• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intoleransi Sosial

Dalam dokumen PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA (Halaman 40-45)

Sebelum membahas konseptualisasi intoleransi sosial, perlu memahamami defensi toleransi sosial itu sendiri. Secara sederhana toleransi merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan44. Toleransi adalah sebuah kultur sosial yang dibangun sedemikian rupa oleh individu atau kelompok pada patokan yang bersedia dengan varian ajaran atau perbedaan dalam lingkungannya45. Menurut

44Mahyuddin dkk, “Peran Strategis IAIN Ambon Dan IAKN Ambon Dalam Merawat Toleransi Sosial Dan Moderasi Beragama Di Ambon Maluku”, (Jurnal: Kuriositas, Vol 13, Edisi Juni 2020).

45Rengganiasih, Rengganiasih, Wilis, Tantangan Dan Prospek Pluralisme Dalam Masyarakat Buddhis.”dalam Pluralisme Agama Di Indonesia: Harapan Untuk Perdamaian Dan Keutuhan Ciptaan Di Indonesia, ed. Mety Herry & Anwar Khairul. (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2009).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleran memiliki makna bahwa seseorang bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagianya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.46 Artinya, seseorang atau kelompok meskipun memiliki latar belakang identitas berbeda seperti warna kulit, golongan, suku maupun agama tetapi mampu menghadirkan sikap penghormatan dan penghargaan terhadap yang lain.

Meskipun demikian, sikap toleransi tidak selamanya hadir dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Adakalanya, muncul fenomena intoleransi sebagai kebalikan dari toleransi seperti yang terjadi di Indonesia. Menurut Sugiharto, kasus-kasus kekerasan, musibah dan konflik di Indonesia, yang memperlihatkan semakin menurunnya tingkat toleransi, sebagian besar berakar pada persoalan identitas seperti agama. Lebih lanjut Sugiharto menyebutkan bahwa tendensi intoleransi kini semakin kuat dan menjadi tantangan karena beberapa hal;

1. Hilangnya batas-batas wilayah dalam interaksi global memang membawa rasa terinvasi dimana-mana, kenyaman tradisional terganggu, hak-hak dasar orang terpaksa dipertanyakan kembali, dan toleransi tidak mudah.

2. Hubungan-hubungan yang dialami sebagai tidak adil kini sering mendorong pengerasan indentitas secara tak terhindarkan, bahkan hingga tingkat agresif dan ofensif; pendeknya orang menjadi mudah bersikap intoleran.

3. Dunia media sosial membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk mengemukakan segala pendapat pribadi tanpa kendali, ini rentan melahirkan

46Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kementerian Pendidikan Dan Budaya, (2016).

suasana pertengkaran dan kebencian, yang menghambat sikap toleran terasa seolah ideal yang terlampau indah namun tidak realistis.47

Intoleransi sosial adalah suatu kondisi dimana suatu kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara khusus menolak untuk menoleransi praktik, penganut, atau kepercayaan berdasarkan suatu agama.

Namun, pernyataan bahwa keyakinan atau praktik keagamaan seseorang benar dan agama atau keyakinan lain salah tidak termasuk toleransi beragama, melainkan intoleransi ideologis. Kata intoleransi berasal dari prefik in- yang memiliki arti

"tidak, bukan". Dengan demikian, intoleransi keberagamaan dapat didefiniskan sebagai "sifat atau sikap yang tidak menoleransi (menghargai, membiarkan, membolehkan) perihal keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan agamanya sendiri".

Makna dari intolerasi seringkali dikaitkan dengan fanatisme dan radikalisme yang dianggap sebagai pandangan yang kurang menerima pendapat orang lain.

Sehingga menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat yang dapat merusak keharmonisan. Kegaduhan muncul di masyarakat dikaitkan dengan isu-isu agama atas dasar pembelaan yang dilakukan penganutnya.

Penyebaran radikalisme di Indonesia semakin masif, sistemik dan sangat meresahkan. Distribusinya ditujukan untuk banyak tujuan dan menggunakan banyak metode. Sasaran yang dituju adalah masyarakat umum, mahasiswa dan kalangan profesional. Sehubungan dengan kajian Syaifuddin dalam penelitiannya yang berjudul “Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Yogyakarta” menghasilkan narasi bahwa perguruan tinggi negeri lebih mudah merekrut gerakan radikal sedangkan

47Bambang Sugiharto, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi: Kajian Filosofis atas Permasalahan Budaya Abad ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 2019).

perguruan tinggi agama dianggap lebih sulit. Jika fakta menunjukkan bahwa gerakan radikal juga tumbuh subur dan berkembang di kampus-kampus keagamaan, maka ini bisa membuktikan dua hal. Pertama, telah terjadi perubahan pada perguruan tinggi agama itu sendiri. Kedua, terjadi metamorfosis bentuk dan strategi gerakan dalam gerakan radikal internal.48

Tindakan seperti ini memang tampak cukup merepotkan semua orang baik penguasa ataupun masyrakat denga alasan; pertama, gerakan radikalisme sering dianggap sebagai gerakan yang mempunyai kepentingan untuk membangun dan mewarnai dasar ideologi negara dengan paham ideologinya secara murni, atau mengganti ideologi negara yang sudah mapan dengan ideologi kelompok gerakan radikal tersebut, tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain yang berbeda dengannya.

Kedua, gerakan radikalisme dianggap membawa ketidakstabilan sosial, keresahan sosial, terutama karena sifat gerakan yang militan, keras, keras, hitam putih, pantang menyerah dan tidak meninggalkan cara-cara yang condong ke arah anarki dan destruktif. Selain gerakan radikalisme, juga dianggap tidak mau berkompromi dan tidak toleran terhadap kepentingan kelompok lain.

Ketiga, pengaruh gerakan radikal secara langsung atau tidak langsung dipandang mengancam eksistensi posisi elit penguasa, terutama karena pengaruh agitasi ideologis dan provokasi gerakan radikal yang umum terjadi di masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penguasa. Rezim, yang pada gilirannya dapat menimbulkan pembangkangan dan revolusi sosial yang akan

48Saifuddin, ‘Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Sebuah Metamorfosa Baru’ dalam Analisis Jurnal: Studi Keislaman, IAIN Raden Intan Lampung, 11.1 (2011).

menggulingkan tahta rezim yang berkuasa. Oleh karena itu, tidak heran jika siapapun rezim yang berkuasa di negara ini, ia akan melakukan segala cara untuk menghilangkan, menjinakkan, meredam atau mencegah berkembangnya gerakan radikal. 49

Namun di sisi lain, munculnya gerakan ini disebabkan oleh semangat penegakan syariat Islam, yang dalam sejarah politik Indonesia berakar pada wacana Islam dan negara yang landasan ideologisnya tertuang dalam Piagam Jakarta.

Kelompok Islam radikal yang menegakkan Syariat Islam dalam kajian Hadar Nashir dikenal dengan gerakan Syariat Islam.50 Pada hakekatnya paham radikalisme dalam Islam tidak menjadi masalah selama hanya menjadi ideologi bagi pemeluknya, tetapi ketika sebuah ideologi menjelma menjadi aksi teror dan kekerasan yang mengancam keamanan kehidupan masyarakat dan ketidakstabilan negara, radikalisme perlu mendapat perhatian tambahan secara bersama-sama, bergandengan tangan. Oleh karena itu, perlu terus ditingkatkan program deradikalisasi ideologi agama Islam guna menetralisir pengaruh ideologi radikal tersebut.

49Hannani, Hj. ST. Aminah, Firman, “Membendung Faham Radikalisme Keagamaan:

Respons dan Metode Dakwah Anregurutta se-Ajatappareng Sulawesi Selatan” (Jakarta: Orbit Publishing, 2019).

50Haedar Nashir, “Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia”, (Bandung:

Mizan-MAARIF Institute, 2013).

Dalam dokumen PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA (Halaman 40-45)

Dokumen terkait