• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Najis dan tata cara mensucikannya.

02'8/ MATERI FIQH DI MADRASAH

D. Media dan Alat Pembelajaran 1 Modul

1. Macam-macam Najis dan tata cara mensucikannya.

Khubuts (najis) adalah sesuatu yang kotor atau menjijikan, khubuts ini harus dibersihkan ketika hendak shalat. Adapun benda-benda khubuts adalah:

a.Bangkai, daging babi dan darah

Tiga jenis ini termasuk yang diharamkan oleh Allah Swt untuk dimakan, karena mengandung unsur najis yang harus dibersihkan ketika hendak menunaikan shalat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Katakanlah aku tidak jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir/memancar, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (QS. Al-An’am: 145).

Bangkai meliputi bangkai binatang darat yang memiliki darah mengalir ketika disembelih, bukan bangkai binatang belalang dan bukan bangkai binatang laut. Karena Rasulullah secara tegas bersabda:

͸t/)`q 0(͹qze ɇb%`rme/spE`so

“Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya.” (HR. Bukhari).

Juga termasuk bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam suatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.

$

_%E`r,]`Tie,`erͅ+0!`rs%`Tiz˯eͧie+rizek` ɇb

ͨ͸wkEX/,`rwYpz`rq elrwMT9`r,f$mr/͹

“Dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan darah, adapun dua bangkai ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah ialah hati dan limpa.” (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daru Quthni).

b.Anjing dan Babi serta hewan yang dilahirkan dari keduanya.

Adapun dalil najisnya anjing adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nabi Saw bersabda:

]`R`r-

0eN4qa5Qz`gqX˼aTg\,$j ʒa

“Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka bersihkanlah kemudian basuhlah sebanyak tiga kali....(al-hadits)

c.Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup

Mengambil sebagian daging dari anggota badan binatang yang masih hidup adalah najis. Hal ini didasarkan kepada hadits dari Abu Waqid al-Laits yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:“Sesuatu yang dipotong dari seekor binatang, sedang ia masih hidup maka potongan tersebut termasuk bangkai.”

d.Muntah, air kencing dan kotoran manusia.

Semua ulama sepakat bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah najis. Kecuali jika muntahnya itu sedikit, maka dimaafkan. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:

@sz`rSʇkzaT6aXrqʙ<ʒg\,$X-

“Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan shalat, maka hendaklah keluar dari shalatnya dan berwudhulah

Selain muntah sebagai najis, air kencing dan kotoran pun dihukumi najis, karena sesuatu yang keluar dari qbul maupun dubul dihukumi najis. Tetapi diberi keringanan bagi air kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali air susu ibunya.

e.Wadi, Madzi dan Mani

Wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang madzi adalah air yang berwarna putih, bergetah yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan tetapi keluarnya tidak disertai kenikmatan.

Keluar wadi dan madzi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi cukup membersihkan kemaluannya dan berwudhu, hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Saya kerapkali mengeluarkan madzi, sedang saya sendiri malu menanyakannya kepada Rasulullah Saw, karena putrinya menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab “Hendaklah ia basuh kemaluannya, dan berwudhulah.”

Adapun mani sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, tetapi disunatkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Aisah berkata:

“Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar). Dan dari Ibnu Abbas ra berkata:

ͅW=`rC)˯`2kɬso˹ͧ_YTs`z=y{k˯lLga4rqzaL˿˱<{k`b4

͸tr%E`rwYpz`rwkEX/,`mr/͹/-rX0)q%5ɱi^zU]y˹r

Nabi Saw pernah ditanya mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawabnya: “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thawawi).1

f. Khamar

Khamar salah satu yang diharamkan oleh Allah Swt berdasarkan firman-Nya: “Hai orang- orang beriman, sesungguhny khamar, judi, berhala dan mengundi nasib itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaithan.” (QS. Al-Maidah:90)

Cara-cara menghilangkan Khubuts (Najis).

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menghilangkan khubuts atau najis, pertama dengan menggunakan air suci lagi mensucikan. Dalam hal ini, air terdiri dari tiga macam, air suci mensucikan ghair makruh seperti air mutlak, air suci yang mensucikan tetapi makruh pemakaiannya jika digunakan untuk menyucikan badan dan tidak makruh untuk menyucikan pakaian, yaitu seperti ma musyammas (air panas akibat sinar matahari) dan air yang terkena benda najis2. Kedua, berubahnya benda najis menjadi

sesuatu yang baik, seperti perubahan khamar menjadi cuka dan darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik (parfum). Ketiga, membakar benda najis dengan api. Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama Hanafinyah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa membakar benda najis dengan api tidak dapat mensucikan benda tersebut. Mereka beralasan bahwa debu dan asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama Malikiyah yang berpendapat bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis.3 Keempat, menyamak kulit

hewan yang najis. Setiap hewan yang najis sebab penyamakan. Baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal dimakan dagingnya, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk shalat karena telah suci dengan sebab penyamakan4. Hal ini didasarkan kepada hadits Maimunah r.a ketika ia ditanya oleh Nabi

Muhammad Saw perihal kambingnya.

1

Sayid Sabiq, hal. 24.

2 Lihat al-Jaziri, hal. 31. Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaeni, hal 11-12 dan Syekh Syamsuddin hal. 2. 3 Al-Jaziri, hal. 30

ͨC0Y`r˯m0pEyga4rqzaL˿˱<˿_s4/_YTͨzepjͧs`YTͪpog.(s`

“Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus? Para sahabat berkata: kambing ini bangkai. Rasulullah Saw berkata: kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan daun salam.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas r.a

0pD,YToʘR+-

“Apabila kulit bangkai itu sudah disamak, maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim).

Ada beberapa keterangan dari Rasulullah Saw ketika membersihkan najis, diantaranya adalah membersihkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki yang masih menyusui yaitu cukup dengan memercikkan air di atasnya dan tidak perlu dicuci. Rasulullah juga memerintahkan untuk mencuci bejana yang terkena jilatan anjing, dibasuh tujuh kali, yang pertama atau salah satunya dengan tanah. Boleh juga menggantikan tanah dengan sabun atau pembersih lain yang kuat.5

Hadats dan macam-macamnya.

Hadats adalah sesuatu yang mewajibkan wudhu dan mandi. Sesuatu yang mewajibkan wudhu disebut hadats kecil dan sesuatu yang mewajibkan mandi disebut hadats besar. Adapun sesuatu yang mewajibkan wudhu adalah meliputi sesuatu yang membatalkan wudhu. Pertama, sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur atau kubul) seperti kencing, buang air besar, haid, nifas. Air mani, madzi dan wadi. Berdasarkan firman Allah Swt:

5k`/s4ͨͨͨͨͨͨFQ`leg]ke,$ rͨͨͨͨͨͨͨͨͨͨ

̑̐

“Atau apabila salah seorang di antaramu, keluar dari kakus”, maksudnya sindiran terhadap buang air, baik kecil maupun besar.

x+s`rx.˯erb5Q`qkex.`spT{k˯e˴pkL˿ʐ/3Ll_sY`rs@s`qzT

͸lk5`ʒwYpz`mr/͹ʙ=a`[s@r@sr[˼\.er[0\-b5P_YT

5 Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh al-Azhar di Mesir, ketentuan pencucian bejana yang

dijilat anjing, sebanyak tujuh kali, satu diantaranya dengan air bercampur tanah, tidak harus dipahami secara harfiyah. Yang penting, mencucinya beberapa kali sedemikian rupa sehingga diyakini bejana tersebut telah bersih dari air liur anjing. Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang kuat. (Lihat Al-Fatawa, hal.86).

Dikarenakan harus berwudhu, karena perkataan Ibnu Abbas ra mengenai mani, itulah yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi, maka hendaklah kamu basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah yakni wudhu untuk shalat”.

Kedua, sesuatu yang tidak keluar dari dua jalan dubur dan qubul, yaitu meliputi:

Hilang akal, seperti gila, pingsan, tidak sadar disebabkan khamar, ganja, morfin dan tidur. Yang menjadi perselisihan ulama adalah tidur. Bagaimana tidur yang menyebabkan batal wudhu’. Rasulullah Saw bersabda:

+r+smr/͹qa<Ue(ɰ4N!E@-qjTM!EAecjle˱Lʘ!yʘs@s`i

͸t.eɰ`r

“Sesungguhnya wudhu itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur terlentang, sebab apabilah tidur terlentang, akan terbuka jalan lubang kubul.” (HR. Abu Daud dan Tumudzi).

Hadits di atas dipahami oleh para ulama mazhab bermacam-macam, seperti:

Ulama Hanabilah: tidur yang mebatalkan wudhu adalah tidur dalam setiap keadaan dengan waktu yang cukup lama, jika tidur sebentar dalam keadaan terlentang tidak membatalkan wudhu. Sehingga mudhtaji’an di sana adalah tidur yang lama.

Ulama Syafi’iyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul yaitu tidur terlentang, tidur duduk tidak membatalkan, sekalipun tidurnya lama. Ulama Malikiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pulas sebentar atau lama dalam setiap keadaan, duduk, sujud, berbaring. Tidur dengan terlentang dalam keadaan lama tetapi gelisah tidak pulas tidak membatalkan wudhu tetapi disunnatkan wudhu’.

Ulama Hanafiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam tiga keadaan: tidur terlentang, tidur bersandar ke dinding, dan tidur duduk dengan kepala di atas lutut. Selain dari tiga keadaan tidur ini tidak membatalkan wudhu. (Al-Jaziri: Madzahib al-Arba’ah: Juz I: 73)

Menyentuh seorang wanita dengan syahwat.

Menurut Imam Syafi’i menyentuh wanita membatalkan wudhu baik yang disentuhnya laki- laki atau perempuan tua ataupun menyentuhnya tanpa ada kenikmatan syahwat. Tetapi dengan syarat tidak ada penghalang. Imam Hambali berpendapat bahwa wudhu menjadi

batal apabila menyentuh wanita dengan syahwat tanpa penghalang meskipun yang disentuhnya mahram, dalam keadaan hidup atau mati, tua atau muda, kecil atau besar. Imam Malikiyah : berpendapat bahwa wudhu batal dengan syarat: bagi yang menyentuh sudah baligh dan bermaksud untuk mendapat kenikmatan sekalipun tidak memperoleh kenikmatan. Syarat bagi yang disentuh jika dia telanjang atau tertutup dengan kain tipis, jika kain tebal tidak batal. Imam Hanafiyah: tidak batal karena menyentuh sekalipun telanjang. Suami dan isteri yang tidur dengan telanjang tidak batal wudhunya. Kecuali dalam dua keadaan: keluar sesuatu dan bersentuhan dua parji.

Menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang

Menurut tiga imam seperti Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali bahwa menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu. Berdasarkan usabda Rasulullah Saw:

@szaTm0\-6ele

“Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.”

Tetapi menurut Imam Hanafiyah menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Tetapi disunnahkan berwudhu. Dalil yang digunakan oleh Imam Hanafiyah adalah sabda Rasulullah Saw:

MAʘsobo͹ͧ_YTʙ=`ʒm0\-6˽b /leb4ga4rqzaL˿˱<{k`i

͸^ke

“Sesungguhnya Nabi Saw ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya dalam shalat. Rasul pun menjawab: Tidaklah zakar (kemaluan) itu kecuali seperti anggota tubuh darimu.”

Hadits tersebut dapat dipahami bahwa menyentuh zakar sama dengan menyentuh telinga, pipi, dan anggota tubuh lainnya, sehingga tidak membatalkan wudhu. Menurut Imam Hanafi dalil yang digunakan oleh ketiga Imam di atas adalah anjuran untuk mencuci tangan, bukan berwudhu. ˶Al-Jaziri, Madzahib al-Arba’ah: Juz I: 78)

Adapun hadats besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Ada beberapa hal yang mewajibkan mandi besar. Yaitu:

͸ga5emr/͹_2kyˮirb5Q` r,YTij)`wY`-

“Apabila dua khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi, meskipun tidak keluar mani. (HR. Muslim).

Keluar mani. Sabda Rasulullah Saw:

b5Q`0˯˱LbpTZ%`lewz%5yʘ˿i˿_s4/y`Xgza4cifa4clL

͸qzaLZUe͹˯/-gMj_X͉fa$-

“Dari Ummi Salamah. Sesungguhnya Ummi Sulaim telah bertanya kepada Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mempertanyakan yang hak. Apakah perempuan wajib mandi apabila bermimpi? Jawab beliau, “Ya (wajib atasnya mandi), apabila ia melihat air mani. (Muttafaq ‘alaih).

Mati

Orang yang mati pun diwajibkan mandi, tentunya dimandikan oleh kerabat atau orang khusus yang biasa memandikan mayat, kecualit orang yang mati syahid.

Haid /Nifas

Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum hawa yang rutin setiap bulan, minimal darah haid adalah setetes (sekecretan) dan maksimalnya adalah lima belas hari. Lebih dari itu adalah darah penyakit yang disebut darah istihadhah. Atau jika keadaan keluar darahnya secara terputus-putus, misalnya dua hari haid dan dua hari suci, kemudian keluar lagi dan berhenti lagi, maka seluruh hari haid dan hari suci dijumlah sehingga mencapai lima belas hari. Setelah itu, apabilah masih keluar juga, maka ia dianggap darah istihadhah (darah penyakit).

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan walaupun dalam keadaan keguguran). Lamanya tidak dapat ditentukan. Adakalanya sebentar saja, tetapi pada umumnya selama empatpuluh hari, dan paling lama enampuluh hari. Darah nifas pada hakikatnya adalah kumpulan darah haid karena pada masa kehamilan selama Sembilan bulan seorang wanita hamil tidak mengalami haid.

Bagi wanita yang keluar haid/nifas ini diwajibkan mandi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

aX-:z$ɮkfDU`ga4rqzaL˿˱<˿_s4/_X

ʙ=`wL,TAz%`

͸t/)`mr/͹ ɇ˱<r˱5PT0+-r

“Beliau berkata kepada Fatimah bin Abi Hubaisy, “Apabila dating haid itu, hendaklah engkau tinggalkan shalat, dan apabila habis haid itu, hendaklah engkau mandi dan shalatlah. (HR. Bukhari).

Setelah melahirkan seorang ibu pun diwajibkan untuk mandi, bukan mandi karena keluar darah haid, tetapi mandi setelah melahirkan untuk menyegarkan dan menyehatkannya setelah melahirkan seorang anak.

Wudhu

Salah satu cara menghilangkan hadats kecil adalah dengan berwudhu. Wudhu adalah membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:

g]40s%5erZT0˯˰g]y,yrg]os rsa5PTʙ=`˰gfX-skely.`pyy

/r

˾M]`˰g]a

“Hai orang-orang beriman, apabilah hendak menegakkan shalat maka basuhlah wajahmu, kemudian kedua tanganmu sampai siku, dan usapkanlah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6)

Rukun Wudhu

Berdasarkan ayat di atas, menurut al-Jaziri (2004:52-59) bahwa ulama madzhab berbeda pendapat dalam menetapkan rukun wudhu. Menurut Imam Hanafiyah bahwa rukun wudhu ada empat yaitu membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh kaki sampai mata kaki.

Imam Malikiyah berpendapat bahwa rukun wudhu tidak sesingkat itu, mereka menyatakan bahwa rukun wudhu ada tujuh (7) yaitu: Niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, menyapu seluruh kepala, membasuh kaki sampai mata kaki, muwalat (segera jangan sampai kering) dan menyela-nyela anggota wudhu seperti kuku dan rambut.

Imam Hanabilah tidak memasukkan niat ke dalam rukun, sehingga rukun wudhu menurut mereka ada enam (6). Yaitu: Membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, menyapu seluruh kepala. Membasuh kedua kaki, muwalat dan tertib. Sedangkan menurut Imam Syafi’iyah yang banyak dipegang oleh mayoritas orang Indonesia bahwa rukun wudhu ada enam 6. Yaitu: Niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, menyapu sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan tertib.

Dari urain di atas, yang memasukkan niat sebagai rukun adalah Imam Malikiyah dan Imam Syafi’iyah, hal ini bukan berarti Imam Hanafiyah dan Imam Hanabilah tidak penting dengan niat, mereka berpendapat selain rukun (fardhu) ada lagi sesuatu yang harus dipenuhi dalam wudhu, mereka menyebutnya dengan syarat. Sehingga mereka memasukkan niat ke dalam syarat-syarat wudhu. Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa rukun dengan syarat tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama harus dipenuhi. Niat menjadi sesuatu yang harus dipenuhi dalam segala aktivitas ibadah, termasuk wudhu. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:

b]`˹rzk`_˴Lʜ˹ͧ_Xga4rqzaL˿˱<˿_s4/i

ͨͨͨtsje0e

͸L˴!`mr/͹y,%`

Bahwa Rasulullah Saw bersabda: semua perbuatan itu adalah tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekedar apa yang diniatkannya….(HR. Jama’ah).

Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menyapu seluruh kepala, sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyah cukup menyapu sebagian kepala. Perbedaan mereka tersebut memiliki alasan yang rasional. Menurut Imam yang berpendapat bahwa menyapu kepala keseluruhan adalah dari hadits Abdullah bin Zaed:

˿˱<{k`i

o-gq4/cɇ,Yɬ,ͅ0+r˴pbXTqy,zq4/&5ega4rqzaL

͸L˴!`mr/͹qke,t.`i]˯˰˴oɇ+/gmUX˰˴p

Bahwa Nabi Saw menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka ditariknya dari muka ke belakang, dimulainya dari bagian depan kepalanya lalu ditariknya kedua tangannya itu kea rah pundak, kemudian dibawanya kembali ke tempat ia bermula tadi. (HR. Jama’ah).

Sedangkan alasan Syafi’iyah dan Malikiyah adalah meninjau bentuk lafazh masaha yang merupakan bentuk muta’addi. Seperti lafazh masaha zaedun ra’sahu (Zaed telah menyapu kepalanya). Lafazh masaha tidak memerlukan hurup jar seperti ba. Sebagaimana firman Allah Swt:

g]40s%5er

Sehingga mengusap pada ayat di atas berkonotasi sebagian kepala.

Dalam hadits-hadits Rasulullah Saw yang menceritakan kaifiyat wudhu ada beberapa lafazh yang menggunakan masaha ra’sahu dan masaha bi ra’sihi.

Walaupun demikian, Syafi’iyah menghukumi Sunnah menyapu keseluruhan kepala dan tetap menganggap sah mengusap sebagian kepala atau sepertiga atau seperempat dari kepala.

Muwalat adalah turut-temurut dalam membasuh seluruh anggota wudhu. Setelah membasuh wajah tidak dibolehkan berhenti untuk melakukan aktivitas lain yang kemudian membasuh kedua tangannya. Inilah yang bukan termasuk muwalat. Oleh karena itu muwalat dimasukkan ke dalam rukun wudhu oleh Imam Malikiyah dan Imam Hanabilah, imam madzhab lainnya menghukumi Sunnah muwalat ini. Sunnah menurut para imam madzhab adalah perbuatan yang hampir tidak pernah ditinggalkan oleh mereka.

Tertib adalah mendahulukan sesuatu yang harus didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Menurut Imam Syafi’iyah dan Imam Hanabilah tertib termasuk rukun dalam wudhu karena wawu athaf pada ayat wudhu menunjukkan demikian. Berbeda dengan mereka adalah Imam Hanafiyah dan Malikiyah bahwa sah berwudhu dengan pertama kali membasuh kedua tangan kemudian wajah. Walaupun demikian mereka menghukumi Sunnah melakukan tertib dalam berwudhu.

Sunnah-Sunnah Wudhu

Adapun Sunnah-Sunnah wudhu meliputi:

1.Membaca Basmalah ketika memulai berwudhu.

2.Bersiwak. Pada zaman Rasul bersiwak dilakukan untuk membersihkan gigi, menguatkan gusi dan dapat menghilangkan bau mulut dengan menggunakan kayu arak yang berasal dari Hijaz (Sayid Sabiq: 72). Pada zaman sekarang ini, fungsi tersebut dapat digantikan dengan sikat gigi dan pasta gigi yang memiliki tujuan yang sama. Lebih bagus keduanya dapat digunakan. Namun kayu yang digunakan itu jarang didapat atau didapat tetapi hamper tidak berfungsi dalam menghilangkan bau mulut. Anda dapat bandingkan hasil sikat gigi dengan siwak dalam memberikan kenyamanan pada mulut Anda. Sunnah bersiwak berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a:

s@r ɇb\,kL[s5`gp0eʜwe˱LZ8iʘs`ͧ_Xga4rqzaL˿˱<˿_s4/i

MT9`r^`emr/͹

ͨ͸g\%`rwYpz`rw

Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kalau tidak akan memberatkan umatku, tentulah aku perintahkan umatku untuk bersiwak setiap kali berwudhu’”. (HR. Malik, Syafi’i, Baihaqi dan Hakim).

3. Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan, sebanyak tiga kali. Kedua telapak tangan adalah anggota wudhu yang membantu anggota wudhu lainnya. Seperti membasuh wajah tidak akan sempurna kecuali dibantu dengan kedua telapak tangan. Oleh karena itu dalam membersihkan wajah tentunya kedua telapak tangan harus terlebih

dahulu dibersihkan. Mencuci dua telapak tangan sebelum wudhu ini didasarkan pada hadits Aus bin Aus ats-Tsaqfi r.a katanya:

͸ɩ5k`r,f$mr/͹ʙV\s4T@sga4rqzaL˿˱<˿_s4/y/

“Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu, maka dibasuhnya telapak tangannya tiga kali.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).

4. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Berkumur-kumur untuk melengkapi siwak. Mungkin dengan siwak ada makanan yang nyangkut di gigi tidak mampu dikeluarkan dengan berkumur-kumur dapat dikeluarkan. Atau dapat menambah wangi aroma siwak atau pasta gigi. Sedangkan memasukkan air ke dalam hidung adalah berfungsi membersihkan kotoran-kotoran yang mengganggu terhirupnya udara dari lubang hidung. Lubang hidung terdapat bulu-bulu hidung yang dapat menahan kotoran dan dibersihkan dengan menghirupkan air ke dalam hidung. Memasukkan air ke dalam hidung ini juga dapat terhindar dari penyakit flu atau filek. Adapun dasar berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung adalah hadits dari Abdullah bin Zaed r.a:

ͧyr/ʒrͅʙ^`-bMT,$rV\leZ9k4rBfAɱga4rqzaL˿˱<˿_s4/i

ͨqzaLZUeT0Pʙɵk4rBfAɱ

“Bahwa Rasulullah Saw berkumur-kumur dan istinsyak dari satu tangan. Ia kerjakannya tiga kali.” Dan menururt riwayat lain “berkumur-kumur dan menghembuskan air ke hidung dari tiga saukan.” (Muttafaq ‘alaih).

5. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri. Sudah menjadi tradisi atau kebiasaan baik yang dilakukan Rasulullah Saw yaitu selalu mendahulukan yang kanan atas yang kiri. Anggota kanan selalu digunakan untuk perkara-perkara yang baik, sebaliknya anggota kiri selalu digunakan untuk perkara yang tidak baik. Seperti makan dengan tangan kanan dan membersihkan kotoran dengan tangan kiri. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri didasarkan pada hadits Aisyah r.a:

qa\qj8ʒrm/spDrqa 0rqaMkʒlez` ɇ%yga4rqzaL˿˱<˿_s4/i\

͸qzaLZUe͹

“Nabi Saw menyukai mendahulukan yang kanan baik dalam mengenakan sandal, bersisir