• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Anak Jalanan

a. Pengertian Anak Jalanan

Anak menurut UU RI nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.41 Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan Negara.

Banyak pengertian dan batasan dikemukakan tentang anak jalanan yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama, tergantung darimana cara memandang. Unicef memberikan batasan tentang anak jalanan yaitu:

“………street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age and have clrifted into a nomadic street life ( anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya)……….42

Sedangkan definisi resmi yang dikeluarkan oleh PBB dalam mendefinisikan anak jalanan adalah sebagai berikut:

Any boy and girl…..whom the street in the wides sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc, has become her or his habitualabode and or sources of livelihood and who is inadequately protected, supervised or directed by responsible adults” (setiap anak baik laki-laki maupun perempuan, dimana dalam berbagai hal, meliputi tidak memiliki rumah tempat tinggal, membuat mereka memiliki

Sosial dan Lingkungan (Jakarta: LP3ES, 2004), h.166-168.

41UU RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Surabaya: Media Center, 2006), h.50.

42 Armai Arief, Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan dalam Rangka Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dan Stabilitas Nasional (Jakarta: Fajar, jurnal LPM UIN Syahid Jakarta, 2002), h.23.

tempat tinggal, dan juga memiliki sumber penghidupan, termasuk disini adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang tidak memiliki perlindungan, bimbingan dan pengawasan dari orang dewasa yang cukup bertanggung jawab).43

HIMMATA ( Himpunan Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota) mengelompokkan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu44 :

a. Anak semi jalanan

Istilah ini digunakan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.

b. Anak jalanan murni

Istilah ini digunakan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarga.

Sedangkan Tata Sudrajat mengelompokkan anak jalanan menjadi tiga kelompok berdasarkan hubungan anak dengan orang tuanya, yaitu:

a. Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan. Di sebut anak yang hidup di jalanan atau children of the street.45 Seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari anak-anak ini biasanya tinggal dan bekerja di jalanan (living and working on the street), tidak mempunyai rumah (homeless) dan jarang atau bahkan tidak pernah kontak dengan keluarga. Mereka umumnya berasal dari keluarga berkonflik, misalnya ayah-ibunya cerai, penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya.

43 Nurhayati, “Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus Rumah Singgah Sakina)”, skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UIN, 2004), h.25-26. 44Asmawi, “Menatap Masa Depan Anak-Anak Jalanan”, Ummi (majalah Islam wanita) September 2001, h.28.

45 Tata Sudrajat, “Pola Hubungan Sosial dan Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan” makalah PKBI, 1999, h.3.

Mereka lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Masalah yang banyak dialami mereka adalah karena tinggal di jalanan dan tanpa ada yang mendampinginya. Jumlah mereka lebih sedikit di bandingkan kelompok anak jalanan lainnya, diperkirakan hanya 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan. b. Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, dua bulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali. Disebut dengan anak yang bekerja di jalanan atau children on the street.46Mereka hanya berada sesaat di jalanan. Dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok lagi anak jalanan, yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal bersama dengan orang tuanya. Pada anak-anak dari luar kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara bersama-sama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah teman daerah sendiri. Mereka ini sudah tidak bersekolah lagi dan ikut ke kota karena ajakan teman-teman atau orang yang lebih dewasa. Kontak dengan keluarga lebih sering dibandingkan kelompok children of the street, bahkan lebih teratur. Mereka pulang untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada orang tua. Sebagian kecil mereka tinggal bersama orang tuanya (urbanisan). Motivasi mereka adalah ekonomi, jarang yang sifatnya konflik. Persentasenya mencapai 40 %

c. Anak yang masih tinggal bersama orang tuanya. Setiap hari pulang ke rumah, masih sekolah atau putus sekolah. Disebut anak yang rentan menjadi anak

jalanan atau vulnerable to be street children.47Mereka umumnya adalah anak-anak dari dalam kota sendiri. Biasanya orang tua mereka ada yang asli penduduk kota dan adapula yang urban. Mereka ke jalanan umumnya berjualan koran. Di samping mempunyai motivasi ekonomi, beberapa anak mempunyai motivasi untuk belajar mencari uang dan menolong diri sendiri. Aspirasi mereka terhadap sekolah masih baik dibandingkan kelompok lainnya. Mereka pulang ke rumahnya setelah berjualan, tetapi karena jalanan menawarkan kemudahan memperoleh uang dan hal-hal menarik lainnya maka sebagian kecil dari mereka menjadi lebih lama di jalanan. Persentase kelompok ini mencapai 45 % dari seluruh populasi anak jalanan.

Sementara itu, menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membedakan anak jalanan menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya. Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesam temannya telah menjadi ikatan mereka.

Anak-anak yang berhubungan dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan. Mereka seringkali diidentikkan sebagai pekerja migran kota

yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.

Anak-anak yang masih berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya. Beberapa jam di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling mencolok adalah berjualan koran.

Anak-anak yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil pada suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tuanya atau saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis, dan pemulung.48

b. Potret Anak Jalanan di Jakarta

Keberadaan anak jalanan sudah menjadi pemandangan yang lazim di Ibu Kota Jakarta. Hampir diseluruh perempatan jalan dan lampu merah yang ada di Jakarta terdapat anak-anak jalanan dengan penampilan yang menimbulkan perasaan belas kasihan. Entah itu pengamen atau pengemis atau juga pemulung dan lainnya. Selain di perempatan jalan dan lampu merah, hampir seluruh angkutan umum seperti bus kota, metro mini, dan mikrolet yang beroperasi tiap

hari menjadi sasaran yang empuk bagi anak-anak jalanan untuk mengemis ataupun mengamen. Dari waktu ke waktu bukan berkurang justru semakin bertambah banyak jumlahnya. Akibatnya kepekaan masyarakat terhadap anak jalanan semakin berkurang. Padahal, anak terlahir di dunia ini bukan sekedar perhiasan dan bukan hiburan bagi orang tua, tetapi lebih dari itu, anak adalah amanah dari Allah SWT. Wajib bagi kita untuk memelihara dan mendidik mereka sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh Negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak Asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, (civil right and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment anf alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi, dan budaya (education, leisure and culture activities), dan perlindungan khusus (special protection).49

Makin meningkatnya jumlah anak jalanan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah akibat meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi. Urbanisasi dan

industrialisasi mengacaukan keluarga-keluarga di pedesaan yang pindah ke kota dengan tujuan meningkatkan taraf hidup. Kebanyakan mereka yang pindah ke kota tidak mempunyai keterampilan yang memadai. Akibatnya timbul kantong-kantong pemukiman padat di daerah-daerah yang tidak bertuan, seperti pinggiran sungai, di bawah kolong jembatan, di pinggiran rel kereta, bahkan di tanah-tanah negara yang kosong, dan sebagainya. Efek tersebut menjadikan keluarga miskin menyuruh anak-anak mereka untuk mencari uang, baik untuk membantu ekonomi keluarga dan lainnya.

Berdasarkan hasil survey sementara yang dilakukan Unika Atmajaya dengan pendanaan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 1997 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia adalah 39.861 orang. Sementara hasil laporan UNICEF pada tahun 1998 menyebutkan jumlah anak jalanan diseluruh Indonesia 50.000 orang.50

Berbeda jauh dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000 angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4 %, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17,6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak.51 Berapapun jumlahnya, angka-angka tersebut sangat memprihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita

50Dana untuk Tangani Anak Jalanan Kurang, Media Indonesia. Jakarta 21 Juli 2001. 51 http://harjasaputra.wordpress.com/ . Diakses pada tanggal 6 Januari 2009.

memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan Negara juga kurang menggembirakan.

Di Ibu Kota Jakarta, berdasarkan catatan Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial tahun 2002, anak jalanan berjumlah sekitar 31.304 anak, sedangkan panti pemerintah yang memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1 Panti Remaja Putus Sekolah. Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak. Sementara itu, panti Sosial Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti sebanyak 3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang mendapat pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).52

Data tersebut cukup memprihatinkan kita semua, karena idealnya sebagai “kota percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah.

Jika kita kaji literatur, fenomena anak jalanan di Indonesia dan di Negara berkembang lainnya berbeda dengan Negara maju. Anak jalanan di Negara maju berkaitan erat dengan kenakalan dan keluarga yang broken home, orang tua pengangguran, penyalahgunaan obat dan minuman keras. Sedangkan di Negara berkembang berkaitan dengan kemiskinan, anak-anak tidak bisa memenuhi

kebutuhan dasarnya, tidak bisa bersekolah, lalu bekerja membantu orang tuanya dan diri sendiri.

Anak jalanan hidup dan berada dalam situasi sosial yang terdiri dari berbagai latar belakang, yaitu:

Pertama, adalah lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dimana keluarga anak jalanan tinggal. Ini adalah lingkungan pertama bagi seorang anak, sebelum perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan seorang anak keluar dari lingkungan sosial dan menjadi anak jalanan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain kesulitan ekonomi, keluarga atau perceraian orang tua, biaya sekolah yang tinggi, atau penolakan warga masyarakat sekitarnya menyebabkan anak-anak menjadi korban dan tidak lagi dapat hidup layak untuk dapat tumbuh kembang secara wajar.

Kedua, adalah lingkungan jalanan yang merupakan lingkungan kedua bagi anak jalanan. Di jalanan anak berinteraksi dengan berbagai orang, baik sebagai pribadi maupun atas nama dinas. Mereka antara lain para pemegang otoritas jalanan seperti petugas DLLAJ, kepala stasiun, kepala terminal, polisi, trantib, para pekerja LSM dan lain-lain. Proses interaksi ini dapat menghasilkan bentuk-bentuk kepribadian tertentu. Dalam lingkungan jalanan ini, anak juga berinteraksi dengan berbagai norma dari pemegang otoritas jalanan serta bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya.

Latar belakang yang lebih khusus lagi dari lingkungan jalanan adalah kehidupan kaum marjinal. Jalanan adalah ruang terbuka, di mana dan siapapun dapat masuk untuk mengadu nasib. Jenis-jenis pekerjaan dijalanan tidak membutuhkan

persyaratan formal kecuali kondisi fisik yang kuat, keberanian dan modal usaha yang banyak. Karena sifat terbuka dan longgar terhadap norma sosial, maka ragam pekerjaan mereka bervariasi baik positif maupun negatif.53

Anak-anak tersebut pada umumnya datang dari keluarga kurang mampu, tinggal di kawasan tertentu yang dianggap pemerintah kota Jakarta sebagai daerah pemukiman kumuh (slum-area) antara lain Prumpung, Manggarai, Pedongkelan, Jembatan Lima, Rawa Badak, Gudang Baru dan daerah pemukiman liar (squatter areas) antara lain pemukiman sepanjang bantaran kali (Ciliwung, Bendungan Hilir), pemukiman sepanjang pinggir rel kereta api (Senen, Kota, Cipinang, dll).54

D. Teori Manajemen Organisasi

Suatu usaha untuk menetapkan pengetahuan organisasi dan manajemen sebagai pengetahuan yang terpisah dan dapat dibedakan baru akhir-akhir ini dicoba. Tujuan dari usaha tersebut adalah mengembangkan teori secara umum. Para kontributor dalam hubungan dengan pengembangan tersebut berasal dari kelompok-kelompok yang sifatnya heterogen, baik dari praktisi maupun pada akademikus yang spesialis. Pada mulanya pikiran-pikiran mengenai manajemen berasal dari para pelaksana praktisi dan administrator yang mencatat observasinya dan pengalamannya, kemudian dari dasar itu dibuat petunjuk yang bersifat umum.

53 Modul Pelatihan, Intervensi Psikososial Bagi Pekerja Sosial (Jakarta : YKAI, 2002), h.12.

54 Surya Mulandar (penyunting). Dehumanisasi anak marjinal: berbagai pengalaman

Perkembangan manajemen ilmiah mula-mula dipelopori oleh Frederick W. Taylor (1856-1915) pada akhir abad ke 19. pandangannya sangat dipengaruhi oleh etik protestan yang berlaku pada zaman itu. Ia menekankan nilai dari suatu kerja keras, rasionalitas ekonomi, sifat-sifat individualisme, dan pendapatnnya bahwa setiap manusia mempunyai peranan yang berbeda di dalam masyarakat.55

Ide Taylor berasal dari pengalaman-pengalaman kerjanya sebagai konsultan pada berbagai perusahaan-perusahaan industri. Pada permulaan karirnya ia tertarik pada masalah peningkatan efisiensi kerja dan metode-metodenya dan mencoba mendapatkan salah satu cara yang paling baik untuk mengerjakan setiap pekerjaan. Taylor berpendapat bahwa suatu pekerjaan dapat dianalisa secara ilmiah dan merupakan tugas manajemen untuk memberikan pengarahan terhadap performance pekerja. Hal ini menghasilkan perkembangan dari satu metode yang paling baik untuk mengerjakan tugas, standarisasi, dan melatih mereka dengan metode yang paling efisien untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.

Ada tiga belas prinsip yang digunakan Taylor dalam manajemen, yaitu: 1. Pembagian kerja (division of work)

Kekuasaan dan tanggung jawab (authority and responsibility) Disiplin (dicipline)

Kesatuan perintah (unity of command) Kesatuan pengarahan (unity of direction)

Kepentingan individu berada di bawah kepentingan organisasi secara umum Sentralisasi (centralization)

55Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig. Organisasi dan Manajemen. (Jakarta: PT Bina Aksara, 1986), h. 91.

Mata rantai (scalar chain) Penempatan (order) Persamaan (equity)

Stabilitas dalam melakukan tugas Inisiatif (initiative)

2. Esprit de corps, menekankan perlunya “team work” dan hubungan antar individu di dalam organisasi.56

Dari prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Taylor, secara tidak langsung setiap organisasi atau lembaga apapun memang memakai prinsip tersebut, karena sebuah organisasi bukan hanya satu orang saja yang menjalani tetapi banyak orang yang terlibat di dalamnya.

Dokumen terkait