• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Kemiskinan

a. Pengertian Kemiskinan

Dalam merumuskan pengertian-pengertian tentang kemiskinan nampaknya bukan suatu hal yang mudah, karena selain kompleksnya masalah yang berkaitan dengan kemiskinan di samping itu juga masing-masing para pembuat pengertian tentang kemiskinan sangat dipengaruhi oleh latar belakang kerangka berfikir dan fokus perhatian yang berbeda dalam melihat masalah kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan merupakan masalah global yang sering dikaitkan dengan masalah kebutuhan, kesulitan, dan kekurangan-kekurangan dalam hidup. Kemiskinan memiliki beberapa ciri, yaitu:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan).

2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi).

3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiada investasi untuk pendidikan dan keluarga).

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 5. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

7. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 8. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita

korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).19

Kemiskinan itu sendiri berasal dari kata “miskin” dengan mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an”. Miskin adalah tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), sedangkan kemiskinan adalah hal miskin; keadaan miskin; situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.20

Dalam literatur hukum Islam, istilah kemiskinan atau “miskin” dibedakan dengan “fakir”. Mengenai perbedaan kedua istilah tersebut, definisi miskin adalah yang memiliki harta benda/pencaharian atau kedua-duanya hanya bisa menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokok. Sedangkan yang disebut fakir ialah mereka yang tidak memiliki sesuatu harta benda atau tidak memiliki mata pencaharian tetap atau mempunyai harta benda tetapi hanya mampu menutupi

19 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. h.132.

20 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka , 1998) Cet. Ke-2. h.587.

kurang seperdua kebutuhan pokoknya.21

Para sosiolog menyebut masyarakat miskin sebagai masyarakat marjinal, masyarakat pinggiran, atau masyarakat kumuh. Karena itu banyak pula teori yang menjelaskan tentang masyarakat miskin, antara lain menurut Murray, masyarakat miskin atau masyarakat marjinal, atau masyarakat kumuh adalah mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya tinggal di perkampungan perkotaan yang letaknya sangat strategis untuk bertahan hidup, di mana perkampungan tersebut dikenal sebagai kampung ilegal, liar, kotor, sarang penyakit. Sumber perlawanan dan kejahatan. Hal senada juga diutarakan oleh Adam Firol, yang menjelaskan bahwa masyarakat miskin adalah mereka yang memiliki buruknya kondisi rumah sebagai tempat tinggal dan kampung-kampung pemukiman mereka disebabkan oleh adanya ledakan jumlah penduduk.22

Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal yang memfokuskan pada tingkah laku individu dan demokrasi sosial (social-democracy) yang mengarah pada struktur sosial.23 Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill. Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi, dan kapital manusia (human capital). Intinya menyerukan bahwa komponen penting

21 Ali Yafie, Islam dan Problematika Kemiskinan Pesantren (Jakarta: Buku P3LM, 1986), h.6.

22 Y. Argo Twikromo, Pemulung Jalanan Yogyakarta : Konstruksi Marjinalitas dan

Perjuangan terhadap Bayang-Bayang Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999),h.5.

dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire disebut sebagai ide yang mengunggulkan mekanisme pasar bebas. Maksudnya bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, yang menyarankan bahwa sejumlah fungsi lebih penting dan tentu saja lebih menguntungkan bagi masyarakat dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Dari perspektif teori fungsional, ketidaksetaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan.24

Para pendukung teori neo-liberal beragumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat ‘residual’ sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran Negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya.

Sedangkan teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan di sebabkan oleh adanya ketidak adilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan.

24 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin; Perspektif Baru Usaha Pengentasan

Pandangan strukturalis ini diwakili oleh kelompok Marxis, yaitu bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori struktural ini terfokus pada topik seperti ras, gender, atau ketidaksinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras.25

Pendukung demokrasi sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik, dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar. Melainkan pula bebas dalam menentukan plihan-pilihan (choice). Dengan kata lain kebebasan berarti memilliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan di dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Singkatnya, teori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Disisi lain, teori struktur sosial melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu

pada setiap individu, yaitu munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin.

Pada tingkat ekstrem, kedua teori ini bersifat normatif, dilihat dari anggapan teori perilaku individu yang melakukan tuduhan moral bahwa orang yang tidak produktif dikarenakan mereka lemah dibidang kualitas, latihan, atau moralitas dan mereka harus bangkit sendiri dan berbuat lebih baik. Teori struktural juga memiliki anggapan mengenai penilaian moral, bahwa struktur sosial yang ada saat ini tidak adil terhadap kelompok miskin sehingga harus diubah.

Di luar pandangan-pandangan keras tersebut, ada juga kelompok yang tidak memihak (middle ground). Teori yang paling terkenal dari kelompok ini antara lain adalah teori mengenai budaya miskin sebagaimana dijelaskan oleh Oscar Lewis. Teori ini menggambarkan budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.26

Perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur sosial.27

Kelompok tengah (middle ground) ini bermuara kepada Max Weber, seorang sosiologis institusional besar yang kemudian dilanjutkan oleh Ralf Dahrendrof. Weber menentang posisi Marxis tentang teori determinisme ekonominya. Weber

26Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 50. 27Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin, h. 51.

melihat “kesempatan hidup” (life chances) secara jauh lebih kompleks yang tidak hanya bergantung pada kedudukan kelas ekonomi, tetapi juga kekuasaan politik, preseden sejarah, hubungan status sosial, dan lain sebagainya. Kesempatan-kesempatan ini merepresentasikan kemungkinan-kemungkinan untuk mobilitas sosial dan ekonomi.28

Kesempatan hidup diartikan sebagai seperangkat kesempatan yang tersedia untuk seorang individu. Kesempatan hidup merupakan batasan-batasan, atau sedikitnya batasan-batasan terhadap pilihan. Dengan kata lain, kesempatan bagi semua orang tidak sama dan sejak usia dini, pembatasan terhadap pilihan-pilihan tersebut diinternalisasikan dan ikut membentuk sikap hidup dan tingkah laku seseorang. Dahrendrof meminjam dari teori Weber, menciptakan hubungan variable-variabel tatanan sosial dan kesempatan hidup bagi setiap individu,

Kesempatan-kesempatan hidup merupakan kesempatan pengembangan individu yang dibekali

oleh karakter struktur sosial, bentukan, atau cetakan (moulds), sebagaimana biasa kita

menyebutnya, karena cetakan tersebut menyediakan sebuah jembatan penting untuk memahami

masyarakat yang menekankan pentingnya kualitas struktur sosial……dan merupakan sebuah teori

normatif masyarakat yang menekankan kebebasan individu.29

Jadi konsep kesempatan hidup dan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang membentuk kesempatan-kesempatan tersebut dapat digunakan sebagai dasar penting bagi teori kesejahteraan.

b. Ukuran dan Kriteria Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan pada umumnya menggunakan indikator

28Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin, h. 52. 29Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 53.

pendapatan per waktu kerja (untuk Amerika digunakan ukuran setahun sebagai waktu kerja, sedangkan di Indonesia digunakan ukuran waktu kerja sebulan). Dengan adanya tolok ukur ini, maka jumlah dan siapa-siapa yang tergolong sebagai orang miskin dapat diketahui untuk dijadikan kelompok sasaran yang diperangi kemiskinannya.

Tolok ukur lainnya adalah berdasarkan kebutuhan relatif per keluarga yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi agar sebuah keluarga dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Yang menjadi cakupan dalam tolok ukur ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan dengan biaya sewa rumah dan mengisi rumah dengan peralatan rumah tangga yang sederhana tetapi memadai, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan dan untuk pengobatan. Biaya-biaya untuk menyekolahkan anak-anak, Biaya-biaya untuk sandang yang sewajarnya dan biaya untuk pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.

Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43 %) diantaranya masuk kategori fakir miskin.angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukkan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.30

Batas garis kemiskinan itu sendiri yang dipakai oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya selalu berubah berdasarkan tingkat inflasi yang berlaku dan dipisahkan antara kota dan desa.

Dalam seminar yang diadakan oleh Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama) disebutkan bahwa masyarakat yang termasuk kategori miskin (target group) baik secara kultural maupun struktural sebagai berikut :

Buruh tani (tidak memiliki lahan)

Petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,25 ha Nelayan miskin (buruh nelayan)

Penganggur (fully unemployment)

Penganggur terselubung (disguised unemployment) Putus sekolah (drop out)

Buruh kecil

Perambah hutan (forest squatters), dll.31

Selain itu dalam seminar tersebut juga mengkategorikan orang miskin dilihat dari pendekatan wilayah (target area), yaitu sebagai berikut:

Daerah padat penduduk Daerah kritis tandus Daerah kumuh perkotaan

Daerah rawan bencana alam (kebakaran, banjir, dll) Daerah terkena penataan wilayah

31 Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama), Rangkuman Seminar Sehari

Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan (Jakarta 24 juli 1993), h.13.

Daerah terkena proyek pembangunan Daerah aliran sungai (DAS) Perkampungan nelayan miskin Daerah perbatasan32

Dalam usaha untuk melakukan pengukuran tingkat kemiskinan tidak cukup dilihat hanya dari sudut pendapatan, konsep taraf hidup (level of living) juga perlu diukur berdasarkan faktor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kondisi sosial lainnya. Kenyataan tersebut mengakibatkan pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan juga bervariasi.33

Adanya berbagai variasi pendekatan dan pengukuran tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan secara relatif. Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin, sebaliknya mereka yang berada di atas standar dinyatakan tidak miskin.

Dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada di bawah standar, apabila perbandingannya dilakukan antar dua kondisi yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar yang dipakai sudah tidak memadai lagi.

Walaupun dengan menggunakan standar yang lama dapat diketahui semakin banyak warga masyarakat yang sudah keluar dari kondisi kemiskinan, akan tetapi dilihat dari tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang, kondisi tersebut tetap

32 Rangkuman Seminar Sehari Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan, h.13-14.

33Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), h.117.

dirasakan sebagai masih berada dalam keadaan miskin. Permasalahan yang sama akan dijumpai apabila memperhatikan stratifikasi sosial yang ada, dimana walaupun lapisan bawah telah meningkat taraf hidupnya, akan tetapi apabila peningkatan itu dibandingkan dengan yang dialami lapisan lain, masih jauh lebih rendah, maka secara relatif masih merasakan kondisinya tetap miskin.

Dalam pengukuran kemiskinan relatif bertambah relevan jika digunakan dalam masyarakat yang sudah semakin terbuka dan berkembang. Dalam konsep kemiskinan relatif ini, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan menggunakan standar yang baku, melainkan juga dilihat dari seberapa jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi dibandingkan dengan lapisan masyarakat lain, juga dibandingkan dengan kenaikan tuntutan kebutuhan hidup yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.

c. Sebab dan Proses Terjadinya Kemiskinan

Masalah kemiskinan mempunyai keterkaitan pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Latar belakang yang akan kita jumpai meliputi beberapa aspek yaitu: sosial, ekonomi, psikologi, dan politik. Dalam aspek sosial yang menjadi penyebab kemiskinan adalah akibat dari keterbatasan interaksi sosial dan penguasaan informasi. Pada aspek ekonomi akan tampak pada keterbatasan pada kepemilikan alat produksi, upah yang kecil, daya tawar yang rendah, tabungan yang nihil, kurang agresifnya memanfaatkan peluang yang ada. Dari aspek psikologis terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan

keputusan.34

David cox membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi, yaitu:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara berkembang seperti Indonesia seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan percepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial, kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

4. Kemiskinan konsekuensional, kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.35

Di Indonesia, salah satu penyebab kemiskinan adalah akibat pembangunan fisik yang hanya berpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, selain tidak tepat juga

34Amrullah Ahmad, Islamisasi Ekonomi (Yogyakarta: PLT@M, 1985), h. 109. 35Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h.132-133.

tidak adil. Akibatnya banyak penduduk desa yang lari ke kota besar untuk mempertahankan hidupnya. Banyak pilihan yang mereka rasakan dapat dilakukan setibanya di kota besar, tetapi kenyataan yang cukup berat menghadang mereka setibanya di kota.

Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia, merupakan kota yang menggoda banyak orang desa untuk menyentuhnya. Namun kenyataannya mereka tersisih di Jakarta, namun dengan kondisi ini tidak membuat mereka jera dan kembali ke desa. Bertahan, merupakan tekad yang dijalankan ketimbang malu tanpa hasil setelah merantau ke Jakarta, karena bila kembali ke desa pun tidak juga menjamin tersedianya lapangan pekerjaan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan adalah kolusi antara para penguasaha dengan para birokratnya dan elit militer. Kolusi yang begitu lama, telah mengakibatkan korupsi yang begitu biasa terhadap dana rakyat, yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan. Kolusi antara kekuasaan dan uasaha yang berorientasi keuntungan telah mengakibatkan korupsi atas dana-dana Negara dan berbagai penyelewengan kekuasaan, serta kebijaksanaan pembangunan, yang pada gilirannya mendorong terjadinya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.36 Kepemimpinan pada masa Orde Baru bisa dijadikan contoh dalam kategori ini.

Kemiskinan juga banyak dihubung-hubungkan dengan beberapa penyebab yaitu: penyebab individu atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Penyebab keluarga yang

36 Seminar Sehari Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan, h.10.

menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab sub-budaya (subkultural) yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Penyebab agensi yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Penyebab struktural yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.37

Di daerah-daerah tertentu, terdapat aspek kultural yang mengakibatkan tejadinya proses kemiskinan, misalnya sistem pewarisan tanah kepada ahli waris, yang antara lain meyebabkan munculnya petani-petani gurem dan buruh-buruh tani di Jawa. Proses kemiskinan seringkali juga timbul secara tidak disadari dalam hubungan sosial yang berkembang dalam masyarakat sendiri.

Secara kultural juga, kemiskinan disebabkan karena pandangan dunia yang keliru, yang dipengaruhi pemahaman nilai-nilai agama yang pasif dan fatalistik. Doktrin takdir bahwa Tuhan telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan, termasuk kaya-miskin, status sosial, kecerdasan, membelenggu mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan agama yang mencerahkan.38

Seperti juga pendapatnya Harun Nasution melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya dan corak pemahaman teologi tradisional paham Qodho dan Qodar dalam arti fatalisme serta keyakinan bahwa masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang maha kuasa. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa

37 http://id.wikipedia.org/wiki/kemiskinan artikel diakses pada tanggal 6 Januari 2009.

38 Mutohharun Jinano, “Kemiskinan dan Filantropi Agama,” Sindo. 4 September 2007, h.7.

kemiskinan memang sudah berupa salah satu takdir Tuhan. Tuhan maha pengasih, nampaknya tiada tega jika melihat laki-laki tanpa ada wanita. Tuhan maha bijkasana, tidak mungkin akan mengisi dunia seluruhnya dengan orang kaya saja.39

Penyebab lain dari kemiskinan dalam situasi sekarang adalah tiadanya teknologi dan kemampuan SDM mengelola teknologi. Dalam kaitan ini kemiskinan bersumber dari ketidak mampuan menguasai aset, baik aset fisik berupa alat-alat produksi, modal, mesin, peralatan, tanah dan tenaga kerja serta aset non-fisik yakni kesehatan, pendidikan, keterampilan, manajemen, informasi, dan teknologi. Orang menjadi miskin karena mereka tidak mampu memiliki aset-aset tersebut, yang sebenarnya merupakan sumber pendapatan dan penghidupan.

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang faktor penyebab terjadinya kemiskinan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:

a. Kemiskinan alami yang disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan.

b. Kemiskinan kultural yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan.40

39 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), h.145.

Dokumen terkait