• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA

Dalam dokumen KONVERGENSI WAHYU DAN ALAM SEMESTA (Halaman 44-48)

Manakala tuntutan konvergensi dua bacaan diarahkan, maka persoalan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan" bukan sekedar kemegahan konsep atau perseteruan filsafat. Hal ini dilakukan untuk melepaskan pemikiran manusia dari krisis teologi yang terampas dari manusia dan alam, yang dalam waktu bersamaan melepaskannya dari ruang lingkup kondisi pemikiran ilmiah yang memisahkan ilmu pengetahuan dari penciptanya. Masing-masing dua pedoman itu mempunyai dampak dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, tatanan peradaban, prinsip dan aturan-aturannya.

Islamisasi ilmu pengetahuan yang kita renungi secara mendalam adalah pembuka bagi "Alternatif Peradaban Dunia" yang tidak hanya mengarahkan tujuan kepada kaum muslim saja, akan tetapi ditujukan untuk alam seluruhnya. Inilah tugas yang menuntut kajian-kajian khusus yang berangkat dari beberapa pembahasan-pembahasan, kajian-kajian tentang Al-Quran dengan pemahaman baru yang dilihat

Pa

g

e

4

5

dari kaca pandang yang ilmiah, universal dan metodologis. Demikian tugas islamisasi ilmu pengetahuan yang mendasar.

Sesungguhnya tanpa menggunakan pemahaman Al-Quran dengan pemahaman metodologis dalam ruang lingkup kesatuan dan konstruksi bangunannya yang sempurna, yang kontradiktif dengan pemahaman metodologi modern kita tentang fenomena-fenomena alam dan aturan geraknya dalam kesatuan susunan bangunannya adalah mustahil untuk menyusun dasar islamisasi pengetahuan.

Metodologi dunia modern dengan kondisi yang demikian mendatangkan banyak hal kesatuan, menganalisis kenyataan dengan kajian tentang keterkaitan dan aturan yang tersimpan didalamnya dan apa yang ada di belakangnya serta tidak dapat memutar balikan penafsirannya, padahal Al-Quran (al-makmun, al-majid, dan al-karim) dalam kesatuan bangunannya secara keseluruhan telah menerima pemahaman metodologis ini, dimana Al-Quran yang dipelajari serupa dengan metodologi yang dipelajari para ilmuan semesta alam ini, sebagaimana yang telah saya sebut dengan rasionalitas ilmiah yang universal.

Tidak diragukan lagi, bahwa telah terjadi krisis yang harus segera diatasi dan diselesaikan. Krisis ini nampak dengan adanya persoalan bahwa akal ilmiah dan universal modern menolak semua kitab-kitab keagamaan, dan sekalipun mentolelir sebagian kajian-kajiannya, namun segera merancang untuk menolak metodologi dan kesatuan bangunan serta ruang lingkupnya dengan keyakinan bahwa pengkhususan kitab-kitab keagamaan harus berada dalam kepasrahan iman dan keghaiban-keghaiban sesuatu yang ada di belakang nature. Disamping itu, penggabungan dua bacaan yang invisible dan visible bagi pandangan ‘Alawiyun adalah mustahil selagi masih ada

Pa

g

e

4

6

ungkapan-ungkapan dalam kitab-kitab keagamaan yang berkaitan dengan ghaib. Karenanya, tidak ada alasan untuk mengambilnya sebagai salah satu sumber ilmu. Jika tidak, maka terjadilah pemalsuan dalam pengambilan keduanya. Semua yang diisyaratkan oleh kitab- kitab samawi seperti wujud-wujud yang tidak terlihat atau sebagian kisah-kisah sejarah, tidak kalah oleh kecanggihan kreasi ilmu pengetahuan modern yang tidak memiliki kontribusi ilmiah. Karenanya, UNESCO mengumumkan kepada dunia tentang pengenalan terhadap pengetahuan yang menyatakan bahwa : "Setiap hal yang diketahui tunduk terhadap kesadaran dan eksperimen".

Logika ini keluar dari pemahaman keliru yang tidak menelaah persoalan konvergensi dua bacaan. Karena tujuan konvergensi dua bacaan berujung pada pemahaman kesemestaan terhadap wujud yang tidak terbatas pada kedua bacaan saja. Apabila kita menganggap cukup hanya dengan dua bacaan saja, maka kita akan tetap berada dalam batas-batas skup pemikiran konvensional dan ungkapan- ungkapan seputar wujud dan kita akan bergelut dengan pemahaman yang bersandarkan kepada fragmentasi (tafkik) kenyataan dan bagian- bagiannya dengan logika perdebatan ilmiah modern dengan kandungan dan penisbahannya.

Sampai disini, nampak jelas ancaman bagi bacaan kedua yang tanpa disertai bacaan pertama, atau ia akan mengakhiri kita dengan pemikiran konvensional yang parsial, bukan pada pemikiran kesemestaan.

Lain halnya jika kita menggabungkan bacaan kedua dengan bacaan pertama, maka kita telah melalui tahapan bagian ke tahapan keseluruhan dalam penyebutan kesemestaannya, dimana didalamnya terdapat fenomena-fenomena yang terlihat dan tidak terlihat. Maka setiap penolakan terhadap apa yang mereka namakan dengan hal-hal

Pa

g

e

4

7

ghaib (ghaibiyat) dam metafisis (ma waraiyat) adalah penolakan terhadap bacaan pertama; bacaan kesemestaan tentang wahyu dengan nama Allah sebagai pencipta.

Wahyu adalah komperhensif dan absolut yang mencakup bagian- bagian tertentu. Dan bacaan pertama memandang ghaibiyat dan ma waraiyat sebagai bagian asasi dalam metodologi, tidak dipandang sekedar hal yang harus diterima dan wajib diimani, akan tetapi dengan anggapan sebagai dalil atas wujud semesta yang lebih besar dari kontribusi yang diberikan bacaan pertama. Inilah yang diberikan kepada mahluk yang berupa hakikat alam yang sempurna. Menjauhi ghaibiyat adalah menjauhi bacaan pertama yang kita temukan ketika meneliti setiap rangkaian persoalannya dengan berbagai indikasi dalam tingkatan wujud dan makhluk semesta. Ia bukanlah mitologi zaman dahulu sebagaimana yang disangka sebagian orang. Akan tetapi, merupakan persoalan-persoalan tetap dengan argumentasi- argumentasi yang memadai untuk memperdebatkan keberadaannya. Jika kita tidak mengambil indikasi-indikasinya, yang dengan demikian kita keluar untuk menuju bacaan kedua yang kondisional dan tunggal, maka kita sudah mengetahui hal itu dari sejarah alam semesta akan hakikat maknanya. Karena bacaan pertama tidak hanya menuntut keimanan terhadap wujud Allah, akan tetapi berhadapan dengan ketuhanan makhluk dan pembentukan alam serta keterkaitan dengan pembangunan manusia dengan seluruh ciptaan alam, atau metodologisasi makhluk ciptaan yang mencakup metodologi hal-hal objektif yang kita baca dengan qalam.

Karena itu, kita menggabungkan metodologi ciptaan (dengan Allah sebagai penciptanya) dengan metodologi faktual yang diawasi dan digarisi oleh kalam dalam bacaan semesta yang satu. Terwujudlah lingkaran ilmiah yang komperhensif. Jika tidak, maka metodologi itu hanya menjadi lembaran-lembaran kertas kosong yang cenderung

Pa

g

e

4

8

dengan keberpihakan individual kepada bacaan kedua tanpa disertai bacaan pertama.

Untuk dapat keluar dari krisis pemikiran dan peradaban, dunia membutuhkan pemahaman terhadap kondisi alam dengan makna ghaibnya dalam kontruksi keberadaan dan peranannya. Inilah tugas bacaan pertama yang bagi sebagian orang nampak sebagai bacaan yang wajib dijauhi dari ruang lingkup ilmiah.

Sebuah tugas dan tantangan yang besar dan luas, seluas alam raya ini. Langkah awal adalah konvergensi dua bacaan dengan tujuan islamisasi ilmu pengetahuan untuk menebarkan petunjuk, menyemarakkan kebenaran, menyebarkan hidayah dan memancarkan cahaya iman dan Al-Quran di atas bumi. Kontinuitas kita dalam dialog- dialog ilmiah yang terarah dan penerapan-penerapan metodologis akan menghantarkan kepada lenyapnya kendala ini dan rintangan lainnya dari jalan kita. Dan, interaksi para pelaku beragam spesialisasi dengan metodologi pengetahuan Al-Quran akan menghantarkan pada pengungkapan aspek-aspeknya disertai kepuasan para ilmuan dan pengkaji atas keabsahannya. "Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya".@

Dalam dokumen KONVERGENSI WAHYU DAN ALAM SEMESTA (Halaman 44-48)

Dokumen terkait