SETELAH sang Shogun dan rombongannya menemu-kan tempat perlindungan bersama Nobunaga, mereka ditempatkan di sebuah kuil di Gifu. Namun para pengikut Shogun sombong dan berjiwa kerdil, dan satu-satunya keinginan mereka adalah menegakkan wibawa mereka sendiri. Mereka tidak menyadari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan begitu mereka menetap, mereka mulai bersikap congkak dan mengeluh kepada para pengikut Nobunaga.
"Makanan ini kurang enak." "Tempat tidur kami terlalu keras."
"Aku tahu kuil sempit ini hanya untuk sementara, tapi tempat semacam ini tidak sepadan dengan martabat sang Shogun."
Mereka tak mengenai batas. "Kami ingin melihat perlakuan yang lebih baik terhadap sang Shogun. Carilah tempat yang indah untuk membangun istana bagi sang Shogun, dan mulailah dengan pekerjaan pembangunan.''
Nobunaga, yang mendengar tuntutan mereka, menganggap orang-orang itu patut dikasihani. Seketika ia memanggil para pengikut Yoshiaki dan berkata pada mereka, "Aku mendapat kabar bahwa kalian ingin aku membangun istana bagi sang Shogun.
karena kediamannya sekarang terlalu sempit."
"Memang!" juru bicara mereka menanggapinya. "Tempat tinggal beliau yang sekarang tidak memadai. Kuil itu sama sekali tidak pantas sebagai kediaman sang Shogun."
"Hmm, hmm," balas Nobunaga dengan nada melecehkan. "Bukankah pikiran Tuan-Tuan agak lamban? Sang Shogun mendatangiku karena berharap aku akan mengusir Miyoshi dan Matsunaga dari Kyoto, merebut kembali wilayah kekuasaannya, dan mengembalikan beliau ke kedudukan yang menjadi hak beliau."
"Itu benar."
"Betapapun tak beraninya aku, aku bertekad memikul tanggung jawab besar ini. Selain itu, aku merasa sanggup mewujudkan harapan-harapan sang Shogun dalam waktu dekat, bagaimana mungkin aku meluangkan waktu untuk mendirikan istana bagi beliau? Apakah Tuan-Tuan sungguh-sungguh telah melepaskan harapan untuk kembali ke Kyoto guna menegakkan pemerintahan yang sah? Puaskah Tuan-Tuan dengan melewatkan hidup secara tenang di suatu tempat berpemandangan indah di Gifu, dan tinggal sebagai pertapa di sebuah istana besar, dengan makanan yang disediakan oleh tuan rumah?"
Para pengikut Yoshiaki menarik diri tanpa berkata apa-apa lagi. Setelah itu mereka tidak banyak mengeluh. Nobunaga tidak mengada-ada. Pada waktu musim panas berganti musim gugur, Nobunaga
memerintahkan mobilisasi umum di seluruh Mino dan Owari. Pada hari kelima di Bulan Kesembilan, hampir tiga puluh ribu prajurit siap bergerak. Pada hari ketujuh, mereka sudah berbaris meninggalkan Gifu, menuju ibu kota.
Dalam pesta besar yang diadakan di benteng pada malam sebelum keberangkatan, Nobunaga berkata kepada para perwira dan anak buahnya. "Kekacauan di negeri ini, yang merupakan akibat dari persaingan para panglima provinsi, menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat. Tak perlu disebutkan bahwa kesengsaraan yang melanda seluruh negeri menimbulkan kesedihan bagi sang Tenno. Sejak zaman Ayahanda, Nobuhide, sampai sekarang, marga Oda berpegang pada peraturan tak tertulis bahwa kewajiban utama seorang samurai adalah melindungi sang Tenno beserta kerabatnya. Jadi, pada waktu menuju ibu kota, kalian tidak bertempur untukku, melainkan atas nama sang Kaisar."
Setiap komandan dan prajurit menanggapi perintah berangkat dengan semangat berkobar-kobar.
Untuk langkah besar ini, Tokugawa Ieyasu dari Mikawa, yang belum lama ini menjalin persekutuan militer dengan Nobunaga, mengirim pasukan berkekuatan seribu orang. Saat seluruh pasukan mulai bergerak, sejumlah orang mengemukakan kritik.
"Orang yang dikirim si penguasa Mikawa tidak banyak. Dia memang licik, persis seperti yang kita dengar selama ini."
Nobunaga tidak menghiraukannya. "Mikawa sedang membenahi pemerintahan dan ekonomi, karena itu mereka tak punya waktu untuk pertimbangan-pertimbangan lain. Saat ini Ieyasu tak mungkin mengirim pasukan besar. Dia memilih bertindak cermat, meski sadar bahwa dia akan dicerca karenanya. Tapi dia pun bukan panglima biasa. Aku percaya bahwa pasukan yang dikirimnya terdiri atas orang-orang terbaik di Mikawa."
Sesuai dugaan Nobunaga, keseribu prajurit Mikawa di bawah Matsudaira Kanshiro tak pernah dilampaui dalam pertempuran. Selalu bertcmpur di baris terdepan, mereka membuka jalan bagi para sekutu mereka, dan keberanian mereka menambah keharuman nama Ieyasu.
Setiap hari cuaca tetap indah. Tiga puluh ribu pejuang bergerak bagaikan garis hitam di bawah langit musim gugur. Barisan mereka begitu panjang. sehingga pada waktu ujung depannya mencapai Kashiwabara, ujung belakangnya masih melewati Tarui dan Akasaka. Panji-panji mereka menutupi langit. Ketika mereka melewati kota Hino dan memasuki Takamiya, dari depan terdengar seruan-seruan.
"Kurir! Ada rombongan kurir dari ibu kota!"
Tiga jendral berkuda maju untuk menemui mereka. "Kami ingin menghadap Yang Mulia Nobunaga." Para kurir membawa surat dari Miyoshi Nagayoshi dan Matsunaga Hisahide.
Nobunaga berkata. "Bawa mereka ke sini."
Para kurir segcra dipanggil, tapi Nobunaga men-cemooh tawaran perdamaian dalam surat itu sebagai siasat musuh. "Katakan pada mereka bahwa jawaban akan kuberikan setelah aku tiba di ibu kota."
Ketika matahari terbit pada hari kesebelas, ujung depan pasukan Nobunaga menyeberangi Sungai Aichi. Kccsokan harinya Nobunaga bergerak menuju kubu pertahanan orang-orang Sasaki di Kannonji dan Mitsukuri. Benteng Kannonji berada di bawah komando Sasaki Jotei. Putra Jotei, Sasaki Rokkaku. mempersiapkan Benteng Mitsukuri menghadapi pengepungan. Marga Sasaki dari Omi bersekutu dengan Miyoshi dan Matsunaga, dan ketika Yoshiaki mencari perlindungan bersama mereka, mereka malah berusaha membunuhnya.
Omi merupakan kawasan stratcgis yang mem-bentang sepanjang Danau Biwa, di tepi jalan yang menuju ke arah selatan. Dan di sinilah orang-orang Sasaki menunggu, berkoar bahwa mereka akan melumatkan Nobunaga seperti Nobunaga meng-hancurkan Imagawa Yoshimoto dengan sekali pukul. Sasaki Rokkaku meninggalkan Benteng Mitsukuri, bergabung dengan pasukan ayahnya di Kannonji, dan membagi-bagi pasukannya di semua benteng Omi yang berjumlah delapan belas.
Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, Nobunaga memandang dari tempat tinggi dan tertawa. "Barisan musuh sungguh gemilang. Persis seperti
dalam risalah kuno."
Ia memrintahkan Sakuma Nobumori dan Niwa Nagahide untuk merebut Benteng Mitsukuri, dan menempatkan pasukan Mikawa di barisan terdepan. Kemudian ia berpesan, "Seperti kukatakan pada malam sebelum keberangkatan kita, gerakan menuju ibu kota ini bukan balas dendam pribadi. Aku ingin setiap prajurit dalam pasukan kita paham bahwa kita bertempur untuk sang Tenno. Jangan bunuh mereka yang melarikan diri. Jangan bakar rumah-rumah para penduduk. Dan, sejauh mungkin, jangan menginjak-injak ladang yang belum dipanen."
***
Dalam kabut pagi, air Danau Biwa belum tampak. Mengoyak-ngoyak kabut itu, tiga puluh prajurit mulai bergerak. Ketika Nobunaga melihat sinyal api yang menandakan serangan terhadap benteng Mitsukuri oleh pasukan Niwa dan Sakuma, ia memberi perintah. "Pindahkan markas ke Benteng Wada."
Benteng Wada merupakan kubu pertahanan musuh, jadi perintah Nobunaga untuk memindahkan markas ke sana berarti menyerang dan merebut benteng itu. Namun perintah itu diucapkannya seakan-akan anak buahnya tinggal menempati posisi yang telah dikosongkan oleh pasukan musuh.
"Nobunaga sendiri ikut dalam penyerangan!" jendral yang memimpin Benteng Wada bersorak,
menanggapi seruan para pengintai di menara jaga. Sambil menepuk pangkal pedang, ia berpidato di depan pasukannya. "Ini berkah dari para dewa! Baik Benteng Kannonji maupun Benteng Mitsukuri seharusnya mampu bertahan selama paling tidak satu bulan, dan sementara itu pasukan Matsunaga dan Miyoshi beserta sekutu-sekutu mereka di sebelah utara danau bisa memotong jalur mundur Nobunaga. Tetapi Nobunaga telah mempercepat kematiannya dengan menyerang benteng ini. Ini kesempatan emas! Jangan biarkan keberuntungan ini lepas bcgitu saja! Ambillah kepala Nobunaga!"
Seluruh pasukannya bersorak-sorai. Mereka yakin bahwa tembok besi marga Sasaki dapat bertahan selama satu bulan, meskipun Nobunaga memimpin pasukan berkekuatan tiga puluh ribu orang dan membawahi banyak jendral hebat. Provinsi-provinsi kuat di sekitar mereka pun meyakini hal ini. Namun pada kenyataannya Benteng Wada takluk dalam setengah hari saja. Seusai pertempuran selama sekitar empat jam, pasukan yang bertahan tercerai-berai, dan terpaksa melarikan diri ke gunung dan ke tepi danau.
"Jangan kejar mereka!" Nobunaga memberi perintah dari puncak Bukit Wada, dan panji yang dikibarkan di sana terlihat jelas di bawah matahari siang. Berlepotan darah dan lumpur, para prajurit bcrangsur-angsur ber-kumpul di bawah panji kesatuan masing-masing. Kemudian, setelah melepaskan teriakan kemenangan, mereka menghabiskan ransum makan siang.
Berita-berita terus berdatangan dari arah Mitsukuri. Pasukan Tokugawa dari Mikawa, yang ditempatkan di barisan terdepan di bawah komando Niwa dan Sakuma, sedang bertempur dengan gagah, bermandikan darah. Satu per satu berita kejayaan terkumpul di tangan Nobunaga.
Laporan mengenai kekalahan Mitsukuri sampai di telinga Nobunaga sebelum matahari tenggelam. Menjelang malam, asap hitam tampak mengepul dari arah benteng di Kannonji. Pasukan Hideyoshi sudah mulai mendesak maju. Perintah untuk serbuan habis-habisan diberikan. Nobunaga memindahkan per-kemahannya, dan seluruh pasukan Mitsukuri beserta sekutu-sekuiu mereka dipaksa mundur sampai ke Benteng Kannonji. Ketika hari berganti malam, orang pertama telah berhasil mendobrak dinding benteng musuh.
Bintang dan bunga api berkilauan di langit cerah. Para penyerang melanda masuk bagaikan air bah. Lagu kemenangan berkumandang, dan bagi para sekutu marga Sasaki, lagu itu menyerupai suara angin musim gugur yang kejam. Tak seorang pun menduga bahwa kubu pertahanan ini akan bertekuk lutut dalam satu hari saja. Benteng di Bukit Wada serta kedelapan belas tempat strategis lainnya sama sekali tak sanggup memberikan perlawanan berarti terhadap serbuan pasukan Nobunaga yang bagaikan ombak dahsyat.
Segcnap marga Sasaki—mulai dari para perempuan dan anak-anak sampai ke pemimpin mereka, Rokkaku
dan Jotei—terhuyung-huyung mengarungi kegelapan malam, melarikan diri dari api yang menyelimuti benteng mereka, dan menuju benteng di Ishibe.
"Biarkan para pelarian kabur sesuka hati mereka, besok masih ada musuh lain yang menanti kita." Nobunaga tidak hanya membiarkan mereka hidup, ia juga tidak merampas harta yang mereka bawa. Nobunaga tidak biasa berlambat-lambat di tengah jalan. Pikirannya sudah berada di Kyoto, di pusat lapangan permainan. Api di Benteng Kannonji akhir-nya padam. Begitu Nobunaga memasuki reruntuhan benteng itu, ia memperlihatkan rasa terima kasih pada pasukannya dengan berkata, "Kuda-kuda dan para prajurit patut diberi kesrmpatan melepas lelah."
Namun ia sendiri tidak beristirahat lama. Malam itu ia tidur tanpa melepas baju tempur, dan pada waktu fajar tiba, ia mengumpulkan para pengikut senior untuk mengadakan rapai. Sekali lagi ia mengeluarkan keputusan-keputusan yang harus diumumkan di seluruh provinsi, dan langsung mengutus Fuwa Kawachi dengan perintah untuk membawa Shogun Yoshiaki dari Gifu ke Moriyama.
Kemarin ia bertempur di muka pasukan, hari ini ia memegang kendali pemerintahan. Inilah Nobunaga. Setelah memberikan tanggung jawab sementara sebagai administrator dan hakim di Otsu kepada empat jcndral, dua hari kemudian ia menyeberangi Danau Biwa, dan hampir lupa makan karena sibuk memberi perintah demi perintah.
Pada hari kedua belas bulan ini, Nobunaga memasuki wilayah Omi dan menyerang Kannonji dan Mitsukuri. Kemudian, pada tanggal dua puluh lima, pasukan Nobunaga mulai memasang pengumuman-pengumuman mengenai undang-undang baru yang akan diberlakukan di provinsi itu. Hanya ada satu jalan untuk meraih keunggulan! Kapal-kapal perang dari tepi timur Danau Biwa berlayar ke Omi. Segala sesuatu, mulai dari pembuatan kapal sampai pemuatan ransum untuk para prajurii dan makanan untuk kuda-kuda, melibatkan kerja sama dengan rakyat jelata. Tentu saja mereka meringkuk ketakutan menghadapi kekuatan militer Nobunaga. Tetapi selama itu, kenyataan bahwa rakyat Omi bersatu untuk mendukung Nobunaga adalah karena mereka menyctujui gaya pemerintahannya, yang mereka anggap dapat dipercaya.
Nobunagalah satu-satunya orang yang menyelamat-kan orang-orang kecil dari api peperangan dan secara terang-terangan membela kepentingan mereka. Ketika mereka menanyakan nasib mereka, jawaban Nobunaga terasa membesarkan hati. Dalam situasi seperti itu, tak ada waktu untuk menyusun kebijak-sanaan politik secara terperinci. Rahasia Nobunaga sebenarnya tak lebih dari melaksanakan semua hal secara cepat dan jelas. Yang diinginkan rakyat jelata di sebuah negeri yang diombang-ambingkan oleh perang bukanlah administrator ulung atau pemimpin bijaksana. Dunia dilanda kekacauan. Jika Nobunaga
sanggup mengendalikannya, mereka pun bersedia menanggung penderitaan sampai batas-batas tertentu.
Angin di tengah danau mengingatkan orang bahwa musim gugur telah tiba, dan armada Nobunaga menimbulkan gelombang dengan pola memanjang yang indah pada permukaan air. Pada tanggal dua puluh lima, kapal yang ditumpangi Yoshiaki berlayar dari Moriyama dan mendarat di bawah Kuil Mii.
Nobunaga, yang telah tiba lebih dulu, menduga bahwa Miyoshi dan Matsunaga akan melancarkan serangan, tapi kali ini dugaannya meleset.
Ia menyambut Yoshiaki di Kuil Mii dengan berkata, "Boleh dibilang kita sudah memasuki ibu kota."
Pada tanggal dua puluh delapan, Nobunaga akhir-nya mendesak pasukannva ke Kyoto. Ketika mencapai Awataguchi, seluruh pasukan berhenti. Hideyoshi, yang berada di samping Nobunaga, memacu kudanya ke depan, sementara Akechi Mitsuhide datang dari arah barisan depan.
"Ada apa?"
"Utusan sang Tenno."
Nobunaga pun terkejut, dan segera turun dari kuda. Kedua utusan tiba dengan membawa surat dari sang Tenno.
Sambil membungkuk rendah, Nobunaga bersikap penuh hormat, "Sebagai pemimpin pasukan provinsi, aku tidak memiliki kemampuan selain mengangkat senjata. Sejak zaman Ayahanda, kami telah me-nyayangkan keadaan menyedihkan yang menimpa
Istana Kekaisaran serta ketidaktenteraman dalam hati sang Tenno. Namun hari ini aku mendatangi ibu kota dari pelosok negeri untuk menjaga Yang Mulia. Tak ada tugas yang lebih mcmbanggakan bagi seorang prajurit atau lebih menggembirakan bagi keluargaku."
Bersama tiga puluh ribu prajurit, Nobunaga berikrar untuk menaati setiap keinginan sang Tenno.
Nobunaga menempatkan markasnya di Kuil Totuku. Pada hari yang sama, berbagai pengumuman dipasang di mana-mana. Pertama-tama adalah penyu-sunan patroli keamanan. Tugas jaga pada siang hari diberikan pada Sugaya Kuemon, sementara tanggung jawab jaga malam diembankan pada Hideyoshi.
Salah satu prajurit Oda pergi minum-minum. Prajurit yang baru saja meraih kemenangan mudah terpancing untuk bertingkah sewenang-wenang. Setelah minum sampai mabuk dan makan sampai kenyang, si prajurit melemparkan beberapa keping uang dengan nilai kurang dari setengah yang seharusnya ia bayar, lalu melangkah keluar sambil berkata. "Itu sudah cukup."
Pemilik kedai itu segera mengejarnya sambil marah-marah. Tapi ketika ia menangkap si prajurit, orang itu memukulnya, kemudian pergi dengan langkah ter-huyung-huyung. Hideyoshi, yang sedang berpatroli, kebetulan melihai kejadian tersebut dan segera memerintahkan agar praiurit yang bersangkutan dicekal. Ketika prajurit itu dibawa ke markas, Nobunaga memuji kesigapan patroli, melucuti baju
tempur si prajurit, dan bawahannya mengikat orang itu ke pohon besar di muka gerbang kuil. Keterangan mengenai kejahatan yang dilakukannya dicatat pada sebuah papan pengumuman, kemudian Nobunaga memerintahkan agar orang iiu dipertontonkan selama tujuh hari, untuk selanjutnya dipenggal. Hari demi hari tak terhitung banyaknya orang yang mondar-mandir di depan gerbang kuil. Tak sedikit dari mereka saudagar kaya atau bangsawan, juga ada kurir-kurir dari kuil-kuil lain, serta pcmilik toko yang meng-antarkan barang dagangan mcrcka.
Orang-orang yang berlalu-lalang berhenti untuk membaca papan pengumuman dan mengamati orang yang terikat di pohon. Dengan demikian para warga ibu kota melihat sendiri keadilan dan ketegasan Nobunaga. Mereka melihat bahwa undang-undang yang diumumkan di setiap sudut kota—pencurian sekeping uang pun akan diganjar hukuman mati— ditegakkan tanpa pandang bulu, dimulai dengan prajurit Nobunaga sendiri. Tak seorang pun menyatakan ketidakpuasannya.
Istilah "mati karena sekeping" menjadi umum di antara para warga untuk menggambarkan kerasnya hukuman di bawah undang-undang yang diberlakukan Nobunaga. Dua puluh satu hari berlalu sejak pasukan-nya berangkai dari Gifu.
Setelah Nobunaga berhasil menguasai situasi di ibu kota dan kembali ke Gifu, ia berpaling dari segala
urusan yang menyibukkannya dan menemukan bahwa Mikawa bukan lagi provinsi lemah dan miskin seperti semula.
Mau tak mau ia mengagumi kewaspadaan Ieyasu. Si Penguasa Mikawa rupanya tidak puas menjadi penjaga pintu belakang Owari dan Mino sementara sekutunya, Nobunaga, bergerak ke pusat kekuasaan. Bertekad untuk tidak membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja, Ieyasu memaksa pasukan penerus Imagawa Yoshimoto, Imagawa Ujizane, keluar dari Provinsi Suruga dan Totomi. Ini, tentu saja, tidak semata-mata berkat kekuatannya sendiri. Berhubungan dengan marga Oda di satu pihak, Ieyasu juga bekerja sama dengan Takeda Shingen dari Kai, dan mereka bersepakat untuk membagi bekas wilayah Imagawa. Ujizane memang bodoh, dan memberikan banyak alasan kuat bagi marga Tokugawa maupun marga Takeda untuk menyerangnya.
Meskipun seluruh negeri dilanda kekacauan, setiap komandan militer memahami bahwa ia tak bisa memulai perang tanpa alasan, dan jika ia nekat melakukannya, pada akhirnya ia akan menderita kekalahan. Ujizane menjalankan pemerintahan yang memberikan peluang bagi musuh-musuhnya untuk bersikap demikian, dan ia sendiri tak sanggup membaca pertanda zaman. Semua orang tahu bahwa ia tak pantas menjadi penerus Yoshimoto.
Provinsi Suruga menjadi milik marga Takeda, sementara Totomi menjadi bagian wilayah kekuasaan
marga Tokugawa. Pada hari Tahun Baru di tahun Eiroku ketiga belas, Ieyasu menyerahkan komando benteng di Okazaki kepada putranya, lalu pindah ke Hamamatsu di Totomi. Di bulan kedua, ia menerima surat berisi ucapan selamat dari Nobunaga.
Tahun lalu aku mengungkapkan kenginanku yang telah lama terpendam dan mencapai berbagai ke-berhasilan kecil, tetapi tak ada yang lebih meng-gembirakan daripada menambahkan tanah Totomi yang subur ke dalam wilayah Tuan. Secara kolektif, kita semua bertambah kuat.
Pada awal musim semi, Ieyasu pergi ke Kyoto bersama Nobunaga. Tentu saja kunjungan mereka adalah untuk menikmati ibu kota di musim semi dan bersantai di bawah kembang ceri, paling tidak itulah yang tampak dari luar. Namun dari sudut politik, seluruh dunia memandang ke arah kedua pemimpin yang bertemu di Kyoto dan bertanya-tanya apa scsungguhnya tujuan mereka.
Tetapi perjalanan Nobunaga kali ini memang hanya untuk bersenang-senang. Nobunaga dan Ieyasu meng-habiskan satu hari penuh di ladang-ladang dengan berburu menggunakan burung rajawali. Pada malam hari. Nobunaga mengadakan jamuan makan dan minta agar para warga desa menampilkan nyanyian dan tarian di tempat menginapnya. Pada dasarnya. ia dan Ieyasu hanya menikmati waktu santai. Ketika
mereka tiba di ibu kota, Hideyoshi, yang diberi tanggung jawab atas pertahanan Kyoto, pergi sampai ke Otsu untuk menyambut mereka. Nobunaga mem-perkenalkannya pada Ieyasu.
"Ya, aku sudah lama mengenalnya. Aku pertama kali berjumpa dengannya pada waktu aku berkunjung ke Kiyosu, dan dia berada dalam barisan samurai yang ditugaskan di gerbang untuk menyambutku. Itu satu tahun setelah pertempuran di Okehazama, jadi memang sudah agak lama," Ieyasu menatap Hideyoshi dan tersenyum. Hideyoshi terkesan dengan daya ingat Ieyasu yang begitu baik. Ieyasu kini berusia dua puluh delapan tahun, Nobunaga tiga puluh enam, Hideyoshi hampir tiga puluh empat. Pertempuran di Okehazama berlangsung scpuluh tahun lalu.
Setelah tiba di Kyoto. Nobunaga pertama-tama meninjau perbaikan Istana Kekaisaran.
"Menurut perkiraan kami, pekerjaan ini akan tuntas tahun depan." kedua pengawas pembangunan mem-beritahunya.
"Biayanya tak perlu ditekan-tekan." jawab Nobu-naga. "Sudah bertahun-tahun Istana Kekaisaran berada dalam keadaan tak terurus."
Ieyasu mendengar komentar Nobunaga dan ber-kata, "Aku benar-benar iri terhadap posisi Tuan. Tuan dapat memperlihatkan pengabdian pada sang Tenno secara nyata."
"Memang begitu," balas Nobunaga tanpa malu-malu, kcmudian mengang-angguk, seakan-akan
se-pendapat dengan Ieyasu.
Nobunaga tidak hanya memugar Istana Kekaisaran, ia juga memperbaiki keuangan istana. Sang Tenno tentu saja merasa senang dan Nobunaga pun berhasil memperlihatkan kesetiaannya pada rakyat. Setelah yakin bahwa kaum bangsawan maupun rakyat jelata merasa senang, Nobunaga menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Ieyasu selama bulan kedua, mengagumi kembang ceri, menjalani Upacara Minum Teh, serta menyelenggarakan tarian dan musik istana.
Siapa yang dapat menerka bahwa selama itu dalam hati ia sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk menghadapi kesulitan berikut yang bakal meng-hadang? Nobunaga memprakarsai tindakan-tindakan-nya seiring dengan perkembangan yang terjadi, dan