• Tidak ada hasil yang ditemukan

Janganlah kamu bermaksud terhadap perkara yang buruk untuk kamu infakkan.” Sedangkan secara istilah adalah : menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci atas jalan yang tertentu. Sebagaimana firman Allah Swt: (QS. Al-Maidah: 6)

er,!gaT5k`g5˯rFQ`leg]ke,$ r0U4˱Lrʎ0egk\ir

,y0yeqkeg]y,yrg]os ss%5eTzD,zM<sffzT

0$leg]zaLbM!z`˿

ir0]9g]aM`g]zaLqfMjɇgz`rg\0ɇpEz`,y0yl]`r

Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air besar, atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak mendapatkan air (untuk bersuci), maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci). Sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. Al- Maidah:6)

Sebab dilakukan tayammum

Adapun sebab-sebab disyariatkannya tayammum adalah:

1. Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai bersuci, berdasarkan hadits Imran bin Husein ra katanya:

y^Mk˽e_YTͅcsY`Neb=yˮʘ2Meʙ /t/ga4rqzaL˿˱<˿_s4/i

L_YTͨeʘrk wk<˿_s4/y_YT͉csY`ʒ˱=iiʙT

,zM=`^za

ͨ͸ga5ert/)mr/͹ͨ^zU]yqjT

Bahwa Rasulullah saw melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak shalat bersama kaumnya. Kemudian Rasul bertanya: Kenapa Anda tidak shalat? Ujarnya: “Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka Nabi bersabda: “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.” (HR. Bukhari dan Muslim). 2. Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit, dan ia khawatir dengan memakai

air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang dapat dipercaya berdasarkan hadits Jabir r.a katanya:

“Suatu ketika kami pergi untuk perjalanan. Kebetulan salah seorang diantara kami ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu bermimpi, lalu menanyakan kepada teman-temannya: “Menurut tuan-tuan, dapatkah saya ini keringanan untuk bertayammum?” ujar mereka: “Tak ada bagi Anda keringanan, karena anda bisa mendapatkan air.” Maka orang itupun mandilah dan kebetulan meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw kami sampaikan peristiwa itu kepadanya. Maka ujarnya: “Mereka telah membunuh orang itu, tentu mereka dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu?

Obat bodoh tidak lain hanyalah dengan bertanya! Cukuplah bila orang itu bertayammum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni serta dishahihkan oleh Ibnu Sikkin).

3. Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi, berdasarkan hadits Amar bin ‘Ash ra bahwa tatkala ia dikirim dalam pertempuran berantai, maka katanya, “Pada waktu malam yang amat dingin saya bermimpi. Saya khawatir akan mati jika saya terus juga mandi, maka sayapun bertayammum lalu shalat shubuh bersama para sahabat lainnya.

Kemudian tatkala kami telah pulang kepada Rasulullah saw hal itupun mereka sampaikan kepadanya. Maka Rasulullah Saw bersabda:

saY ʘr͹ b r 2L ˿ _sX 0\- aYT ͉k jr ^%< za< r0fL y

˴z$/g]i\˿ig]5Uj

z8bYyˮr˿_s4/^%ATͨza<gffzT͸

͸t/)`qYaLri$lrq elrwkEX/,`rg\%`r+r+sr,f$mr/͹

“Hai Amar! Betulkah anda melakukan shalat bersama para sahabat padahal ketika itu Anda dalam keadaan junub?”

Jawabku: “Aku teringat akan firman Allah Azza wa jalla: “Janganlah kamu sekali membunuh dirimu! Sungguh allah maha penyayang terhadap kamu sekalian (An- Nisa:29). Maka akupun bertayammum lalu shalat.” Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban, sementara Bukhari mengatakan hadits ini muallaq).

4. Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali, dan diperlukan di waktu sekarang atau masa depan yang dekat-untuk minumnya atau minum orang lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau mencucui pakaian shalatnya yang terkena najis.

Rukun-Rukun Tayammum 1. Niat

2. Debu yang suci, menurut pendapat empat madzhab yang diuraikan oleh al-Jaziri (139) adalah:

Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah debu yang memiliki ghibar (ngebul).

Ulama Hanabilah adalah sha’id adalah jenis debu yang suci.

Ulama Hanafiyah adalah segala macam yang termasuk dari jenis bumi. Seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya.

Sedangkan ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi. 3. Menyapu seluruh wajah

4. Menyapu kedua tangan sampai siku, menurut ulama Malikiyah dan hanabilah wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku adalah Sunnah.

Kaifiyat Tayammum

Menurut Sayid Sabiq (139) Hendaklah orang yang bertayammum berniat lebih dahulu, kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu menyapukannya ke muka, begitupun kedua belah tangannya sampai

pergelangan tangan. Mengenai hal ini tak ada keterangan yang lebih sah dan lebih tegas dari hadits Umar ra, katanya:

“Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu shalat, kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda: “Cukup bila Anda lakukan seperti ini: dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dihembusnya dan kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Sayid Sabiq (140) bahwa tayammum sama dengan wudhu, tidak disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayammum dibolehkan melakukan beberapa shalat baik fardhu maupun sunnah sebanyak yang dikehendaki. Hal ini didasarkan dari Abu Dzar ra:

“Bahwa Nabi saw bersabda: “Tanah itu mensucikan orang Islam, walau ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan air, hendaklah dibasuhkannya ke kulitnya, karena demikian lebih baik.” (HR. Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya shahih).

Tayammum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudhu’. Begitupun ia batal disebabkan adanya air. Tetapi bila seseorang melakukan shalat dengan tayammum kemudia ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya walaupun waktu shalat masih ada. Hal ini didasarkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya:

“Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah waktu shalat sedang mereka tidak membawa air, maka mereka bertayammum dengan tanah yang baik kemudiann mengerjakan shalat. Kemudian tidak lama, mereka menemukan air. Maka yang seorang mengulangi wudhu dan sembahyang, sedang yang seorang lagi tidak mengulangnya. Lalu mereka dating kepada Nabi Saw dan menceritakan peristiwa itu. Nabi Saw pun bersabda kepada orang yang tidak mengulang: “Anda telah berbuat sesuai dengan Sunnah, dan shalat Anda telah terpenuhi”.

Dan bersabda pula kepada orang yang mengulang wudhu dan shalatnya: “Anda mendapat ganjaran dua kali lipat.” (HR. Abu Daud dan Nasai).

Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai shalat tapi belum selesai, maka tayammum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan memakai air. Dan seandainya orang junub atau perempuan haid bertayammum kemudian shalat, tidaklah wajib ia mengulangnya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat menemukan air.

Mengusap di atas pembalut (Perban atau Plaster)

1. Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudhu atau mandi akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia menutup luka itu dengan perban atau pembalut lain. Sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut dan tidak terkena air, hendaklah ia bertayammum. Boleh juga ia mendahulukan tayammumnya sebelum wudhu atau mandi.

2. Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak itu harus bersuci kembali secara sempurna.

Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudhu, maka dibolehkan mengusapkan di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena anggota wudhu, tetapi shalatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia dalam keadaan tidak berwudhu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam keadaan berwudhu, maka shalatnya tidak harus diulang.9

Fiqh MI Kelas IV Semester Genap

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain.

3.1 Memahami ketentuan shalat Idain 3.2 Mengamalkan ketentuan shalat Jum’at 3.3 Menghargai orang yang menjalankan shalat Idain.

4. menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis dan logis dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

4.1 Mendemonstrasikan tata cara shalat Idain.

4.2 Mensimulasikan tata cara shalat Jum’at.

Ketentuan shalat Idaian

Shalat Dua Hari Raya. Shalat dua hari raya, idul fitri dan idul adha dilaksanakan dua rakaat, dengan dua khutbah. Waktu pelaksanaan Hari Raya adalah mulai terbit matahari setinggi kira-kira tiga meter dan berakhir apabila telah tergelincir matahari. Selain itu, ada beberapa ketentuan dalam shalat dua hari raya adalah, disunatkan mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian yang terbaik, makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fitri dan sebaliknya pada Idul Adha, keikutsertaan wanita dan anak- anak, menempuh jalan yang berbeda.

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.

Pertama, Niat, adapun lafaz niatnya adalah sebagai berikut:

˰M̀esee˾M\/0EU`,zLk4˱<

˰M̀esee˾M\/w%@ʜ,zLk4˱<

“Saya niat shalat Iedul fithri dua rakaat karena Allah SWT.

Kedua, Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Ketiga, Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika

takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Keempat: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,

{ɆkɈfɄ$Ɉ/Ʉr Ɇ˲Ɉ0ɆUɈPɛgɅpɛa`ͨɅ ɄɫɈ\ɄɅ ɛ Ʉ˿ɄrɅ ɛ˿ ɛʘ ɄqɄ` ɄʘɄrɆɛɆ̀Ʌ,ɈfɄ%Ɉ`ɄrɆɛ˿ɄiɄ%ɈɅ4

“Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku.”

Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Kelima, Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,

ɅɄLɛ5` ɆɄɄ ɄɰɈX͹Ʉr͸Ɇ,zɆ!ɄfɈ`ɆiɈ0ɅYɈ`ɄrW͹ Ɇ Ʉ˴ɆpzɆTɅɄ0ɈYɄyɄiɄ\

0ɄfɄYɈ` ɛZɄ9ɈjɄr

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ɇɛ˿ Ʌ_s Ʌ4Ʉ/ ɄiɄ\

΀

ga4rqzaL˿˱<

΀

Ʉ^ɝɄ/ɄgɈ4Ɇ&ɝɄ4͹ ɆɆɄMɅfɅ!Ɉ` ɆʒɄr ɆlɈyɄ,zɆMɈ` ɆʒɅɄ0ɈYɄy

Ʉ0ɈYɄyɃ,Ɇ$Ʉr ɃcɈsɄy ɆʒɅɄMɅfɅ!Ɉ`ɄrɅ,zɆMɈ`ɄNɄfɄɈ Ʉ-Ɇ Ʉr Ʉ_ɄX͸ɆɄzɆ8ɄQɈ` ɅyɆ,Ʉ$ Ʉ[ɄɄ ɈbɄo͹Ʉr͸ Ʉ˱ɈLɄʜ

Ʌ

ɆɈ˾ɄɄʙɛ=` Ɇʒ ɀAɈyɄ Ʉ˴ɆpɆ

ͨ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Keenam, Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Ketujuh, Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Kedelapan, Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir - selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kesembilan, Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesepuluh, Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam. Khutbah Setelah Shalat ‘Ied

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,

Ɇɛ˿ Ʌ_s Ʌ4Ʉ/ɄiɄ\

΁

΁

Ʉr

Ʌ0ɄfɅLɄrɃ0Ɉ]ɄsɅɄ

΁

˴pkL˿ʎ/

΁

ɆɄɈEɅ)Ɉ` ɄbɈɄXɆlɈyɄ,zɆMɈ`ɄisɜaɄ=Ʌy

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan dua kali khutbah seperti khutbah jum’at. Khutbah ied selalu dimulai dengan sembilan kali takbir pada khutbah pertama dan tujuh kali takbir pada khutbah kedua. Takbir inilah yang menjadi ciri khutbah shalat ied dengan khutbah jum’at. Meskipun demikian menurut Ibnul Qayyim bahwa, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”

Ketentuan Shalat Jum’at

Shalat jumat adalah shalat dua rakaat yang dilakukan setelah dua khutbah, disebut shalat jumat karena dilaksanakan pada hari Jumat. Shalat jumat ini diwajibkan bagi setiap umat Islam dan dikecualikan bagi hamba sahaya, kaum wanita, anak-anak, orang sakit dan orang yang sedang berhalangan/udzhur seperti sakit atau bepergian. Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasulullah Saw: “Jumat adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap orang Islam dalam jamaah/kelompok, terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, kanak-kanak, orang yang sakit”. (HR. Abu Daud dan Hakim).

Shalat Jumat itu hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf yang mampu dan memenuhi syarat-syaratnya. Waktu shlat Jum’at adalah sama dengan waktu shalat Zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya, setelah bayangan istiwa’, sesuai dengan kesepakatan Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Perselisihan Ulama dalam masalah Shalat Jumat a. Khutbah dengan bahasa Arab

Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam masalah khutbah, apakah khutbah harus disampaikan dengan bahasa arab? Dalam hal ini mereka berpendapat; Hanafiyah mengatakan bahwa khutbah dengan selain bahasa Arab adalah dibolehkan. Baik ia mampu berbahasa Arab ataupun tidak, jamaahnya orang Arab ataupun bukan Arab. Hanabilah mengatakan bahwa khutbah itu tidak sah selain bahasa Arab bagi orang yang mampu berbahasa Arab, baik jamaahnya orang Arab atau bukan Arab. Tetapi jika seorang khatib tidak mampu berbahasa Arab, maka dibolehkan. Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab, adapun tambahan dari rukun-rukun tersebut boleh menggunakan selain bahasa Arab. Malikiyah mengatakan bahwa khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab sekalipun jamaahnya bukan orang Arab yang tidak mengerti bahasa Arab. Jika tidak ada yang bisa bahasa Arab, maka gugurlah kewajiban shalat Jumat dari mereka.

b. Adzan Jumat

Dalam fiqh Islam, Sulaiman Rasyid (1995:128) mengungkapkan bahwa berdasar pendapat yang mu’tamad bahwa adzan jumat hanya satu kali, yaitu sewaktu khatib sudah duduk di atas mimbar. Berdasarkan keterangan dari Imam Syafi’i, bahwa ia berkata: “Seorang yang saya percaya mengabarkan kepada saya bahwa adzan jumat itu di masa Nabi Saw dan masa khalifah Abu Bakar dan Umar adalah satu kali. Maka setelah khalifah ketiga (Utsman), ketika itu orang sudah bertambah banyak, maka disuruh adzan sebelum imam duduk di mimbar. Sejak waktu itu, terjadilah keadaan adzan seperti sekarang. c. Jumlah orang yang hadir pada shalat jumat.

Para Imam Madzhab sepakat bahwa shalat Jum’at itu tidak sah dilakukan kecuali dengan berjama’ah. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang jumlah jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at. Menurut Malikiyah batas minimal jumlah jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah dua belas orang laki-laki selain imam. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah tiga orang selain imam sekalipun mereka tidak menghadiri khutbah Jum’at. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah empat puluh orang yang memenuhi syarat Jum’at sekalipun dengan imamnya.

d. Makmum yang Masbuq pada shalat Jum’at

Menurut madzhab Syafi’i, Maliki dan Ahmad bin Hanbal bahwa jika seorang tertinggal pada shalat Jum’at dan mendapati imam sudah memulai shalat Jum’at, hendaknya segera bertakbirat al-ihram. Jika sempat ruku’ bersama imam, maka ia dihitung mendapat satu raka’at. Tetapi jika ia sempat ruku’ bersama imam pada rakaat kedua saja, maka ia diharuskan menambah satu rakaat lagi setelah salamnya imam.