Yang dua kilo, tapi bukan yang pakai botol nah, yang kuambil dulu pake botol jeleki kemasannya?

Penjual : Adaji.

Pembeli : Bungkuskanka juga piksin Siangan kecap ABCtaq.

Penjual : yang berapayya Bu?

Pembeli : Yang biasayyaji, piksin yang kecil-kecil, ABC botol.

Penjual : Anne Bu barangtaq. (Ini Bu, barangnya) Pembeli : Berapa semua? Pakaikan kantong besar!

Penjual : Tidak ada kantongnya Bu? Langngalle ki kantong?

Pembeli : Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua barang belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba dilihat mau semua jatuh barang belanjaanku)

Penjual : Yang kecil atau besar?

Data tersebut menggambarkan tuturan tingkat tinggi bagi penjual dan pembeli. Tuturan penjual yang menggambarkan tuturan tingkat tinggi tampak pada “Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa tidak pesan memangki kemarin na lewatji di sini kuliat, kalau mau ki ini mo saja, bagusji juga, eh saya di rumah makan beras kepalaji, anak-anak pada suka”.

Mencermati tuturan ini, penjual tampak santai berbicara kepada pembelinya yang merupakan langganan, sudah dikenal sehingga tidak ada jarak strata yang tampak dalam berkomunikasi. Demikian halnya dengan kesantunan yang kurang diutamakan dalam berinteraksi jual beli.

Adapun tuturan pembeli yang merupakan tuturan dengan tingkat tinggi yakni “Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua barang belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba dilihat mau semua jatuh barang belanjaanku)”. Konteks ini merupakan tuturan santai, bercanda, dan tanpa memperhatikan status keduanya, karena memang penjual dan pembeli sudah terbiasa bercanda dan sudah akrab. Tuturan ini merupakan tuturan yang sering diucapkan oleh pembeli kepada penjual yang merupakan langganan tempat belanjanya.

b. Tingkat Tutur Madya

Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kadar kesopanan tigkat tutur madya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja. Dengan kata lain, tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan setengah tidak sopan. Hal tersebut tampak pada data interaksi jual beli yang terjadi di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa seperti berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan : Penjualan Pakaian Pembeli : Berapa, Bu dasternya ? Penjual : Lima puluh setengah

Pembeli : Tena naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang) Penjual : Kulleji kurang siqdi. (Bisa kurang sedikit) Pembeli : Kurang siqdi berapa ? (. .sedikit...)

Penjual : Kurang lima ribuji. (Ya kurang lima ribu untuk saudara) Penjual : Singgah, Bu! Kain aga disappaq (Singgah dulu, Bu! Kain

apa dicari)

Pembeli : Kain beludru, motif bunga-bunga.

Penjual : Pilihmi warnana! Meaga ladde motifna. (Silakan dipilih warnanya! Banyak sekali motif'nya)

Pembeli : Siaga allinna. (Berapa harganya) Penjual : Mau berapa meter?

Pembeli : Maaf Bu, tidak jadi.

Situasi pembicaraan antara penjual dan pembeli seperti tampak pada data tersebut menggambarkan tingkat tutur madya atau sedang. Hal ini dinyatakan sebab, penjual dan pembeli kurang memperhatikan tataran nilai kesopansantunan. Konten tuturan penjual dan pembeli merupakan tuturan yang wajar diungkapkan, tidak mengurangi nilai rasa dan tidak menambah nilai rasa bagi peserta komunikan.

Peluang terjadinya situasi tutur yang santun pada data tersebut sebenarnya sangat terbuka lebar. Penjual dan pembeli memungkinkan bertutur dengan tingkat santun yang rendah dari model tuturan madya “Tena naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang) menjadi tuturan tingkat rendah “tabe, tena naqkulle kurang? (Maaf, tidak bisa kurang). Melalui kata tabe akan menambah nilai kesantunan.

c. Tingkat Tutur Rendah

Tingkat tutur rendah adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan

disebabkan karena relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik (akrab). Hal tersebut tampak pada data berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan kain/sarung Penjual : Antamaki bu!

Pembeli : Engka, sarung sutrataq?

Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru, Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.

Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.

Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?

Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua puluh lima ribu.

Pembeli : Masoli ladde

Penjual : Tawarini gare, siaga elota?

Pembeli : Siratuna, meloqki?

Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki limabe las ribu.

Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.

Konteks tuturan tersebut menggambarkan tingkat tutur rendah sebab tuturan tersebut rata-rata memancarkan penuh sopan santun antara penjual dan pembeli. Penggunaan tingkat tutur rendah tersebut menandakan adanya perasaan segan, terutama penjual yang juga memiliki tujuan persuasif kepada pembeli. Penanda tuturan rendah dengan konten kesantunan tampak pada kata antamaki, sarung sutrata, iye, elota, meloki. Kata-kata yang dungkapkan oleh penjual dan pembeli memiliki kadar kesantunan yang tinggi dengan tuturan rendah. Kata antamaki ‘kita masuk” dan meloki “kita mau” memiliki partikel –ki (partikel bahasa Bugis Makassar) merupakan pengganti partikel ko yang memiliki kesantunan yang kurang. Adapun partikel

–ta pada kata sutrata dan elota juga memiliki kesantunan yang tinggi.

Terakhir adalah ungkapan penerimaan iye “iya” merupakan tuturan santun yang digantikan oleh penerimaan iyo “iya”.

Dokumen terkait