• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Sosial Dalam Islam

BAB II SEPUTAR INTERAKSI SOSIAL

D. Interaksi Sosial Dalam Islam

1. Interaksi Sosial Sesama Muslim

Analisis sejarah Islam menunjukan bahwa, Islam datang sebagai agama revolusioner yang berkesinambungan. Dalam konteks sejarah, kaum muslimin telah mencapai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan antara sesama muslim digambarkan sebagai hubungan yang tidak bisa dipisahkan seperti halnya anggota dalam satu tubuh, apabila satu anggota tubuh sakit maka semua anggota tubuh ikut merasakannya. Karena satu anggota tubuh itu saling berhubungan dengan anggota tubuh lainnya.28 Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan dalam Islam itu lahir karena adanya persamaan-persamaan, semakin banyak persamaan semakin kuat persaudaraan itu, persamaan Ukhuwah Islamiyah di sini dalam arti persamaan pada persoalan yang paling mendasar yaitu akidah.

Allah berfirman:

27 Adon Nasrullah Jamaludin, Agama & Konflik Sosial, Studi Kerukunan Umat Beragama, Radikalisme dan Konflik Antarumat Beragama, 37-40.

28 A. Toto Suryana, Pendidikan Agama Islam (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), 163.

ن و م ح ر ت م كَّل ع ل هاللّٰ او قَّتا و م ك ي و خ ا ن ي ب ا و ح ل ص ا ف و خ ا ن و ن م ؤ م لا ا مَّن ا

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat” (QS. al-Hujurāt {49}: 10).

Saling memberikan Kasih sayang dalam Ukhuwah Islamiyah akan membentuk hubungan yang harmonis. Yaitu saling mengasihi, saling menyayangi dan saling memperdulikan. Dan pada akhirnya umat Islam akan membentuk suatu kelompok masyarakat yang penuh dengan kasih sayang dan saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran.

Allah berfirman di dalam al-Qur’an:

ا و صا و ت و ۙە ق ح لا ب ا و صا و ت و ت ح لهصلا او ل م ع و ا و ن م ا ن ي ذَّلا َّلَ ا ر بَّصلا ب

“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”

(QS. al-‘Aṣhr [103]: 3).

Kata (

ا و صا و ت

) tawāṣau terambil dari kata (

ىصو

) Waṣhā yang secara umum diartikan sebagai menyuruh secara baik. Sedangkan kata (

قحلا

) al-haq berarti sesuatu yang mantap, tidak berubah. Apapun yang terjadi, Allah swt, adalah puncak dari segala haq, karena dia tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai agama juga haq, karena nilai-nilai tersebut harus selalu mantap tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak berubah, sifatnya pasti, dan sesuatu yang pasti menjadi benar, dari sisi bahwa ia tidak mengalami perubahan.

Sementara ulama memahami kata al-Haq pada ayat ini dalam arti Allah, yakni manusia hendaknya saling ingat-mengingatkan tentang wujud, kuasa dan keesaan Allah swt. Serta sifat-sifat-Nya yang lain. Ada

juga yang berpendapat bahwa haq yang dimaksud adalah al-Qur’an. Ini berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.

Fakhruddīn ar-Razi memahami kata al-haq disini sebagai “sesuatu yang mantap (tidak berubah) baik berupa ajaran agama yang benar, petunjuk akal yang pasti maupun pandangan mata yang mantap.

Al-haq tentunya tidak secara mudah diketahui atau diperoleh. Ia juga beraneka ragam, karena itu harus dicari dan dipelajari. Pandangan mata dan fikiran harus diarahkan kepada sumber-sumber ajaran agama, sebagaimana harus pula diarahkan juga kepada objek-objek yang diduga keras dapat menginformasikan haq (kebenaran) itu, dalam hal ini alam raya beserta makhluk yang menghuninya. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kata al-haq dapat mengandung arti pengetahuan. Memang menurut sementara ulama, mencari kebenaran menghasilkan ilmu dan mencari keindahan menghasilkan seni, mencari kebaikan akan menghasilkan etika.

Saling menyuruh kepada kebenaran dengan secara baik yang diperintahkan ini mengandung makna bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain serta mengajarkannya kepada orang lain. Seseorang belum lagi terbebaskan dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh dan mengetahui kebenaran itu untuk dirinya, tetapi ia berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Selanjutnya sekaligus syarat yang dapat membebaskan manusia dari kerugian total adalah saling wasiat-mewasiati menyangkut kesabaran.

Sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik. Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok: yaitu sabar jasmani dan sabar rohani. Yang pertama adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam

peperangan membela kebenaran, termasuk pula dalam bagian ini sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpah jasmani seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar rohani menyangkut kemampuan kehendak nafsu yang mengantarkan kepada keburukan, seperti sabar menahan amarah, atau menahan nafsu seksual yang bukan tempatnya.29

2. Interaksi Antar Umat Beragama

Agama Islam diturunkan untuk manusia dengan segala keberagamannya. Islam diturunkan bukan hanya untuk menjalankan syariat saja akan tetapi Islam mengajarkan juga bagaimana cara bermu’amalah dengan sesama manusia, oleh karena itu ajaran Islam tidak melarang umatnya untuk berinteraksi sosial dengan agama lain. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan keadilan dalam segala hal termasuk berinteraksi dengan non-muslim.

Dalam masyarakat seperti sekarang ini hubungan antara para pemeluk agama yang berbeda-beda tidak bisa dihindarkan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi umat Islam hubungan ini tidak menjadi halangan selama dalam kaitan kemanusiaan (Mu’amalah).

Bahkan dalam berhubungan dengan mereka (non-muslim) umat Islam dituntun untuk menampilkan perilaku yang baik, sehingga dapat menarik mereka untuk mengetahui tentang Islam.30

Allah swt berfirman di dalam al-Qur’an:

َّن ا ۚ ا و ف را ع ت ل لِٕىۤا ب ق َّو اًب و ع ش م ك ن ل ع ج و ى ث ن ا َّو ٍر ك ذ ن م م ك ن ق ل خ اَّن ا ساَّنلا ا هُّي آي ن ع م ك م ر ك ا ر ي ب خ م ي ل ع هاللّٰ َّن اۗ م كى ق ت ا هاللّٰ د

29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh, jilid 15, cet, I. Jakarta: Lentera Hati, 2002, 503-504.

30 A. Toto Suryana, Pendidikan Agama Islam, 166-167.

“Wahai manusia! Sesumgguhnya, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (QS. al-Hujurāt [49]: 13).

Wahai manusia! Wahai makhaluk yang berbeda-beda ras dan warna kulit, yang terpisah-pisah menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku, sesungguhnya kalian berasal dari asal yang sama, maka janganlah kalian berselisih, berpecah belah, bersengketa, dan berpisah-pisah.

Wahai manusia yang memanggil kalian ini adalah tuhan yang menciptakan kalian. Wahai manusia, laki-laki dan perempuan! Dia memberitahumu tujuan dijadikannya kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuannya bukan saling memusuhi, melainkan untuk saling mengenal dan hidup yang harmonis. Perbedaan bahasa, warna kulit, watak, akhlak, potensi, dan keyakinan merupakan perbedaan yang tidak mesti berujung kepada perselisihan dan perpecahan. Sebaliknya ia menuntut kerjasama untuk memikul semua tugas dan memenuhi semua kehidupan.31

Kata (

ا و ف را ع ت ل

) terambil dari kata (

فرع

) ‘arafa yang berarti mengenal, maksud arti dari kata ini mengandung makna timbal balik.

Dengan demikian, ia berarti saling mengenal.

Semakin kuat pengenalan satu pihak pada lainnya, semakin terbuka peluang untuk memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian

31Sayyid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tmhid, (Jakarta:

Robbani Press, 2008), 288.

dan kesejahtraan hidup duniawi dan ukhrawi. Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak dapat saling melengkapi dan menarik manfaat, bahkan tidak dapat bekerja sama tanpa saling mengenal.32

32Quraish Shihab, al-Misbāh, 617-618.

25 BAB III

BIOGRAFI WAHBAH ZUHAILI DAN KITAB TAFSĪR AL-MUNĪR

A. Biografi Wahbah al-Zuhaili 1. kelahiran dan pendidikannya

Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Mustafā al-Zuhaili, anak pasangan dari Mustafā al-Zuhaili, seorang petani, dan Hajjah Fātimah binti Musṭafā Sa’ādah. Wahbah al-Zuhaili merupakan ulama atau salah satu tokoh kebanggan di negara kelahirannya yaitu Syiria. Ia lahir pada tanggal 06 maret 1932 M/ 1351 H, bertempatan di Dair ‘Atiyyah di kecamatan Faiha, Propinsi Damaskus, Syiria.33

Di bawah bimbingan dan didikan orang tuanya, Syaikh Wahbah al-Zuhaili mengeyam pendidikan dasar-dasar ajaran agama Islam. Setelah itu, ia bersekolah di madrasah Ibtidā’iyyah di kampung halamannya, sampai kepada jejang pendidikan moral berikutnya. Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1952 M, di Fakultas Syariah Universitas Damaskus, dan juga pendidikan Islam di Universiti al-Azhār, di mana ia sekali lagi menyelesaikan pendidikannya dengan cemerlang pada tahun 1956 M.

Selanjutnya ia melanjutkan program magisternya di Universitas Kairo dan berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1959 M, dan meraih gelar doktor dalam bimbingan Syarī’ah dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1963 M.

Kemudian Syaikh Wahbah al-Zuhaili mengabdikan dirinya sebagai seorang dosen di almamaternya, yaitu di Fakultas Syari’ah Universitas

33 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 174.

Damaskus, pada tahun 1963 M. Karir akademiknya terus meningkat, tak berapa lama kemudian, ia diangkat menjadi pembantu dekan pada Fakultas yang sama. Jabatannya adalah sebagai Dekan sekaligus ketua jurusan Fiqh al-Isāmī dan di jalaninya dalam waktu relatif singkat dari masa pengangkatannya sebagai pembantu dekan. Selanjutnya, ia dilantik sebagai guru besar dalam disiplin hukum Islam pada salah satu Universitas di Syiria.

Wahbah al-Zuhaili yang terkenal dengan ahli dalam bidang Fiqh dan Tafsir, serta berbagai disiplin ilmu lainnya, ia merupakan salah satu tokoh paling terkemuka di abad ke-20 M. Ia adalah Ulama yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Tāhir Ibn Asyur, Sa’īd Hawwā, Syyid Qutb, Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut dan lain-lain.

Ia sendiri tinggal dan dibesarkan di lingkungan yang mana terdapat ulama-ulama Mazhab Hanafi, dan dengan itu terbentuklah pemikirannya dalam bermazhab fiqh. yaitu bermazhab Hanafi, akan tetapi dalam pengembangan dakwahnya ia tidak mengedepankan mazhabnya atau aliran yang dianutnya, ia tetap bersikap netral dan propesional, dan selalu menghargai dan menghormati pendapat-pendapat mazhab lain. Mengenai hal ini, dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh.34 Di dalam perkembangannya, ia tampil sebagai salah satu pakar perbandingan mazhab (Muqāranāt al-Madzāhib).

dan Salah satu karya-nya, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, merupakan salah satu karya fiqih komparatif yang popular pada masa sekarang ini.

Jumat, 14 Agustus 2015, puluhan ribu umat Islam ibukota di Masjid Istiqlal dan masjid-masjid lain, melakukan shalat gaib untuk mendoakan ulama papan atas masa kini yaitu, Prof. Dr. Syaikh Wahbah Mushthafa

34 Muhamma ‘Ali ‘Iyāzi, Al-Mufasirun Hayātuhum wa Manahajuhum (Teheran:

Wizarah al-Tsaqāfah wa al-Insya’ al-Islām, 1993), 684.

Zuhaili, wafat di Damaskus, Suriah, pada usia 83 tahun di malam sabtu 8 Agustus 2015 . Dunia Islam berduka cita karena kehilangan seorang ulama kontemporer panutan dunia.35

2. Guru dan Murid

Wahbah al-Zuhaili Selaku ulama besar tentu memiliki banyak guru dan murid, oleh karena itu guru dan murid merupakan hal keniscayaaan yang tidak bisa dihindarkan. Diantara guru-guru Syaikh Wahbah Zuhaili dalam bidang ilmu Fiqih, ia belajar kepada ‘Abd Razzāq al-Humassī (w. 1969 M), dan Muhammad Hāsyim al-Khatīb al-Syāfi’ī (w.

1958 M), dalam bidang Ilmu Hadis, ia belajar kepada Mahmud Yassin (w.

1948 M), dalam bidang Tafsir dan ilmu-ilmu Tafsir, ia belajar kepada Syaikh Hasan Jankah dan Syaikh Sādiq Jankahal-Maidānī dan dalam bidang Ilmu Kebahasaan ia belajar kepada Muhammad Sālih Fartur (w.

1986 M).

Sewaktu ia di Mesir, ia belajar kepada Mahmud Syaltut (w. 1963 M)

‘Abdul Rahmān Tāj, dan ‘Isā Manun yang merupakan gurunya dalam bidang Ilmu Fiqh Muqāran (perbandingan), dalam bidang ‘Ilmu Uṣhul al-Fiqh, ia belajar kepada Mustafā ‘Abdul Khāliq beserta anaknya ‘Abdul Ghani, dan masih banyak lagi guru-gurnya yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Adapun di antara murid-muridnya yaitu Muhammad Fāruq Hamdan, Muhammad Na’īm Yasin, ‘Abdul al-Satār Abū Ghādah, ‘Abd al-Latīf, Muhammad Abū Lail, dan termasuk putranya sendiri Muhammad al-Zuhaili yang berguru juga ke padanya, dan masih banyak lagi

35 Ali Mustafa Yaqub, Teror di Tanah Suci, (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2016), 151.

murid yang belajar kepadanya ketika ia menjadi seorang dosen di Fakultas Syari’ah dan perguruan tinggi lainnnya.36

3. Karya-karya

Wahbah al-Zuhaili sangat bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajarkan dalam berbagai macam keilmuan, baik dalam perkuliahan, berdakwah di berbagai tempat dalam sebuah pengajian, berdiskusi, termasuk juga melalui media massa. Sebagai hasil dari aktivitas akademisnya yang sangat produktif, tidak kurang dari 40 buku dan karya ensiklopedi dalam berbagai ilmu tentang keislaman ditulisnya.37 Adapun hasil dari karya- karyanya yaitu:

a. A1-Fiqh a1-Islāmī wa Adillatuhu, (1997) dalam 9 jilid. Ini adalah sebuah karya fikihnya yang sangat popular.

b. Ushūl a1-Fiqh al-Islāmi, dihimpun dalam 2 jilid besar.

c. A1-Wasīt fī Ushūl a1-Fiqh, Universitas Damaskus, 1966.

d. A1-Fiqh a1-Islāmī fī Uslūb a1-Jadīd, Maktabah a1-Haditsah, Damaskus, 1966.

e. Fiqh a1-Mawāris fī al-Syari’āt al-Islāmiyyah, Dār al-Fikr, Damaskus, 1987.

f. Al-Qur’an al-Karīm; Bunyātuhu al-Tasyrī’iyyah au Khaṣā’isuhu al-Hasāriyyah, Dār al-Fikr, Damaskus, 1993.

g. Al-Asās wa Maṣādir Ijtihād Musyrikah Bayna al-Sunnah wa al-Syi’ah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1996.

h. Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al- Manhaj, terhimpun dalam 16 jilid. Dār al-Fikr, Damaskus, 1991.

36 Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munīr Karya Wahbah l-Zuhaili dan Contoh Penafsirnnya Tentang Pernikahan Beda Agama”, Analisis, vol. 16, no.1 (Juni 2016), 130-131.

37 Muhsin Mahfudz, “Kontruksi Tafsir Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuhaili”, al-Fikr, vol. 14, no. 1 (2010), 34.

i. Tafsīr al-Wajīz merupakan ringkasan dari Tafsīr al-Munīr.

j. Tafsīr al-Wasīth terhimpun dalam 3 jilid besar, dan karya-karya lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Ketiga karya tafsir terakhir ini, yaitu: Tafsīr al-Munīr, Tafsīr al-Wajīz, dan Tafsīr al-Wasīth, masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

Ketiganya menggunakan metode penafsiran yang berbeda dan latar belakang yang berbeda juga. Mungkin sebagian orang mempertanyakan sisi persamaan dan perbedaan antara ke-tiga tafsir tersebut. Berikut ini penjelasannya:

Ketiga tafsir tersebut sama dalam menjelaskan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dipahami. Sama dalam menjabarkan sebab turunnya ayat yang shahih dan terpercaya. Sama dalam mengutip ayat-ayat lain dan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan tema dan kandungan ayat yang dimaksud. Sama dalam menghindari cerita dan riwayat Israiliyat yang tidak ada tafsir klasik yang terbesar darinya. Sama dalam berkomitmen terhadap prinsip-prinsip tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sekaligus.

Serta sama dalam berpedoman dengan kitab-kitab induk tafsir dengan berbagai manhaj-Nya.

Tafsīr al-Munīr yang mencangkup aspek akidah dan syariah (16 jilid) ini, dikhususkan untuk para ahli atau kalangan atas. Sedangkan Tafsīr al-Wajīz, dikhususkan untuk kebanyakan orang-orang umum. Adapun Tafsīr al-Wasīt, dikhususkan untuk orang yang tingkat pengetahuannya menengah. Sedangkan persamaannya adalah bahwa ketiga tafsir tersebut berupaya untuk menerangkan atau menjelaskan dan mengungkap makna-makna yang terdapat di dalam al-Qur’an agar mudah dipahami dan

kemudian dapat direalisasikan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat dengan pemikiran yang berbeda-beda.38

Tafsīr al-Wajīz, mengenai penafsiran Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsīr al-Wajīz ini, hanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara gelobal saja, tidak membuat pembahasan yang panjang , agar mudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Akan tetapi ia tetap mencantumkan asbab al-Nuzūl ayat sehingga sangat membantu untuk mempermudah memahami makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Dan Tafsīr al-Wajīz ini memiliki keistimewaan berupa kesederhanaan gaya bahasa dan kedalaman makna pada penafsirannya, dan juga disampaikan mukadimah dari masing-masing kumpulan ayat yang tertuang dalam satu judul tersendiri.

Tafsīr al-Wasīth, karya tafsir ini dihasilkan dari peresentasi ia selama di media massa di syiria pada waktu itu, selama 7 tahun, mulai dari tahun 1992 sampai tahun 1998 M. Dimana ia menjadi nara sumber pada setiap harinya dengan durasi waktu 6-10 menit kecuali hari libur. Kemudian hasil dari kumpulan semua peresentasi yang disampaikan ia cetak menjadi sebuah kitab tafsir al-Qur’an sampai 30 juz, yang terdiri dari tiga jilid dan diterbitkan pada tahun 1421 H/2000 M dan diberi nama dengan Tafsīr al-Wasīth. Dan di dalam Tafsīr al-Wasīth ini, di dalamnya ditambahkan penafsiran beberapa ayat yang terdapat pada Tafsīr al-Munīr. Di dalamnya dijelaskan makna beberapa kata penting yang dirasa samar-samar pengertiannya disertai isyarat tentang sebab turunnya masing-masing ayat.

Dengan demikian, ungkapan-ungkapan di dalam ketiga tafsir ini terkadang berkesesuaian dan terkadang berlainan tergantung kepada kebutuhan dan konteks penjelasan kata dan kalimat. Terkadang disampaikan i’rab

38 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīth, Jilid 1, cet. 1, terj. Muhtadi (Jakarta:

Gema Insani, 2012), 2.

(keterangan kedudukan kata dalam kalimat) yang sangat diperlukan untuk menjelaskan makna.39 Dan yang terakhir adalah kitab Tafsīr al-Munīr yang merupakan hasil karya terbesar ia dalam bidang tafsir, yang akan menjadi fokus pembahasan pada pembahasan selanjutnya.

B. Tafsīr al-Munīr

1. Latar Belakang Penulisan Tafsīr al-Munīr

Kata al-Munīr adalah isim fa’il dari kata anāra (dari kata nūr; cahaya) yang berarti yang menyinari atau yang menerangi. Sesuai dengan namanya, boleh jadi Wahbah al-Zuhaili bermaksud memberi nama kitab tafsir ini dengan nama Tafsīr al-Munīr adalah ia berkeinginan agar kitab tafsirnya ini, dapat menerangi orang-orang yang membacanya, dapat menyinari orang-orang yang mempelajarinya, dan dapat memberikan pencerahan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapatakan pencerahan dalam memahami makna-makna yang terkandungan di dalam al-Qur’an.

Tafsīr al-Munīr yang ditulis oleh Wahbah al-Zuhaili telah diterbitkan oleh Dār al-Fikr di Damaskus. Tafsir ini disusun menjadi 16 jilid, disetiap jilid terdiri dari 2 juz. Tafsir al-Munīr ini telah menjadi banyak perhatian di berbagai negara, terbukti dengan diterjemahkannya ke dalam beberapa bahasa, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Turki dan Bahasa Malaysia.40

Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya yang komprehensif, yakni: Ushūl Fiqh Islāmī (2 jilid) dan Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (10 jilid). Sebelum memulai penafsirannya terhadap surat pertama (al-Fātihah), Wahbah al-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan di

39 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīth, 2-3.

40 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa Manhāj, terj. Abdul Hayyi al Kattani, (Depok: Gema Insani, 2013), XIV-XV.

dalam Muqadimah, beliau mengatakan bahwa tujuan utama dari penulisan tafsir ini adalah, untuk mempererat dan memperkuat hubungan antara seorang muslim dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan hukum yang paling mendasar bagi setiap kehidupan umat manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Oleh karena itu, Wahbah al-Zuhaili tidak hanya menjelaskan hukum-hukum fikih saja dalam berbagai permasalahan yang ada, akan tetapi bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum yang diistinbatkan dari ayat-ayat al-Qur’an dengan makna yang luas, yang lebih mendalam dari pada sekedar pemahaman umum, yang mencangkup akidah dan akhlak, manhaj dan perilaku, dan manfa’at-manfa’at yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an, baik dalam struktur sosial untuk setiap komunitas masyarakat yang berkembang maupun dalam kehidupan pribadi bagi setiap umat manusia (tentang kesehatannya, pekerjaannya, ilmunya, cita-citanya, aspirasinya, deritanya, serta dunia dan akhiratnya), yang mana hal ini selaras dalam kredibilitas dan keyakinan dengan apa yang telah Allah turunkan melalui rasul-Nya.41

Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munīr ini adalah memadukan keaslian tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah al-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan dalil pembaharuan. Oleh karena itu, menurut Wahbah al-Zuhaili, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan penafsiran.

41 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdat wa al-Syari’at wa Manhāj, 11.

2. Metode dan Sistematika Penulisan Tafsīr al-Munīr

‘Abdul al-Hayy al-Farmāwī, berpendapat bahwa terdapat empat metode dalam penafsiran al-Qur’an yautu: tahlīlī, maudhū’ī, ijmālī, dan muqāran. Pertama, Metode tafsir tahlīlī yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan penelitian kepada semua aspek-aspek yang terdapat di dalam al-Qur’an, dimulai dari uraian makna kosakata, kalimat, keterkaitan satu ayat dengan yang lain, sampai kepada sisi-sisi

‘Abdul al-Hayy al-Farmāwī, berpendapat bahwa terdapat empat metode dalam penafsiran al-Qur’an yautu: tahlīlī, maudhū’ī, ijmālī, dan muqāran. Pertama, Metode tafsir tahlīlī yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan penelitian kepada semua aspek-aspek yang terdapat di dalam al-Qur’an, dimulai dari uraian makna kosakata, kalimat, keterkaitan satu ayat dengan yang lain, sampai kepada sisi-sisi

Dokumen terkait