• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Interpretasi Hasil Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat penderita stroke. Partisipan yang terpilih sesuai dengan kriteria inklusi penelitian dan berasal dari wilayah Kota Medan. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengidentifikasi 5 tema. Lima tema tersebut adalah: (1) Memberikan dukungan secara total, (2) Membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar penderita stroke, (3) Penderitaan dan hikmah bagi caregiver, (4) Kurangnya keterampilan caregiver, dan (5) Keterbatasan caregiver. Selanjutnya peneliti akan membahas secara rinci masing-masing tema yang teridentifikasi.

5.1.1. Memberikan dukungan secara total

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa caregiver memberikan dukungan secara total selama merawat penderita stroke. Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian (Tantono, 2006). Dukungan yang diberikan caregiver mencakup seluruh aspek kehidupan penderita stroke dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Caregiver memberikan dukungan dalam bentuk dukungan moril, finansial, lingkungan fisik, dan memberikan pengobatan.

Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu kesembuhan penderita stroke baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara penderita stroke dan caregiver. Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik dan teknik penggunaan alat bantu perawatan, menemukan sumber home care, menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011).

Dukungan moril yang diberikan caregiver kepada pasien stroke tergambar dari beberapa sub-kategori yaitu: selalu ada untuk penderita stroke, bertanggung jawab demi kesembuhan penderita stroke, mendahulukan kepentingan penderita stroke, dan memberikan motivasi. Seorang partisipan mengungkapkan bahwa selalu ada disamping penderita stroke dan tidak pernah meninggalkan penderita stroke. Hal ini sesuai dengan teori keperawatan yang dibuat oleh Williams (2003), bahwa seorang caregiver haruslah memiliki komitmen selama merawat pasien.

Komitmen tersebut mencakup bertanggung jawab, menjadikan pasien prioritas, selalu ada memberikan dukungan, dan keyakinan akan kasih sayang.

Hasil observasi menunjukkan bahwa sebesar 64,6% caregiver memberikan dukungan secara total antara lain selalu ada di samping penderita stroke, selalu memberikan motivasi untuk sembuh, dan mengutamakan kepentingan penderita stroke di atas kepentingan pribadi caregiver. Keterlibatan anggota keluarga pasien stroke dalam peran caregiver adalah kejadian yang tak terduga, karena sifat cepat penyakit ini. Keluarga penderita stroke merasa bahwa mereka berkewajiban secara moral, dan tidak punya pilihan selain untuk menerima peran caregiver dan mereka menganggap caregiving sebagai "bagian integral dari kehidupan" dan sebagai "tugas yang tidak dapat dihindari" (Jones & Morris, 2012).

Caregiver selama merawat penderita stroke, turut mendampingi penderita stroke untuk berobat, memfasilitasi hingga membantu dalam aplikasi pengobatan tersebut. Akibat kecacatan yang dialami hampir sebagian besar penderita stroke, sehingga rata-rata partisipan mengatakan membawa penderita stroke ke pengobatan medis dan juga alternatif. Dari ungkapan partisipan didapatkan beberapa pasien yang lebih cepat pemulihannya setelah mendapatkan pengobatan alternatif disamping pengobatan medis. Data demografi penggunaan pengobatan medis & tradisional menunjukkan bahwa sebesar 43,8% caregiver memberikan pengobatan pasien stroke kombinasi dari pengobatan medis dan tradisional.

Secara ilmiah, terdapat pengobatan komplementer dan alternatif (CAM/ Complemetary and Alternative Medication), yang mana didefinisikan oleh The National Center for Complementary and Alternative Medicine sebagai

“sekelompok sistem medis dan kesehatan yang beragam, praktik, dan produk yang saat ini tidak dianggap sebagai bagian dari pengobatan konvensional”. Pengobatan alternatif dapat didefinisikan sebagai suatu cara mencari pengobatan dengan memilih diantara dua atau beberapa kemungkinan untuk menyembuhkan penyakit (Depdiknas, 2005).

Nahin, Barnes, Stussman, Bloom (2009), dalam

berbagai macam pengobatan alternatif antara lain terapi herbal, terapi nutrisi, terapi jus, pijat/massage, akupunktur, akupressur, refleksiologi, dll. Berdasarkan wawancara dengan beberapa partisipan didapatkan bahwa pengobatan alternatif yang rata-rata dilakukan adalah pijat/ masase. Ada juga beberapa partisipan yang membawa penderita stroke untuk mendapatkan terapi akupunktur dan herbal.

Caregiver mengatakan bahwa mereka membawa penderita stroke untuk mendapatkan pengobatan alternatif karena tidak adanya perkembangan kesehatan setelah mendapatkan pengobatan medis, kondisi ekonomi keluarga, informasi dari teman atau saudara, dan kepercayaan/agama ataupun budaya dari suku.

Dalam penelitian yang dilakukan Varghese (2004) disebutkan bahwa pengaruh sosial memang sangat kompleks salah satunya adalah pengaruh orang lain atau sugesti teman memiliki angka 11,59% dari alasan pemilihan pengobatan alternatif. Dalam penelitiannya, Varghese (2004) menyebutkan bahwa 13,04% responden menyatakan pengobatan alternatif dipilih karena alasan murah. Kedokteran konvensional sangat tergantung dari teknologi yang mahal untuk

memecahkan masalah kesehatan, meskipun kadang pula hal tersebut tidak efektif (Turana, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan mayoritas partisipan bersuku Batak (68,8%) dan agama Islam (81,2%). Nilai-nilai budaya yang dominan pada diri individu sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Selanjutnya, kepribadian tersebut akan menentukan pola dasar perilaku manusia, termasuk perilaku dalam hal memilih pengobatan (Notoatmodjo, 2007).

Selain pengobatan alternatif, ternyata penderita stroke juga masih mendapatkan pengobatan medis. Kebanyakan partisipan masih terus melanjutkan pengobatan medis dari dokter. Hal ini dikarenakan partisipan berpendapat apabila pengobatan alternatif dan medis dikombinasikan dapat mempercepat pemulihan penderita stroke.

Akan tetapi, partisipan yang lain memilih menghentikan pengobatan medis karena alasan sudah tidak ada biaya dan tidak ada perkembangan kesehatan pasien. Seorang partisipan tidak membawa penderita stroke untuk mendapatkan pengobatan medis karena tidak ada biaya dan mengalami kesulitan dalam mengurus jamkesmas. Karena faktor ekonomi, partisipan tersebut terpaksa menghentikan semua pengobatan medis dan alternatif penderita stroke. Partisipan tersebut memilih untuk pasrah dengan kesembuhan penderita stroke.

5.1.2. Caregiver membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar penderita Stroke

Penderita stroke mengalami kelemahan dan kelumpuhan fisik sehingga hampir semua kebutuhan dasar pasien harus dibantu oleh caregiver. Berdasarkan hasil penelitian, kebutuhan dasar yang dibantu oleh caregiver antara lain

kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan nyaman, dan kebutuhan spiritual. Berdasarkan hasil observasi, menunjukkan bahwa 58,7% membantu penderita stroke dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari dan memberikan kenyaman untuk penderita stroke.

Penelitian yang dilakukan oleh Arksey, et al (2005) terhadap 80 caregiver di Inggris menyebutkan bahwa secara umum, caregiver memberikan bantuan dalam eliminasi pasien yang terdiri dari buang air kecil dan buang air besar, membantu self care pasien, dan mobilisasi pasien. Selain itu, Milligan (2004) dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta tugas caregiver pada lansia. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai berikut:

a. Physical Care/ Perawatan fisik, yaitu: memberi makan, mengganti pakaian, memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain.

b. Social Care/ Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah.

c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan namun ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan.

d. Quality care, yaitu: memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan indikasi kesehatan, serta berurusan dengan masalah yang timbul.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa beberapa caregiver juga membantu dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas penderita stroke. Berdasarkan hasil

penelitian didapatkan mayoritas partisipan beragama Islam (81,2%). Beberapa partisipan yang beragama Islam mengungkapkan bahwa mereka memfasilitasi pasien stroke ketika berwudhu dan menjalankan sholat. Hal ini dikaitkan dengan kepercayaan atau ajaran agama yang menganjurkan untuk beribadah baik ketika keadaan sehat maupun sakit dan ketika senang maupun sulit.

5.1.3. Penderitaan dan hikmah bagi caregiver

Caregiver pada penderita stroke memiliki tugas yang sangat berat karena hampir seluruh aspek kehidupan pasien stroke tergantung bantuan dari caregiver. Banyaknya tugas caregiver yang selama bertahun-bertahun merawat pasien stroke mengakibatkan dampak yaitu: (1) Penderitaan dan (2) Hikmah dalam hidup caregiver. Mayoritas caregiver mengeluhkan banyaknya penderitaan selama merawat penderita stroke. Adapun penderitaan yang dirasakan caregiver mencakup dampak fisik, psikologis, dan sosial. Hasil observasi peneliti menemukan bahwa 60,9 % caregiver mengalami penderitaan berupa dampak fisik dan psikologis selama merawat penderita stroke.

Penderitaan Caregivers dimulai ketika mereka pertama kali diberitahukan tentang diagnosis pasien. Selama pasien di rumah sakit,perhatian besar caregiver yaitu kondisi kesehatan pasien dan ketakutan bahwa pasien bisa mati. Hanya setelah kesehatan pasien stabil, caregiver mulai kembali ke kehidupan rutin mereka dan melakukan banyak pekerjaan (Pierce, Thompson, Govoni & Steiner, 2012; Kerr & Smith, 2000). Hasil data demografi menunjukkan bahwa mayoritas partisipan merawat pasien stroke 1-3 tahun sebesar 43,8%.

Penelitian yang dilakukan oleh Pierce, Steiner, Govoni, Thompson & Firdemann tahun 2007 menunjukkan bahwa caregiver akan berhasil dalam menjalankan tugasnya dalam merawat pasien stroke dalam rentang 1 tahun ke atas. Dalam kurun waktu 3-6 bulan pertama setelah serangan stroke, caregiver masih berusaha untuk menerima kondisi pasien stroke, belajar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan belajar cara merawat pasien stroke. Sehingga dalam penelitian ini, beberapa caregiver yang merawat pasien stroke <1 tahun mengeluh mengalami beban psikologis dan stres dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke. Akan tetapi, berbeda dengan hasil penelitian tersebut, caregiver yang sudah merawat pasien stroke >3 tahun justru merasa stres dan mengalami beban fisik dan psikologis karena jenuh dan putus asa merawat anggota keluarga yang menderita stroke dan tidak kunjung sembuh.

Banyak caregiver penderita stroke adalah lansia yang merupakan pasangannya dan mungkin rentan terhadap masalah kesehatan yang serius, atau sebelumnya memiliki sejarah penyakit kronis. Pada saat yang sama, caregiver menderita masalah akibat perawatan pasien antara lain terkait masalah fisik seperti kelelahan, keletihan, pusing, masalah tidur, nyeri, dan kelemahan (Pornchai., et al, 2005; Pierce., et al, 2012) .

Stroke sebagai peristiwa traumatis, dampaknya tidak hanya pada orang yang terkena, tetapi juga seluruh keluarga. Stres, marah, temperamen, melukai perasaan, putus asa, ketidaknyamanan, dan kejenuhan adalah beberapa konsekuensi emosional negatif caregiving (Pornchai., et al, 2005; Pierce, 2001; Pierce., et al, 2012; Jones & Morris, 2012).

Perasaan ketidakpastian umumnya dialami oleh caregiver. Selama pertemuan dengan tim perawatan kesehatan, adanya kesadaran mengenai potensi penderitaan caregiver karena "perawat terlalu sibuk", saling berhubungan dengan pertanyaan yang belum terjawab dan kegagalan tim kesehatan dalam memberikan informasi yang cukup dan benar mengenai penyakit menjadi pencetus ketidakpastian (Pornchai., et al, 2005; Ang., et al, 2013; ).

Perubahan perilaku pasien, masalah keuangan, dukungan yang tidak memadai, tugas caregiving yang terlalu banyak, dan kesulitan tidur bisa menjadi sumber caregiving distress (Pierce., et al, 2012). Caregiver berjuang untuk mengelola kondisi kehidupan yang sulit dengan menerapkan strategi koping berbeda, seperti tetap positif, menjadi fleksibel dengan perubahan mendadak, membandingkan hal baru dengan pengalaman merawat pasien sebelumnya, menggunakan humor, dan dukungan keluarga dan teman-teman (Jones., et al, 2012). Terlibat dalam kegiatan keagamaan dan mengandalkan sistem dukungan sosial dan tokoh agama, kemampuan koping yang penting untuk meningkatkan kehidupan caregiver dan memelihara kesejahteraan fisik dan emosional mereka (Pornchai., et al, 2005).

Hirst (2005) menemukan masalah kesehatan mental yang timbul secara langsung terhadap caregiver dalam proses perawatan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa caregiver yang memberikan perawatan kepada pasien/ keluarga lebih dari 20 jam atau lebih per minggu adalah dua kali lipat berisiko mengalami tekanan psikologis dan efek ini lebih besar pada caregiver wanita. Penelitian yang dilakukan Kalliath dan Kalliath (2000) di Selandia Baru pada

caregiver pasien stroke, menemukan terdapat kelelahan emosional dikaitkan dengan gejala kelelahan, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi. Cameron et al (2006) menemukan sebesar 44% dari 94 orang caregiver berkebangsaan Canada pada pasien stroke beresiko terkena depresi klinis.

Hasil survey yang dilakukan oleh Vitaliano, et al (2003, 2004) menemukan dampak kesehatan fisik bagi caregiver pada lansia dengan demensia. Pada penelitian tersebut, caregiver melaporkan mengalami gangguan kesehatan fisik dan membutuhkan pengobatan yang lebih sering dibandingkan bukan caregiver. Sebesar 23% terjadi peningkatan hormon stres pada caregiver. Hasil lain menunjukkan bahwa caregiver menghasilkan produksi antibodi yang rendah, tingginya gangguan tidur dan kurang adekuatnya diet.

Selain penderitaan caregiver di atas, ternyata proses caregiving yang dilakukan caregiver memiliki hikmah juga bagi kehidupannya. Hal ini diungkapkan partisipan bahwa, selama merawat penderita stroke dapat lebih menjaga kesehatannya, meningkatkan spiritualitas, dan pasien menjadi lebih dekat dengan keluarga selama sakit stroke.

Studi yang dilakukan Patterson (1997) menemukan dampak positif caregiving dari 11 orang caregiver perempuan. Seorang anak perempuan mengungkapkan bahwa hubungannya menjadi lebih baik dengan orang tuanya, seorang istri mengatakan merasa lebih dekat dengan suaminya yang sakit stroke dan merasa dibutuhkan. Penelitian yang dilakukan oleh Nikora (2004) di Selandia Baru, menemukan bahwa menjadi caregiver dapat menambah pengalaman, ilmu, serta dapat meningkatkan spiritualitas.

5.1.4. Kurangnya keterampilan caregiver dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke

Kebanyakan caregiver adalah orang awam yang memang baru pertama kali merawat penderita stroke, sehingga ada beberapa keterampilan yang diperlukan caregiver untuk memudahkan pekerjaannya dalam merawat pasien stroke. Tema ini terdiri dari dua kategori yaitu: (1) Kebutuhan edukasi dan informasi dan (2) Kebutuhan psikologis.

Penelitian Yedidia dan Tiedemann, (2008) berdasarkan tugas caregiver, menyimpulkan kebutuhan caregiver yaitu: (1) Kebutuhan akan informasi tentang pelayanan yang tersedia, (2) Manajemen stress dan strategi koping, (3) Masalah keuangan dan asuransi, (4) Masalah komunikasi dengan profesional kesehatan, (5) Informasi tentang penyakit, (6) Menggunakan bantuan yang kompeten, (7) Bantuan tentang tugas-tugas perawatan, (8) Bantuan berkomunikasi dengan pasien, (9) Nasihat hukum, (10) Informasi tentang obat, (11) Bantuan mengatasi masalah akhir kehidupan, (12) Panduan memindahkan pasien ke fasilitas yang mendukung, (13) Bantuan berurusan dengan keluarga.

Secara umum, pelayanan kesehatan ditujukan bagi penderita stroke, sedangkan kebutuhan caregiver belum terselesaikan. Caregiver seringkali salah mengerti tentang istilah "Stroke". Oleh karena itu, mereka termotivasi untuk menemukan sumber-sumber lain selain tim kesehatan untuk mendapatkan informasi dan untuk belajar keterampilan caregiving dengan cara yang kompeten dan percaya diri. Kadang-kadang, mencari informasi yang diperlukan bisa sulit dan frustasi untuk keluarga (Pornchai., et al, 2005; Ang., et al, 2013).

Kurang memadainya persiapan untuk tugas-tugas caregiving sering disorot (Cobley., et al, 2012). Menyediakan caregiver dengan harapan yang realistis, kepastian, informasi yang diperlukan, dan pelatihan keterampilan fisik sangat penting. Untuk merasa yakin tentang keterampilan, caregiver membutuhkan umpan balik yang konstruktif dan memvalidasi praktik mereka dari tenaga pelayanan kesehatan profesional (Kerr & Smith, 2000).

Ketidakpuasan dan keluhan tentang kurangnya perawatan holistik yang multidisipliner yang diterima dari institusi terkait membuat caregiver menginginkan tim kesehatan profesional yang dapat memfasilitasi peran mereka yang lebih baik dalam mengkoordinasikan perawatan yang diberikan, membantu dalam kemajuan pasien dan pengasuh kehidupan menuju normal, menerapkan penguasaan peran caregiving, dan memiliki sumber daya yang dapat diakses masyarakat.

Keluarga penderita stroke merasa bahwa dalam bekerja, akan lebih mudah bagi mereka untuk memberikan perawatan yang aman dan kompeten jika mereka menerima dukungan profesional dan sosial yang memadai (Pornchai., et al, 2005). Hal ini penting bagi tim pelayanan kesehatan untuk membangun hubungan suportif dengan caregiver, dan peran profesional perawatan kesehatan harus diperluas untuk mencakup tindak lanjut kunjungan ke rumah caregiver. Sebuah penilaian kebutuhan keuangan, layanan rujukan yang tepat, dan peralatan terjangkau ditekankan kebutuhan sebagai yang diidentifikasi oleh caregiver (Ang., et al, 2013). Namun, kepuasan caregiver oleh dukungan dan layanan masyarakat jarang didokumentasikan.

5.1.5. Keterbatasan caregiver

Dalam menjalankan perannya, caregiver memiliki banyak keterbatasan yang dibagi menjadi kategori yaitu: (1) Faktor masalah fisik, (2) Faktor finansial, dan (3) Faktor fasilitas. Faktor masalah fisik yang dialami caregiver mencakup dari sakit yang dialami caregiver, jenis kelamin caregiver dan pasien yang dirawat, dan juga faktor usia caregiver.

Adapun jenis kelamin partisipan mayoritas adalah perempuan (93,8%), sedangkan jenis kelamin penderita stroke yang terbanyak adalah laki-laki (56,2%). Usia caregiver berada pada rentang 46-55 tahun (50%). Sebagian besar caregiver adalah wanita. Menurut Montgomery, Rowse, dan Kosloski (2007), wanita diketahui memiliki waktu istirahat dan latihan yang kurang dibandingkan pria. Sehingga terjadi perubahan kardiovaskuler seperti tekanan darah meningkat. Kurangnya waktu untuk merawat diri sendiri karena permintaan rawatan yang berkesinambungan dapat berdampak negatif pada kesehatan caregiver.

Karakteristik penderita stroke berupa faktor usia menimbulkan pengaruh, seperti pada caregiver lansia dengan masalah penurunan kemampuan fisiknya, memerlukan bantuan untuk perawatan fisik dan masalah administrasi yang mengarah kepada ketegangan dan stres caregiver. Dari segi pengaturan hidup, dengan adanya perpindahan pasien dari rumah ke rumah sakit atau sebaliknya misalnya, alam menimbulkan distres. Karakteristik penderita stroke berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, status finansial, status pernikahan, pengaturan hidup dan peran biasanya, ini perlu dipertimbangkan dalam kontribusinya terhadap beban caregiver.

Dokumen terkait