• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguasa Bukit Kurihara

Dalam dokumen BUKU TIGA TAHUN EIROKU KELIMA 1562 (Halaman 72-121)

BUKTT KURIHARA bersebelahan dengan Gunung Nangu, tidak seberapa tinggi, dan menyerupai anak kecil yang merapat pada orangtuanya.

Ah, betapa indahnya! Ketika mendekati puncak, Hideyoshi yang bukan penyair pun merasakan kegembiraan meluap-luap, terpukau oleh keagungan pemandangan matahari musim gugur yang sedang tenggelam. Tapi kini ia memusatkan perhatian pada satu pikiran: Apa yang harus kulakukan agar Hanbei

bersedia menjadi sekutuku? Dan pikiran ini segera diikuti

oleh pikiran lainnya: Tidak, menghadapi ahli strategi dengan cara menyusun strategi justru merupakan strategi paling buruk. Aku hanya bisa menghadapi dia

sebagai selembar kertas kosong. Aku akan bicara terus terang, dengan segenap kekuatanku. Hideyoshi

mem-bangkitkan semangatnya. Tapi saat itu ia belum mengetahui tempat tinggal Hanbei, dan sampai matahari terbenam mereka belum berhasil menemu-kan rumahnya yang terpencil. Namun Hideyoshi tidak terburu-buru. Kalau hari mulai gelap, pasti akan ada lentera yang dinyalakan di suatu tempat. Daripada berputar-putar tanpa tujuan dan terus membelok ke arah yang salah, tentu lebih menyenangkan dan lebih cepat jika mereka tetap di tempat. Hideyoshi duduk di

tebing batu terjal sampai cahaya matahari lenyap dari langit. Akhirnya mereka melihat sebuah titik terang di kejauhan, di seberang sebuah lembah berpaya-paya. Mengikuti jalan setapak sempit yang berkelok-kelok naik-turun, mereka sampai di sana.

Tempat itu berupa sebidang tanah datar yang dikelilingi pinus merah, di tengah lereng bukit. Semula mereka menduga akan menjumpai sebuah pondok kecil beratap rumbia yang dikelilingi oleh pagar reyot, tapi kini mereka melihat tembok lumpur yang membatasi pekarangan luas. Ketika mendekat, mereka melihat tiga atau empat lentera berkelip-kelip lebih ke belakang. Sebagai ganti gerbang hanya ada rangka kayu berlapis anyaman bambu yang terkepak-kepak tertiup angin.

Tempat itu cukup besar, pikir Hideyoshi ketika ia

melangkah masuk. Di dalam pekarangan ada rumpun pinus. Ada jalan setapak dari pintu masuk menuju ke tengah pepohonan, dan selain daun-daun cemara tak ada setitik kotoran pun. Setelah berjalan sekitar lima puluh langkah, mereka sampai ke sebuah rumah. Seekor sapi sedang melenguh di dalam kandang yang berdekatan. Mereka mendengar api meretih tertiup angin, asapnya memenuhi udara. Hideyoshi berdiri tak bergerak. Ia menggosok-gosok matanya yang tajam. Tapi dengan satu hembusan angin dari puncak bukit. tempat itu tiba-tiba terbebas dari asap, dan ketika Hideyoshi memandang ke depan, ia melihat seorang anak kecil sedang menyusupkan ranting-ranting ke

dalam tungku di pondok memasak.

"Siapa Tuan?" anak laki-laki itu bertanya curiga. "Kau pelayan di sini?"

"Aku? Ya," bocah itu menjawab.

"Aku pengikut marga Oda. Namaku Kinoshita Hideyoshi. Bisakah kau menyampaikan pesan?"

"Pada siapa?" "Pada majikanmu." "Dia tidak ada di sini." "Dia sedang pergi?"

"Aku sudah bilang, dia tidak ada. Pergilah." Anak itu membelakangi para tamu dan duduk di hadapan tungku sambil kembali menyusupkan ranting-ranting. Kabut malam di bukit itu terasa dingin, dan Hideyoshi pun berjongkok di depan tungku, bersebelahan dengan si bocah.

"Bolehkah aku menghangatkan badan sejenak?" Anak itu tidak menjawab, hanya melirik sekilas dari sudut mata.

"Udara malam cukup dingin, bukan?"

"Tuan bcrada di atas bukit. Tentu saja udaranya dingin," si bocah berkata.

"Biksu cilik, ini..."

"Ini bukan biara! Aku murid Tuan Hanbei, bukan biksu!"

"Ha ha ha ha!"

"Kenapa Tuan tertawa?" "Maaf."

masuk ke pondok memasak, aku akan dimarahi." "Tidak. Kau takkan dimarahi. Nanti aku akan minta maaf pada majikanmu."

"Tuan betul-betul ingin menemuinya?"

"Betul. Kaupikir aku akan menuruni bukit ini tanpa menemui dia setelah berjalan begitu jauh?"

"Orang Owari memang kasar, ya? Tuan dari Owari. bukan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Majikanku membenci orang Owari. Aku juga. Owari provinsi musuh, bukan?"

"Kurasa itu benar."

"Tuan pasti mencari sesuatu di Mino, bukan? Kalau Tuan sekadar mampir, lebih baik Tuan segera melanjutkan perjalanan. Kalau tidak, Tuan akan kehilangan kepala."

"Aku tidak bermaksud pergi ke tempat lain. Satu-satunya tujuanku adalah rumah ini."

"Untuk apa Tuan datang kc sini?" "Aku datang untuk mendapatkan izin."

"Mendapatkan izin? Tuan ingin menjadi murid majikanku, seperti aku?"

"He-eh. Kurasa aku ingin menjadi saudara seper-guruanmu. Kita pasti bisa berteman baik. Sekarang bicaralah dengan majikanmu. Biar aku yang menjaga perapian. Jangan khawatir, nasinya takkan gosong."

"Aku tidak khawatir. Aku tidak mau pergi dari sini." "Jangan cepat marah. Nah, bukankah itu suara majikanmu sedang batuk di dalam?"

"Majikanku sering batuk pada malam hari. Badan-nya tidak kuat."

"Jadi, kau membohongiku waktu kau bilang dia tidak ada di sini."

"Ada atau tidak, itu sama saja. Dia tidak mau menemui siapa pun yang datang, tak peduli siapa orangnya atau dari provinsi mana dia berasal."

"Hmm, aku akan menunggu waktu yang tepat." "Ya, kapan-kapan Tuan bisa kembali lagi."

"Tidak. Pondok ini nyaman dan hangat. Izinkan aku menunggu di sini selama beberapa waktu."

"Tuan jangan main-main! Pergilah!" Si bocah melompat berdiri, seakan-akan hendak menyerang tamu tak diundang itu, tapi ketika memelototi Hideyoshi yang sedang tersenyum dalam cahaya api tungku yang berkelap-kelip, ia tak sanggup tetap marah. Pada waktu si bocah menatap tajam ke wajah laki-laki di hadapannya, rasa bermusuhan yang semula menggelora di dadanya berangsur-angsur berkurang.

"Kokuma! Kokuma!" seseorang memanggil dari dalam rumah. Si bocah langsung bereaksi. Ia meninggalkan Hideyoshi, bergegas dari pondok ke rumah, dan tidak kembali untuk beberapa wakiu. Sementara itu, bau masakan gosong tercium dari panci besar di atas tungku. Hideyoshi segera meraih sendok yang tergelctak pada tutup panci dan mengaduk-aduk isi panci itu—bubur beras merah yang dicampur buah berangan dan sayuran yang telah dikeringkan. Orang lain mungkin menertawakan

makanan orang miskin ini, tapi Hideyoshi lahir dari keluarga petani melarat, dan setiap kali memandang sebutir beras, ia teringat air mata ibunya. Bagi Hideyoshi, ini bukan urusan sepele.

"Dasar anak kecil! Masakannya akan gosong."

Setelah mengambil sepotong kain, ia meraih pegangan panci dan mengangkatnya.

"Oh, terima kasih. Tuan."

"Ah, Kokuma? Masakanmu hampir gosong, jadi pancinya kuangkat saja. Rasanya masakanmu sudah matang."

"Tuan sudah mengetahui namaku, heh?"

"Begitulah kau dipanggil oleh Tuan Hanbei tadi. Apa kau sudah memberitahukan kedatanganku pada majikanmu?"

"Aku dipanggil karena soal lain. Mengenai permintaan Tuan, ah. menyampaikan hal tak berguna pada majikanku hanya akan membuatnya marah. Karena itu aku tidak mengatakan apa-apa."

"Hmm, hmm. Kelihatannya kau sangat taat pada peraturan gurumu, ya? Aku terkesan sekali."

"Hah! Tuan hanya ingin mencari muka."

"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Aku bukan orang sabar, tapi seandainya aku gurumu aku akan memuji-mu seperti ini. Aku tidak bohong."

Pada saat itu seseorang keluar dari dapur yang berdekatan, sambil membawa lampion. Sebuah suara perempuan berulang kali memanggil Kokuma. Waktu Hideyoshi berbalik, samar-samar ia melihat seorang

perempuan berumur sekitar enam belas atau tujuh belas tahun mengenakan kimono berpola kembang ceri dan kabut, yang diikat tali kimono berwarna seperti buah prem. Sosok gadis itu diterangi cahaya lampion di tangannya.

"Ada apa, Oyu?" Kokuma menghampiri dan men-dengarkannya. Setelah selesai bicara, gadis itu menuju rumah dan menghilang di balik tembok.

"Siapa itu?" tanya Hideyoshi.

"Adik guruku," jawab Kokuma dengan nada lembut, seakan-akan bicara mengenai keindahan bunga-bunga di pekarangan majikannya.

"Aku minta sekali lagi." Hideyoshi mendesak. "Maukah kau menemui gurumu satu kali saja, untuk menanyakan apakah dia sudi menerimaku? Kalau dia menolak, aku akan pergi."

"Tuan betul-betul akan pergi?" "Ya."

"Betul?" Suara Kokuma bernada tegas, tapi akhirnya ia pun masuk. Ia segera kembali dan berkata ketus, "Guruku bilang tidak, dia tidak suka menerima tamu... dan ternyata aku memang kena marah. Jadi pergilah. Tuan. Sekarang aku mau membawakan makanan untuk guruku."

"Hmm, malam ini aku akan pergi. Kapan-kapan aku akan datang lagi." Tanpa daya Hideyoshi berdiri dan mulai menjauh.

"Percuma saja Tuan kembali lagi!" kata Kokuma. Hideyoshi berjalan sambil membisu. Tanpa

meng-indahkan kegelapan, ia turun ke kaki bukit dan tidur. Ketika terbangun keesokan harinya, ia mempersiap-kan diri dan sekali lagi mendekati bukit. Kemudian, persis seperti pada hari sebelumnya, ia mengunjungi tempat tinggal Hanbei menjelang matahari terbenam. Pada hari sebelumnya, ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan si bocah, sehingga hari ini ia mencoba mendatangi pintu yang kelihatannya merupakan pintu masuk utama. Orang yang menanggapi sapaannya tcrnyata Kokuma. "Hah! Tuan kembali lagi?"

"Kupikir barangkali hari ini majikanmu berkenan menerima kedatanganku. Tolong tanyakan pada gurumu sekali lagi." Kokuma masuk ke dalam rumah. dan entah berbicara dengan Hanbei atau tidak segera kembali untuk menyampaikan penolakan yang sama seperti kemarin.

"Kalau begitu, aku akan mencoba lagi kalau suasana hatinya sedang lebih baik," Hideyoshi berkata dengan sopan, lalu pergi. Dua hari kemudian ia kembali mendaki bukit.

"Apakah majikanmu bersedia menemuiku hari ini?" Seperti biasa Kokuma menghilang ke dalam rumah, dan sekali lagi ia menolak mentah-mentah. "Guruku mulai jengkel karena Tuan terus mengganggunya."

Hari itu pun Hideyoshi pulang sambil membisu. Berulang kali ia mendatangi rumah itu. Akhirnya, setiap kali Kokuma melihat wajah Hideyoshi, ia tidak melakukan apa-apa selain tertawa. "Kesabaran Tuan ternyata luar biasa. Tapi kedatangan Tuan di sini

percuma saja, betapapun sabarnya Tuan. Sekarang, kalau aku masuk untuk memberitahukan kedatangan Tuan pada guruku, dia hanya tertawa. Dia tidak mengatakan apa-apa padaku."

Anak kecil mudah berteman, dan rasa akrab sudah mulai terjalin antara Kokuma dan Hideyoshi.

Keesokan harinya Hideyoshi untuk kesekian kali menaiki bukit. Saya, yang menunggu di kaki bukit, tidak memahami jalan pikiran majikannya, dan akhir-nya naik darah sehingga berkata. "Pongah betul Takenaka Hanbei ini? Kali ini aku akan naik ke sana dan minta pertanggungjawaban atas sikapnya yang kurang ajar."

Kunjungan Hideyoshi yang kesepuluh diiringi angin kencang dan hujan deras dan baik Saya maupun para pemilik rumah tempat mereka menginap berusaha keras mencegah Hideyoshi. Tapi dengan keras kepala Hideyoshi mengenakan jas hujan dan topi yang terbuat dari jerami, lalu memulai pendakiannya. Ketika tiba menjelang malam, ia berdiri di pintu masuk dan memanggil seperti biasa.

"Ya. Siapa itu?" Malam itu, untuk pertama kali, perempuan muda yang dikatakan Kokuma sebagai adik Hanbei melangkah keluar.

"Aku tahu bahwa kedatanganku mengganggu Tuan Hanbe dan aku menyesal karena terpaksa bertindak melawan kehendaknya, tapi aku datang sebagai utusan junjunganku. Sulit bagiku untuk pulang sebelum menemui Tuan Hanbei. Menyampaikan pesan

majikan merupakan bagian tugas samurai, jadi aku bertekad untuk datang terus sampai Tuan Hanbei berkenan menerimaku, biarpun untuk itu aku harus menunggu dua atau tiga tahun. Dan seandainya Tuan Hanbei tetap menolak, aku telah memutuskan untuk membelah perutku. Wah, aku yakin Tuan Hanbei mengenal penderitaan golongan samurai lebih baik dari siapa pun."

Di bawah percikan air hujan dari atap yang bocor, Hideyoshi berlutut dan mengajukan permintaannya. Perempuan muda di hadapannya tampak tergerak.

"Tunggu sebentar," perempuan itu berkata lembut. lalu menghilang ke dalam rumah. Tapi ketika kembali, dengan nada menyesal ia memberitahu Hideyoshi bahwa jawaban Hanbei tidak berubah. "Aku menyesal bahwa kakakku begitu keras kepala, tapi sudikah Tuan meninggalkan rumah kami? Kakakku berpesan, tak peduli berapa kali Tuan datang, dia takkan mau menemui Tuan. Kakakku tidak suka bicara dengan orang lain, dan sekarang pun dia menolak."

"Begitukah?" Hideyoshi menundukkan kepala dengan kecewa, tapi tidak berkeras. Air dari cucuran atap mengguyur bahunya. "Apa boleh buat. Hmm,. aku akan menunggu sampai perasaannya sedang enak." Sambil mengenakan topi. Hideyoshi melangkah pergi, patah semangat. Ia menyusuri jalan setapak yang membelah rumpun cemara seperti biasa, tapi ketika baru sampai di luar tcmbok lumpur, ia mendengar Kokuma mengejarnya dari belakang.

"Tuan! Dia bersedia menemui Tuan! Dia bilang dia mau menemui Tuan! Dia minta Tuan kembali!"

"Hah? Tuan Hanbei bersedia menemuiku?" Ter-buru-buru Hideyoshi kembali bersama Kokuma. Tapi hanya Oyu, adik Hanbei, yang menanti mereka.

"Kakakku begitu terkesan dengan ketulusan Tuan. sehingga dia akan merasa bersalah jika tidak menemui Tuan. Tapi bukan malam ini. Kakakku harus ber-baring karena hujan, tapi dia minta Tuan kembali pada hari lain, setelah dia mengirim pesan untuk Tuan." Tiba-tiba terlintas di benak Hideyoshi bahwa perempuan ini mungkin merasa iba padanya dan bahwa ia setelah Hideyoshi pergi, membujuk kakak-nya, Hanbei.

"Kapan pun harinya, kalau Tuan Hanbei mengirim pesan aku akan datang."

"Tuan tinggal di mana?"

"Aku tinggal di kaki bukit, di rumah Moemon, sebuah rumah petani di dekat pohon besar di Desa Nangu."

"Baiklah, kalau cuacanya sudah membaik." "Aku akan menunggu."

"Udaranya dingin dan Tuan basah kuyup karena hujan. Paling tidak keringkanlah baju Tuan di depan tungku di pondok memasak, dan makanlah sedikit sebelum pergi."

"Tidak, lain kali saja. Aku akan pergi sekarang." Di bawah siraman hujan, Hideyoshi berjalan menuruni bukit.

Hujan terus turun keesokan harinya. Hari berikut-nya. Bukit Kurihara terselubung awan putih, dan tak ada berita dari Hanbei. Akhirnya cuaca kembali cerah, dan warna-warni di bukit itu tampak seperti baru. Daun-daun pada pepohonan kelihatan merah menyala.

Pagi itu Kokuma tiba di gerbang Moemon sambil menuntun sapi. "Hei, Tuan!" katanya. "Aku datang untuk mengundang Tuan ke atas! Aku disuruh majikanku memandu Tuan ke rumahnya. Dan karena Tuan menjadi tamunya hari ini, aku membawakan tunggangan untuk Tuan. Silakan naiki sapi ini. Sambil berkata begitu, Kokuma menyerahkan surat undangan dari Hanbei. Hideyoshi membukanya dan membaca:

Mengherankan. Tuan sering datang untuk mengun-jungi orang lemah yang telah mengurung diri di daerah pelosok, tapi sesungguhnya sulit bagiku untuk meng-hadapi permintaan Tuan. Datanglah untuk secangkir teh. Aku akan menunggu.

Kata-kata itu berkesan agak angkuh. Hideyoshi menyimpulkan bahwa Hanbei laki-laki yang tidak ramah, bahkan sebelum sempat berhadapan langsung dengannya. Hideyoshi duduk di punggung sapi dan berkata pada Kokuma. "Hmm, karena kau telah membawakan tunggangan untukku, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?" Kokuma berbalik ke arah bukit dan mulai melangkah. Langit musim gugur di

sekitar Bukit Kurihara dan Gunung Nangu tampak cerah. Untuk pertama kali sejak Hideyoshi tiba di bukit-bukit di kaki pegunungan, ia dapat melihat gunung-gunung dengan jelas jika menatap ke atas.

Ketika mereka akhirnya mendekati pintu masuk di tembok luar, mereka melihat perempuan cantik ber-diri di sana. Roman mukanya menunjukkan bahwa ia menunggu mereka. Perempuan itu Oyu, yang telah berdandan lebih rapi daripada biasanya.

"Ah, sebenarnya kau tak perlu repot-repot," ujar Hideyoshi. Terburu-buru melompat turun dari punggung sapi.

Setelah masuk, ia ditinggalkan seorang diri di sebuah ruangan. Suara air mengalir terdengar di telinganya. Batang-batang bambu yang terkena angin bergesekan dengan jendela. Suasana di bukit ini betul-betul penuh kedamaian. Pada sebuah gulungan kertas yang tergantung di salah satu sudut ruangan seorang biksu Zen telah menorehkan aksara Cina untuk kata "mimpi".

Bagaimana Hanbei bisa hidup di sini tanpa dilanda kejemuan? Hideyoshi bertanya-tanya bingung meng-hadapi pikiran laki-laki yang memilih tempat seperti ini sebagai tempat tinggal. Hideyoshi menyadari bahwa ia sendiri takkan tahan lebih dari tiga hari. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya bahkan selama waktu singkat ia berada di sana. Walaupun hatinya disejukkan oleh kicau burung dan desiran pohon cemara, pikirannya melayang ke Sunomata, lalu

berlanjut ke Bukit Komaki, sementara darahnya mendidih karena perputaran zaman. Hideyoshi merasa terasing di tengah kedamaian seperti ini.

"Hmm, aku telah membuat Tuan menunggu." Suara seorang laki-laki muda terdengar dari belakang Hideyoshi. Suara Hanbei. Sejak semula Hideyoshi sudah mengetahui bahwa Hanbei masih muda. Tapi ketika mendengar suaranya, ia semakin terkesan. Sang tuan rumah duduk, memberikan kursi kehormatan pada Hideyoshi.

Hideyoshi bicara terburu-buru, membuka per-cakapan dengan gaya rcsmi. "Aku pengikut marga Oda. Namaku Kinoshita Hideyoshi."

Hanbei memotong dengan sopan. "Tidakkah Tuan sependapat bahwa kita bisa menghindari formalitas yang kaku? Bukan itu maksud undanganku hari ini."

Hideyoshi merasa pembukaan ini telah menyebab-kan ia kalah posisi. Sang tuan rumah telah lebih dulu membuat gerakan awal.

"Aku Hanbei, pemilik pondok pegunungan ini. Aku mendapat kehormaian dengan kunjungan Tuan hari ini."

"Tidak, aku khawatir akulah yang berkeras kepala mengetuk gerbang dan mengusik ketenangan Tuan."

"Ha ha ha ha! Terus terang, sikap Tuan memang menjengkelkan. Tapi, setelah bertemu dengan Tuan harus kuakui bahwa aku merasa lega kalau sesekali menerima tamu. Aku berharap Tuan merasa seperti di rumah sendiri. O ya, Tamu yang Terhormat,

sesung-guhnya apa yang Tuan inginkan sehingga Tuan mau bersusah payah mendaki bukit untuk mencapai rumahku? Kata orang, di pegunungan tak ada apa-apa selain kicau burung."

Hanbei memilih tempat duduk yang lebih rendah daripada tempat duduk tamunya, tapi matanya ber-binar-binar, dan sepertinya ia merasa geli melihat orang yang muncul entah dari mana ini. Hideyoshi mengamatinya tanpa sembunyi-sembunyi. Tubuh Hanbei tampaknya memang tidak kuat. Kulitnya lembek wajahnya pucat. Namun ia laki-laki tampan, dan bibirnya yang merah sangat mencolok.

Pada hakikatnya, sikap Hanbei merupakan cerminan dari cara ia dibesarkan. Ia tenang dan ber-bicara dengan lembut, dan sambil tersenyum. Tapi ada sedikit keraguan apakah penampilan laki-laki ini merupakan perwujudan sesungguhnya dari jati diri-nya, ataukah ada yang terselubung di balik penampilannya itu. Hideyoshi membandingkannya dengan Bukit Kurihara yang hari ini tampak cukup tenteram untuk berjalan-jalan, tapi pada hari sebelum-nya diamuk badai dari lembah yang membuat pohon-pohon berderu-deru.

"Hmm, sebenarnya..." Sejenak Hideyoshi ter-senyum, dan ia meluruskan bahunya. "Aku menemui Tuan atas perintah Yang Mulia Nobunaga. Sudikah Tuan turun dari bukit ini? Dunia takkan membiarkan orang dengan kemampuan seperti Tuan menjalani kehidupan tenteram di pegunungan dalam usia begitu

muda. Cepat atau lambat,. Tuan pasti akan mengabdi sebagai samurai. Dan kalau begitu, pada siapa Tuan akan mengabdi, kalau bukan pada Yang Mulia Nobunaga? Jadi, aku datang untuk membujuk Tuan agar mengabdi pada marga Oda. Tidakkah Tuan tergerak untuk sekali lagi berdiri di tengah awan-awan perang?"

Hanbei hanya mendengarkan tamunya dan ter-senyum misterius. Meski pun memiliki lidah yang lincah, Tokichiro merasa semangatnya memudar menghadapi lawan seperti ini. Hanbei bagaikan rumpun bambu yang merunduk saat tertiup angin. Hideyoshi tak dapat memastikan apakah laki-laki itu mendengarkannya atau tidak. Ia membisu beberapa saat dan menunggu tanggapan Hanbei. Sampai akhir pertemuan mereka, ia membawa diri seperti selembar kertas kosong menghadapi laki-laki itu tanpa siasat maupun luapan perasaan.

Selama itu, kipas di tangan Hanbei menimbulkan embusan angin lembut. Sebelumnya Hanbei telah menaruh tiga potong arang ke dalam anglo, dan setelah meletakkan penjepit, ia mengipas arang itu sampai menyala, tanpa menerbangkan abu. Air di dalam cerek mulai mendidih. Sementara itu, Hanbei meraih serbet yang digunakan dalam Upacara Minum Teh dan mengelap dua cawan kecil, masing-masing untuk tuan rumah dan tamunya. Gerak-geriknya anggun dan seakan-akan tanpa cela, tapi sekaligus tenang dan berhati-hati.

Hideyoshi mceasa kakina mulai kescmutan, tapi ia tak sanggup menemukan kesempatan tepat untuk ucapan berikutnya. Dan sebelum ia menyadarinya, hal-hal yang dibicarakannya secara terperinci telah hilang terbawa angin ke arah pohon-pohon cemara. Sepertinya tak ada yang tersisa di telinga Hanbei.

"Hmm, sudikah Tuan memberi tanggapan mengenai hal-hal yang baru saja kukemukakan? Aku yakin bahwa bujukan dengan nama dan pangkat bukanlah cara tepat untuk menarik Tuan dari sini,

Dalam dokumen BUKU TIGA TAHUN EIROKU KELIMA 1562 (Halaman 72-121)

Dokumen terkait