• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Bantar Karet merupakan desa yang lokasinya berada di dataran tinggi dan dekat dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Desa ini dihuni oleh masyarakat pribumi yang bersuku Sunda. Hamparan sawah dan kebun menjadi pemandangan khas di Desa ini. Masyarakat Desa Bantar Karet sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Sejak zaman kolonial belanda hingga kini hamparan sawah dan kebun tersebut masih nampak terlihat. Eksistensi pertanian di desa ini menjadi harga mati bagi masyarakat Desa Bantar Karet. Oleh karena itu, hingga kini sawah dan kebun masih mampu dinikmati oleh anak cucu para leluhurnya walau tidak seluas pada zaman dahulu. Peningkatan mutu kehidupan tidak lepas dari peran pembangunan. Pembangunan dianggap menjadi jalan keluar untuk mewujudkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan, baik di bidang politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Hal ini terjadi di Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sumberdaya alam yang melimpah dan keaslian alamnya menjadi daya tarik para investor atau pengusaha besar untuk mengeksplorasi kekayaan tersebut. Pada saat itu pengusaha yang melihat sumberdaya alam yang melimpah dari Desa Bantar Karet adalah PT. Aneka Tambang (PT. Antam). PT. Antam merupakan perusahaan raksasa nasional yang bergerak di sektor pertambangan. Perusahaan ini merupakan perusahaan milik negara atau disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibangun untuk mengelola sumberdaya alam guna kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Desa Bantar Karet. Perjalanan panjang pembangunan oleh perusahaan tambang di desa ini terekam di dalam fikiran masyarakat Desa Bantar Karet. Kisah tersebut tertuang dalam kronologi jejak kelam eksplorasi hingga eksploitasi yang akan dijelaskan pada subbab berikut.

Tahun 1974-1981: Eksplorasi Gunung Pongkor

PT. Aneka Tambang (PT. Antam) UBPE Pongkor merupakan perusahaan raksasa nasional milik negara atau yang disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibangun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat sekitar yaitu Desa Bantar Karet. PT. Antam memulai kegiatan ekplorasi melalui salah satu unit kerjanya yaitu unit geologi, memulai eksplorasi pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1981 di daerah Gunung Limbung, Cibugis dan sekitarnya yaitu sebelah Utara – Timur Gunung Pongkor, dengan tujuan utamanya adalah mencari cebakan bijih logam dasar (base metal) yang saat itu permintaan pasaran masih tinggi. Pada Akhir Tahun 1979, saat eksplorasi di daerah Gunung Limbung, juga diperoleh informasi adanya mineralisasi sulfida pirit di daerah sekitar Gunung Pongkor. Selanjutnya pada tahun 1981, tim unit geologi melakukan reconnaissance (survei tinjau) ke daerah Gunung Pongkor dan menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Berdasarkan hasil

tinjauan tersebut direncanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP), yang mana didapatkan KP Eksplorasi seluas 4 339 ha (KP DU 562/Jabar).

Survei ini dilakukan dalam waktu cukup lama karena untuk mendapatkan kadar bijih sangat sulit. Tahapan dalam menemukan kadar bijih dimulai dari penyelidikan umum. Penyelidikan umum dalam eksplorasi tambang menjadi usaha untuk memetakan secara geologi maupun fisik baik dari darat maupun dari udara untuk menetapkan lokasi mana yang terdapat bahan galian/bahan tambang. Setelah ditemukan, bahan tambang tersebut harus melalui proses ilmiah di laboratorium untuk mengukur kadar atau kandungan bijih yang ada dalam bahan tambang tersebut. Informasi kadar bijih tersebut kemudian menjadi lompatan pertama untuk melakukan ekplorasi lanjutan dan jika hasilnya valid, menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengandung kadar bijih dalam jumlah besar.

Tahun 1981-1992: Peristiwa Gusuran (Pembebasan Tanah)

Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, pada tahun 1981 tim ekplorasi dari PT. Antam mulai melakukan survei di Gunung Pongkor. Gunung Pongkor terletak di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan memiliki potensi sumberdaya alam yang baik, terutama sumberdaya yang terdapat di perut gunung tersebut. Pada eksplorasi kali ini tim eksplorasi dari PT. Antam menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Sejak saat itu PT. Antam merencanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP) dengan luas eksplorasi 4 339 Ha. Kegiatan eksplorasi ini hanya berjalan dalam waktu satu tahun yaitu pada tahun 1981-1982, kemudian dilakukan penundaan kegiatan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi dilanjutkan di daerah lain yaitu di daerah Cikotok pada tahun 1983-1988. Hal ini disebabkan fokus perusahaan yang sedang mencari cadangan emas di sekitar daerah Cikotok (UPEC) dan Jawa Barat mengingat menipisnya cadangan UPEC. Tahun 1988 adalah tahun ditemukannya deposit emas Gunung Pongkor (discovery Pongkor Deposit). Eksplorasi di Gunung Pongkor kemudian dilanjutkan kembali setelah mengalami penundaan pada tahun 1982. Kegiatan eksplorasi di Gunung Pongkor ini dilanjutkan pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1991 dalam bentuk kegiatan eksplorasi lanjutan yang lebih sistematis dan lengkap sampai dengan drilling/pemboran yang cukup rapat. Kemudian pada tahun 1992 mulai dilakukan perencanaan tambang yang dilanjutkan dengan kegiatan development.

Setelah melakukan studi kelayakan, PT. Antam mendapatkan Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KP DU 893/Jabar) seluas 4 058 Ha yang berada dalam wilayah KP Eksplorasi DU 868/Jabar seluas 8 829,25 Ha. Pada masa ini, PT. Antam membutuhkan lahan yang cukup luas untuk membangun sarana dan prasarana pertambangan seperti jalan, kantor pertambangan, dan tempat pembuangan limbah. Jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan pertambangan adalah dengan melakukan pembebasan tanah masyarakat Desa Bantar Karet. Pro dan kontra menjadi gambaran kondisi antara masyarakat dan PT. Antam pada saat itu. Kuasa pertambangan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 6 Keputusan Direktur Jendral Pertambangan Umum tentang pemberian kuasa pertambangan eksploitasi (DU. 893/Jabar)

Gambar di atas menunjukkan bahwa Direktur Jendral Pertambangan Umum memberikan keputusan mengenai kuasa pertambangan yang diberikan kepada PT. Antam untuk kegiatan eksplorasi seluas 4 058 Ha. Intervensi dadakan yang dilakukan oleh PT. Antam membuat sebagian besar masyarakat kaget dan bingung harus melakukan apa. Kehadiran yang mendadak ini ditandai dengan pengumuman dari Kepada Desa kepada masyarakat desa khususnya tokoh-tokoh masyarakat yang dikumpulkan di kantor desa tentang akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah. Pada saat itu masyarakat mengaku tidak tahu apa-apa dan mau tidak mau harus menuruti perintah dari kepada desa. Masyarakat diperintah untuk mengumpulkan girik atau yang saat ini dikenal dengan sertifikat tanah bagi tanahnya yang terkena ”gusuran”(istilah pembebasan tanah pada saat itu). Kemudian diadakan juga forum yang mengumumkan harga ganti rugi bagi tanah yang terkena gusuran. Bagi tanah darat, harga ganti rugi per meter adalah sebesar Rp. 1.250 dan untuk tanah sawah sebesar Rp. 1.500. Harga Ganti rugi ini dibuktikan dalam surat tanda terima jual beli tanah yang dapat dilihat pada lampiran.

Masyarakat Desa Bantar Karet merasa ganti rugi sebesar itu tidak sesuai untuk ukuran perusahaan nasional yang besar seperti PT. Antam. Hal ini diutarakan oleh salah satu masyarakat desa dalam percakapan bersama peneliti sebagai berikut:

“saya sebagai warga yang digusur tanahnya oleh pihak PT. Antam merasa ganti rugi itu tidak sesuai neng. Sangat kecil nilainya dibanding perusahaan yang akan dibangun. Tanah pertanian ini kan mata pencaharian utama warga sini, kalo cuma dibayar segitu mah gak bisa kebeli tanah lagi neng. (SRA, 40 tahun)”

Memberi kuasa Pertambangan sebesar 4 058 hektar.

Hal yang sama dikatakan juga oleh para responden bahwa ganti rugi pembebasan tanah tidak sesuai karena terlalu murah. Masyarakat berusaha melakukan negosiasi harga ganti rugi kepada pihak PT. Antam dan pemerintah desa, namun hal itu sia-sia. Harga ganti rugi sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak), sehingga pemerintah daerah juga tidak memiliki wewenang untuk menurunkan harga. Selain itu, Undang- Undang Otonomi Daerah juga belum dikeluarkan pada tahun 1991 sehingga pemerintah daerah hanya bisa melaksanakan peraturan pemerintah pusat tanpa bisa merubah atau berwenang dalam pengelolaan sumberdaya alam daerahnya sendiri. Ada masyarakat yang juga responden penelitian ini yang menolak harga ganti rugi tersebut dengan cara tidak mau membebaskan tanahnya. Akan tetapi, niat tersebut diurungkan oleh responden karena terdapat ancaman yang disampaikan oleh salah satu pihak yang tidak disebutkan oleh responden. Ancaman tersebut diutarakan oleh responden dalam kutipan di bawah ini:

“Saya sempet gak mau digusur tanahnya sama PT. Antam. Saya nolak atuh, da harga ganti ruginya gak sesuai menurut saya mah, terlalu murah. Tapi saya gak jadi tuh neng nolak digusur gara-gara diancam pengikut PKI kalo gak nurut sama pemerintah. kan saya takut neng. Zaman dulu mah masyarakat mana ada yang berani kalo udah dituduh pengikut PKI, gak kayak zaman sekarang yang bebas. Semua ketakutan dituduh pengikut PKI. Jadi saya nerima aja tanah saya digusur. (HRD, 70 tahun)”

Pemerintah maupun PT. Antam tidak sedikit pun memberikan ruang untuk negosiasi kepada masayarakat dalam melakukan negosiasi harga ganti rugi. Kegiatan pembebasan tetap terjadi walaupun banyak masyarakat menolak. Ganti rugi yang diberikan oleh PT. Antam kemudian diberikan kepada Pemerintah Daerah dan didistribusikan kepada masyarakat Desa Bantar Karet. Kegiatan pembebasan tanah dan pembayaran ganti rugi telah selesai dan dilanjutkan dengan kegiatan pra pertambangan. Kegiatan pertambangan terus berjalan dengan terlebih dahulu melakukan pembuatan jalan dari Parengpeng sampai Pongkor dengan panjang 12,5 km pada tahun 1992 dan pembangunan fisik pabrik dengan kapasitas 2,5 ton emas per tahun dan pembuatan tailing dam. Pembuatan jalan ini disetujui oleh pemerintah daerah dan pembangunan jalan dilakukan oleh Bakti ABRI. Kegiatan pembangunan jalan tidak lepas dari persetujuan masyarakat Desa Bantar Karet sebagai penduduk pribumi.

Tahun 1992-1999: Pembangunan Kantor PT. Antam dan Peristiwa Pembakaran

Selanjutnya pada tahun 1992 kantor PT. Antam mulai dibangun di daerah Kampung Nunggul Desa Bantar Karet. Sebelum pembangunan kantor PT. Antam, kantor sementara terletak di pinggir kali (sungai kecil). Bangunan kantor sementara ini hanya terbuat dari papan. Seiring berjalannya waktu setelah selesai membangun jalan, kantor PT. Antam pun dibangun. Pembangunan jalan diprioritaskan terlebih dahulu untuk memudahkan perusahaan membawa bahan baku pembangunan kantor PT. Antam dan melancarkan transportasi dalam mendistribusikan hasil tambang. Setelah selesai membangun kantor dalam waktu

satu tahun, agenda selanjutnya adalah membangun pabrik produksi. Pada tahun 1993 mulai dibangun pabrik pertama dengan kapasitas 2,5 ton emas yang mampu diproduksi. Kapasitas yang terbilang fantastis yang didapat untuk produksi pertama bagi PT. Antam. Commisioning pabrik dan awal produksi pada bulan April tahun 1994 dan pada tahun yang sama Proyek Pembangunan Tambang Emas Pongkor dirubah menjadi Unit Pertambangan Emas Pongkor.

Kemudian pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 aktivitas pertambangan berlangsung dan produksi pertambangan berusaha ditingkatkan dari kapasitas 2,5 ton emas menjadi kapasitas 5 ton emas yang mampu diproduksi, maka dibangun pabrik pengolahan kedua. Hal ini menjadi bukti bahwa sumberdaya agraria yang ada di desa tersebut sangat luar biasa melimpah. Pada tahap awal, kegiatan produksi tambangan berasal dari lokasi tambang Ciguha, Kubang Cicau, dan Pasir Jawa. Setelah cadangan-cadangan bijih di lokasi tersebut mulai habis, maka kegiatan produksi tambang sebagian besar berasal dari vein Ciurug dan sebagian kecil dari vein Gudang Handak.

Pada tahun 1998 terjadi peristiwa yang tidak dapat dilupakan oleh masyarakat dan terutama pihak PT. Antam. Tepatnya pada tanggal 3 Desember 1998 kantor PT. Antam diserang oleh “gurandil” (penambang liar) karena terjadi kesalahpahaman antara gurandil dengan pihak PT. Antam. Tindakan yang dilakukan oleh para gurandil tersebut dalam bentuk pembakaran kantor PT. Antam. Kesalahpahaman ini dikarenakan ada pihak gurandil yang mengatakan bahwa ada gurandil lain yang ditembak oleh pihak PT. Antam. Akan tetapi pengakuan tersebut dibantah oleh pihak PT. Antam karena pihak PT. Antam mengatakan bahwa tidak mungkin pihaknya melakukan penembakan secara sembarangan. Penembakan itu hanya tembakan ke udara sebagai bentuk peringatan kepada gurandil yang pada dasarnya kegiatan penambangan liar tersebut dilarang untuk dilakukan. Akibat kejadian tersebut, aktivitas di kantor PT. Antam dihentikan selama lima hari mengingat situasi kantor yang tidak memungkinkan karena seluruhnya telah hangus terbakar. Akan tetapi untuk aktivitas penambangan tetap berjalan. Tahun 1999 PT. Antam mulai bangkit kembali. Satu tahun waktu yang digunakan untuk membangun kembali kantor PT. Antam sebagai pusat pengendali kegiatan pertambangan. Sejak saat itu kegiatan pertambangan mulai berlangsung seperti sediakala.

Tahun 2014: Konflik Penutupan Akses Jalan Menuju Kampung Ciguha

Sejak tahun 1999 setelah tragedi pembakaran kantor PT. Antam oleh massa dalam hal ini adalah gurandil, kegiatan pertambangan terus berlanjut dan menunjukkan eksistensinya dalam industri pertambangan. Kegiatan pertambangan berjalan dengan baik dalam kurun waktu 15 tahun. Perjalanan industri pertambangan tidak lepas kaitannya dengan peran masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat sekitar yang menerima kehadiran PT. Antam tentu dengan latar belakang pemikiran yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang beranggapan bahwa menerima kehadiran perusahaan masuk desa adalah upaya untuk mengembangkan desa, mereka berharap perusahaan dapat merekrut mereka menjadi pekerja di perusahaan tersebut. Sesungguhnya sumberdaya lokal dalam hal ini sumberdaya manusia patut diutamakan dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Hal ini menjadi bentuk tanggungjawab pihak perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang memanfaatkan sumberdaya alam lokal masyarakat tersebut. Akan tetapi hal ini berbeda dengan kenyataan di lapang. Salah satu informan mengatakan bahwa PT. Antam hanya menyerap tenaga kerja lokal sebesar 10%, dan mungkin persentase yang kecil ini dengan alasan bahwa banyak masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah, sehingga sulit dijadikan tenaga kerja sebagai staf di kantor, kemungkinan hanya sebagai buruh kasarnya saja seperti mengangkut hasil tambang (TMN, 49 tahun). Sejak saat itu masyarakat menjadi semakin sensitif dengan segala pergerakan dan tingkah laku PT. Antam karena sulitnya akses masyarakat terhadap pekerjaan di perusahaan. Hal ini menjadi alasan bagi masyarakat menambang liar untuk menambang sendiri sumberdaya alam mereka dan tidak jarang mereka harus “kucing-kucingan” dengan pihak PT. Antam karena kegiatan ini dilarang.

Pada tahun 2014 muncul berbagai intrik antara masyarakat dan PT. Antam yang dipicu oleh peraturan-peraturan yang tidak dipahami oleh masyarakat Desa Bantar Karet. Kantor PT. Antam yang berlokasi di antara Kampung Nunggul dengan Kampung Ciguha, dan gerbang utama kantor PT. Antam yang berada di tengah-tengah jalan menuju Kampung Ciguha menyebabkan masyarakat Desa kerap kali hilir mudik melewati gerbang utama Kantor PT. Antam. Hal ini dikarenakan tidak ada jalan alternatif menuju Kampung Ciguha selain melewati gerbang utama PT. Antam. Sejak dahulu hal ini tidak menjadi masalah bagi perusahaan. Perusahaan juga merasa bahwa akses jalan menjadi hak semua masyarakat Desa Bantar Karet yang merupakan penduduk pribumi. Kegiatan pertambangan semakin meningkat sejalan dengan berdatangannya penambang liar yang dikenal oleh perusahaan dan masyarakat sebagai PETI (penambang tanpa izin) atau gurandil. PETI atau gurandil ini banyak melakukan kegiatan di Kampung Ciguha, salah satu kampung yang menjadi wilayah pertambangan PT. Antam. Hal ini membuat PT. Antam geram dengan kegiatan pertambangan liar, karena penambangan liar sesungguhnya membahayakan penambang karena tidak dilengkapi dengan peralatan yang aman dan juga lokasi bekas tambang tidak dipulihkan kembali, melainkan dibiarkan rusak. Akan tetapi semakin lama PT. Antam semakin resah dengan hilir mudik orang-orang yang melewati gerbang PT. Antam menuju Kampung Ciguha, karena bisa jadi orang-orang tersebut bukan orang asli Kampung Ciguha, melainkan orang dari luar desa yang mencoba untuk menjadi penambang liar.

Akibat semakin banyaknya PETI atau gurandil, akhirnya PT. Antam mengeluarkan peraturan bahwa yang diizinkan melewati jalan menuju Kampung Ciguha hanya warga asli Kampung Ciguha. Selain warga Kampung Ciguha dilarang melewati jalan pada gerbang utama perusahaan dan menuju Kampung Ciguha. Masyakarat kemudian kaget ketika ingin menuju ke Kampung Ciguha diberhentikan oleh pihak keamanan PT. Antam dan diperintah untuk mengeluarkan kartu identitas seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang ternyata merupakan cara untuk melihat orang tersebut adalah warga asli Kampung Ciguha atau bukan. Sejak kejadian itu masyarakat marah dengan tindakan PT. Antam yang mengeluarkan peraturan tanpa melakukan musyawarah dengan masyarakat sekitar. Jalan tersebut adalah jalan satu-satunya menuju Kampung Ciguha dan jika ditutup masyarakat akan sulit menuju Kampung Ciguha. Masyarakat mengatakan bahwa tidak semua orang yang masuk ke Kampung Ciguha adalah untuk

melakukan penambangan liar, tetapi ada juga yang ingin menemui sanak saudara dan kerabat atau yang memiliki usaha berdagang di Kampung Ciguha. Peraturan ini yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. masyarakat merasa hak akses terhadap jalan dirampas begitu saja oleh pihak perusahaan tanpa ada kompromi. Masyarakat pun mengatakan bahwa tindakan perusahaan ini merupakan tindakan yang tidak menghargai warga pribumi. Sejak saat itu hubungan sosial antara masyarakat dengan PT. Antam semakin tidak baik.

Peraturan yang dikeluarkan oleh PT. Antam kemudian memuculkan suatu tragedi besar pada tahun 2014. Beberapa hari menjelang puasa, ada beberapa orang yang akan menuju Kampung Ciguha dengan menggunakan mobil. Tiba-tiba mobil tersebut diberhentikan oleh pihak keamanan PT. Antam, namun orang yang mengemudi mobil tersebut tidak memberhentikan mobilnya bahkan melajukan mobilnya semakin kencang hingga melindas pihak keamanan yang berusaha memberhentikan mobil tersebut. Akhirnya terjadi tragedi pelindasan pihak keamanan PT. Antam oleh orang tidak dikenal yang berusaha menerobos gerbang PT. Antam menuju Kampung Ciguha. Sejak tragedi itu PT. Antam semakin ketat dalam hal peraturan izin melewati jalan menuju Kampung Ciguha. Masyarakat berusaha mengajak PT. Antam untuk bermusyawarah menangani masalah ini, namun pihak PT. Antam tidak menanggapi ajakan masyarakat. Hingga kini tidak ada upaya sama sekali yang dilakukan dari berbagai pihak untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dalam hal pengelolaan sumberdaya agraria.

IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN PT. ANEKA

Dokumen terkait