• Tidak ada hasil yang ditemukan

ATAS METODE SEJARAH KRITIS

F. Metode Ilmiah Barat Sudah Runtuh

Ilmu pengetahuan modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri (not for the sake of human being), dengan kata lain, ilmu hanya untuk ilmu, ilmu demi eksplanasi (for the sake of explanation), dan ilmu demi pengukuhan supremasi rasionalisme, bahkan ilmu demi kekuasaan (science for power). Akibatnya,

perkembangan ilmu pengetahuan sering terlepas dari subyeknya yaitu manusianya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan semakin berkembang cepat tapi tidak membawa kebahagiaan sejati manusia modern.

Ilmu pengetahuan semakin complicated dan teknologi semakin canggih tetapi manusia modern malah mengalami dislokasi, disorientasi dan krisis dalam kehidupannya.

Menurut kesaksian Arnold (1992), hal itu terjadi karena wajah sains modern sesungguhnya adalah korup. Kepalsuan teori dan kerancuan prakteknya adalah karakeristik dari modernitas. Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold berujar:

“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.” Lebih jauh, Arnold menyebutkan terdapat delapan dosa besar sains modern yang berkaitan erat satu sama lain:

Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif; Kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’

things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work); Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; Keempat, mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk

mencip-Metode Sejarah Kritis takan hanya satu jenis pengetahuan; Kelima, melayani vested-interest dan mode; Keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; Ketujuh, kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai; Kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan flsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia (hlm. 16).

Bila dikritisi secara cermat, delapan poin kritik pedas Arnold di atas bukan melulu dominasi sains alam dan fsika saja, enam kritik terakhir dari poin-poin tersebut adalah watak khas ilmu-ilmu sosial juga, termasuk ilmu sejarah. Dalam tradisi ilmu sosial, seorang peneliti dan penstudi peristiwa sosial baru sah disebut sebagai “ilmuwan” bila memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan Arnold. Dalam studi sosial, subyek disyaratkan menjaga jarak dari obyek studi.

“Obyektiftas” diukur oleh ketidakterlibatan. Tugas ilmuwan adalah hanya menjelaskan (to explain) di atas dogma objektiftas dan netralitas, dan bukan terlibat (to involve). Bila sang subyjk terlibat dengan nilai-nilai dan ideologi obyek maka ia kita pandang telah me-runtuhkan otoritas keilmuwanannya. Ilmuwan demikian, kita klaim sebagai ideolog, mubaligh, demagog atau bahkan ”provokator.”

Analisis historis Nina tentang Sunan Gunung Djati sangat spesialis-teoritis ilmu sejarah, sangat only for the sake of explanation dan “objectivity is everything.”

Nina, tampaknya, merasa naif bila ia harus berpihak pada sumber-sumber tradisional. Analisis Nina dalam

tulisannya, hemat penulis, adalah manifestasi dari poin ketiga sampai delapan dari ciri-ciri yang disebutkan Arnold di atas: sangat menekankan spesialisasi ilmu sejarah dan lepas dari pertimbangan makna, dampak sosial dan nilai-nilai religius-kultural masyarakat Jawa Barat, mengasumsikan hanya terdapat satu jenis pengetahuan (metode ilmiah Barat), kepura-puraan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai (value- free), dan tidak berpusat pada manusia (scientific-oriented). Padahal, para pemikir belakangan membuktikan bahwa doktrin obyektiftas dan netralitas ilmu pengetahuan itu non-sense adanya. Habermas, salah satu juru bicara Frankfurt School yang paling menonjol, berhasil membuktikan bahwa sains modern telah lama berkolaborasi dengan imperium kapitalisme. Demikian juga Foucault. Seperti ia bongkar dalam Madness and Civilization (1965), ketika Foucault menggambarkan sejarah “kegilaan,” dengan terpana penuh kekagetan ia menyaksikan ternyata ilmu pengetahuan adalah hasil konstruksi kekuasaan selama berabad-abad.

Sedangkan menurut Anthony Gidden, modernitas — sains adalah penopangnya— tak lebih dari sekadar sebuah proyek Barat. Bagi para pemikir posmodern, netralitas dan obyektiftas yang dipropagandakan modernitas tak lain kecuali ‘dagelan’ ilmu. Klaim

“objektiftas” dan “netralitas” sebagai doktrin ilmu pengetahuan Barat modern, hanya mengukuhkan tesisnya Foucault tentang “knowledge is power” atau tesisnya Habermas tentang “knowledge and interest,”

bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak zaman Fajar Budi pasca renaissance Eropa abad ke-18,

Metode Sejarah Kritis yang menjadi basis dari hegemoni modernitas, merupakan konstruksi yang dibangun dalam rangka mempertahankan imperium narasi besar modernisme dan status quo yang bertengger di pusat kekuasaan kapitalisme dan peradaban Barat modern.

Daftar Pustaka

Anthony Milner. 1994. The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press,

Arnold Arnold. 1992. The Corrupted Sciences.

Challenging the Myths of Modern Science, Paladin,

Azyumardi Azra. 1989. Perspektif Islam Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.

Bastin, Jhon and Harry J. Benda. 1967. A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall.

De Graaf, H.J. 1987. ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ dalam The Cambridge History of Islam.

de Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud. 1984. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta: Graftti.

Hall, D. G. E. 1970. A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York.

Keith Buchanan, The Southeast Asian World. An Introductory Essay, London: G. Bell and Sons. Ltd, 1967.

Michel Foucault. 1965. Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, New York: Random House.

Nina H. Lubis. 2001. Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati, Makalah pada Seminar Sunan Gunung Djati.

Reid, Anthony. 1993. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London.

Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia.

Asian Histories Series: MacMillan.

Ricklefs, M.C. 1997. Seen and Unseen World in Java, Allen & Unwin.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Schrieke, B. 1960. Indonesian Sociological Studies, Sumur Bandung, 2nd Edition.

KOMPLEKSITAS DAN JARINGAN RUMIT