• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mentok Mengejar

Dalam dokumen MAJALAH RISTEKDIKTI EDISI 1 2017.. page1 (Halaman 42-44)

42

Vol.7.II.2017

PARA periset dan peneliti di kalangan perguruan tinggi hingga saat ini masih terfokus pada penelitian untuk mendapatkan paten, dan publikasi baik di dalam dan luar negeri. Mereka melupakan pentingnya hasil inovasi perlu ada standardisasi, agar mudah dipasarkan, produknya aman digunakan, dan menambah nilai ekonomi.

Kepala Badan Standardisasi Nasional, Prof. Dr. Bambang Prasetya, M.Sc., menyampaikan hal itu terkait masih minimnya kesadaran para periset ataupun inovator di kampus perguruan tinggi tentang produk yang telah terstandar.

“Selama ini mentok pada hasil penelitian untuk kepentingan publikasi dan paten. Sedangkan standarnya masih

dilupakan. Padahal produk yang dihasilkan dan akan dipakai konsumen, harus sesuai standar yang ditetapkan untuk perlindungan konsumen,” kata Bambang saat ditemui di ruang kerjanya.

Diakuinya bahwa paten dan publikasi penting bagi kalangan dosen, peneliti dan periset, termasuk mahasiswa. Namun standardisasi sering terlupakan. Ia menyebutkan sejumlah inovator dari kalangan perguruan tinggi di Indonesia, yang telah mengeluarkan produk untuk digunakan oleh konsumen masih melupakan soal standar yang digunakan dalam produk tersebut.

Alasannya, dengan adanya standardisasi maka

konsumen pun akan semakin yakin dan aman bila memakai produk dengan label SNI. “Bahkan di luar negeri produk- produk tanpa ada standarnya akan sulit diterima. Untuk itu sangat penting bagi kalangan inovator di pendidikan tinggi vokasi untuk menyadari pentingnya standardisasi ini,” tambah Bambang.

Sebetulnya BSN sudah menjalin kerja sama dengan

perguruan tinggi di Indonesia, baik swasta maupuyn negeri untuk melahirkan para ahli di bidang standardisasi. Apalagi perguruan tinggi merupakan gudangnya inovator atau kalangan intelektual yang setiap saat bisa menciptakan bermacam inovasi. Demikian juga dengan perguruan tinggi vokasi seperti politeknik, juga dikenal gudangnya inovator. Bambang berharap di era globalisasi ini, sudah tidak zaman lagi bagi inovator melupakan standardisasi. Diakuinya telah lama BSN menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang erat kaitannya dengan kebutuhan dunia industri, sebagai pengguna standar dan perguruan tinggi sebagai penyedia sumber daya manusia di bidang standardisasi.

Dengan banyaknya ahli di bidang standardisasi sangat membantu untuk menggerakkan kalangan inovator di kampus, untuk menyertakan produk inovasinya agar diberi standar sesuai kebutuhan industri.

“Keuntungan hasil inovasi yang sudah ada standarnya cepat diterima industri. Bahkan mempermudah para inovator mendapatkan kepercayaan karena hasil inovasinya diserap industri dan dipasarkan. Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri juga begitu,” ujar Bambang.

Di luar negeri, persoalan standardisasi sudah menjadi kewajiban. Untuk itu kantor pusat standardisasi biasanya berdekatan dengan kampus.

Bambang siap mendukung hasil-hasil inovasi dari kampus- kampus politeknik untuk melalui proses standardisasi. Caranya cukup beragam. Mulai dari memberikan mata kuliah standardisasi satu atau dua SKS hingga praktek.

Dengan mengenalkan ilmu standardisasi maka para inovator, mahasiswa, peneliti akan semakin

memahami pentingnya standardisasi. Bambang pun mengaku prihatin

di era serba terbuka ini, banyak sekali produk-produk dari luar

masuk tanpa dilihat bagaimana standarnya.

“Maka standardisasi ini penting untuk melindungi

produk dalam negeri. Kalau produk luar masuk tidak bisa bebas. Harus memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Ini tujuannya melindungi produk dalam negeri,” terang Bambang. Contoh yang paling gamblang ban impor yang akan masuk ke Indonesia harus menjalani tes tusuk. Tujuan tes tusuk ini untuk melihat kekuatan ban saat melintas di jalan berbatu, licin, berlubang, hingga jalan yang mulus. “Struktur jalan di dalam dan luar negeri berbeda. Untuk itu tes tusuk ini bagian dari standardisasi yang harus dipenuhi. Ini juga bagian dari melindungi produk dalam negeri,” ungkapnya.

Demikian juga dengan beragam produk dari luar yang ingin bersaing dengan produk lokal, melalui standardisasi membawa nilai lebih bagi produk dalam negeri. Selain memproteksi dari serbuan produk luar, produk atau inovasi dalam negeri bisa merebut pasar lebih luas .

Untuk itu, lanjutnya hasil inovasi harus didukung dengan standardisasi selain paten dan publikasi. “Sudah saatnya dilakukan. Dengan ada standardisasi maka hasil inovasi ini memiliki nilai plus dibandingkan lainnya. Bahkan lebih mudah dipasarkan,” pungkasnya.

PENDIDIKAN Vokasi bila digarap serius, maka di masa mendatang akan mengubah wajah Pendidikan Tinggi di Indonesia. McCansey Global Institute meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi 7 negara besar dunia di 2030, dan memerlukan 113 juta pekerja terampil. Belum lagi menurut Presiden Joko Widodo, untuk menjalankan Nawa Citanya memerlukan tenaga terampil untuk membangun infrastruktur yang super hebat sampai dengan 2019. Dr. Illah Sailah, Koordinator Kopertis Wilayah III Jakarta

menyampaikan hal itu saat diwawancarai Majalah Ristekdikti di ruang kerjanya.

“Sebab yang terjadi sampai sekarang ini orang tua di Indonesia lebih suka menyekolahkan anaknya di Universitas karena orientasinya ingin anaknya menjadi Sarjana. Sangat sedikit orang tua yang menyekolahkan anaknya di Politeknik atau Akademi yang menawarkan program Diploma untuk membekali lulusannya menjadi sumberdaya manusia yang terampil untuk melakukan keahlian tertentu,” ujar Illah. Masalah gengsi ini menjadi kendala berkembangnya Pendidikan Vokasi di Indonesia. Illah menyebutkan bahwa hingga kini jumlah mahasiswa yang menimba ilmu pada Pendidikan Vokasi kalah jauh dibandingkan mereka yang belajar di Universitas. “Untuk program studi Pendidikan Vokasi di Perguruan Tinggi Swasata (PTS) di lingkungan Kopertis Wilayah III saja hanya 24%, sedangkan untuk program studi S1 (Sarjana) mencapai 59%. Kemudian jumlah mahasiswanya tidak sampai 100 ribu orang. Tapi kalau S1 mencapai 510 ribu mahasiswa. Lihat perbandingannya cukup mencolok,” jelasnya.

Menurutnya jumlah program studi Vokasi di PTS jauh lebih banyak dibandingkan hitungan Nasional hanya 15%. Padahal di lapangan kerja, industri atau perusahaan lebih

Oleh : Sundari Foto : Ardian

Dalam dokumen MAJALAH RISTEKDIKTI EDISI 1 2017.. page1 (Halaman 42-44)

Dokumen terkait