• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA "

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

NISAR NIM. 18.3500.023

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PAREPARE

2022 M/1444 H

(2)

ii

PEMAHAMAN MODERASI BERAGAMA DAN SIKAP MAHASISWA SOSIOLOGI AGAMA TERHADAP

INTOLERANSI SOSIAL IAIN PAREPARE

OLEH

NISAR NIM. 18.3500.023

Skripsi Sebagai Salah Satu untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Pada Program Studi Sosiologi Agama

Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Parepare

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PAREPARE

2022 M/1444 H

(3)

iii

PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING

Judul Skripsi : Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial IAIN Parepare

Nama Mahasiswa : Nisar

NIM : 18.3500.023

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Dakwah

Program Studi : Sosiologi Agama

Dasar Penetapan Pembimbing : Surat Penetapan Pembimbing Skripsi Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Dakwah B- 2873/In.39.7/12/2021

Disetujui oleh

Pembimbing Utama : Sulvinajayanti, M.I.Kom

NIP : 198801312015032006

Pembimbing Pendamping : Muhammad Ismail, M.Th.I

NIP : 198507202018011001

(4)

iv

PENGESAHAN KOMISI PENGUJI

Judul Skripsi : Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial IAIN Parepare

Nama Mahasiswa : Nisar

Nomor Induk Mahasiswa : 18.3500.023 Program Studi : Sosiologi Agama

Fakultas : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Dasar Penetapan Pembimbing : Surat Penetapan Pembimbing Skripsi

Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Dakwah B- 1350/In.39.7/PP.00.9/06/2021

Disahkan oleh Komisi Penguji

Sulvinajayanti, M.I.Kom Pembimbing I

Muhammad Ismail, M.Th.I. Pembimbing II Prof. Dr. Sitti Jamilah Amin, S. Ag, M.Ag Penguji I

Dr. H. Muhammad Saleh, M.Ag Penguji II

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya miliki Allah Swt. Tuhan semesta alam, dengan rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kemudahan, kesempatan dan kekuatan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan sekalipun dalam bentuk yang sederhana.

Salawat serta salam tidak henti-hentinya kita haturkan kepada baginda Rasulullah Saw, beserta keluarganya, dan para sahabatnya yang telah menjadi penuntun umat manusia menggapai cahaya ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) pada Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare dan tidak terlepas dari uluran tangan, bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak baik berupa bantuan material maupun moril terutama kedua orang tua saya, Ayahanda Sawing dan Ibunda Ira serta saudari saya Hardiana dan Marhana. Mereka senantiasa memberikan nasehat yang sangat berarti dalam hidup ini, pengorbanan, kasih sayang, dan doa restunya baik dalam keadaan lapang, suka maupun duka selama penulis menempuh pendidikan.

. Olehnya itu, dengan kerendahan diri penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Hannani, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Parepare

2. Bapak Dr. A. Nurkidam, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah beserta seluruh stafnya yang telah memberikan Izin dan

(6)

vi

persetujuan mengadakan penelitian bahkan bantuan selama penulis menempuh studi di Institut Agama Islam Negeri Parepare

3. Bapak Abd. Wahidin M.Si, selaku Ketua Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah. Institut Agama Islam Negeri Parepare yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis.

4. Ibu Sulvinajayanti, M.I.Kom sebagai pembimbing I yang senantiasa memberikan sumbangan pemikiran serta arahan, baik selama dalam studi maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Prof. Dr. Sitti Jamilah Amin, M.Ag sebagai penguji I yang senantiasa memberikan sumbangan pemikiran, kritik dan saran dalam penyelesaian Skripsi ini.

6. Bapak Muhammad Ismail, M.Th.I. selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan kritik dan saran yang membangun bagi penulis.

7. Ayahanda Dr. H. Muhammad Saleh, M.Ag selaku penguji II yang senantiasa memberikan kritik dan saran yang membangun bagi penulis.

8. Spesial buat Bapak Mahyuddin, M.A yang selalu memberikan bantuan tiada henti-hentinya yang mungkin penulis tak bisa membalasnya. Serta seluruh dosen Prodi Sosiologi Agama maupun dosen yang pernah memberikan pengajaran yang bermanfaat bagi penulis selama proses perkuliahan.

9. Ibu Azaliyatulhidayah, S.Kom. MM. yang selalu memberikan bantuan, serta nasehat yang tiada hentinya mungkin penulis tak bisa membalasnya.

10. Rekan-rekan perantauan dari Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yakni; Hasan Azhari, Muliadi, Arbainah, Musdalifah, Lisna, Sitti Hadjerah.

(7)

vii

Adapun teman-teman pejuang Sarjana Sosial yakni; Sukmawati, Riska Yanti, Hamzah, Farwan, Rifat, Anto, Siskawati, Nasriani, Angreani, Amirah dan Era terima kasih kalian selalu hadir dalam hidup penulis yang memberi warna tersendiri bagi penulis selama menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Parepare. Kebersamaan, keceriaan, kebaikan maupun suka duka bersama selama proses perkuliahan tidak akan pernah penulis lupakan kawan-kawan baik senior maupun junior yang selalu membantu, menyemangati dan melahirkan keceriaan bersama selama penulis menempuh pendidikan.

11. Kepada para informan yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-data kepada penulis yang ada di Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Parepare.

Semoga Allah Swt berkenan menilai segala kebajikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan skripsi ini. Sebagai suatu karya manusia, tentu saja karya ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, masukan dan kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan karya ini. Sebuah harapan yang terdalam, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang memerlukannya. Amin.

Parepare, 12 Agustus 2022 Penulis

Nisar

NIM. 18.3500.023

(8)

viii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Nisar

Nim : 18.3500.023

Tempat/Tgl. Lahir : Pagatan, 19 Juli 1997 Program Studi : Sosiologi Agama

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Dakwah

Judul Skripsi : Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial IAIN Parepare

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhanya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum

Parepare, 12 Agustus 2022 Penulis

s Nisar

NIM 18.3500.023

(9)

ix ABSTRAK

NISAR. Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial IAIN Parepare (Dibimbing oleh Sulvinajayanti, Muhammad Ismail)

Isu intoleransi agama menjadi salah satu tantangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini yang didasari keberagaman baik ditinjau dari segi agama, ras, budaya, bahasa. Tentu dalam perbedaan mempunyai sisi pandang yang berbeda pula. Apalagi sebagai mahasiswa yang dibekali ilmu pengetahuan tentunya mempunyai daya kritis untuk mengemukakan suatu presepsi atau pandangan kepada orang lain. Mahasiswa diharapkan menjadi sarana strategis untuk menginternalisasi nilai-nilai moderasi beragama dalam membangun toleransi. Penelitian ini, mendiskusikan bagaimana pemahaman moderasi beragama dan sikap mahasiswa terhadap intoleransi.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitan yang mendeskrisikan hasil wawancara dilapangan. Peneliti mengambil data dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teori yang digunakan yaitu teori pluralisme agama yang dimana paham yang di ajarkan bahwa semua agama memiliki kebenaran yang relatif. Sedangkan teori multikulturalisme memberikan pemahaman tentang keragaman budaya, etnis maupun agama.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mahasiswa sosiologi agama telah memahami tentang moderasi beragama dalam ruang lingkup kampus dan ruang lingkup masyarakat. Mereka umumnya menolak segala bentuk tindakan intoleransi sosial yang merugikan individu ataupun kelompok-kelompok dengan mengatasnamakan agama. Penelitian ini dapat berfungsi sebagai pembanding terhadap fenomena dan isu-isu intoleransi pada perguruan tinggi keagamaan Islam saat ini.

Kata kunci: Mahasiswa Sosiologi Agama; Moderasi Beragama; Intoleransi Sosial;

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI……….………...ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN……….1

A.Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...………..7

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 7

B. Tinjauan Teori………. 10

1. Pluralisme ... 10

2. Moderasi Beragama ………...15

3. Mutlikulturalisme ………...………19

C. Kerangka Konseptual ... 21

1. Pemahaman ... 21

2. Moderasi Beragam ... 22

3. Sikap Intoleransi ... 35

D. Kerangka Pikir ... 36

BAB III METODE PENELITIAN………..37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

(11)

xi

C. Fokus Penelitian ... 37

D. Jenis dan Sumber Data yang digunakan ... 37

E. Teknik Pengumpulan Data... 38

F. Pengujian Keabsahan Data... 40

G. Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………...43

A. Hasil Penelitian... 43

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 58

BAB V PENUTUP ……….70

A. Simpulan ... 70

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(12)

xii

DAFTAR TABEL

No. Nama Tabel Halaman

3.1 Kerangka pikir 32

3.2

Nama program studi sosiologi agama dan jumlah

mahasiswa(i) aktif 35

3.3 Jumlah informan berdasarkan angkatan 35

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Lampiran Halaman

1 Instrumen Penelitian Terlampir

2 Surat Pengantar Penelitian dari Kampus Terlampir

3 Surat Izin Rekomendasi Terlampir

4 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Terlampir

5 Keterangan Wawancara Terlampir

6 Dokumentasi Terlampir

7 Biodata Penulis Terlampir

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Negeri merupakan salah satu kampus yang multikultural. Hal ini ditandai dengan adanya bermacam suku, budaya, serta mazhab dalam beragama khususnya Islam serta bahasa dilingkungan mahasiswa.

Menghadapi perbedaan adalah sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa ini, khususnya membangun sebuah keharmonisan. Bukan suatu hal yang mudah untuk menyatukan sebuah perbedaan, oleh karenanya tidak jarang perbedaan melahirkan perpecahan.1

Fenomena saat ini, sering kali terjadi kesalah pahaman yang disebabkan karena adanya latar belakang yang berbeda. Tentu perbedaan selalu menjadi api utama menimbulkan sikap intoleransi yang mengatas namakan budaya, bahasa maupun bermazhab dalam beragama. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi ditengah-tengah mahasiswa ialah kesalah pahaman dalam berbahasa daerah, praktik budaya, serta pemahaman mengenai keyakinan bermazhab Namun tidak semua mahasiswa yang memiliki keragaman budaya, keyakinan bermazhab serta bahasa mengalami sikap intoleran. Tentu masih ada harapan penuh untuk mencita-citakan keharmonisan dan kedamaian dalam keberagaman mahasiswa dengan cara menyesuaikan dalam perbedaan atau yang sering disebut integrasi sosial. Integrasi sosial tersebut dapat dicapai ketika semua aktivitas sosial berada dalam keseimbangan dan tetap menerapkan persatuan kelompok mahasiswa seperti organisasi daerah yang menghimpun mahasiswanya yang ada dalam perguruan tinggi.

Adapun cara alternatif yang perlu dilakukan adalah ketika berkomunikasi dengan

1Nasaruddin Umar, “Islam Nusantara Jalan Panjang Moderasi Di Indonesia” (Jakarta: PT Gramedia, 2019).

(15)

bahasa-bahasa yang mudah dipahami yaitu menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan upaya untuk mewujudkan keseimbangan.

Keseimbangan yang dimaksud adalah seimbang dalam pemikiran dan seimbang mengambil keputusan. Keseimbangan ini bisa dikatakan sikap moderasi yang artinya tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan atau berada dititik tengah.

Istilah "moderasi" Seringkali didefinisikan sebagai mengurangi kekerasan dan juga menghindari ekstrim. Secara universal, istilah moderasi sering dipahami sebagai kegiatan yang mengarahkan atau menengahi komunikasi interaktif yang terjadi antara banyak pihak dalam bentuk lisan dan tulisan.

Moderasi memiliki makna yang berarti kesedang-sedangan suatu bentuk tindakan atau hubungan yang akan menengahi dalam upaya penyelesaian masalah antara dua pihak atau lebih sehingga masalah tersebut menemukan solusi dan perdamaian dengan mengurangi potensi kekerasan atau ekstremisme. Namun, dalam konteks Islam sendiri, moderasi diidentikkan dengan konsep wasathan (Wasathiyyah) yang memiliki makna adil yang bersumber dari Al-Quran Allah berfirman:

ا ًد ْي ِه َش ْمُكْيَلَع ُلْو ُس َّرلا َنْوُكَيَو ِساَّنلا ىَلَع َءۤا َدَه ُش اْوُنْو ُ

كَتِ ل ا ًط َس َّو ًة َّم ُ ا ْم ُ

كٰن ْ

ل َع َج َكِل ٰ ذ َ

كَو

ۗ

اَن ْ

ل َع َج ا َم َو ِۗهْيَب ِق َع ىٰلَع ُبِلَقْنَّي ْنَِّمِ َلْو ُس َّرلا ُعِبَّتَّي ْنَم َم َ

ل ْعَنِل ا َّ

ل ِا ٓا َهْي َ لَع َت ن ْ ُ

ك ْي ِت َّ

لا ة َ َ ل ْب ِق ْ

لا َ ه

للّٰا َّ

ن ِا ۗ ْم ُ

كَناَمْي ِا َعْي ِضُيِل ُ ه للّٰا نا َ َ

ك ا َم َوۗ ُ ه

للّٰا ى َد َه َنْي ِذ َّ

لا ى َ لَع ا َّ

ل ِا ًة َرْيِب َ ك َ

ل ْتَنا َ ك ن ِا َو ْ لاِب

ِساَّن

ٌمْي ِح َّر ف ْو ُء َر ٌ َ ل ١٤٣

Terjemahannya:

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke

(16)

belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan (Al-quran Surah Al- Baqarah, 1 : ayat 143).2

Menurut tafsir M. Quraysh Shihab, kata wasatan yang terdapat dalam ayat 143 Surat al-Baqarah menunjukkan posisi tengah.3 Kata ini mengandung makna bahwa tidak hanya membuat seseorang tidak memihak ke kiri atau ke kanan, tetapi juga membuat seseorang dapat melihat/dilihat dari semua sisi. Bila ini terjadi, dia akan berpotensi menjadi panutan bagi semua pihak.

Tafsir di atas, dapat simpulkan bahwa kelas menengah merupakan potensi sekaligus tugas yang diberikan Allah Swt dan harus dilanjutkan. Islam mengajarkan pengikutnya untuk bersikap toleran, menghargai dan agar saling mengasihi satu sama lain. Selama dalam urusan aqidah tidak dicampur adukkan dengan kepercayaan orang lain, Islam masih mengizinkan umatnya berinteraksi dan berkomunikasi secara baik dengan pengikut agama-agama lain.

Sehubungan dengan hal ini pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia menginstruksikan kepada para rektor PTKIN se-Indonesia untuk mensosialisasikan sikap moderasi beragama dengan meningkatkan literasi dan sikap moderasi beragama.4 Menanggapi hal tersebut, beberapa kampus telah mengeluarkan kebijakan khusus untuk mempersempit ruang penyebaran sikap intoleransi mahasiswa. Menurut penjelasan Mas’ud Halimil dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam acara RPR (Rakor Penanggulangan Radikalisme) bahwa, pemahaman keagamaan masyarakat berada pada level “waspada” (66,3%).

sedangkan pada tingkatan kedua yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah golongan

2Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Dan Terjemahnya” (Surabaya:Fajar Mulya, 2019 Juz 1).

3 Adnan Bayhaqi, “Ummatan Wasathan Dalam Tafsir Al-Misbah: Penafsir M. Quraish Shihab Terhadap Surah Al-Baqarah ayat 143” (Ushuly: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 1, 2022).

4Muhammad Murtadlo, “Menakar Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi” (jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2019).

(17)

mahasiswa yang menjadi sasaran ideologi radikal berada pada tingkat “hati-hati. Pada tingkatan ketiga yang memiliki tingkat “bahaya” adalah kalangan pengurus masjid dan guru sekolah madrasah sebesar (15,4%). 5 Proses Radikalisme ternyata menjangkau perguruan tinggi khususnya kalangan mahasiswa. Salah satu buktinya adalah tertangkapnya lima dari tujuh belas anggota jaringan. Pepi Fernando yang pada saat itu masih berstatus sebagai seorang lulusan strata satu (S1). Bahkan tiga diantaranya merupakan lulusan dari universitas yang sangat terkenal di Jakarta yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.6 Ditinjau dari fenomena yang terjadi pemerintah merespon dan memberikan arahan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia.

Mengenai seruan tersebut Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan seluruh PTKIN mulai menerapkan sikap moderasi agar tidak lagi terjadi kasus-kasus intoleransi yang menyebabkan mahasiswa bersikap radikal.

khususnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare menanggapi dengan serius atas intruksi tersebut dengan membentuk pusat kajian moderasi sebagai upaya untuk menangani isu-isu yang beredar luas dan tidak terjadi di IAIN Parepare. Bahkan moderasi relevan dengan mottonya yaitu: Malebbi warekkadana makkiade ampena yang artinya santun dalam bertutur, sopan dalam berperilaku. Selain dari motto adapun kegiatan yang dilakukan yakni sekolah moderasi beragama yang dilaksanakan oleh Ma’had Al-Jami’ah IAIN Parepare.7 Adapun seminar nasional yang dilakukan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah yang bertemakan Komunikasi Islam Sebagai

5 https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20171027/281590945816030. Diakses pada tanggal 23 November 2017 Jam 12:43 WIB.

6Saifuddin, ‘Radikalisme Islam Di Kalangan Mahasiswa (Sebuah Metamorfosa Baru)’, Analis, 11.1(2011).

7 https://www.iainpare.ac.id/gelar-sekolah-moderasi-mahad-al-jamiah-hadirkan-pemateri- handal/

(18)

Kalimatun Sawa di Era Metaverse.8 Dilaksanakan di Auditorium IAIN Parepare pada hari rabu 20 juli 2022.

Berawal dari latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang pemahaman moderasi beragama serta sikap intoleransi sosial diwilayah perguruan tinggi IAIN Parepare, khususnya Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Oleh karena Itu peneliti mengangkat judul “Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial IAIN Parepare”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemahaman mahasiswa sosiologi agama tentang moderasi beragama?

2. Bagaimana mahasiswa Sosiologi agama menyikapi tentang intoleransi sosial?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pemahaman mahasiswa Sosiologi Agama tentang modersai beragama.

2. Untuk mengetahui sikap mahasiswa Sosiologi Agama tentang intoleransi sosial.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teori

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, wawasan, pemikiran dan pengetahuan mengenai pemahaman moderasi beragama dan sikap mahasiswa tentang intoleransi sosial. Selain itu, untuk menambah khazanah kepustakaan Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam

8 https://parepos.fajar.co.id/2022/07/memandang-kalimatun-sawa-di-era-metaverse-fuad-iain- parepare-gelar-seminar-nasional/ (Fatahuddin)

(19)

Negeri Parepare dan diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai studi banding bagi peneliti lain.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian serta bahan evaluasi dalam terbentuknya pemahaman yang moderat. Khususnya bagi mahasiswa yang masih memiliki tanggung jawab secara akademis, bagi masyarakat dan pembaca pada umumnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai pemahaman moderasi beragama serta sikap intoleransi sosial.

b. Dapat memberikan informasi mengenai pemahaman moderasi beragama dan sikap mahasiswa tentang intoleransi sosial yang saat ini masih mengikuti pembelajaran akademik dan selanjutnya yang ingin meneliti mengenai fenomena ini.

(20)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya menjadi salah satu pedoman bagi penulis dalam melakukan penelitian karena dapat bersifat teoritis dalam mengkaji penelitian yang akan dilakukan. Penulis mengulas beberapa penelitian terdahulu untuk mengetahui persamaan, perbedaan, dan menjadi acuan dalam melakukan penelitian.9 Adapun penelitian ini berjudul “Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial IAIN Parepare. Setelah membaca hasil beberapa penelitian, penulis menemukan judul yang sesuai dengan judul penelitian yang juga membahas tentang pemahaman moderasi beragama yaitu:

1. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Yedi Purwanto dkk, yang berjudul “Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum, (2019).” Hasil dari penelitian ini adalah pola internalisasi nilai-nilai moderasi melalui mata kuliah. Fokus penelitian ini mendeskripsikan implementasi nilai-nilai moderasi beragama pada dikalangan mahasiswa

Persamaan penelitian tersebut mengkaji tentang moderasi beragama. Adapun perbedaannya penelitian Yedi Purwanto dilakukan melalui tatap muka dalam perkuliahan, tutorial, seminar dan yang semisalnya. Evaluasinya dilakukan melalui screening wawasan keislaman secara lisan dan tertulis secara laporan berkala dari dosen dan tutor.10 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih fokus

9Muhammad Kamal Zubair, dkk, “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020).

10Yedi Purwanto ‘Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum.’ EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. 1.2 (2019).

(21)

tentang “Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Tentang Intoleransi Sosial”.

2. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Khairul Rijal dkk, yang berjudul

“Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa,(2022)”. Penelitian ini ditulis memiliki kemiripan yaitu dikalangan aktivis mahasiswa yang aktif berorganisasi umumnya paham terkait moderasi beragama, perbedaan yang mendasar yakni penelitan yang dilakukan Muhammad Khairul Rijal dkk menyasar aktivis mahasiswa.11 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih fokus tentang Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Sosiologi Agama Terhadap Intoleransi Sosial

3. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Salisul Khakim dkk, yang berjudul “ Kontribusi Mahasiswa Daerah Dalam Penanganan Intoleransi Melalui Sinergi Perguruan Tinggi Di DIY (2020)”.12 Adapun sisi kemiripan dari penelitan yang ditulis oleh peneliti ialah membahas tentang intoleransi, selain persamaan tentu ada perbedaan dari penelitian ini yakni Muhammad Salisul Khakim dkk, meneliti Kontribusi Mahasiswa Daerah Dalam Penanganan Intoleransi, sedangkan sipenulis meneliti pemahaman dan sikap mahasiswa sosiologi agama terhadap intoleransi Sosial skala program Studi Sosiologi Agama di Institit Agama Islam Negeri Parepare.

4. Artikel Jurnal Halimur Rosyid dkk yang berjudul ‘Intoleransi, Radikalisme Dan Terorise Di Lamongan (2018)’. Hasil dari Penelitian ini adalah perilaku seseorang dari Intoleransi hingga menjadi terorisme dipengaruhi oleh beberapa faktor,

11Muhammad Khairul Rijal dkk, ‘Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa’, Pusaka: Jurnal Khazanah Keagamaan, 10.1 (2022).

12 Muhammad Salisul Khakim dkk, ‘Kontribusi Mahasiswa Daerah Dalam Penanganan Intoleransi Melalui Sinergi Perguruan Tinggi Di DIY’ Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: 10.1, (2020)

(22)

diantaranya ada perbedaan keyakinan, etnik, status sosial ekonomi sebagai gejala awal yang berpotensi menghasilkan gejala toleransi/intoleransi, radikalisme hingga terorisme.13

Kesamaan penelitian ini dengan peneliti yang akan lakukan adalah keduanya membahas tentang intoleransi. Perbedaan selanjutnya yaitu, penulis ingin meneliti bagaimana pemahaman mahasiswa terhadap sikap intoleransi. Sedangkan Halimur Rosyid dkk, meneliti adanya kepentingan ekonomi yang berperan menghubungkan perbedaan dengan intoleransi dan radikalisme yang jika semakin menguat nantinya dapat menghasilkan pula terorisme.

5. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Mahyuddin dkk, dengan judul: “Peran Strategis IAIN Ambon dan IAKN Ambon Dalam Merawat Toleransi Sosial dan Moderasi Beragama di Ambon Maluku (2020)”. Kesamaan penelitian ini adalah menulis tentang peran lembaga pendidikan tinggi dalam membentuk kesadaran moderasi beragama. Adapun perbedaanya yakni penulis fokus pada pemahaman mahasiswa dan sikapnya terhadap intolernasi sosial secara khusus pada mahasiswa program studi sosiologi agama IAIN Parepare.14

B. Tinjauan Teori 1. Pluralisme Agama

Menurut Nurcholis Madjid mendiskusikan pluralisme agama berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan adanya kemungkinan berbagai

13Halimur Rosyid dkk, ‘Intoleransi, Radikalisme Dan Terorise Di Lamongan’ Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45, 4.1 (2018).

14 Mahyuddin dkk, ‘Peran Strategis IAIN Ambon dan IAKN Ambon Dalam Merawat Toleransi Sosial dan Moderasi Beragama di Ambon Maluku’, Jurnal: Kuriositas IAIN Parepare, 13.1(2020).

(23)

penganut agama bertemu dalam suatu landasan bersama (common platform).15 Asumsi teori ini secara tidak langsung mengafirmasi bahwa tidaklah mungkin terjadi interaksi positif-dinamis antar umat beragama jika tidak ada titik temu di antara agama yang satu dengan agama yang lain.

Pluralisme agama merupakan paham atau teori yang menganggap bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Pluralisme agama merupakan upaya untuk mengembangkan tidak hanya teologis, tetapi juga kesadaran sosial. Dikembangkan berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat hidup dalam keberagaman baik dari segi agama, budaya, suku, dan berbagai perbedaan sosial lainnya. Pluralisme sendiri mengandung konsep teologis dan konsep sosiologis.16

Pluralisme agama dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai macam latar belakang agama yang memiliki eksistensi hidup, gotong royong dan interaksi antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. Termasuk dalam konteks pluralitas agama, setiap umat beragama berusaha untuk bisa memahami serta bisa menyikapi perbedaan dan keragaman agama dengan mengacu pada nilai-nilai dasar agama yang dianutnya. 17 Tentu sikap memahami perbedaan membawa kedamaian antar umat beragama serta mengurangi tindakan-tindakan intoleran terhadap agama lainnya.

a. Faktor Penyebab dalam Pluralisme Agama

Selain itu juga ada dua faktor yang menjadi penyebab dalam pluralisme agama yaitu faktor internal (ideologis) dan Faktor ekstenal. Antara dua faktor ini

15 Aris Angwarmase, “Mencari Landasan Pluralisme Belajar Pada Nurcholis Madjid” ( Yogyakarta: Interfidei, 2009).

16 Moh. Shofan, “Pluralisme Menyelamatkan Agam-agama” (Yogyakarta: Samudra Biru, 2011).

17Limas Dodi, ‘Persoalan Kehidupan Kontemporer:Menggagas Kajian Sachedina Tentang Theologi Pluralisme’, Jurnal: Empirisma, 26.1 (2017).

(24)

saling mempengaruhi dan saling berkesinambungan. Faktor internal merupakan faktor yang muncul disebabkan adanya tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truthclaims) dari agamanya sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin. Faktor ini sering juga disebut sebagai faktor ideologis. Makna ideologi adalah bahwa umat manusia terbagi menjadi dua, pertama, menjadi orang yang sangat percaya pada wahyu langit atau samawi, dan kedua, menjadi orang yang tidak percaya selain pada kemampuan nalar (rasional).

Sedangkan faktor eksternal terbagi menjadi dua, yaitu faktor sosial politik dan faktor keilmuan. Ada pula dua faktor eksternal yang kuat dan berperan penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif dan lahan subur bagi tumbuhnya teori pluralisme agama. Kedua faktor tersebut adalah faktor sosial politik dan faktor ilmiah:

1) Faktor Sosio Politis

Faktor-faktor yang mendukung teori pluralisme agama dapat mengembangkan wacana politik, demokrasi, dan nasionalis yang mengarah pada munculnya sistem negara bangsa, dan kemudian mengarah pada kedewasaan yang disebut globalisasi, yang merupakan hasil dari proses sosial dan politik yang telah berlangsung selama kurang lebih tiga abad.

2) Faktor Keilmuan atau Ilmiah

Sebenarnya, ada banyak faktor ilmiah yang terlibat dalam diskusi ini. Namun, yang berhubungan langsung dengan munculnya teori pluralisme agama adalah maraknya penelitian ilmiah modern tentang agama-agama dunia, atau sering dikenal dengan studi agama-agama.

(25)

b. Dasar-dasar Pluralisme agama

Terkait dengan adanya dasar-dasar pluralisme terdapat tiga pokok yaitu:

Pertama, Dasar Filosofis Kemanusiaan, Kedua, Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya. Ketiga, Dasar Teologi. Sebagaimana dari tiga pokok ini akan dijelaskan.

1) Dasar Filosofis Kemanusian

Keberagaman dalam memahami pluralisme adalah hal yang mutlak tanpa tawar menawar. Inilah bentuk konsekuensi kemanusiaan. Manusia sendiri memiliki unsur-unsur esensial (esensi dasar)

dan tujuan hidup yang berbeda satu sama lain, baik secara individu maupun kelompok.

2) Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya

Pengakuan kebhinekaan merupakan konsekuensi dan konsistensi kewajiban sosial dan konstitusional sebagai masyarakat budaya (suku, bangsa, bahkan dunia).

Karena keragaman adalah keharmonisan kodrat manusia sebagai makhluk sosial.

Dengan demikian, keragaman merupakan elemen penentu keberadaan dan keunikan masyarakat. Oleh karena itu, dalam sejarah pembentukan dan kehidupan setiap kelompok sosial, selalu ada kesadaran dan pengakuan akan adanya kebhinekaan, serta keinginan untuk secara konsisten menerima dan mendukung kebhinekaan.18

3) Dasar Teologis

Dalam masyarakat yang religius seperti masyarakat Indonesia, terdapat berbagai bentuk agama yang berbeda dalam berbagai aspek atau unsurnya, dan pluralisme agama harus diterima sebagai kesepakatan dengan nilai-nilai luhur dan

18Muhammad Fathi Osman, “Islam Pluralisme dan Toleransi Keagamaan” (Jakarta selatan:

PSIK Universitas Paramadina, 2006).

(26)

citra “Yang Ilahi” (Allah) yang maha segalanya.19 Dalam konsep pluralisme agama sendiri menggap bahwa semua agama memiliki satu tujuan, hanya saja jalan dan praktik-praktik keagamaannya yang berbeda.

2. Multikulturalisme

Multikulturalisme berasal dari kata multi (jamak), cultural (tentang budaya) dan ism (pemahaman). Multikulturalisme mengandung pengertian pengakuan atas realitas keragaman budaya, yang berarti mencakup baik keragaman tradisional, seperti keragaman etnis, ras atau agama, maupun keragaman bentuk kehidupan (subkultur) yang terus muncul pada setiap tahapan sejarah kehidupan manusia.

Menurut Setiadi & Kolip multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kederjatan perbedaan kebudayaan.

Ideologi multikulturalisme mengembangkan cara agar setiap individu bergandengan tangan dan saling mendukung satu sama lain, sehingga setiap individu atau kelompok menumbuhkan rasa toleransi dan integrasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.20

Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia.21 Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia dan

19Abd. A’la, dkk, “Nilai-nilai Pluralism Dalam Islam” (Bandung: Nuansa, 2005).

20 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, “Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala permasalahan Sosial Teori Aplikasi dan Pemecahannya” (Jakarta: Kencana, 2011).

21 H.A. Tilaar, “Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan Nasional”, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004).

(27)

kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranata-pranata sosialnya, yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-hari. Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip pengakuan (recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme.

Sejak awal multikulturalisme harus diakui sebagai ideologi, alat atau sarana untuk meningkatkan pengakuan kesetaraan semua orang dan kemanusiaannya, yang dalam praktiknya diwujudkan melalui pranata sosial, yaitu budaya sebagai pedoman hidup manusia dari sekelompok orang. Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah sebuah konsep yang melegitimasi keragaman budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan dan prinsip pengakuan dalam berbagai definisi multikulturalisme.

Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan budaya yang menekankan penerimaan terhadap realitas agama, plural, dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme juga dapat dipahami sebagai pandangan dunia, yang kemudian memanifestasikan dirinya dalam kesadaran politik. Dalam konteks ini, tercakup proses sosial yang mendukung proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya merupakan kesederajatan pelaku secara individual (HAM).

Secara deskriptif multikulturalisme dibedakan menjadi lima model penting yaitu:

1) Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain.

(28)

2) Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.

3) Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat pluralistik yang kelompok budaya utamanya berusaha mencapai kesetaraan dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang dapat diterima secara kolektif.

4) Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok- kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif perspektif khas mereka.

5) Multikulturalisme kosmopolitan yaitu masyarakat pluralistik yang berusaha menghilangkan batas-batas budaya sepenuhnya untuk menciptakan masyarakat di mana setiap orang tidak lagi terikat pada budaya tertentu, melainkan berpartisipasi secara bebas dalam eksperimen antarbudaya dan pada saat yang sama mengembangkan kehidupan budayanya sendiri. 22

Djohan Effendi mengklasifikasikan strategi yang perlu ditempuh dalam membentuk kesadaran pemahaman multikulturalisme. Pertama, secara konsisten dan konsekuen tidak memperlakukan komunitas-komunitas kulturalnya secara deskriminatif, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kedua, menjamin keadilan sosial dan akses yang sama untuk mendapatkan kekuasaan politik pada kelompok- kelompok minoritas dan mendorong kerja sama antar etnik dan antar agama dalam semua bidanng kehidupan. Ketiga, mendorong warganya untuk bersikap terbuka dan

22ST. Nugroho, ”Multikulturalisme”, (Jakarta: PT. Indeks , 2009).

(29)

tanpa ragu-ragu menyatakan identitas kulturalnya sehingga tidak ada yang merasa tersisihkan dan terpinggirkan.23

Setiadi dan Kolip membagi beberapa poin yang perlu dikembangkan dalam membangun multikulturalisme antara lain:

1. Mengembangkan sikap untuk saling menghargai (yang sering disebut toleransi) terhadap nilai-nilai dan norma sosial yang berbeda-beda dari anggota masyarakat yang majemuk, tidak sikap mementingkan kelompok, ras, etnik, agama sendiri-sendiri dalam setiap mengemban tugas-tugas yang diamanatkan kepada dirinya.

2. Meninggalkan sikap primordialisme, yang akan menjerumuskan kehidupan berbangsa dan bernegara kepada pola-pola sikap yang bersifat etnosentrisme, ekstremisme, dan konservatisme yang berlebih-lebihan.

3. Menegakkan supremasi hukum, dalam pengertian bahwa semua peraturan negara adalah hukum yang berlaku untuk seluruh komponen bangsa tanpa pengecualian dalam arti tidak ada peraturan negara yang tidak mengikat kepada seluruh komponen bangsa.

4. Merumuskan kembali konsep nasionalisme seiring perubahan sosial yang dinamis kepada generasi muda terutama dalam pengembangan sikap rasa tanggung jawab sebagai warga negara agar memiliki andil dan peran dalam memajukan kehidupan bangsa dan negara.

5. Mengembangkan sikap yang komprehensif integral dalam arti memiliki jiwa kritis tetapi kreatif, yang wujudnya ialah memiliki kepedulian kepada kehidupan bangsa dan negara yang tercermin dalam kewaspadaan akan segala

23 Djohan Effendi “Pluralisme dan Kebebasan Beragama”, (Yogyakarta: Interfidei, 2015).

(30)

bentuk penyimpangan dalam pembangunan, tetapi sekaligus juga memberikan alternatif pemecahan dari persoalan yang diajukan.

6. Mengembangkan dialog dalam menyelesaikan setiap konflik yang senantiasa muncul disetiap ruang dan waktu kehidupan social.24

C. Tinjauan Konseptual

Untuk lebih mudah dipahami maksud dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkait dengan Pemahaman Moderasi Beragama dan Sikap Mahasiswa Tentang Intoleransi Sosial, maka penulis memberikan penjelasan dari judul tersebut.

1. Moderasi beragama

Moderasi beragama yang mempunyai arti adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan meimplementasikan semua konsep yang berpasangan, dalam KBBI kata adil diarikan tidak berat sebelah atau tidak memihak, berpihak kepada kebenaran, dan sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.25 Moderasi Islam atau sering juga disebut Islam moderat, merupakan terjemahan dari kata wasathiyyah al-Islamiyyah. Kata wasata aslinya berarti tawazun yang artinya seimbang, sedang, posisi tengah, tidak ekstrim ke kanan maupun ke kiri.26

Moderasi beragama adalah sikap beragama yang terletak antara keyakinan terhadap agamanya sendiri (eksklusif) dan dalam hubungannya dengan keyakinan lain (inklusif). Menghindari pandangan ekstrim dan fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau mazhab, serta sentimen revolusioner, yang diperlukan sebagai sarana

24 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, “Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala permasalahan Sosial Teori Aplikasi dan Pemecahannya” (Jakarta: Kencana, 2011)

25Kementrian Agama RI, “Moderasi Beragama” (Jakarta : Badan Litbang dan Diklat kementrian agama RI, 2019).

26Babun Suharto, “Moderasi Beragama Dari Indonesia Untuk Dunia” (Yogyakarta: LKIS, 2019).

(31)

atau keseimbangan dalam praktik keagamaan. Moderasi beragama adalah kunci untuk membangun budaya toleransi dan kerukunan secara lokal, nasional, dan global.27

Moderasi menolak ide-ide seperti ekstremisme dan liberalisme, moderasi itu sendiri adalah kunci untuk menyeimbangkan agama dan menciptakan kedamaian dalam aktivitas. Dengan cara ini, orang yang berbeda dapat memperlakukan orang lain dengan hormat, menerima perbedaan, dan hidup dengan baik. Moderasi beragama merupakan keharusan bagi Indonesia yang membutuhkan masyarakat multikultural.

Menurut pendapat Mohammad Hashim Kamali, keseimbangan (balance) dan berlaku adil (justice) merupakan prinsip dasar dari moderasi dalam beragama.

Seseorang yang beragama tentu tidak boleh memiliki pandangan yang ekstrem bahkan radikal dengan hanya melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja melainkan harus bisa mencari titik tengah dari dua sudut pandang tersebut, dengan itu sebagai hubungan antar umat beragama akan tercipta hubungan yang harmonis dan nyaman.28

Istilah "moderasi beragama", menurut Nahdlatul Ulama (NU), lebih dikenal dengan "Islam Nusantara". Islam Nusantara ini mengarah pada pola umat Islam Indonesia yang hidup dalam keberagaman berbangsa dan bernegara.29 Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), moderasi atau wasathiyah adalah Islam menganut jalan tengah (tawassut), keseimbangan (tawazun), lurus dan teguh (i'tidal), toleransi

27Achmad Rosidi, ‘Integrasi Sosial Umat Beragama dalam Penyelesaian Konflik Bernuansa Agama di Kecamatan Kepil Wonosobo’, Jurnal: Multikultural dan Multireligius 15.3 (2016).

28Harin Hiqmatunnisa dan Ashif Az-Zafi, ‘Penerapan Nilai-nilai Moderasi Islam dalam Pembelajaran Fiqih Di PTKIN menggunakan Konsep Problem Based Learn’, Jurnal: JIPIS 29.1 (2020).

29Nasaruddin Umar, “Islam Nusantara jalan panjang moderasi beragama di Indonesia”

(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019).

(32)

(tasamukh), egalitarianisme (musawah), musyawarah. (syura) semangat reformis (Islaj), prioritas keutamaan (aulawiyat), dinamis dan inovatif (tatawur wa ibtikar) dan beradab (tahadhur).

Moderasi beragama ini merupakan istilah yang dikemukakan oleh Kementrian Agama RI moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan prilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama menurut Lukman Hakim Saifuddin adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari prilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat megimplementasikannya.

Cara pandang dan sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat plural dan multikultural seperti Indonesia, karena hanya dengan cara itulah keragaman dapat disikapi dengan bijak, serta toleransi dan keadilan dapat terwujud.

Moderasi dengan sendirinya bukan berarti sikap atau perilaku yang melibatkan pengorbanan prinsip-prinsip dasar peribadatan masing-masing agama yang telah menjadi keyakinan, tetapi moderasi adalah sikap toleran terhadap perwakilan agama lain dalam hubungan antarmanusia. kemudian Imam Syamsi Ali sampai pada kesimpulan bahwa moderasi adalah kepatuhan terhadap apa yang, tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan, nilai tengah tidak mengarah pada perasaan egois.30

Menurut pandangan M. Quraish Shihab tentang moderasi (wasatiyyah) bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas ataupun tidak tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis. Moderasi beragama tidak hanya sekedar urusan atau orang perorang, melainkan juga urusan setiap kelompok, masyarakat, dan negara. Moderasi beragama menurut Nasaruddin

30Priyantoro Widodo dan Karnawati, ‘Moderasi Agama dan Pemahaman Radikalisme agama Kristen’, Jurnal: Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 15.2 (2019).

(33)

Umar adalah suatu bentuk sikap yang mengarah pada pola hidup berdampingan dalam keberagaman beragama dan bernegara.31

Moderat menurut pandangan Khaled Abou El Fadl sama dengan istilah modernis, progresif, dan reformis. Namun, ia memilih istilah "moderat" karena lebih tepat untuk menggambarkan kelompok Puritan yang berurusan dengannya.

Menurutnya, modern adalah kelompok yang berusaha mengatasi tantangan modernitas, yaitu masalah modern. Tidak hanya itu, ia juga mengklaim bahwa sikap moderasi menggambarkan sikap keagamaan terbesar umat Islam saat ini.32

Lebih lanjut Khaled menjelaskan bahwa moderasi adalah sikap yang mudah diingat, yang diberikan Tuhan kepada manusia dan kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Sehingga mereka memiliki kebebasan memilih dalam menentukan pilihan yang terbaik, dalam arti masih dalam koridor moral yang berlaku bagi masyarakat umum.33

Yusuf al-Qaradawi mendefinisikan moderasi sebagai sikap yang mengandung keadilan, perwujudan rasa aman, kesatuan dan kekuatan. Untuk mencapai sikap seperti itu, diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang keyakinan agama masing-masing. Yusuf al-Qaradawi melihat kaum moderat sebagai sosok yang mengangkat nilai-nilai sosial seperti musyawarah, keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, dan hak-hak minoritas.

31Nasaruddin Umar, “Islam Nusantara jalan panjang moderasi beragama di Indonesia”

(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019).

32Khaled Abou ElFadl, ‘Moderat dan Puritan dalam Pemikiran’, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 11.1 (2013).

33Khaled Abou El Fadl, “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan” (Jakarta: Serambi, 2006).

(34)

Menurut Nurcholis Majid moderasi juga dapat diartikan sebagai suatu gerakan atau upaya untuk mengembalikan doktrin-doktrin tradisional dan menyesuaikan diri dengan waktu dan ilmu pengetahuan.34

Moderasi sangat penting di negara yang homogen seperti Indonesia yang kaya akan keragaman, sehingga sangat mudah terjadi perbedaan antar golongan, terutama antar agama. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa nilai-nilai dalam konteks kebhinekaan membuat kita tidak terlalu egois, intoleran, diskriminatif, dan sebagainya.35

Menurut Abudin Nata pendidikan moderat memiliki sembilan nilai dasar yang menjadi indikatornya, yaitu:

1) Pendidikan damai, yang menghormati hak asasi manusia dan persahabatan antar bangsa, ras, atau kelompok agama.

2) Pendidikan yang mengembangkan kewirausahaan dan kemitraan dengan industri.

3) Pendidikan yang memperhatikan visi dan misi profetik Islam, yaitu humanisasi, liberasi dan transenderasi untuk perubahan sosial.

4) Pendidikan yang mencakup ajaran toleransi dan pluralisme beragama.

5) Pendidikan yang mengajarkan pemahaman Islam yang menjadi fokus utama Islam moderat di Indonesia

6) Pendidikan yang seimbang antara wawasan intelektual (kepala), wawasan spiritual, dan akhlak mulia (hati)

34Nur Kolis, ‘Moderasi Sufistik atas Pluralitas Agama’, Jurnal:Pemikiran Keislaman dan Kemanusian, 1.2 (2017).

35Sumarto dan Emmi Kholilah Harahap, ‘Mengembangkan Moderasi Pendidikan Islam Melalui Peran Pengelolaan Pondok Pesantren, Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan, 4.1 (2019).

(35)

7) Pendidikan merupakan solusi dari permasalahan pendidikan saat ini, seperti permasalahan dualisme dan metodologi pengajaran.

8) Pendidikan yang secara komprehensif menekankan kualitas pendidikan.36 Selain mempunyai nilai dasar sebagai indikator, juga ada konsep mengenai moderasi beragama. Konsep ini yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradawi merupakan salah satu pendorong di balik mazhab al-wasatiyyah, yang sebenarnya diciptakan oleh generasi Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abdh dan Rasid Ridha.

Mereka mencoba untuk membebaskan orang-orang yang dirantai, menyatukan dan memastikan keseimbangan antara keadilan dan moderasi. Oleh karena itu perlu adanya konsep moderasi, berikut salah satu versi dari konsep moderasi Yusuf Al- Qaradhawi:

1) Komitmen pada nilai moralitas akhlak. Adanya nilai-nilai moral luhur kejujuran, amanah, kepakatan, kerendahan hati dan rasa malu, serta dalam masalah moralitas sosial, seperti keadilan, politik, komunikasi dengan kelompok sosial.

2) Kerjasama kombinatif antara dua hal yang bersebrangan, posisi moderat yang menunjukkan bahwa mereka dapat mengambil keuntungan dan menghindari kerugian dari dua aspek konfrontasi ini. Oleh karena itu, dia tidak boleh memihak di satu sisi dan menjauh dari sisi yang lain, sehingga itu akan menjadi ekstrem

3) Perlindungan hak-hak agama minoritas, tugas mereka sama dengan orang lain, tetapi dalam hal ibadah agama harus ada pembagian yang tidak boleh

36Toto Suharto, ‘Indonesianisasi Islam: Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Al-Tahrir’, Jurnal: Pemikiran Islam, 17.1 (2017).

(36)

dikacaukan. Negara tidak boleh membatasi ruang gerak bagi kegiatan keagamaan minoritas, seperti larangan makan babi dan konsumsi alkohol.

4) Nilai-nilai humanis dan sosial Nilai-nilai humanis dan sosial, sesungguhnya merupakan khazanah otentik Islam. Perkembangan modern lebih mengidentifikasi hal tersebut sebagai nilai barat. Ia menjadi nilai yang sejajar dengan konsep keadilan di dalam masyarakat dan pemerintah, kebebasan, martabat dan hak asasi manusia.

5) Persatuan dan royalitas, seluruh ummat harus bisa bahu-membahu dalam menyepakati dan bersikap toleran terhadap hal-hal yang sudah disepakati bersama.

6) Mengimani pluralitas, keyakinan pada pluralitas agama, pluralitas tradisional, pluralitas bahasa, pluralitas intelektual, pluralitas politik, pentingnya koherensi antara peradaban yang berbeda.37

b. Prinsip-prinsip moderasi beragama

Prinsip utama moderasi adalah adil dan seimbang. Salah satu prinsip moderasi beragama adalah untuk selalu menjaga keseimbangan antara dua hal, seperti keseimbangan antara akal dan wahyu, antara olahraga dan spiritualitas, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan pribadi dan masalah sosial, antara kebutuhan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.

Kata "adil dalam KBBI, " didefinisikan dengan kalimat; tidak memihak/tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang/sesuai.38 Keseimbangan adalah istilah yang

37Ahmad Dumyathi Bashori, ‘Konsep Moderat Yusuf Qardhawi : Tolak Ukur Moderasi dan Pemahaman Terhadap Nash’, Jurnal: Penelitian dan Kajian Keagamaan, 36.1 (2013).

38Abd Rauf Muhammad Amin, Prinsip dan Fenomena Moderasi Islam dalam Tradisi hukum Islam (Makassar: Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Alauddin).

(37)

menggambarkan cara pandang, sikap dan keinginan untuk selalu memikirkan keadilan dan kesetaraan manusia. mendefinisikan sikap yang seimbang tidak berarti tidak memiliki pendapat. Yang memiliki kedudukan seimbang adalah tegas, tidak keras, karena selalu berpihak pada keadilan, hanya pandangan dunianya yang tidak melanggar hak orang lain. Keseimbangan dapat dilihat sebagai bentuk cara pandang untuk melakukan sesuatu secara moderat, tidak berlebihan, dan juga tidak kurang atau leluasa.

Ada lima prinsip dasar moderasi beragama yang perlu dipahami dan diterapkan dalam kehidupan beragama yang moderat sebagai berikut:39

1) Prinsip keadilan (Al-adl)

Disetujui para ahli tafsir klasik ataupun modern, bahwasanya arti dari moderat atau adalah keadilan dan kebaikan. Bahkan Nabi Muhammad SAW menafsirkan dalam surah Al-Baqarah: 143 dengan “keadilan” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, tidak ada moderasi tanpa keadilan dan tidak ada keadilan tanpa moderasi, semakin moderat sikap terhadap lingkungan dan manusia, semakin adil dan baik kehidupan mereka.

Penafsiran inilah dapat disimpulkan bahwa moderasi harus menciptakn keadilan dan kebaikan, tentu bukan sebaliknya. Apabila pemikiran dan sikap adil dan baik, maka itu adalah moderasi. Sebaliknya, biala suatu pemikiran dan sikap keagamaan melahirkan kontoversi, kegaduhan, keburukan, kezaliman dan fitnah maka sudah dipastikan sikap dan pemikiran tersebut tidak moderat. Dari ungkapan tersebut saya dapat mengatakan bahwa moderasi harus diciptakan untuk keadilan dan

39Khairan Muhammad Arif, Islam Moderasi: Tela’ah Komprehensif Pemikiran Wasathiyyah Islam, pespektif Al-Qur’an dan As Sunnah Menuju Islam Rahmatan Li Al-Alamin, (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2020).

(38)

perbaikan, tentu bukan sebaliknya. Jika pikiran dan sikap adil dan baik, maka ini adalah moderasi. Sebaliknya jika pemikira n dan sikap keagamaan menimbulkan kontroversi, keributan, tamparan, ketidakadilan dan fitnah, maka tidak diragukan lagi sikap dan pemikiran tersebut tidak moderat.

2) Prinsip kebaikan (khariyah) Allah berfirman:

ِسا َّنلِل ْت َج ِر ْخ ُ ا ٍة َّم ُ

ا َرْي َخ ْمُت ْ ن ُ ۗ ِ ه ك

للّٰاِب َ

ن ْوُن ِم ْؤُت َو ِر َ كْن ُم ْ

لا ِن َع َنْوَهْنَتَو ِفْو ُر ْعَمْلاِب َنْو ُرُم ْ

َ أَت ن ْو ُ

ق ِس ف ٰ ْ لا ُم ُه ُر َ

ث ْ ك َ

ا َو ن ْوُن ِم ْؤ ُم َ ْ

لا ُم ُهْن ِم ۗ ْم ُه َّ

ل ا ًرْي َخ نا َ َ ك َ

ل ِب ٰ ت ِك ْ

لا ُ ل ْه َ

ا َن َم ٰ ا ْو َ

ل َو ١١٠

Terjemahnya:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. (QS. Ali Imran (3) : 110).40

Menurut Quraish Shihab juga memberikan penafsiran pada QS. Ali Imran 3:

110 yang memuat pembahasan tentang umat Islam sebagai ummatan wasathan. Ayat ini berisi penegasan tiga aspek utama sebagai syarat untuk menjadi umat terbaik yaitu, beriman kepada Allah, amar makruf, dan nahi munkar.41 Imam Ath-Thabari akan kepastiannya dalam kebaikan umat (ummat wasthan). Dari apa yang telah disampaikan kepada kita bahwa Al-Khairiyah adalah salah satu kata yang menafsirkan makna Al-Wasatiyyah

3) Prinsip hikmah (Al-hikmah)

Moderasi Islam memiliki prinsip kebaikan dan keadilan juga memiliki hikmah dan kearifan dalam segala bentuk dan dimensi ajarannya, tidak ada ajaran Islam yang tidak mengandung hikmah, dan tidak ada syariat yang bertentangan dengan hikmah.

Ibnu Qayyin berkata. “Sesungguhnya struktur utama syariat yang didasarkan pada

40Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Dan Terjemahnya” (Surabaya:Fajar Mulya, 2019 Juz 3)

41Edi Nurhidin, ‘Strategi Implementasi Moderasi Beragama M. Quraish Shihab Dalam Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam’, Kuttab: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 5.2 (2021).

(39)

hikmah dan kemaslahatan seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat, adalah keadilan pada umumnya.

4) Prinsip konsisten (Al-istiqomah)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi istiqomah atau konsisten dalam 5 demensi:

a) Konsisten meng-Esakan Allah melewati keinginan, ucapan, perbuatan dan niat, yang disebut ikhlas

b) Konsisten dalam kepastian terlaksananya semua amal sesuai dengan syariah terhindar dari bid’ah yang disebut mengikuti

c) Konsisten dalam semangat beramal agar taat kepada Allah sesuai kemampuan d) Konsisten dalam moderat atau pertengahan pada setiap amal, terhindar dari

hal yang melebih-lebihkan dan mengurangi (ektrim kanan dan ekstrim kiri) e) Konsisten terhadap batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariah dan

tidak tergoda oleh hawa nafsu. 42

Wasatiyyah adalah pemikiran dan sikap konsisten atau istiqomah pada posisi tengahan dan moderat, tidak mudah terbawa pada posisi arus ekstrim atau arus berlebihan atau liberal. Wasatiyyah merupakan sikap konsisten untuk tetap berada dijalan yang lurus, sebagaimana firman Allah Swt: (QS. Al-Fatihah/1: 6)

ََۙمْي ِق ت ْس ُم َ ْ

لا َطا َر ِ صلا اَن ِد ْهِا ٦

Terjemahnya:

“Tunjukilah Kami jalan yang lurus.43

Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab menjelaskan surahh al-fatihah 1:6

’Bimbing ( antar ) lah kami ( memasuki ) jalan lebar yang luas’’. Setelah

42Azyumardi Azra, Moderasi Islam Di Indonesia Dari Ajaran,Ibadah, hingga Prilaku (Jakarta: Kencana, 2020).

43Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahny, (Surabaya:Fajar Mulya, 2019 Juz 1)

(40)

mempersembahkan puja puji kepada Allah dan mengakui kekuasaan dan kepemilikannya, ayat selanjutnya merupakan pernyataan tentang ketulusannya beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah swt. Maka dengan ayat ini sang hamba mengajukan permohonan kepada Allah SWT, yakni bimbing dan antarkanlah kami memasuki jalan yang lebar dan luas. Shirot disini bagaikan jalan tol yang lurus dan tanpa hambatan, semua yang telah memasukinya tidak dapat keluar kecuali setelah tiba ditempat tujua. Shiroth adalah jalan yang lurus, semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan.Sehingga shirot menjadi jalan utama untuk sampai kepada tujuan utama umat manusia, yakni keridhoan Allah Swt dalam setiap tingkah laku. Tentunya kita sebagai orang yang beriman kepada Allah SWT memohon agar selalu berada dalam tuntunan-Nya.

5) Prinsi keseimbangan (At-tawazun)

Salah satu prinsip dasar keseimbangan wasathiyah adalah (At-tawazun), keseimbangan setara dengan kata adil. Prinsip at-tawazun juga membutuhkan moderasi dalam persepsi nilai-nilai spiritual dan jasmani, sehingga tidak ada perbedaan antara spiritual dan material. Islam sangat kuat secara spiritual tetapi tidak melupakan hal-hal materi seperti kekayaan, makanan dan sebagainya.

2. Intoleransi Sosial

Sebelum membahas konseptualisasi intoleransi sosial, perlu memahamami defensi toleransi sosial itu sendiri. Secara sederhana toleransi merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan44. Toleransi adalah sebuah kultur sosial yang dibangun sedemikian rupa oleh individu atau kelompok pada patokan yang bersedia dengan varian ajaran atau perbedaan dalam lingkungannya45. Menurut

44Mahyuddin dkk, “Peran Strategis IAIN Ambon Dan IAKN Ambon Dalam Merawat Toleransi Sosial Dan Moderasi Beragama Di Ambon Maluku”, (Jurnal: Kuriositas, Vol 13, Edisi Juni 2020).

45Rengganiasih, Rengganiasih, Wilis, Tantangan Dan Prospek Pluralisme Dalam Masyarakat Buddhis.”dalam Pluralisme Agama Di Indonesia: Harapan Untuk Perdamaian Dan Keutuhan Ciptaan Di Indonesia, ed. Mety Herry & Anwar Khairul. (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2009).

(41)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleran memiliki makna bahwa seseorang bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagianya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.46 Artinya, seseorang atau kelompok meskipun memiliki latar belakang identitas berbeda seperti warna kulit, golongan, suku maupun agama tetapi mampu menghadirkan sikap penghormatan dan penghargaan terhadap yang lain.

Meskipun demikian, sikap toleransi tidak selamanya hadir dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Adakalanya, muncul fenomena intoleransi sebagai kebalikan dari toleransi seperti yang terjadi di Indonesia. Menurut Sugiharto, kasus- kasus kekerasan, musibah dan konflik di Indonesia, yang memperlihatkan semakin menurunnya tingkat toleransi, sebagian besar berakar pada persoalan identitas seperti agama. Lebih lanjut Sugiharto menyebutkan bahwa tendensi intoleransi kini semakin kuat dan menjadi tantangan karena beberapa hal;

1. Hilangnya batas-batas wilayah dalam interaksi global memang membawa rasa terinvasi dimana-mana, kenyaman tradisional terganggu, hak-hak dasar orang terpaksa dipertanyakan kembali, dan toleransi tidak mudah.

2. Hubungan-hubungan yang dialami sebagai tidak adil kini sering mendorong pengerasan indentitas secara tak terhindarkan, bahkan hingga tingkat agresif dan ofensif; pendeknya orang menjadi mudah bersikap intoleran.

3. Dunia media sosial membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk mengemukakan segala pendapat pribadi tanpa kendali, ini rentan melahirkan

46Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kementerian Pendidikan Dan Budaya, (2016).

(42)

suasana pertengkaran dan kebencian, yang menghambat sikap toleran terasa seolah ideal yang terlampau indah namun tidak realistis.47

Intoleransi sosial adalah suatu kondisi dimana suatu kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara khusus menolak untuk menoleransi praktik, penganut, atau kepercayaan berdasarkan suatu agama.

Namun, pernyataan bahwa keyakinan atau praktik keagamaan seseorang benar dan agama atau keyakinan lain salah tidak termasuk toleransi beragama, melainkan intoleransi ideologis. Kata intoleransi berasal dari prefik in- yang memiliki arti

"tidak, bukan". Dengan demikian, intoleransi keberagamaan dapat didefiniskan sebagai "sifat atau sikap yang tidak menoleransi (menghargai, membiarkan, membolehkan) perihal keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan agamanya sendiri".

Makna dari intolerasi seringkali dikaitkan dengan fanatisme dan radikalisme yang dianggap sebagai pandangan yang kurang menerima pendapat orang lain.

Sehingga menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat yang dapat merusak keharmonisan. Kegaduhan muncul di masyarakat dikaitkan dengan isu-isu agama atas dasar pembelaan yang dilakukan penganutnya.

Penyebaran radikalisme di Indonesia semakin masif, sistemik dan sangat meresahkan. Distribusinya ditujukan untuk banyak tujuan dan menggunakan banyak metode. Sasaran yang dituju adalah masyarakat umum, mahasiswa dan kalangan profesional. Sehubungan dengan kajian Syaifuddin dalam penelitiannya yang berjudul “Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Yogyakarta” menghasilkan narasi bahwa perguruan tinggi negeri lebih mudah merekrut gerakan radikal sedangkan

47Bambang Sugiharto, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi: Kajian Filosofis atas Permasalahan Budaya Abad ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 2019).

Referensi

Dokumen terkait

Pertama , Metode Pendidikan Akhlak di TPQ Baitul Ulum di terapkan dalam bentuk pembiasaan sikap yang akan dinilai langsung oleh para guru pembimbing dan

dapat diartikan bahwa dalam penerapan manajemen berbasis sekolah kepala.. sekolah dan semua sifitas akademik harus saling bekerja sama

Tabel 4.4 Nilai TF pada variasi konsentrasi Konsentasi Timbal TF mg/L 15 3,32 20 3,45 25 3,60 30 2,58 35 2,59 Pada penelitian ini, TF digunakan untuk mengetahui kemampuan

dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai tunagrahita berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi

Jenis data yang digunakan berupa data hasil wawancara yang terkait, yaitu wa- wancara dengan Kepala Seksi Pelayanan Medik Rawat Inap RSUD Ulin Banjarmasin dan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran kepada para pelaku usaha pada Sentra Kicimpring Desa Pagerwangi dalam menggunakan Media Sosial dan Inovasi

Kepala sekolah sebaiknya menyarankan kepada guru matematika, agar dalam proses pembelajaran matematika guru harus bisa memilih model pembelajaran yang tepat, salah

Ridwan Lubis, Sosiologi Agama : Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi Sosial (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2017), Cet. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama :