• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harus Jadi Sarjana

Dalam dokumen MAJALAH RISTEKDIKTI EDISI 1 2017.. page1 (Halaman 44-50)

44

Vol.7.II.2017

menginginkan lulusan dari Pendidikan Vokasi D3 atau D4. Alasannya lulusan Politeknik ini jauh lebih siap bekerja karena lebih terampil. “Sebab dalam kurikulumnya hampir 70% adalah praktik di dalam laboratorium ataupun di lapangan, sisanya memahami teori. Untuk menjadi seorang yang dianggap profesional di bidangnya, mahasiswa Politeknik di beberapa bidang harus lulus uji kompetensi. Itulah yang disukai dunia industri. Ketika lulus, mereka langsung bekerja tanpa harus banyak dilatih terlebih dahulu,” ungkap dosen yang mengajar IPB ini.

Pendidikan Vokasi di Luar Negeri, sudah berkembang cukup jauh. Bahkan banyak para ahli yang mengajari transfer teknologi di Indonesia, merupakan lulusan Pendidikan Vokasi. “Pendidikan yang diterapkan di Luar Negeri menggunakan block system. Misalnya mahasiswa disuruh membuat mur atau baut, setiap hari selama delapan jam sampai mahasiswa itu mahir membuatnya. Block system ini sudah diterapkan juga di Politeknik Manufaktur Negeri Bandung dan Politeknik ATMI Solo,” katanya.

Diakui untuk PTS di DKI Jakarta yang fokus untuk Pendidikan Vokasi dalam bentuk Politeknik memang tidak banyak. Illah memberikan gambaran bahwa saat ini para lulusan D3 dan D4 langsung diserap perusahaan atau industri. Sementara itu bagi yang akan melanjutkan ke jenjang S2 dan S3 terapan, -- demikian sebutan untuk jenjang lebih tinggi lagi dalam Pendidikan Vokasi - programnya belum tersedia. Kekurangan program pascasarjana terapan ini lantaran dosen yang akan mengampu dengan kualiikasi yang tepat dibidangnya belum tersedia. “Nah selama ini masih kesulitan mendapatkan kualiikasi itu,” terang ahli bela diri Taekwondo itu.

Illah menyarankan untuk dosen yang berkualiikasi Magister atau Doktor ilosoi agar menempuh sertiikasi di bidang yang akan diampunya untuk meningkatkan kompetensi substansi dalam pembelajaran pada Pendidikan Vokasi. Itulah sebabnya sekarang ini untuk menjawab kekurangan SDM lulusan Politeknik, perusahaan-perusahaan mendirikan Sekolah/Politeknik sendiri. Seperti PT PLN mendirikan STT PLN, PT Telkom mendirikan Universitas Telkom, kemudian PT Astra yang bergerak di industri otomotif juga membuka Politeknik Astra. Lulusan sekolah-sekolah Vokasi itu langsung bisa berkoneksi dengan induknya. “Kalau lulusan Astra ya bekerja di industri otomotif, PLN demikian juga dan seterusnya,” tuturnya.

Untuk itu, bila Pendidikan Vokasi bisa bersinar dan meningkat peminatnya, perlu banyak pembenahan termasuk mengubah cara berpikir masyarakat . “Mindset bahwa anak harus jadi Sarjana harus diubah. Pendidikan Vokasi bukan second class. Apalagi untuk

D4 atau Sarjana terapan Itu sama dengan S1. Kementerian Ristekdikti pun sudah menetapkan bahwa untuk gelar lulusan D4 adalah Sarjana Terapan. Ini bagian upaya untuk menarik minat masyarakat beralih ke Pendidikan Vokasi,” ujar mantan Direktur Belmawa Ditjen Pendidikan Tinggi itu.

Agar Pendidikan Vokasi di Indonesia tidak ketinggalan, lanjut Illah alangkah baiknya Perguruan Tinggi membuka dialog dengan DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri), agar diketahui kompetensi apa saja yang kini dibutuhkan di sektor industri. Kemudian, dosen dan mahasiswa diberi peluang dengan mudah untuk magang di perusahaan. Mahasiswa praktik lapang atau magang jangan dijadikan beban perusahaan. “Dosen perlu magang agar bisa mengetahui perkembangan teknologi di industri saat ini. Dosen bisa menjadi problem solver bagi perusahaan saat menghadapi masalah. Intinya ada win-win solution antara Politeknik dengan perusahaan. Perusahaan dapat menjadi tempat magang, praktik, dan wahana mengembangkan riset, sekaligus tempat menerapkan inovasi para dosen dalam skala industri, dan sebagainya,” paparnya.

Illah mengusulkan perusahaan yang sudah bekerja sama dengan Politeknik atau Akademi, bisa mendapat insentif seperti keringanan pajak dari Pemerintah. Sedangkan perusahaan-perusahaan kecil bisa diberi kemudahan

mendapatkan modal. Selain itu tentang isu SDM, Pemerintah harus memiliki peta kebutuhan dosen Vokasi. Dengan adanya peta itu maka Perguruan Tinggi bisa mengetahui berapa banyak dosen yang dibutuhkan untuk memperkuat dan mengembangkan Pendidikan Vokasi di Indonesia. Sekaligus juga Kementerian perlu menentukan program studi Diploma apa saja yang saat ini dibutuhkan oleh industri yang harus dibuka di Indonesia.

Agar pendidikan Vokasi berkembang, Kementerian Ristekdikti perlu membuat klaster Pendidikan Vokasi yang mendesak untuk dibuka, dan memberikan mandat kepada Politeknik atau Akademi yang sudah memenuhi standar minimal.

“Kedua membuat peta kebutuhan dosen, dan memberikan airmasi untuk melanjutkan studi kepada para dosen pada jenjang Magister dan Doktor terapan. Ketiga meremajakan peralatan laboratorium di berbagai Politeknik dan Akademi untuk PTS melalui PP-PTS. Dan keempat melakukan promosi yang terus menerus di berbagai media agar terjadi perubahan mindset masyarakat untuk

mengarahkan anaknya masuk ke Politeknik atau Akademi atau program Diploma pada umumnya. Menjadi Sarjana bukan segalanya. Mari kita gaungkan ‘Pendidikan Vokasi, Solusi!’,” tegasnya.

46

Vol.7.II.2017

48

Vol.7.II.2017

,

Bagaimana mungkin bisa? Mungkin itu yang terikirkan oleh kita saat melihat judul diatas. Hal seperti itu hanya ada di dunia khayal atau ilm iksi belaka, kemungkinan hal itu yang banyak tersirat di logika banyak orang. Tapi tidak dengan produk riset prototipe yang sedang dikembangkan oleh Program Studi Telekomunikasi, Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang (Polines).

Dengan aplikasi berbasis web yang sedang dibuat, seolah- olah tanaman akan dibuat berbicara kepada kita seperti orang tua yang sedang menerima aduan dari anak-anak kita. Aplikasi yang rencana kedepannya akan bernama aplikasi Smart Green House (SGH) ini membuat cerita-cerita di dunia iksi akan menjadi kenyataan. Terlebih lagi dengan era teknologi yang semakin maju di jaman modern ini.

Menurut Helmy dan Arif, dosen sekaligus peneliti yang mengembangkan aplikasi ini, nanti produk ini akan menjadi satu paket, yaitu aplikasi sekaligus sensor.

“Caranya adalah kita menaruh sensor di sekeliling tanaman, nanti dari sensor-sensor tersebut akan memberikan notiikasi melalui email kepada pemegang aplikasi dari hasil monitor tanaman. Pada aplikasi tersebut akan muncul notiikasi tentang kebutuhan air/larutan, kelembaban, temperatur, dan kebutuhan nutrisi untuk tanaman. Jadi seolah-olah masing-masing tanaman akan melaporkan dirinya masing- masing kepada kita tentang kehidupan mereka, dengan kata

lain mereka seperti berbicara atau mengadu kepada kita, aplikasi ini bisa kita gunakan di Handphone. Saat ini kita baru mencoba pada tanaman hidroponik” ucap Helmy dengan mantap.

Menurutnya pengembangan aplikasi ini berawal dari hobi, dimana di kota lahan juga semakin sempit, terutama kesibukan hidup yang tidak memungkinkan untuk

memonitor langsung tanaman yang sudah ditanam. Helmy menjelaskan bahwa sementara berfokus kepada tanaman hidroponik karena pangsa pasar tanaman hidroponik semakin meningkat.

“Tanaman hidroponik ini sekarang sudah menggeliat masuk ke dalam pasar yang besar, permintaan dari restoran dan supermarket sangat tinggi, terutama selada. Namun kendalanya adalah, tanaman hidroponik ini rentan bila tidak dirawat baik, oleh karenya diperlukan monitoring yang cepat untuk mengatasinya, yaitu dengan aplikasi SGH yang sedang dikembangkan” jelasnya.

Untuk penelitian saat ini, Helmy mengungkapkan bahwa penelitian ini juga didukung oleh penelitian mahasiswa. Penelitian aplikasi ini dijadikan Tugas Akhir oleh mahasiswa, karena ketentuan di Polines saat tugas akhir, setidaknya mahasiswa sudah menghasilkan satu produk, dan penelitiannya dilakukan dalam satu tim.

Oleh : Doddy

Foto : Fatimah dan Budhi Gandana

Aplikasi Smart Green House (SGH) :

Dalam dokumen MAJALAH RISTEKDIKTI EDISI 1 2017.. page1 (Halaman 44-50)

Dokumen terkait