• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr. Ading Kusdiana

A. Pendahuluan

Pesantren merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran Islam. Dikatakan demikian karena kegiatan pembinaaan calon guru agama, kyai, atau ulama terjadi di pesantren. Biasanya seorang santri setelah belajar di pesantren akan kembali ke kampung halaman masing-masing. Di tempat asalnya mereka menjadi tokoh keagamaaan, menjadi kyai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan demikian pesantren-pesantren beserta kyai mempunyai peranan yang penting dalam proses pengembangan pendidikan masyarakat (Kartodirdjo, 1976: 124).

Proses penyebaran agama Islam di Tatar Priangan, di samping memiliki keterkaitan dengan figur ulama atau kyai dan santrinya. Ia merupakan jaringan antarpesantren sebagai lembaga yang menjadi tempat para kyai dan santrinya, di mana melalui lembaga yang dibangunannya mereka banyak terlibat secara aktif di dalam menyebarkan agama Islam. Hal itu dilakukan melalui proses transmisi dan transformasi keilmuan Islam dalam rangka meningkatkan pemaha-man keagamaan masyarakatnya.

Pada abad ke-19 agama Islam telah menyebar di Tatar Priangan. Keberadaan pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam pun mulai bermunculan. Ber-dasarkan survei pemerintah Belanda yang pertama pada 1819 bahwa lembaga pendidikan tradisional telah banyak bertebaran di beberapa tempat yang ter-letak di daerah pedalaman Priangan. Kondisi ini tentu saja telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan pesantren dan corak keber-Islaman masyarakat priangan pada saat itu (Haedar, 2004: 8).

Walaupun tidak ada data statistik yang menunjukkan berapa banyak pesantren yang tersebar di Priangan pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda dan Pendudukan Jepang, namun keberadaaan pesan-tren yang terhimpun dalam jaringan-jaringannnya, mulai menjadi bahan perhatian Pemerintah Hindia-Belanda untuk mulai diwaspadai, lebih-lebih setelah dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mendorong orang-orang Islam untuk melaksanakan ibadah haji (Kartodirdjo, 1984: 234-248; Yatim, 1997: 252- 255).

Kewaspadaaan yang sama ditunjukkan oleh Pe-merintahan Pendudukan Jepang, masa pendudukan Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun tetapi mereka juga senantiasa mewaspadai keberadaaan pesantren.

Jaringan pesantren penting untuk dikaji karena dari tahun 1800 sampai dengan 1945 di wilayah Priangan telah tersebar dan banyak ditemukan pesantren yang sampai sekarang masih eksis dan dapat diklasifikasi sebagai pesantren tua. Di antara pesantren yang satu dengan pesantren yang lainnya masih memiliki hubungan yang dekat, bahkan ada tendensi telah

mendorong terciptanya sebuah jaringan antarpesan-tren. Namun demikian, dalam realitanya ternyata masih luput dari usaha-usaha penelitian yang dilakukan secara khusus, mendalam, dan menyeluruh.

Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian sejarah, yaitu metode penelitian yang mempelajari kejadian-kejadian atau peristiwa di masa lalu dengan tujuan untuk membuat rekonstruksi terhadap masa lalu secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, dan mensintesiskan bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh simpulan yang benar. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Garaghan, 1946: 103-426; Gottschalk, 1986: 32).

B. Basis Jaringan Pesantren 1. Jaringan Keilmuan

Keberadaan pesantren di wilayah Priangan pada abad ke-19 sampai dengan tahun kelima pada dekade keempat dari abad ke-20 menunjukkan jumlah dan penyebaran pesantren yang cukup signifikan di berbagai daerah. Tercatat di antaranya Pesantren Biru, Sumur Kondang, Keresek, Sukaraja, Cipari, Pangkalan dan Darussalam yang terdapat di daerah Garut.

Selanjutnya terdapat Pesantren Gentur, Kandang Sapi, dan Jambudipa di daerah Cianjur. Kemudian Pesantren Minhajul Karomah Cibeunteur dan Pesantren Miftahul Huda, dan al-Azhar Citangkolo di daerah Banjar. Selain itu di daerah Bandung terdapat Pesantren Mahmud, Sukapakir, Sukamiskin, Bidayah Cangkorah,

al-Asyikin, Islamiyah-Cijawura, Cikapayang, Sindangsari, al-Jawami, al-Ittifaq, Pesantren Persis, Palgenep, Hegarmanah, Cigondewah, Sirnamiskin, Sadangsari, dan Cijerah.

Di daerah Sumedang, Pesantren Asyrofudin, Pagelaran Sumedang-Subang dan Darul Hikmah telah mewakili keberadaaan penyebaran pesantren di daerah tersebut. Berikutnya Pesantren Kudang, Suryalaya, Cilenga, Cintawana, Mathlaul Khair, Assalam, Sukahideng-Sukamanah, Bahrul Ulum, dan Cipasung dapat ditemukan di daerah Tasikmalaya.

Sementara Pesantren Darul Ulum, Pesantren Cidewa (Darussalam), Pesantren al-Qur’an Cijantung, Pesantren Miftahul Hoer, Pesantren al-Fadhiliyah (Petir) adalah lima pesantren yang tersebar di daerah Ciamis.

Kemudian Pesantren Cantayan, Genteng, dan Syamsul Ulum Gunung Puyuh terdapat di daerah Sukabumi.

Semua pesantren di wilayah Priangan memiliki jaringan keilmuan dengan bermuara kepada lima pesantren, yaitu Pesantren Mahmud Bandung, Pesantren Bangkalan, Madura (dipimpin K. H. Muham-mad Khalil), Pesantren Tebu Ireng, Jombang (dipimpin K. H. Hasyim Asy’ari), Pesantren Ciwedus Kuningan, dan Pesantren Kudusiyah. Menarik untuk dicermati, bahwa Pesantren Bangkalan dan Pesantren Tebu Ireng memiliki hubungan keilmuan dengan Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama masyhur dari Banten karena keduanya pernah belajar kepada ulama tersebut di sewaktu berada Mekah. K. H. Muhammad Khalil dan K.

H. Hasyim Asy’ari banyak mewarisi dunia keilmuan dari Syekh Nawawi al-Bantani, bahkan K. H. Mu-hammad Khalil di samping mewarisi dunia keilmuan, ia

juga menonjol dalam dunia spiritual, yaitu sebagai mursyid atau khalifah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (Suprapto, 2009: 654, 656).

Syekh Nawawi al-Bantani sendiri memiliki hubungan keilmuan dengan Syekh Khatib Sambas karena ia pernah belajar kepada Syekh Khatib Sambas di Mekah bahkan ia belajar Tarekat Qadiriyah. Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama intelektual dan spiritual yang terkenal di Mekah pada abad ke-19. Setelah menjadi ulama besar ia menetap di Mekah, dan membuka halaqah tersendiri untuk mengasuh para murid yang mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Di antara murid-muridnya yang terkenal serta berasal dari Jawa ialah Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfud Tarmisi, Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan Syekh Muhammmad Khalil (Hurgronje, 1888: 362; Hurgronje, 1890: 92-105; Hurgronje, 1931:

268-290; Gobbe dan Adriaanse, 1993: 1287; Suprapto, 2009: 654).

2. Jaringan Perkawinan

Terbentuknya jaringan antarpesantren di wilayah Priangan tidak hanya terjadi melalui transformasi dan transmisi ilmu pengetahuan agama dari seorang kyai kepada santrinya sehingga tercipta hubungan keilmu-an keilmu-antara peskeilmu-antren ykeilmu-ang satu dengkeilmu-an peskeilmu-antren ykeilmu-ang lainnnya. Terjalinnya jaringan antara pesantren di wilayah Priangan, selain karena didasari oleh adanya hubungan keilmuan, juga didasari oleh adanya ikatan perkawinan yang melibatkan dua keluarga besar pesantren.

Gambar 1: Jaringan Perkawinan Pesantren Cipari dan Pesantren Cilame

Sumber: Bunyamin, wawancara tanggal 28 Juli 2011.

Munculnya jaringan antarpesantren yang diikat melalui perkawinan sehingga menciptakan hubungan yang kuat antarpesantren, dapat terjadi melalui pernikahan antara anak laki seorang kyai dari sebuah pesantren tertentu dengan anak perempuan kyai dari pesantren lain. Di wilayah Priangan peristiwa ini terjadi antara pesantren Darusalam Cidewa, Ciamis dengan Pesantren Pageurageung, Tasikmalaya; Pesantren Cipari dengan Pesantren Cilame; Pesantren Cipasung yang didirikan oleh Kyai Ruhiyat masih memiliki hubungan dekat dengan Pesantren Gentur Rancapaku;

Pesantren Sukamiskin Bandung dengan Pesantren Bait al-Arqam, Lembur Awi Bandung; Pesantren Sukamiskin dengan Pesantren Cijawura; Pesantren Sindangsari al-Jawami, Bandung dengan Pesantren Sukamiskin;

Pesantren Cijantung memiliki hubungan perkawinan dengan Pesantren Gegempalan, Panjalu.

Pesantren Cilame Pesantren

Cipari

Iyah (♀) Abdul Kudus

Amin Bunyamin Abbas

Mansyur