• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jadilah Tetangga yang Ramah

Dalam dokumen BUKU TIGA TAHUN EIROKU KELIMA 1562 (Halaman 121-168)

KOTA benteng Kiyosu kini lengang. Yang tersisa hanya beberapa toko dan rumah samurai. Namun di balik kelengangan itu terdapat rasa puas karena telah terjadi pergantian kulit. Hukum alam menyatakan, setelah rahim menjalankan fungsinya, ia akan membusuk dan lenyap. Dan dari segi inilah semua orang merasa gembira bahwa Nobunaga takkan selamanya terjebak di kota kelahirannya, biarpun karena itu kotanya harus mengalami kemunduran.

Dan di sinilah seorang perempuan yang pernah dilahirkan melewatkan hari tuanya. Perempuan itu ibu Hideyoshi. Tahun ini usianya akan mencapai lima puluh. Saat ini ia menikmati hari tuanya dengan damai, hidup bersama menantunya, Nene, di rumah mereka di perkampungan samurai di Kiyosu. Tapi dua atau tiga tahun sebelumnya ia masih bekerja sebagai petani, dan sendi-sendi tangannya masih berkulit tebal. Setelah melahirkan empat anak, ia telah kehilangan banyak gigi. Namun rambutnya belum sepenuhnya putih.

Satu surat yang dikirim Hideyoshi dari medan tempur dapat mewakili banyak surat lain:

Bagaimanakah keadaan pinggang Ibu? Ibu masih memakai moxa? Ketika kita masih tinggal di

Nakamura, Ibu selalu berpesan. "Jangan sia-siakan makanan untuk Ibu," tak peduli apa pun yang ada. Jadi di sini pun Ananda khawatir apabila Ibu tidak makan seperti seharusnya. Ibu harus berumur panjang. Kalau Ibu tidak menjaga diri, Ananda khawatir tidak sempat mengurus Ibu sebagaimana Ananda inginkan, karena Ananda begitu bodoh. Untung saja Ananda tidak jatuh sakit selama berada di sini. Tampaknya Ananda memiliki nasib baik sebagai prajurit, dan Yang Mulia sangat menghargaiku.

Setelah penyerbuan ke Mino, surat yang dikirim Hideyoshi sukar dihitung jumlahnya.

"Nene, coba baca ini. Dia selalu menulis seperti anak kecil," kata ibu Hideyoshi pada Nene.

Setiap kali, ibunya menunjukkan surat-surat Hideyoshi kepada menantunya, dan sebaliknya Nene memperlihatkan surat-surat yang ia terima kepada perempuan tua itu.

"Bunyi surat-surat yang kuterima tak pernah semanis itu. Selalu menyang-kut hal-hal seperti, 'Berhati-hatilah terhadap kebakaran.' atau 'jadilah istri yang berbakti sementara suamimu pergi.' atau 'Jagalah ibuku."

"Anak itu memang cerdik. Dia mengirim satu surat padamu dan satu padaku. Jadi dia cukup baik memisahkan isi suratnya, kalau diingat bahwa dia ber-sangkutan dengan kedua belah pihak."

suaminya dengan setia. Ia berusaha melayani mertua-nya dengan sebaik-baikmertua-nya, seakan-akan ia pun seorang putri kandung seperti Otsumi. Namun surat-surat Hideyoshi-lah yang memberikan kesenangan paling besar pada perempuan tua itu. Ketika mereka mulai cemas karena sudah lama tidak menerima kabar, sepucuk surat tiba dari Sunomata. Tapi entah kenapa surat ini hanya ditujukan pada istri Hideyoshi.

Kadang kala surat Hideyoshi hanya ditujukan pada ibunya, tanpa surat khusus untuk isirinya. Pesan-pesan untuk Nene biasanya digabungkan ke dalam surat untuk ibunya. Sampai hari ini, belum pernah Hideyoshi mengirim surat khusus untuk istrinya. Nene tiba-tiba cemas bahwa telah terjadi sesuatu, atau bahwa Hideyoshi ingin menyampaikan sesuatu dan tak ingin membuat ibunya khawatir. Setelah masuk ke kamarnya dan membuka amplop. Nene menemukan surat yang lebih panjang daripada biasanya.

Sudah lama aku berharap kau dan ibuku bisa tinggal bersamaku di sini. Kini, setelah aku akhirnya menjadi penguasa sebuah benteng dan di anugerahi panji jendral oleh Yang Mulia, keadaanku cukup memadai untuk mengundang ibuku ke sini. Namun aku ragu apakah kehidupan di sini dapat menyenangkan hatinya. Sebelum ini ibuku khawatir kehadirannya akan menjadi beban dalam pengabdianku kepada Yang Mulia. Ibuku selalu berkata bahwa dia hanya perempuan tua dari desa dan bahwa dia merasa tak

pantas menjalani kehidupan seperti ini. Karenanya, dia pasti akan menolak dengan berbagai alasan. biarpun aku menanyainya secara langsung.

Apa yang harus kukatakan? Nene sama sekali tidak

mempunyai bayangan. Ia merasa permintaan yang tersirat dalam surat suaminya sungguh berat.

Pada saat itulah suara ibu Hideyoshi terdengar memanggil dari belakang rumah. "Nene! Nene! Coba datang ke sini dan lihat!"

"Sebentar!"

Hari ini pun ibu Hideyoshi sibuk mencangkul tanah di sekeliling akar tanaman terong. Hari sudah sore dan udara masih panas. Gundukan-gundukan tanah di pekarangan pun panas. Keringat berkilau-kilau pada tangannya.

"Aduh! Panas-panas begini?" ujar Nene.

Tapi perempuan tua itu selalu menjawab bahwa itulah pekerjaan petani, dan jangan khawatir. Berapa kali pun Nene mendengarnya, karena ia tidak dibesar-kan sebagai petani dan tidak menyadari keasyidibesar-kan yang terkandung dalam bertani, ia tetap menganggap-nya sebagai pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun belakangan ini Nene merasa mulai memahami, meski hanya sedikit, mengapa ibu suaminya tak sanggup berhenti bekerja.

Perempuan tua itu sering menyebut hasil panen sebagai "anugerah dari bumi". Kenyataan bahwa ia sanggup membesarkan empat anak di tengah-tengah

kemiskinan dan bahwa ia sendiri tidak mati kelaparan, merupakan salah satu anugerah. Pada pagi hari ia merapatkan tangan dan menghadap matahari terbit untuk berdoa, dan menjelaskan bahwa ini pun kebiasaan lama dari Nakamura. Ia tidak akan melupa-kan kehidupan sebelumnya.

Kadang-kadang ia berkata bahwa jika ia tiba-tiba ter-biasa dengan pakaian mewah dan makanan lezat, lalu melupakan berkah dari matahari dan bumi, ia pasti akan dihukum dan jatuh sakit.

"Oh, Nene, coba lihat ini!" Begitu melihat menantu-nya, ibu Hideyoshi meletakkan cangkul dan menun-jukkan hasil jerih payahnya. "Lihatlah berapa banyak terong sudah matang. Kita akan membuat acar, supaya bisa menyantapnya di musim dingin. Tolong bawakan keranjang ke sini, biar kita bisa memetik beberapa."

Ketika Nene kembali, ia memberikan satu dan dua keranjang yang dibawanya kepada mertuanya. Pada waktu mulai memetik dan memasukkan terong ke dalam keranjang, ia berkata, "Kalau Ibu terus bekerja keras seperti ini, kita takkan kekurangan sayuran untuk sup dan acar."

"Toko-toko langganan kita pasti tidak gembira." "Hmm, para pelayan mengatakan bahwa Ibu menyukai pekerjaan ini, dan bahwa pekerjaan ini baik untuk kesehatan Ibu. Dan yang pasti, kita menghemat uang, jadi manfaatnya tentu besar."

"Tapi nama baik Hideyoshi akan terpengaruh jika orang-orang menganggap kita melakukannya karena

kikir. Kita harus membeli barang lain dari para pedagang, supaya mereka tidak berpikiran begitu."

"Ya, itu bagus. Hmm, Ibu. Sebenarnya aku enggan mengatakan ini. Tapi beberapa waktu lalu aku menerima sepucuk surat dari Sunomata."

"Oh? Dari anakku?"

"Ya. Tapi kali ini suratnya tidak ditujukan pada Ibu, melainkan hanya padaku."

"Sama saja. Hmm, apakah semuanya seperti biasa? Dia baik-baik saja, bukan? Sudah agak lama kita tidak menerima kabar, dan kupikir ini pasti karena kepindahan Yang Mulia ke Gifu."

"Benar. Dalam suratnya, suamiku minta aku mem-beritahu Ibu bahwa Yang Mulia telah mengangkatnya sebagai komandan benteng, jadi suamiku pikir sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk tinggal bersamanya. Suamiku minta aku membujuk Ibu agar mau pergi ke sana, lalu menganjurkan agar Ibu dalam beberapa hari sudah pindah ke Benteng Sunomata."

"Oh... itu kabar bagus. Rasanya seperti mimpi... anakku—komandan sebuah benteng. Namun dia tidak boleh melangkah terlalu jauh, sehingga akhirnya malah tersandung."

Meski gembira mendengar kabar baik mengenai putranya, hati nuraninya sebagai ibu khawatir kalau keberuntungan anaknya hanya berlangsung sesaat saja. Perempuan tua itu dan menantunya bersama-sama bekerja di kebun, memetik terong. Tak lama kemudian, kedua keranjang sudah penuh sayuran

ber-warna ungu.

"Ibu, apakah punggung Ibu terasa sakit?"

"Apa? Ah, tidak, justru sebaliknya. Kalau aku setiap hari bekerja seperti ini, badanku akan tetap segar."

"Aku pun belajar dari Ibu. Sejak Ibu memboleh-kanku ikut membantu di kebun, aku mulai belajar menikmati memetik sayur-mayur untuk membuat sup pada pagi hari, juga bercocok tanam mentimun dan terong. Di pekarangan Benteng Sunomata pun tentu ada sepetak tanah yang bisa kita jadikan kebun sayur. Kita akan bekerja sesuka hati."

Perempuan tua itu menutupi mulut dengan tangan-nya yang berlepotan tanah dan tertawa kecil. "Kau sama cerdiknya dengan Hideyoshi. Kau telah me-mutuskan pindah ke Sunomata sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi."

"Ibu!" Nene menyembah, merapatkan ujung jarinya ke tanah. "Penuhilah keinginan suamiku."

Ibu mertuanya cepat-cepat meraih kedua tangan Nene, "Jangan begitu! Aku hanya perempuan tua yang mementingkan diri sendiri."

"Tidak, itu tidak benar. Aku memahami kepri-hatinan Ibu."

"Jangan gusar karena perempuan tua yang keras kepala ini. Demi kepentingan anakku itulah aku tidak mau pindah ke Sunomata. Dengan demikian, dia dapat mengabdi Yang Mulia tanpa cela."

"Suamiku pun mengerti itu."

tengah orang-orang yang iri melihat keberhasilannya dan mereka akan memanggilnya dengan sebutan 'petani si Monyct dari Nakamura', atau 'si Anak Petani'. Kalau seorang perempuan petani yang hina lalu bercocok tanam di pekarangan benteng, pengikut-pengikutnya sendiri pun akan menertawakannya."

"Tidak, Ibu. Sesungguhnya Ibu tak perlu cemas mengenai masa depan. Apa yang Ibu takutkan mungkin berlaku bagi orang yang mementingkan penampilan dan takut menjadi bahan gunjingan, tapi hati suamiku tidak dikendalikan oleh pendapat umum. Sedangkan mengenai para pengikutnya..."

"Entahlah. Jika seorang penguasa benteng memiliki ibu seperti aku... bukankah itu mempengaruhi reputasinya?"

"Watak suamiku tidak sekerdil itu." Ucapan Nene begitu terus terang, sehingga mertuanya sempat ter-kejut. Akhirnya mata perempuan tua itu berkaca-kaca. "Kata-kataku tak dapat dimaafkan. Nene. Ampuni-lah aku."

"Hmm, Ibu. Matahari sudah mulai tenggelam. Cucilah tangan dan kaki Ibu." Nene berjalan lebih dulu, membawa kedua keranjang yang berat itu.

Bersama para pelayan, Nene meraih sapu dan menyapu. Kamar mertuanya dibersihkannya sendiri. Lentera-lentera dinyalakan, dan makan malam disiap-kan. Selain piring untuk mereka berdua, piring tambahan disediakan bagi Hideyoshi, baik pagi maupun malam.

"Pinggang Ibu perlu dipijat?" tanya Nene.

Ibu mertuanya mempunyai keluhan kronis yang dari waktu ke waktu terasa mengganggu. Kalau angin malam bertiup di musim gugur, ia sering mengeluh sakit. Ketika Nene memijat kakinya, perempuan tua itu seperti hendak terlelap, tapi rupanya sepanjang waktu ia memikirkan sesuatu. Akhirnya ia duduk dan berkata pada Nene.

"Dengar, sayangku. Kau ingin berkumpul kembali dengan suamimu. Aku menyesal telah mementingkan diri sendiri. Tolong sampaikan pada putraku bahwa ibunya tidak keberatan pindah ke Sunomata."

Sehari sebelum ibu Hideyoshi diperkirakan tiba, seorang tamu tak terduga, namun sangat diharapkan, melewati gerbang Sunomata. Tamu ini mengenakan pakaian sederhana. Matanya tertutup topi, dan ia disertai dua orang saja, seorang perempuan muda dan seorang anak laki-laki.

"Kalau beliau melihatku, beliau akan mengerti," kata orang itu pada penjaga gerbang, yang lalu meneruskannya pada Hideyoshi.

Hideyoshi bergegas ke gerbang benteng untuk menyambut tamu-tamunya. Takenaka Hanbei, Kokuma, dan Oyu.

"Hanya merekalah pengikut hamba," Hanbei mem-beritahunya. "Rumah tangga di benteng hamba di Gunung Bodai cukup besar, tapi hamba memutuskan menarik diri dari percaturan dunia. Mengenai janji hamba dulu, tuanku, hamba pikir waktunya telah tiba.

Jadi hamba meninggalkan pertapaan hamba dan turun gunung agar bisa berada di tengah orang lagi. Sudikah tuanku menerima tiga pengembara ini sebagai pelayan paling rendah?"

Hideyoshi membungkuk dengan tangan ber-pegangan pada lutut dan berkata. "Tuanku terlalu merendah. Kalau saja Tuan mengirim kabar lebih dulu, aku sendiri yang akan pergi ke gunung untuk menyambut kedatangan Tuan."

"Apa? Tuan hendak menyambut ronin tak berharga yang datang umuk mengabdi pada Tuan?"

"Hmm, bagaimanapun, silakan masuk dulu." Ber-jalan ke depan, Hideyoshi mengajak Hanbei ke dalam. Tapi ketika ia menawarkan kursi kehormatan pada tamunya. Hanbei menolak tegas, "Itu bertentangan dengan keinginan untuk menjadi pengikut Tuan."

Hideyoshi menanggapinya dari lubuk hati yang paling dalam. "Tidak, tidak. Aku tidak patut nempatkan diri di atas Tuan. Aku justru ingin me-rekomendasikanmu kepada Yang Mulia Nobunaga."

Hanbei menggelengkan kepala dan menolak dengan tegas. "Seperti hamba katakan sejak semula, hamba tidak berkeinginan sama sekali untuk menjadi abdi Yang Mulia Nobunaga. Ini bukan sekedar masalah kesetiaan terhadap marga Saito. Seandainya hamba mengabdi pada Yang Mulia Nobunaga, dalam waktu singkat hamba tentu terpaksa mengundurkan diri. Kalau mengingat kepribadian hamba yang jauh dari sempurna serta apa yang hamba dengar mengenai

watak Yang Mulia, hamba mendapat firasat bahwa hubungan majikan dan abdi takkan saling menguntungkan. Tapi dengan tuanku, hamba tak perlu menutup-nutupi watak buruk hamba. Tuanku dapat menerima hamba yang mementingkan diri sendiri serta keras kepala. Hamba mohon Tuanku sudi menganggap hamba sebagai abdi yang paling rendah."

"Hmm, kalau begitu, bersediakah Tuan meng-ajarkan ilmu kemiliteran bukan hanya padaku, melainkan juga pada pengikut-pengikutku?"

Dengan demikian, mereka berhasil mencapai kompromi, dan pada malam harinya mereka berbagi

sake, mengobrol sampai larut malam, tanpa mengingat

waktu. Keesokan harinya merupakan hari kedatangan ibu Hideyoshi di Sunomata. Disertai sejumlah pem-bantu, Hideyoshi meninggalkan benteng dan menuju Desa Masaki yang berjarak sekitar satu mil dari Sunomata, untuk menyambut tandu ibunya.

Langit tampak biru, dan bunga-bunga serunai di pagar para warga desa menyebarkan bau harum.

"Iring-iringan yang mulia ibunda tuanku sudah kelihaian," salah satu pembantu mengumumkan.

Wajah Hideyoshi memperlihatkan kegembiraan yang hampir tak tertahankan. Tandu-tandu yang mem-bawa isiri dan ibunya akhirnya tiba. Ketika para pengawal melihat majikan mereka darang menyambut, mereka langsung turun dari kuda masing-masing. Hachisuka Hikoemon segera menghampiri tandu ibu

Hideyoshi dan memberitahunya bahwa Hideyoshi datang untuk menemuinya.

Dari dalam tandu, suara pcrcmpuan tua itu terdengar meminta tandunya diturunkan. Para pembawa tandu berhenti dan meletakkan kedua tandu di tanah. Para prajurit berlutut di kedua sisi jalan dan membungkuk. Nene yang pertama turun. Ia menghampiri tandu mertuanya dan meraih tangan perempuan tua itu. Ketika melirik wajah samurai yang cepat-cepat meletakkan sandal di depan kaki ibu mertuanya, Nene melihat bahwa Hideyoshi-lah orang-nya.

Diliputi perasaan terharu dan tanpa sempat meng-ucapkan sepatah kata pun, Nene menyapa suaminya dengan memandangnya sekilas.

Setelah meraih tangan putranya, penuh hormat ibu Hideyoshi menempelkannya ke kening, lalu berkata, "Sebagai penguasa benteng, tuanku terlalu bermurah hati. Hamba tak patut menerima perlakuan demikian istimewa."

"Sungguh lega rasanya melihat Ibu begitu sehat. Ibu berkata bahwa aku terlalu bermurah hati, tapi kedatanganku ke sini untuk menyambut Ibu, bukan sebagai samurai."

Ibu Hideyoshi turun dari tandu. Para samurai lain segera menyembah, sedangkan perempuan tua itu merasa terlalu pusing untuk berjalan.

"Ibu tentu lelah." ujar Hideyoshi. "Beristirahatlah sejenak. Jarak ke benteng hanya sekitar satu mil."

Hideyoshi meraih tangan ibunya, dan menuntun percmpuan tua itu ke sebuah kursi di bawah teritis sebuah rumah. Ibunya duduk dan menatap langit musim gugur yang membentang di atas pepohonan.

"Seperti dalam mimpi." ia berdesah. Mendengar ucapan itu, Hideyoshi mengingai-ingat tahun-tahun yang telah berlalu. Ia tidak merasa bahwa saat ini menyerupai mimpi. Dengan jelas ia melihat setiap langkah yang mcnghubungkan kenyataan sekarang dengan masa lampau. Dan ia yakin bahwa saat ini merupakan tonggak bersejarah dalam perjalanan kariernya.

Bulan berikutnya, setelah ibu dan istri Hideyoshi pindah kc Sunomata, mereka diikuti oleh saudara perempuannya yang berusia dua puluh sembilan tahun, Otsumi, saudara laki-laki yang berusia dua puluh tiga tahun, Kochiku, serta saudara perempuan-nya yang berusia dua puluh tahun.

Otsumi belum juga menikah. Lama sebelumnya, Hideyoshi telah berjanji bahwa jika Otsumi menjaga ibu mereka, setelah Hideyoshi berhasil menjadi orang, ia akan mencarikan suami untuknya. Satu tahun kemudian Otsumi menikah di benteng dengan saudara istri Hideyoshi.

"Semuanya sudah besar," kata Hideyoshi pada ibu-nya, sambil mengamati kepuasan yang terpancar dari wajah perempuan tua itu. Inilah sumber kebahagiaan Hideyoshi serta pendorongnya di masa depan.

Musim semi telah mendekati akhirnya. Bunga-bunga ceri berjatuhan dari atap ke sandaran tangga tempat Nobunaga sedang berbaring-baring.

"Ah... betul juga." Teringat sesuatu, Nobunaga cepat-cepat menulis sebuah pesan dan mengutus kurir untuk membawanya ke Sunomata. Karena Hideyoshi kini komandan sebuah benteng, ia tak mungkin lagi segera datang jika Nobunaga memanggilnya, dan ini rupanya membuat junjungannya agak kesepian.

Setelah menyeberangi Sungai Kiso yang lebar, kurir Nobunaga mengantarkan pesan majikannya ke gerbang benteng Hideyoshi. Di sini pun musim semi berlangsung dalam damai, dan kembang-kembang berayun-ayun dalam bayang-bayang sebuah bukit buatan di pekarangan. Di balik bukit ini, di pinggir pekarangan yang luas, ada ruang belajar yang baru dibangun serta rumah kecil untuk Takenaka Hanbei dan Oyu.

Ruang belajar berukuran besar itu merupakan sebuah dojo tempat para pengikut Hideyoshi dapat berlatih bela diri. Dengan Takenaka Hanbei sebagai guru, para pengikut mempeajari sejarah Negeri Cina pada pagi hari, lalu saling bersaing dalam teknik tombak dan pedang pada sore harinya.

Setelah itu Hanbei mengajarkan konsep-konsep perang yang disusun oleh Sun Tzu dan Wu Chi sampai larut malam. Dengan tekun Hanbei mendidik para samurai muda agar mereka terbiasa dengan disiplin ilmu bela diri serta adat istiadat kehidupan

benteng. Sebagian besar pengikut Hideyoshi bekas

ronin liar yang dulu tergabung dalam gerombolan

Hikoemon.

Hideyoshi sadar bahwa ia harus terus berupaya mempcrbaiki diri, untuk mengatasi kekurangan-kekurangannya, dan untuk memperbesar kemampuan bermawas diri, dan ia pun bertekad agar para samurai diharuskan melakukan hal yang sama. Jika Hideyoshi ingin agar masa depan menjadi miliknya, pengikut-pengikut dengan kekuaran liar semata-maia takkan banyak berguna. Hideyoshi mencemaskan ini. Jadi. selain merangkul Hanbei scbagai abdi, Hideyoshi juga menganggapnya sebagai guru dan menghormatinya sebagai instruktur ilmu kemiliteran, serta mempercaya-kan pendidimempercaya-kan para pengikuinya kepadanya.

Kemampuan ilmu bela diri meningkat pesat. Pada waktu Hanbei memberi ceramah mengenai Sun Tzu atau sejarah Negeri Cina, orang-orang seperti Hikoemon selalu terlihat di antara para pendekar. Satu-satunya masalah adalah kesehatan Hanbei. Karena itu, ceramah-ceramah terpaksa dibatalkan dari waktu ke waktu, dan para pengikut merasa kecewa. Hari ini pun Hanbei terlalu menguras tenaga pada siang hari, lalu berkata bahwa ia tak sanggup memberi ceramah malam. Ketika malam tiba, ia cepat-cepat menyuruh pintu rumahnya ditutup.

Walaupun musim panas sudah di ambang pintu, angin malam dari hulu sungai Kilo semakin melemah-kan tubuh Hanbei.

"Tempat tidur Kakak sudah kusiapkan di dalam. Lebih baik Kakak tidur saja." Oyu menaruh ramuan obat di sebelah meja Hanbei. Hanbei sedang mem-baca, seperti biasa kalau ia memiliki waktu luang.

"Tidak perlu, keadaanku belum separah itu. Aku membatalkan ceramah malam ini karena menduga akan ada panggilan dari Tuan Hideyoshi. Daripada menyiapkan tempat tidur. Lebih baik kausiapkan pakaianku, supaya aku bisa cepat menjawab panggilan Yang Mulia."

"Itukah masalahnya? Malam ini ada pertemuan di benteng?"

"Sama sekali tidak.'' Hanbei menghirup ramuan obat yang masih panas. "Beberapa waktu lalu, ketika kau menutup pintu, kau sendiri yang memberitahuku bahwa perahu dengan bendera kurir dari Gifu telah menyeberangi sungai, dan bahwa seseorang sedang menuju gerbang benteng."

"Jadi, itu yang Kakak maksud?"

"Jika kurir itu membawa pesan dari Gifu untuk Tuan Hideyoshi, tak ada yang dapat memastikan ke mana urusan ini akan membawa beliau. Kalau pun aku tidak dipanggil, aku tak bisa melepaskan ikat pinggang dan tidur."

"Penguasa benteng ini menghormati Kakak sebagai guru, dan Kakak memuliakannya sebagai guru, jadi aku tidak tahu siapa yang lebih menghormati siapa. Kakak sungguh-sungguh bertekad mengabdi pada orang ini?"

Sambil tersenyum. Hanbei memejamkan mata dan menengadahkan wajahnya ke langit-langit. "Akhirnya aku pun telah sampai di titik itu. Kepercayaan seorang laki-laki pada laki-laki lain merupakan sesuatu yang menakutkan. Aku tak mungkin disesatkan oleh kecantikan seorang wanita." Pada waktu ia berkata demikian, seorang pelayan datang. Ia menyampaikan

Dalam dokumen BUKU TIGA TAHUN EIROKU KELIMA 1562 (Halaman 121-168)

Dokumen terkait