• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE KONVERGENSI DUA BACAAN

Dalam dokumen KONVERGENSI WAHYU DAN ALAM SEMESTA (Halaman 30-41)

Pengantar asas untuk menggabungkan dua bacaan dimulai dengan penyingkapan hubungan metodologis antara susunan metodologi ayat- ayat Al-Quran di satu sisi, ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang

Pa

g

e

3

1

terbentang dan bergerak di alam semesta di sisi lain dengan struktur metodologi yang mengaitkannya.

Al-Quran adalah wahyu Ilahi yang dengannya kita dapat mengerti dan memahami bahwa wujud semesta ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa Al-Quran adalah mutlak, komprehensif dan sempurna. Segenap keluasan pengetahuan kita terhadap keduanya selaras dengan kapasitas yang dimiliki manusia, yaitu kemampuan untuk menggabungkan dua bacaan dan membukakan perpaduan metodologis antara wahyu dan alam. Metodologi Al-Quran adalah metodologi alam, dan karenanya, yang dikehendaki tidak sekedar mencukupkan perkataan itu dalam tataran konsep belaka, akan tetapi seharusnya dapat menyibaknya secara aplikatif. Karena, perkataan "konseptual" seringkali tidak mencapai tuntutan keadaan yang semestinya optimistik, justru sebenarnya keliru atau sesuatu yang mungkin dapat merusaknya.

Oleh sebab itu, tantangan pertama dan terpenting bagi muslim modern adalah melakukan konvergensi metodologis dalam upaya penggabungan dua bacaan; antara wahyu ilahi dengan ilmu-ilmu alam dan kemanusiaan yang tegak berdiri di atas ketentuan-ketentuan Ilahi di alam semesta, kehidupan dan manusia.

Adapun pembicaraan tentang keagungan Al-Quran, maka Al-Quran benar-benar agung dan tentu mu’jizat. Orang-orang telah menulis tentang keagungan Al-Quran dan kemu’jizatannya dalam ribuan halaman, bahkan jutaan, akan tetapi tulisan-tulisan itu belum mampu membukakan manusia dan menyibakkan metodologinya yang mencakup alam dan ruang geraknya, yang sanggup menegakkan kaidah-kaidah petunjuk (hidayah) dan agama kebenaran, sebagaimana belum dapat menyibak tentang pembauran metodologi antara bacaan Al-Quran dengan bacaan alam semesta.

Pa

g

e

3

2

Telah banyak ayat-ayat mulia dan ungkapan-ungkapan agamis yang menunjukan beragam penafsiran-takwil, dan dalam kebanyakan penafsiran itu hampir seluruhnya merupakan upaya penjatuhan (over throw), tema-tema israiliyat dan sejenisnya yang sudah jelas dalam pandangan kita.

Demikian juga dalam pengetahuan-pengetahuan kemanusiaan dan kemasyarakatan modern, bahkan dalam ilmu-ilmu sains modern, terjadi juga kondisi yang serupa. Banyaknya pertanyaan yang membingungkan di sekolah-sekolah keilmuan tersebut dan tidak ditemukannya jawaban yang representatif adalah karena pembauran metodologis dua bacaan itu belum tersibak. Kalaupun ada, hanya sebatas tindakan parsial yang terlihat dalam berbagai upaya "pembersihan diri" yang menjadikan sebagian orang patuh manut. Hal itu nyaris mendapat porsi besar sebagai upaya yang dewasa ini dikenal dengan "al-I’jaz al-‘Ilmi". (5)

Maka keyakinan kita yang teguh akan keharusan penggabungan dua bacaan dan menjadikannya sebagai syarat utama untuk keluar dari krisis pemikiran dan pengetahuan dalam percaturan global dan lokal, mengandung ketegasan untuk kewajiban menengok kembali relevansi metodologi itu, yakni antara Al-Quran, alam semesta dan manusia untuk melengkapi paradigma pandangan Islam dan kejelasan seluruh sandarannya, serta hubungan antara ghaib dengan alam dan manusia. Disamping melepaskan manusia dari keletihan akibat pertentangan antara keyakinan ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut) atau antara dunia-akhirat, antara wahyu yang diturunkan (tanzil ilahi) dengan kreasi manusia serta pertentangan-pertentangan serupa yang menjadi kendala selama ini.

Peranan ini tidak dapat tercapai kecuali bagi orang-orang yang telah diberikan anugerah Al-Quran dan porsi ilmu pengetahuan yang

Pa

g

e

3

3

mencukupi untuk menyibak pembauran metodologi tersebut; antara Al-Quran, alam semesta dan manusia.

Karenanya, kaidah-kaidah "islami" dicanangkan diatas hal-hal berikut : 1. Rekontruksi pandangan pengetahuan yang tegak diatas prinsip

dan karekteristik konsepsi Islam yang lurus untuk memperjelas apa yang disebut tatanan pengetahuan Islam yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan umum, tanpa terlewatkan sedikitpun. Disamping itu, menyusun kekuatan internal dengan kritik pengetahuan yang mungkin mencakup dan menyerap dalam bentuk metodologi yang tepat, dan pada saat yang sama memberikan kemampuan perwujudan pengetahuan yang metodologis, dan penafsiran pengetahuan yang tidak berlandaskan atas pemaksaan dan retorika, akan tetapi di dasarkan pengetahuan metodologi yang sempurna.

2. Kembali meneliti, membentuk dan membangun kaidah-kaidah metodologi islami di atas naungan "metodologi pengetahuan

qur`ani" dan petunjuk yang terkandung didalamnya.

Kemudaratan besar telah menimpa metodologi ini sebagai hasil bacaan monoton dan parsial yang menjadikan Al-Quran sebagai bencana-kontradiktif, yakni alam semesta dan manusia dibaca dalam keterpisahan antara yang dulu dan kini. Diperlukan penguatan posisi kaum muslim agar terhidar dari imbas penyakit-penyakit pemikiran yang telah merambah seperti kerancuan dalam pemahaman hubungan ghaib dengan realitas, hubungan naql dengan ‘aql, hubungan sebab dengan musabab dan persoalan-persoalan lainnya.

3. Menyusun metodologi interaksi dengan Al-Quran yang selaras dengan pandangan metodologis tersebut, karena posisi Al-Quran

Pa

g

e

3

4

sebagai sumber bagi metodologi, hukum, pengetahuan dan prinsip-prinsip syuhud al-hadhary dan ‘umrany. Hal ini menuntut ulang pengembangan dan penyusunan ilmu-ilmu Al-Quran sebagaimana yang dikehendaki tujuan ini dan melampaui banyak peninggalan-peninggalan dalam aspek ini yaitu, pengetahuan-pengetahuan yang turut berperan dalam mendukung nash qur`ni. Orang-orang Arab telah memahami Al- Quran, menyimpan kandungan-kandungan khusus pembentukan awal yang mudah sederhana pada permulaannya, dan terbatas skup komunitas dan pemikirannya dalam bahasa dan kontribusi naqliyah yang berperan utama dalam keabsahan naql dan kekuatan riwayat yang bisa dipercaya (tautsiq) dengan proses yang sudah dipahami, yang berperan sebagai pengetahuan yang paling tinggi dalam cara proses tsiqat pada zamannya.

Ketika penyusunan resmi ilmu pengetahuan naqli Islam yang berkisar seputar nash Al-Quran dan hadist Nabi, maka nampaklah kekhususan-kekhususan itu, tetapi tidak termasuk dalam bagian ilmu pengetahuan. Sebagaimana dalam sisi lain menjadi jelas kekhususan-kekhususan akal yang matang dan bahasa Arab pada fase itu, serta tuntutan-tuntutan lainnya seperti kecenderungan kepada klausa (clause) dan susunan (phrase) dengan tetap memperhatikan kosakatanya.

Itulah metodologi yang berlaku, dan karenanya pemahaman yang dilahirkan dapat diterima dan memadai pada fase itu. Adapun dalam fase dunia dewasa ini, dimana rasionalitas persepsi metodologis mendominasi persoalan-persoalan dan pembahasan tentang hubungan-hubungan yang rapi melalui cara analisa dan kritik yang menentukan ruang lingkup dan kaidah-kaidah ilmiah yang beragam, kemudian mengaitkannya dengan materi-materi peradaban yang bercabang-cabang dan

Pa

g

e

3

5

hubungan-hubungan lainnya yang bermacam-macam, maka seharusnyalah mengkaji kembali ilmu-ilmu yang dapat menghantarkan pemahaman nash, mendukung dan membacanya dengan cara bacaan penggabungan dengan alam semesta dan disertai konvergensi metodologi.

Termasuk merangkum berbagai ragam tafsir dan takwil yang berkaitan dengan fase-fase itu, keterkaitan kokoh dengan nasab untuk menangkal distorsi israiliyat dan lainnya, keterikatan kuat dengan uslub-uslub tanzil (model penurunan ayat) dan keselarasannya sehingga jelas ketegasan Al-Quran, dan arah kemu’izatannya, yang saat ini sepatutnya dihubungkan dengan kondisi sosial masyarakat dan metodenya untuk mewujudkan penantangan abadi dan penjelasan kemu’izatannya yang menjadi indikasi sebagai metodologi utama yang absolut.

4. Menyusun metodologi interaksi dengan As-sunnah An-Nabawiyah yang selaras dengan konsep metodologi, mempertimbangkan keberadaan sunnah sebagai sumber untuk menjelaskan pedoman, hukum syari’ah, pengetahuan dan prinsip-prinsip syuhud al-hadhari wa al-‘umrany. Bahwa dalam fase kenabian dan masa shahabat adalah fase yang bersandar langsung kepada Rasulullah Saw sebagai panutan dan teladan dalam semua yang dikatakan dan dilakukan. "Ikutilah aku dalam ibadah-ibadah kalian" ("khudzu ‘anni manasikakum"), "Shalatlah seperti kalian melihat shalatku" ("shallu kama raitumuni ushalli"). Panutan dan keteladanan, dua-duanya bersandar kepada amal Rasulullah Saw dalam kenyataannya sehari-hari. Karena, prilaku Rasul Saw dihiasi dan dibentuk oleh Al-Quran diatas realitas dan keterkaitan antara nash dan kehidupan.

Pa

g

e

3

6

Pelaksanaan risalah kenabian dan penjelasan Muhammad telah mempersempit kesulitan antara kandungan pedoman Tuhan yang qur`ani dan realitas yang terjadi, dengan mentalitas umat dan kapasitas pengetahuannya serta tuntutan-tuntutan realitas sosial dan puncak pengetahuan yang ada. Karenanya, perawi yang terdiri dari para shahabat (semoga ridha Allah atas mereka) penuh perhatian untuk tidak menolak potongan satu ayat pun yang berkaitan dengan perjalanan kehidupan Rasulullah Saw, dan kita terima semua penjelasan-penjelasan itu sehingga menjadikan kita dapat mengikuti gerak langkah keseharian beliau (shalawat salam semoga tetap baginya) dalam peperangan, perdamaian, pengajaran, pengambilan keputusan hukum, keperwiraan, fatwa dan pergaulan kemanusiaannya dengan cara yang dapat menjelaskan sunnahnya dalam berinteraksi dengan dunia realita, disamping menyibak karakteristik-karakteristik keadaan yang ada dimana Rasulullah Saw turut bergaul dan bergerak di dalamnya. Itulah kenyataan yang tidak diragukan adanya perubahan kenyataan yang kita hidupi, dalam tatanan mekanisme dan mentalitasnya.

Dalam sunnah, Rasulullah Saw berperan sebagai pemersatu antara metode qur`ani dengan dunia realita. Karenanya, merupakan sebuah kesulitan dalam memahami banyak persoalan yang terpisah dari pemahaman realitas yang terjadi dan berlaku pada zaman Rasulullah Saw. Karena, ketika Rasulullah Saw melarang seni pahat dan fotografi dengan menganggap fotografer sebagai manusia yang paling pedih azabnya di hari kiamat(6), maka tidak seharusnya larangan tersebut dipahami sebagai keputusan umum yang mutlak dalam semua bentuk keindahan (seni) tiga dimensi, dimana hal itu bertolak belakang dengan pemahaman Nabi Sulaiman yang

Pa

g

e

3

7

mendorong jin untuk memperagakan berbagai bentuk tarian kepadanya, tanpa disertai kesangsian-kesangsian orang-orang modern dan protes mereka terhadap persoalan ini dan sejenisnya, disebabkan mereka tidak merasa mempunyai kemauan atau kesanggupan untuk menyembahnya.

Karenanya, mengapa fotografi diharamkan bagi kita? Solusinya bukanlah dengan fatwa sepotong-sepotong yang menghalalkan jenis foto ini dan mencegahnya, akan tetapi perlu dipelajari dan dikaji lagi petunjuk yang telah diisyaratkan Rasulullah Saw dalam berbagai kesempatan.

تلعفلو تلعفل رفكب دهع ُوثيدح كمُوق لُول

“Jika bukan karena kaummu yang mengadakan perjanjian

disebabkan kekafiran, niscaya sudah saya lakukan”.(7)

Bahwa Rasulullah Saw telah memusnahkan pembuatan berhala dan pengedarannya kepada kaum yang membuat perjanjian (haditsu ‘ahdin). Dengan ini semestinya dapat tercapai metode yang sistematis untuk menyikapi kasus-kasus semisal itu dan memahaminya dengan perspektif pengetahuan yang dapat memasukkan hadits-hadits Nabi dan sunnah-sunnahnya kedalam sebuah skup metodologi untuk mengganti keterbatasan skup parsial yang saling bertentangan dan kerapkali diusahakan oleh orang-orang keliru dengan ungkapan-ungkapan sepihak yang terkadang menunjukan sesuatu yang tepat sekaligus kebalikannya, yang seolah-olah merupakan perkataan dari imam-imam madzhab yang berbeda-beda.

Bangsa Arab pada fase turun Al-Quran telah terikat dengan pemahaman para panutan. Dan mereka mengambil keteladanan

Pa

g

e

3

8

perbuatan dari Rasulullah Saw yang mereka jadikan sebagai pedoman yang selaras dengan tuntutan-tuntutan realitas kehidupan. Lantaran keteladanan itu tumbuhlah pemahaman interaktif terhadap sesuatu yang “disampaikan dan dinukilkan” (al-ma`tsur wa al-manqul"). Dalam upaya mengeliminir dampak- dampak yang lahir dari interaksi sepihak, sebagian orang menempuh takwil bathini, penafsiran simbolis dan isyarat sebagai solusi dari ketertarikan kepada al-matsur yang literal. Akan tetapi, hal itu tidak makin membaik selain kekacauan yang kemudian pengaruhnya merambah ke persoalan otoritas (hujjiyah) as-Sunnah secara umum atau otoritas-otoritas lainnya yang telah kita ketahui, sekalipun telah tercapai jalan menuju metodologi qur`ani untuk berinteraksi dengan Sunnah yang menggambarkan sikap Sunnah dalam seluruh penjelasan dan perincian serta pemahamannya tentang metodologi dan bagian- bagian persoalannya dalam skup maqashid yang jelasan tujuannya.

Rasionalitas modern adalah rasionalitas yang membahas secara kontinyu tentang sistem tematis sebuah persoalan dan usaha perwujudan metodologi secara integral dan komperhensif. Karena kandungan metodologi ini menjadi sebuah analisa, fragmentasi, kritik dan penafsiran sebagai ruang lingkup tematis bagi gerakan pemikiran dalam interaksinya dengan nash-nash dan persoalan global dan lokal. Dengan metodologi ini memungkinkan pelaksanaan maqashid Al-Quran dan pemahaman Sunnah yang tidak berhenti pada batas masa lampau yang stagnan atau penakwilan-penakwilan batin, usaha- usaha pembaharuan yang mengacu pada pembentukan modifikasi dan penakwilan untuk menerapkan produk-produk

Pa

g

e

3

9

pada masa lampau agar dapat kembali eksis di era sekarang, seakan-akan menjadi simbol masa lalu dengan baju yang baru. 5. Mengkaji ulang dan memahami kembali tradisi (turats) Islam dan

membacanya dengan kritis disertai analisa pengetahuan sehingga mengeluarkan kita dari dominasi tiga frame work yang menguasai bentuk interaksi dengan turats kita, saat ini yaitu; penolakan secara mutlak, penerimaan mutlak dan penafian non metodologis. Ketiga frame work tersebut tidak mungkin dapat mewujudkan ketersambungan sesuatu yang menuntut kesinambungan hubungan dengan turats ini, sebagaimana mustahil mewujudkan alienasi dengan hal yang mengharuskan perwujudan alienasi dari turats itu.

6. Membangun sebuah metodologi interaksi dengan tradisi manusia modern atau apa yang dikenal dengan "Turats Barat" yang dengan itu dapat mengeluarkan interaksi akal muslim dari formula interaksi saat ini yang bertolak belakang dari ruang lingkup dan upaya pendekatan, perbandingan serta pertemuan dan penolakannya sebagai hasil akhir penilaian mutlak dan penerimaannya, disertai dengan jiwa yang sangat terbuka dan penafian atas kekeliruan prasangka.

Keenam pilar utama ini adalah apa yang kita maksud dengan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan", "Metodologi Pengetahuan Terpadu" atau "Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosiologi dan Antropologi", dan mengarahkan ilmu-ilmu alam dengan pandangan Islam atau pemurnian Islam terhadap berbagai bidang ilmu(8).

Untuk pertama kalinya, kita berhadapan dengan kondisi dunia yang menerapkan tranformasi sains dan riset ilmu pengetahuan dengan penerapannya (injaz) yang mengaburkan hubungan antara Khaliq,

Pa

g

e

4

0

semesta dan manusia. Hal itu dilakukan dengan cara merusak konsepsi wujud yang sebagiannya nampak bertolak belakang dengan konsepsi Islam. Terkadang benar demikian, karena tidak jadi soal kita menafikan ungkapan-ungkapan agama dengan sesuatu yang sesuai dengan konsep-konsep tersebut. Karenanya kita katakan; bahwa kita sudah memiliki itu jauh sebelumnya, atau kita menolaknya dan terkalahkan oleh kekafiran.

Sejak awal, titik tolak kita (munthalaq) terhadap arah ilmu-ilmu semesta bukanlah titik tolak lahut dan nasut (ketuhanan dan kemanusiaan), dan kita tidak dituntut untuk mengikuti selain kepada diri kita. Eksperimen dan sikap mereka terhadap ilmu dan penerapanya berbeda dengan eksperimen kita. Jika Al-Quran adalah lahut, maka yang ada hanya satu kondisi atau bacaan pertama saja, padahal kita diperintahkan berbeda dari itu.

Kita tidak memusuhi ilmu, karena kita menemukan bahwa wahyu dalam alam semesta yang tertulis adalah wahyu dalam semesta yang pada masing-masing keduanya mempunyai model dan pedoman baca tersendiri. Olehnya, ketika terjadi penyelewengan-penyelewengan yang ditujukan kepada ilmu, maka yang dituntut adalah pembersihan ilmu itu sendiri dari penyelewengan tersebut. Ketika penyelewengan terjadi dalam tafsir dan takwil, maka kewajibannya adalah menerima nash tentang hal itu. Inilah asas konvergensi (al-jam’u). Karena, sebelumnya tidak ada agama yang menghadapi persoalan hanya dengan kreasi pemikiran akal saja tanpa dilengkapi dengan aplikasi ilmu kontemporer dan hasil-hasilnya yang menyebabkan adanya aliran-aliran yang telah melampaui kreatifitas tradisional-konvensional. Yang dituntut dari kita adalah mengembalikan kedudukan awal ilmu dari perbedaan golongan untuk membersihkannya serta kembali mentransformasikan dan memurnikan cabang-cabang ilmu

Pa

g

e

4

1

pengetahuan pendukung nash, baik yang dijelaskan atau disandarkan kepadanya, agar dapat menegakkan sebuah bacaan, dan mewujudkan tuntutan-tuntutan konvergensi dua bacaan tersebut.

Dalam dokumen KONVERGENSI WAHYU DAN ALAM SEMESTA (Halaman 30-41)

Dokumen terkait