IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN
DAN PENGARUHNYA PADA
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET
INDAH OCTAVIA PUTRI
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
ABSTRAK
INDAH OCTAVIA PUTRI. Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis subyek dan obyek agraria di Desa Bantar Karet, menganalisis implementasi kegiatan pertambangan PT. Aneka Tambang (PT. Antam) di Desa Bantar Karet, dan mengetahui serta menganalisis pengaruh implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. implementasi kegiatan pertambangan dilihat melalui dua kegiatan, yaitu pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan kuesioner, dan didukung data kualitatif dengan metode wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kesejahteaan masyarakat Desa Bantar Karet. hal ini dapat terlihat dari karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria yang teridentifikasi serta esensi UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang tidak mampu dijalankan seluruhnya oleh PT. Antam, sehingga menciptakan hubungan yang tidak harmonis antar subyek agraria.
Kata kunci: agraria, pertambangan, kesejahteraan
ABSTRACT
INDAH OCTAVIA PUTRI. Implementation of Mining Activity and Its Influence on Bantar Karet local Community’s Welfare. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO.
This study aims to analyze the subject and object of agrarian in Bantar Karet village, analyzing the implementation of the mining activities of PT. Antam (PT. Antam) in Bantar Karet village, determining and analyzing the effect of the implementation of the mining activities of PT. Antam to the public welfare on Bantar Karet Village. Implementation of mining activity seen through two activities, namely land tenure arrangements and land dispute resolution. This study uses a quantitative approach with questionnaires, and supported by qualitative data using depth interviews method, participant observation, and study of literature. The results showed that the implementation of the mining activities of PT.Antam has a strong influence on society Welfare of Bantar Karet village. This can be seen from the characteristics of the agrarian subject and object identified and essence of UUPA No. 5 of 1960 were not able to run entirely by PT. Antam, thus creating a harmonious relationship between the agrarian subjects.
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN
DAN PENGARUHNYA PADA
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET
INDAH OCTAVIA PUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepadaAllah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah berjudul “Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet” ini dengan baik. Penelitian ini dilakukan sejak Oktober 2014 dengan mengangkat topik ketimpangan struktur agraria dengan lokasi penelitian di Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kegiatan pertambangan yang berpedoman pada kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal penguasaan atas tanah dan penyelesaian sengketa atas tanah juga pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Tujuan ini dicapai dengan terlebih dahulu menganalisis impelementasi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Aneka Tambang dari aspek penguasaan atas tanahdan penyelesaian sengketa atas tanah. Kemudian menganalisis subyek dan obyek agraria yang terlibat di dalamnya serta perannya dalam implementasi kegiatan pertambangan tersebut. Kemudian akan dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet yang dilihat dari aspek pendapatan, pengeluaran, fasilitas tempat tinggal, kesehatan, akses terhadap pendidikan dan kepemilikan alat transportasi.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Ibu Soleha selaku nenek, Ibu Eka Nurlela dan Bapak Pendi Rusmana selaku orangtua juga Ahmad Rifa’i, Ahmad Rizki dan Ramawan Hadi selaku paman tercinta yang selalu memberikan saran, masukan, dukungan dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman suka duka dan seperjuangan yaitu teman-teman SKPM 48 khususnya Nadia, Amanda, Ica, Linda dan Lingga yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih pun tidak lupa penulis sampaikan kepada Abdul Aziz yang selalu memberikan semangat dan menemani dalam pengumpulan data di lapangan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum dikatakan sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL Vii
DAFTAR GAMBAR Vii
DAFTAR LAMPIRAN Viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Masalah Penelitian 4
Tujuan Penelitian 5
Kegunaan Penelitian 5
PENDEKATAN TEORITIS 7
Tinjauan Pustaka 7
Konsep Agraria 7
Ketimpangan Struktur Agraria 8
Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Agraria 10
Konsep Pertambangan dan Tata Kelolanya 11
Konsep Kesejahteraan dan Indikator 12
Karakter Subyek dan Obyek Agraria 14
Kerangka Penelitian 14
Hipotesis Penelitian 16
Definisi Konseptual 16
Definisi Operasional 16
PENDEKATAN LAPANGAN 21
Lokasi dan Waktu Penelitian 21
Teknik Pengambilan Informan dan Responden 21
Teknik Pengumpulan Data 22
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23
PROFIL DAN STRUKTUR PENGUASAAN TANAH DESA BANTAR
KARET 25
Profil Desa Bantar Karet 25
Kondisi Georgrafis 25
Kondisi Sosial 26
Kondisi Ekonomi 28
Kondisi Sarana dan Prasarana 29
Subyek dan Obyek Agraria 30
Pemerintah Desa Bantar Karet 30
Petani Kampung Nunggul dan Kampung Tugu 31
PT. Aneka Tambang UBPE Pongkor 32
Tahun 1992-1999: Pembangunan Kantor PT. Antam dan Peristiwa
Pembakaran 42
Tahun 2014: Konflik Penutupan Akses Jalan Menuju Kampung Ciguha
43
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN PT. ANEKA
TAMBANG EMAS UBPE PONGKOR 47
Pengaturan Penguasaan Tanah dan Langkah Kegiatannya 47
Pertikaian dan Penyelesaian Sengketa Tanah 51
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN
PENGARUHNYA PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA
BANTAR KARET 55
Tingkat Pendapatan 56
Tingkat Fasilitas Tempat Tinggal 59
Tingkat Akses Kesehatan 61
Tingkat Akses Pendidikan 63
Tingkat Kepemilikan Alat Transportasi 65
Tingkat Implementasi Kegiatan Pertambangan Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet 66
PENUTUP 69
Simpulan 69
Saran 70
DAFTAR PUSTAKA 71
LAMPIRAN 73
DAFTAR TABEL
1 Indikator tingkat implementasi kegiatan pertambangan 17
2 Indikator kesejahteraan masyarakat 17
3 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian 22 4 Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan kelompok umur
dan jenis kelamin 26
5 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan
status kewarganegaraan 27
6 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan
agama dan aliran kepercayaan 27
7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan
tingkat pendidikan 28
8 Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan mata pencaharian 28
9 Jumlah sarana keagamaan Desa Bantar Karet 29
10 Luas penggunaan sawah di Kecamatan Nanggung pada tahun
2008-2013 33
11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang
dimiliki sebelum dan sesudah ada pertambangan 34 12 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat implementasi
kegiatan pertambangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Desa
1 Hubungan-hubungan agraria 8
2 Hubungan aktor-aktor agraria 9
3 Kerangka penelitian pengaruh implementasi kegiatan pertambangan
terhadap kesejahteraan masyarakat 15
4 Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet sebelum masuknya
PT. Antam 36
5 Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet sesudah masuknya
PT. Antam 37
6 Keputusan Direktur Jendral Pertambangan Umum tentang pemberian
kuasa pertambangan eksploitasi (DU. 893/Jabar). 41 7 Jenis dan pihak yang menyelenggarakan pengaturan penguasaan
tanah menurut responden di Desa Bantar Karet tahun 2014 48 8 Tingkat pengaturan penguasaan tanah menurut responden di Desa
Bantar Karet Tahun 2014 48
9 Tingkat penyelesaian sengketa tanah menurut responden di Desa
Bantar Karet Tahun 2014 53
10 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat pendapatan
yang dimiliki tahun 2014 57
11 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat fasilitas
tempat tinggal yang dimiliki tahun 2014 60
12 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat kesehatan
tahun 2014 62
13 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat pendidikan
tahun 2014 64
14 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut pemilikan alat
transportasi tahun 2014 65
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Desa Bantar Karet 75
2 Kerangka responden 76
3 Kuesioner penelitian 77
4 Dokumentasi penelitian 85
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi sumberdaya alam yang melimpah merupakan gambaran Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan julukan “negara agraris”. Sumberdaya alam hayati maupun non-hayati yang melimpah mampu menjadi modal dasar dalam pembangunan nasional. Tanah merupakan salah satu sumberdaya agraria yang sangat penting peranannya. Tanah dapat dijadikan tempat untuk hidup, dan tanah juga memiliki peran penting untuk kelangsungan perekonomian, contohnya di bidang produksi pertanian, perikanan, kehutanan, dan yang paling baru adalah bidang produksi pertambangan. Peran penting ini yang menjadikan tanah sebagai sumberdaya alam yang banyak diburu oleh para subyek-subyek agraria di belahan dunia manapun sebagai modal dalam berbagai kegiatan produksi. Kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali memunculkan ketimpangan karena adanya beberapa kebijakan yang saling tumpang tindih. Selain itu, ketaatan para subyek agraria pada berbagai kebijakan yang dikeluarkan pun menjadi penentu keberhasilan dalam menjalin kerjasama dalam mengelola sumberdaya alam secara bersama tanpa adanya ketimpangan. Isu tentang akses terhadap sumber-sumber agraria kembali menguat. Media massa seperti surat kabar, di dalamnya sering memuat artikel yang berkaitan dengan agraria, mulai dari perubahan penguasaan sumberdaya agraria, sengketa tanah, bentuk perlawanan petani, hingga konflik besar yang menelan korban akibat ketimpangan struktur kepemilikan tanah. Struktur kepemilikan tanah yang semakin tidak jelas membuat konflik tidak kunjung berhenti. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya kejelasan dalam memetakan struktur kepemilikan tanah di suatu daerah agar para subyek agraria mampu menjalankan perannya masing-masing dalam pengelolaan sumberdaya agraria.
satu cara mengikis kemiskinan dari masyarakat sekitar. Relasi sosial antara penguasa, masyarakat, dan pemerintah di aras lokal yang terputus memicu konflik agraria yang kronis hingga berujung pada kekerasaan sampai memakan korban. Hal ini sejalan dengan pernyataan White dan Wiradi (2009) yang menyatakan:
"Akibat putusnya relasi sosial di aras lokal, diiringi dengan kian meningkatnya marjinalisasi, menyebabkan terjadinya berbagai keresahan agraria di sejumlah negara, salah satunya di Indonesia. Kerusuhan dan pemberontakan terjadi dalam berbagai bentuk, baik di dalam rezim kolonial maupun setelah kemerdekaan, termasuk agitas petani dan gerakan petani (yang kadang dijadikan satu dengan gerakan nasionalis), pemberontakan petani melawan kelas tuan tanah, dan pada gilirannya pemberontakan itu menjadi kekuatan bagi beberapa gerakan revolusi yang terlibat dalam bentrok terbuka melawan aparat negara".
Menurut Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (2012), terjadi penembakan brutal oleh aparat Brimob Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam penanganan aksi masyarakat di Kabupaten Bima, NTB yang menolak izin pertambangan pada akhir tahun 2011. Peristiwa ini menjadi bukti putusnya relasi sosial di aras lokal yang menyebabkan jatuhnya korban. Tercatat 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45%), 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30%), 21 kasus di sektor pertambangan (11%), 20 kasus di sektor kehutanan (4%), 5 kasus di sektor pertanian tambak/pesisir (3%), dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1%) (KPA 2012). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kasus agraria pada sektor pertambangan berada pada tiga besar kasus agraria yang ada di Indonesia saat ini. Tumpang tindih kebijakan dan Undang-Undang dalam mengatur tentang agraria menyebabkan permasalahan agraria semakin pelik.
Sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang berkontribusi dalam peningkatan pendapatan nasional, khususnya pendapatan daerah. Pemenuhan pendapatan minimal daerah menjadi alasan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan yang mampu membantu meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Nurhayaty dan Sina (2013) yang menyatakan bahwa karena pemenuhan pendapatan daerah, maka pemerintah daerah berani mengeluarkan izin pertambangan sebanyak-banyaknya agar pendapatan minimal daerah terpenuhi. Hal ini juga dibuktikan dari pendapatan negara yang meningkat dari hasil pertambangan mineral dan batubara pada periode tahun 2010-2014 berturut-turut sebesar 12.646,8 milyar, 16.369,8 milyar, 15.877,4 milyar, 18.620,5 milyar, dan 23.599,7 milyar (Kementerian Keuangan 2015).
pertambangan menjadi salah satu sektor pembangunan yang berkontribusi besar pada pendapatan daerah, serta kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu poin keberhasilan pembangunan.
Pengaturan penguasaan tanah yang tidak adil menyebabkan semakin tingginya ketimpangan penguasaan tanah baik di perkotaan maupun di pedesaan. Regulasi yang lemah menjadi alasan lanjutan ketimpangan struktur agraria yang tidak kunjung selesai. Merujuk pada Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012), melihat permasalahan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah, dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Amanat konstitusi diatas lalu diikuti dengan ketetapan pemerintah Tap MPR No. IX Tahun 2001 yang menggariskan bahwa kebijakan pertanahan harus bisa berkontribusi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, mengembangkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, dan pemilikan tanah, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat khususnya tanah, sehingga menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa serta konflik dikemudian hari (Nirmala 2013).
Pertambangan adalah usaha besar yang juga mampu memberikan sumbangan pada pendapatan daerah, maka kegiatan pertambangan sangat dipertimbangkan keberadaannya. Oleh karena itu, implementasi kegiatan pertambangan seharusnya berpedoman pada implementasi pengelolaan sumberdaya agraria melalui enam kegiatan di atas, agar terhindar dari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Keberhasilan dari implementasi kegiatan pertambangan ini diharapkan mampu melahirkan kesejahteraan masyarakat lokal. Oleh karena itu, perlu diuji apakah suatu daerah yang terdapat kegiatan pertambangan menjadi sejahtera ketika kegiatan pertambangan tersebut telah mengimplementasikan kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria untuk menghindari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah.
Masalah Penelitian
Strukur agraria yang terdiri dari subyek agraria dan obyek agraria memiliki interaksi yang kuat. Subyek agraria yang beragam dengan latar belakang yang berbeda dapat memunculkan kepentingan yang berbeda pula. Subyek-subyek agraria harus membangun suatu relasi sosial dalam interaksinya dengan obyek agraria. Implementasi pengelolaan sumberdaya agraria tidak lepas dari peran subyek dan obyek agraria, dalam hal ini subyek agraria adalah para stakeholders dan obyek agraria adalah tanah yang dimanfaatkan. Oleh karena itu tidak jarang keberhasilan suatu implementasi pengelolaan sumberdaya agraria pun dipengaruhi oleh subyek dan obyek agrarianya. Subyek dan objek agraria yang berbeda akan memunculkan suatu implementasi yang berbeda pula dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Desa Bantar Karet misalnya, memiliki sumberdaya tanah pertanian yang sejak dahulu mampu diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini akan berbeda ketika implementasi pengelolaan tersebut antara sumberdaya kehutanan dengan sumberdaya pertambangan. Oleh karena itu, penting dirumuskan suatu pertanyaan apa karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria di Desa Bantar Karet?
Sumberdaya agraria berupa tanah yang menjadi salah satu modal pembangunan nasional menjadi hal yang sangat penting. Tanah sebagai modal produksi ini tidak jarang memicu berbagai permasalahan akibat ketimpangan dalam penguasaannya. Hal ini berkaitan erat dengan relasi sosial antar subyek agraria yang terkadang memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap tanah tersebut. Pertambangan menjadi salah satu sektor pembangunan yang bersentuhan langsung dengan tanah. Eksplorasi hingga eksploitasi memberikan pengaruh yang sangat berarti terutama bagi masyarakat yang berada di kawasan pertambangan tersebut. Pengaruh tersebut bisa jadi berupa pengaruh ekologis, pengaruh ideologis, hingga pengaruh sosial berupa kesejahteraan masyarakat sekitar. Kampung Nunggul sebagai salah satu kampung yang berada dekat dengan perusahaan pertambangan PT. Antam menjadi kampung yang sangat potensial untuk dianalisis terkait implementasi pengelolaan sumberdaya agraria. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan sejauhmana implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dilaksanakan di Desa Bantar Karet?
melakukan pertimbangan-pertimbangan khusus dalam melakukan aktivitas pertambangan sebagai upaya menghindari ketimpangan sosial terutama ketimpangan dalam struktur agraria. Oleh karena itu, implementasi kegiatan pertambangan harus berpedoman pada implementasi pengelolaan sumberdaya agraria melalui enam kegiatan di atas, agar terhindar dari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Keberhasilan dari implementasi kegiatan pertambangan tersebut diharapkan mampu melahirkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu diuji apakah suatu daerah yang terdapat kegiatan pertambangan telah sejahtera ketika kegiatan pertambangan tersebut telah mengimplementasikan kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria untuk menghindari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan suatu pertanyaan bagaimana implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disampaikan sebelumnya, maka secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet dengan tujuan:
1. Menganalisis karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria di Desa Bantar Karet.
2. Menganalisis implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dilaksanakan di Desa Bantar Karet.
3. Mengetahui dan menganalisis implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, antara lain ialah:
1. Akademisi
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai implementasi pengelolaan sumberdaya agraria pada kegiatan pertambangan, serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria.
2. Pemerintah
terhadap lahan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat dengan lembaga atau penguasa yang berkepentingan.
3. Swasta
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan perusahaan pertambangan dalam menyusun kebijakan terkait implementasi kegiatan pertambangan, dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat untuk mereduksi ketimpangan terutama dalam hal struktur agraria antara masyarakat dan perusahaan pertambangan. Selain itu, perusahaan diharapkan mampu menciptakan iklim kolaboratif dalam implementasi kegiatan pertambangan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat. 4. Masyarakat
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Agraria
Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian (Santoso 2009). Sedangkan pengertian Agraria dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdapat pada pasal 1 ayat 2 yaitu “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...”. Definisi setiap unsur agraria tersebut pun terkandung di dalam UUPA No.5 tahun 1960 pasal 1 ayat 4 bahwa dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Kemudian pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa “air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut…”. Dan yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut (pasal 1 ayat 6 UUPA 1960). Berbeda dengan pernyataan Luthfi et al. (2010) bahwa agraria adalah ruang hidup bagi manusia, tetumbuhan, hewan, dan kehidupan ekologi itu sendiri, serta hubungan yang terjalin di antara kesemua makhluk itu.
Agraria mula-mula adalah tanah. Di atas tanah itu terdapat tetumbuhan, sehingga kita menyebutnya pertanian dan kehutanan. Di atasnya juga terdapat air, sehingga kita menyebutnya pesisir dan kelautan. Di dalamnya terdapat berbagai materi mineral, sehingga kita menyebutnya pertambangan dan perairan. Juga udara. (Luthfi et al. 2010). Oleh karena itu, agraria tidak hanya sebatas tanah, tetapi apa yang terkadung diatas dan dibawah tanah tersebut. Agraria menjadi sebuah kata yang sangat kompleks pemaknaannya. Selain itu, agraria memiliki aspek-aspek penting, seperti yang dikemukakan oleh Sayogyo dikutip oleh Syahyuti (2006):
”Salah satu aspek penting dalam agraria adalah tentang “pemilikan” dan “penguasaan”. Pemilikan merupakan status hukum antara seseorang dengan sebidang tanah, sedangkan penguasaan lebih kepada aspek ekonomi yaitu akses pemanfaatan seseorang terhadap sebidang tanah. Namun, ada yang membedakannya menjadi: pemilikan merupakan penguasaan formal, sedangkan penguasaan merupakan penguasaan efektif.”
kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disintesiskan bahwa agraria adalah keseluruhan sumberdaya alam baik yang terkandung di atas maupun di bawah tanah yang memenuhi bentang alam yang ada.
Ketimpangan Struktur Agraria
Pada kurun waktu tertentu, yaitu sejak tahun 1960 sampai awal pemerintahan orde baru, kasus agraria menjadi suatu isu yang sangat kompleks dan sentral. Kasus tersebut biasanya terkait ketimpangan struktur agraria. Menurut Sunito dan Purwandari (2006), dalam konteks sosiologi agraria, struktur agraria dipahami sebagai pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dan obyek agraria. Lingkup hubungan agraria dari masa ke masa melibatkan tiga subyek agraria yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria. Hal ini dapat dilihat pada gambar hubungan-hubungan agraria (Sitorus dikutip oleh Sunito dan Purwandari 2006):
Keterangan:
Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosio-agraria
Gambar 1. Hubungan-hubungan agraria
Konsep ini sejalan dengan penelitian Ningtyas dan Dharmawan (2010) yang menyatakan bahwa lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipisahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial).
Pada kenyataan saat ini, hubungan-hubungan agraria yang telah dikemukakan oleh Sitorus dikutip oleh Sunito dan Purwandari (2006) tidak lagi
Pemerintah
Sumber-Sumber Agraria
relevan dengan kondisi yang terjadi di lapangan saat ini. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
Hubungan kerjasama
Menunjukkan hubungan memanfaatkan Hubungan menciptakan
Hubungan perbedaan kepentingan (konflik)
Gambar 2. Hubungan aktor-aktor agraria
Gambar di atas dapat dideskripsikan bahwa setiap aktor berusaha untuk dapat memiliki akses dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria. Pemerintah, yang juga memiliki peran ganda sebagai pengusaha, bekerjasama dengan swasta yang juga memiliki peran ganda yaitu mempunyai posisi di pemerintahan saling bekerjasama untuk melancarkan kepentingan mereka tanpa menyertakan partisipasi masyarakat yang dianggap tidak potensial dalam melancarkan pemenuhan kepentingan mereka. Kemudian pemerintah menciptakan LSM secara tanpa diketahui oleh masyarakat, yaitu LSM yang sengaja dibentuk oleh pemerintah tanpa diketahui oleh masyarakat bahwa LSM terrsebut adalah bentukan pemerintah. LSM ini kemudian menjadi jembatan penghubung untuk menyampaikan kepentingan masyarakat. Hal ini dilakukan pemerintah agar LSM mampu mempengaruhi masyarakat dalam mengambil tindakan yang pada akhirnya dapat melancarkan jalan pemerintah dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria. Subyek agraria yaitu komunitas dan swasta hampir tidak pernah terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Oleh sebab itu, dalam gambar ditunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan perbedaan kepentingan yang selalu memunculkan konflik. Gambar ini mampu dibuktikan oleh hasil penelitian dari Nurhayaty dan Sina (2013) yang menyatakan bahwa karena pemenuhan
SUMBER-SUMBER AGRARIA
KOMUNITAS LSM
Peran ganda sebagai “aliansi”
pemerintah/pengusahaa
SWASTA
Peran ganda sebagai “aliansi” pemerintah
PEMERINTAH
pendapatan daerah, maka pemerintah daerah berani mengeluarkan izin pertambangan sebanyak-banyaknya agar pendapat minimal daerah terpenuhi. Hal ini menunjukkan adanya kerjasama dengan pihak swasta namun tidak memperhatikan kepentingan masyarakat. Selain itu, penelitian dari Cahyono et al. (2010) mengatakan konflik terjadi karena adanya perebutan penguasaan lahan (sumber-sumber agraria) karena adanya rencana proyek besar penambangan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (JMM) dengan penanam saham utama adalah keluarga besar Kraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta kerjasama dengan PT. Indomine Australia. Pemerintah Daerah Kulon Progo menyetujui rencana ini dengan alasan dapat meningkatkan pemasukan daerah. Masyarakat tidak menjadi bagian dari pertimbangan kerjasama ini, sehingga masyarakat menjadi kaum yang terpinggirkan.
Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Agraria
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan, sedangkan pengelolaan adalah proses, cara, atau perbuatan mengelola atau proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan arti kata tersebut, maka dapat dikatakan bahwa implementasi pengelolaan sumberdaya agraria adalah pelaksanaan proses yang memberikan pengawasan pada sumberdaya agraria yang ada kaitannya dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.
Pengelolaan sumberdaya agraria sangat penting diterapkan untuk mengurangi ketimpangan dalam pemilikan/penguasaan tanah. Hal ini disampaikan dalam Jurnal Kajian Lemhannas (2012) yang menyatakan bahwa melihat permasalahan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah, dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Keenam kegiatan ini yang kemudian menjadi pedoman dalam implementasi pengelolaan sumberdaya agraria khususnya dalam kegiatan pertambangan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa peneliti hanya melihat dua kegiatan saja yang dirasa sangat penting dan terjadi di lapang, yaitu kegiatan pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Kegiatan ini dinyatakan oleh Lemhannas dengan berpedoman pada UUPA No.5 Tahun 1960. Pada pengelolaan sumberdaya alam tertuang juga di dalam UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 2 ayat 1 yaitu “atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian hak menguasai dari negara yang termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Tata kelola secara normatif menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 ini yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan Negara dalam lingkup kecil yaitu pemerintah diharapkan mampu melaksanakan perannya berdasarkan tiga butir wewenang yang disebutkan di atas. Selain itu, pada pasal 11 ayat 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 dikatakan bahwa perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk keperluan hukum yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional harus mempertimbangkan kepentingan golongan yang ekonomi lemah. Pasal ini juga kemudian akan dikaji dalam implementasi kegiatan pertambangan untuk melihat seberapa besar pertimbangan mereka dalam membangun usaha pertambangan pada golongan ekonomi lemah.
Selain itu, Pada pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960 dikatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Tata kelola secara normatif dalam UUPA ini kemudian akan dilihat sinkronisasinya pada Undang-Undang yang berkaitan dengan pertambangan untuk menguji apakah Undang-Undang Pertambangan berpedoaman pada UUPA dalam hal pengelolaan sumberdaya agraria dan kebijakan lainnya terkait implementasi kegiatan pertambangan yang responsif terhadap keberadaan masyarakat sekitar.
Konsep Pertambangan dan Tata Kelolanya
pemerataan (equity), aspek lingkungan (environment), dan aspek konservasi (conservation).
Tata kelola kegiatan pertambangan pada saat itu berdasarkan pada beberapa peraturan normatif, diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Tata kelola kegiatan pra konstruksi dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 pasal 25 Ayat 1 Tentang Hubungan Kuasa Pertambangan dengan Hak-Hak Atas Tanah, dikatakan bahwa pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Pada pasal 26a disebutkan bahwa sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau salinannya yang sah diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akan dilakukan, dan pada pasal 26b disebutkan bahwa diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu, maksudnya bahwa pihak pertambangan memberi ganti kerugian dan jaminan ganti kerugian terlebih dahulu kepada pemegang hak tanah yang akan memberikan tanahnya untuk kegiatan pertambangan. Kemudian pada pasal 27 disebutkan bahwa apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
Tata kelola kegiatan konstruksi pertambangan dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 106 yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada pasal 138 disebutkan juga bahwa hak atas IUP, IPR, atau IUPK, bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. Tata kelola pada kegiatan pasca konstruksi tidak ditemukan dalam peraturan normatif yang telah ada. beberapa landasan normatif inilah yang kemudian akan dilihat prakteknya di lapangan.
Konsep Kesejahteraan
Konsep kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk mengukur keadaan seseorang pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu. Konsep kesejahteraan berbeda di setiap daerah, sehingga tingkat kesejahteraan di setiap daerah dapat berbeda-beda pula, tergantung pendefinisian daerah tersebut mengenai kesejahteraan. Konsep kesejahteraan yang ideal digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan dikemukakan oleh BPS dikutip oleh Bappenas (2005), bahwa indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada tujuh yaitu, pendapatan, konsumsi atau pengeluatan keluarga, fasilitas tempat tinggal, kesehatan keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi, dan kemudahan mendapat akses pendidikan. Lebih rinci dijelaskan bahwa:
kebutuhan hidup mereka. Semakin tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan pokok, namun cenderung semakin tinggi persentase pengeluaran untuk makanan/minuman jadi atau yang berprotein tinggi. Penduduk miskin cenderung persentase pengeluaran untuk makanan pokok masih sangat tinggi.
2. Konsumsi atau pengeluaran keluarga adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengeluaran yang menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan pendapatan yang diperoleh sehingga selisih tersebut merupakan kelebihan yang dapat disimpan sebagai tabungan. Secara nasional, modus rata-rata pengeluaran perkapita sebulan adalah pada golongan pengeluaran Rp. 300.000–Rp 499.999. 3. Fasilitas tempat tinggal yang dapat diukur dari luas lantai rumah,
penerangan, jenis alas/lantai rumah, kondisi MCK, kondisi bangunan, atap, sumber air. Kondisi dan kualitas rumah yang ditempati dapat dalam menjangkau dan memperoleh fasilitas untuk kesehatan seperti JAMKESMAS dan lain-lain.
6. Akses terhadap pendidikan merupakan kemudahan responden dalam memperoleh jenjang pendidikan yang baik dan tinggi. Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formalnya. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata masyarakat di suatu wilayah maka semakin tinggi taraf intelektualitas di wilayah tersebut.
7. Kepemilikan alat transportasi merupakan jenis alat transportasi yang dimiliki responden untuk mempermudah akses ke berbagai tempat.
ekonomi dan politik serta memiliki akses pada sumberdaya agraria sesuai dengan ukuran kesejahteraan yang ditentukan pada daerah tersebut.
Karakter Subyek Agraria dan Karakteristik Obyek Agraria
Karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria adalah ciri khas yang dimiliki oleh aktor pemanfaat sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Subyek agraria yang pertama adalah pemerintah (Negara). Karakter yang melatarbelakangi pemerintah lebih cenderung kepada peran pemerintah dalam hal penguasaan atas sumber-sumber agraria. Seperti dalam penelitian Nirmala (2013) yang menyatakan bahwa negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia.
Subyek agraria yang lain adalah swasta (perusahaan) dalam konteks ini adalah perusahaan pertambangan. Mengacu pada penelitan yang dilakukan Amran dan Devi (2008) bahwa karakteristik perusahaan dapat dilihat dari kepemilikan saham pemerintah (government shareholding), kepemilikan saham asing (foreign shareholding), ukuran perusahaan (corporate size), tipe industri (industry type), profitabilitas (profitability). Variabel tambahan adalah regulasi pemerintah (government regulation).
Subyek agraria selanjutnya adalah masyarakat. Merujuk pada penelitian Sawitri dan Subiandono (2010) bahwa karakteristik masyarakat meliputi kependudukan, mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan perumahan. Berdasarkan keempat karakteristik tersebut, karakteri yang dominan kemudian lebih kepada pekerjaan utama, sampingan, dan pendidikan. Sesuai dengan kebutuhan peneliti, maka beberapa karakter masyarakat yang akan ditelusuri adalah pekerjaan utama, pekerjaan sampingan, kepemilikan lahan, dan tingkat pendidikan.
Kerangka Penelitian
Keterangan:
: Mempengaruhi
: Analisis secara kualitatif, bukan fokus analisis utama
Gambar 3 Kerangka penelitian pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat
Pada kerangka penelitian, terlihat bahwa yang menjadi fokus analisis adalah pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dilihat dari beberapa indikator pokok seperti pendapatan, konsumsi, fasilitas tempat tinggal, akses layanan kesehatan, akses pendidikan, dan kepemilikan alat transportasi. Implementasi kegiatan pertambangan tersebut kemudian dilihat dari beberapa kegiatan berdasarkan Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012) dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Enam kegiatan implementasi kegiatan pertambangan tersebut tidak semua diteliti secara kuantitatif. Berdasarkan hasil observasi, kegiatan pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah menjadi hal yang paling krusial, sehingga penelitian difokuskan pada dua kegiatan, yaitu pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan. Komponen-komponen tersebut adalah
Karakter Subyek Agraria
Implementasi Usaha Pertambangan
1. Tingkat Pengaturan Penguasaan Tanah 2. Tingkat Penyelesaian
Sengketa Tanah
Tingkat kesejahteraan masyarakat
1. Tingkat Pendapatan 2. Tingkat Fasilitas tempat
tinggal
3. Tingkat Kesehatan 4. Tingkat Akses
pendidikan
5. Tingkat Kepemilikan alat transportasi
karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria. Oleh karena itu, dalam kerangka analisis digambarkan bahwa subyek agraria dan obyek agraria mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka penelitian, maka hipotesis penelitian yang diajukan oleh penulis dibagi menjadi 2:
Hipotesis pengarah:
Diduga esensi UUPA No. 5 Tahun 1960 mampu dijalankan seluruhnya oleh PT. Antam.
Hipotesis uji:
Diduga implementasi kegiatan pertambangan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet.
Definisi Konseptual
1. Konsep agraria adalah keseluruhan sumberdaya alam baik yang terkandung di atas maupun di bawah tanah yang memenuhi bentang alam yang ada.
2. Karakter subyek dan obyek agraria adalah ciri khas yang dimiliki oleh aktor pemanfaat sumber-sumber agraria dan sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik.
3. Ketimpangan struktur agraria adalah pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dan obyek agraria yang berat sebelah (tidak adil).
4. Kegiatan pertambangan adalah kegiatan menganalisis, mengolah dan memasarkan sumberdaya tak terbarukan (renewable) seperti mineral atau batubara dengan konsekuensi kerusakan lingkungan dan keuntungan hanya untuk segelintir orang.
5. Implementasi kegiatan pertambangan adalah kegiatan penerapan pengelolaan sumberdaya agraria meliputi pengaturan penguasaan tanah, pemberian hak atas tanah dan penyelesaian sengketa tanah.
6. Tingkat kesejahteraan masyarakat adalah ukuran baik buruknya keadaan masyarakat pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu.
Definisi Operasional
Tabel 1 Indikator tingkat implementasi kegiatan pertambangan
Variabel/Indikator Definisi Definisi Operasional Skala Pengukuran (skor 23-36), sedang (skor 37-50), dan tinggi (skor 51-64).
2. Tingkat kesejahteraan masyarakat adalah ukuran baik buruknya keadaan masyarakat pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu. Indikator kesejahteraan dilihat berdasarkan pendapatan, pengeluaran atau konsumsi keluarga, fasilitas tempat tinggal, kesehatan, akses terhadap layanan kesehatan, akses terhadap pendidikan dan pemilikan alat transportasi. Indikator tersebut dapat dilihat dari:
jang pendidikan yang baik dan tinggi.
akses masyarakat terhadap pendidikan. Terdapat 3 pertanyaan dengan kriteria skor:
(1) tidak sekolah, SD (2) SMP, SMA (3) Diploma, Sarjana
Kepemilikan alat transportasi
Jenis alat trans-portasi yang dimiliki
responden untuk mempermudah akses ke berbagai tempat.
Pengukuran secara subyektif dilakukan untuk mengetahui akses masyarakat terhadap pendidikan. Variabel ini diukur dengan kriteria skor: (1) tidak berkendara (2) motor
(3) mobil
Ordinal
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh implemetasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet ini dilaksanakan di Desa Bantar Karet Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor selama 6 bulan terhitung mulai Bulan Juni 2014-Januari 2015. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan berbagai pertimbangan, yaitu:
1. Berdasarkan hasil observasi, Desa Bantar Karet merupakan desa yang dekat dengan lokasi pertambangan PT. Aneka Tambang (Antam). Aktivitas pertambangan sudah dijalankan sejak tahun 1990 sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh dari implementasi kegiatan pertambangan dari PT. Antam tersebut.
2. Terdapat hubungan penguasaan tanah antara beberapa stakeholder, yaitu antara masyarakat dan PT. Antam yang terbentuk melalui kegiatan peralihan penguasaan tanah dalam bentuk jual-beli tanah/pembebasan tanah, sehingga dapat dilakukan suatu analisis implementasi penguasaan sumberdaya agraria. Jadwal Pelaksanaan Penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapang melalui survei dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dengan informan dan pengamatan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis di kantor desa, kecamatan, dan pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Selain itu juga dapat diperoleh dari buku, Undang-Undang, dan jurnal-jurnal hasil penelitian terkait implementasi kegiatan pertambangan, tingkat kesejahteraan masyarakat dan data monografi serta profil desa. Berikut teknik pengumpulan data disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
No. Variabel Metode
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Unit analisis penelitian ini yaitu rumah tangga. Sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan yaitu mengenai implementasi kegiatan pertambangan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet, maka rumah tangga yang tanahnya dibebaskan untuk kegiatan pertambangan menjadi populasi sampel dalam mengetahui tingkat kesejahteraan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis datanya, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft excel 2007 dalam bentuk tabel frekuensi, grafik, serta tabel tabulasi silang untuk melihat data dari masing-masing variabel dan pengaruh antar variabel.
PROFIL DAN STRUKTUR PENGUASAAN TANAH DESA
BANTAR KARET
Profil Desa Bantar Karet
Kondisi Geografis
Desa Bantar Karet adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 841,04 ha. Desa Bantar karet memiliki bentuk wilayah berbukit dan bergunung dengan kemiringan 21-40o. Ketinggian desa ini adalah sekitar 700 mdpl dengan curah hujan 400-800 mm/tahun dan kelembaban dengan suhu rata-rata 26-34o C. Desa Bantar Karet terdiri dari 6 Dusun, 13 Rukun Warga dan 38 Rukun Tetangga. Desa Bantar Karet dikenal sebagai desa yang memiliki wilayah paling luas dibanding desa lain yang ada di Kecamatan Nanggung. Batas wilayah Desa Bantar Karet dapat dilihat dari:
Sebelah Utara : Desa Pangkal Jaya SebelahTimur : Kecamatan Leuwiliang Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi Sebelah Barat : Desa Curugbitung.
Desa Bantar Karet memiliki kelembagaan pemerintahan/permasyarakatan dengan perangkat desa yang terdiri dari:
Sekretaris Desa : 1 orang Kepala Urusan : 5 orang
Kepala Dusun : 6 orang
Bendahara Desa : 1 orang
Staf : 3 orang
Badan Permusyawaratan Desa : 11 orang
Kondisi Sosial Budaya
Desa Bantar Karet dengan luas wilayah 841,04 ha memiliki jumlah penduduk sebanyak 10 329 jiwa. Desa Bantar Karet dikenal dengan desa terluas di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor sehingga Desa Bantar Karet terdiri dari 6 dusun, 13 Rukun Warga dan 38 Rukun Tetangga. Penduduk Desa Bantar Karet sangat beragam. Keberagaman ini bisa dilihat dari kelompok umur, jenis kelamin, mata pencaharian, stastus kewarganegaraan, agama hingga tingkat pendidikan. Berikut data penduduk Desa Batar Karet berdasarkan kelompok umur yang bersumber dari data monografi Desa Bantar Karet Tahun 2014:
Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok
Umur
Jumlah Jiwa
Jumlah Laki-Laki Perempuan
0 – 4 439 452 891
5 – 9 349 363 802
10 – 14 396 395 791
15 – 19 378 375 753
20 – 24 565 366 931
25 – 29 400 392 702
30 – 34 413 410 823
35 - 39 312 314 626
40 – 44 312 320 632
45 – 49 291 295 586
50 – 54 261 293 554
55 – 59 229 234 463
60 - 64 498 604 501
65 – 69 62 63 125
70 Keatas 63 54 117
Jumlah 5269 5060 10329
tahun. Berdasarkan jumlah penduduk gabungan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak ada pada kelompok umur 20-24. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Bantar Karet berusia produktif. Secara keseluruhan, jumlah penduduk paling banyak adalah penduduk berjenis kelamin laki-laki walau terlihat hanya sedikit selisihnya dengan penduduk berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan kewarganegaraan dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk desa Bantar Karet berdasarkan status kewarganegaraan
Status Kewarganegaraan Jumlah Jiwa
n %
WNI 10. 239 100
WNA 0 0
WNI Keturunan 0 0
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa seluruh penduduk Desa Bantar Karet memiliki status kewarganegaraan sebagai WNI. Selain itu, jumlah penduduk berdasarkan agama dan aliran kepercayaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk desa Bantar Karet berdasarkan agama dan aliran kepercayaan
Agama dan Aliran Kepercayaan
Jumlah Jiwa
n %
Islam 10.233 99.95
Khatolik 6 0.05
Protestan 0 0
Hindu 0 0
Budha 0 0
Konghucu 0 0
Aliran Kepercayaan 0 0
Tabel di atas menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk asli Desa Bantar Karet Beragama islam. Hanya enam orang yang beragama khatolik dan statusnya adalah pendatang yang menetap di Desa Bantar Karet.
Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan tingkat pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang)
n %
Sebaran mata pencaharian masyarakat Desa Bantar Karet dapat dilihat melalui jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian sebagai berikut:
Tabel 8 Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan mata pencaharian
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Orang)
1. Petani
12. Pensiunan (TNI/POLRI/PNS) 0
13. Anggota DPRD Kabupaten 0
14. Anggota DPRD Provinsi 0
15. Anggota DPR 0
16. Anggota DPD 0
17. Anggota MPR 0
Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani penggarap lebih banyak jumlahnya dibanding mata pencaharian lain. Hal ini didukung oleh kondisi geogafis Desa Bantar Karet yang berbentuk dataran rendah, berbukit dan bergunung-gunung dengan kemiringan 21-40 Derajat. Selain itu, mata pencaharian sebagai pedagang pun memiliki jumlah terbesar kedua dari petani penggarap. Hal ini dikarenakan Desa Bantar Karet adalah desa yang terdapat perusahaan tambang dan aktivitas pertambangan yang mendatangkan orang dari luar daerah, sehingga inisiatif ekonomi mulai muncul dengan membuka warung karena banyaknya pendatang dan kebutuhan desa yang semakin meningkat.
Kondisi Perekonomian Desa Bantar Karet setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin beragamnya mata pencaharian masyarakat Desa Bantar Karet. Meskipun sebagian besar masyarakat desa adalah petani, namun masyarakat sudah mulai sadar akan berbagai mata pencaharian yang pada dasarnya sebagai sarana pemenuh kebutuhan masyarakat desa. Contohnya yaitu mata pencaharian sebagai pedagang. Banyak masyarakat yang mengembangkan mata pencahariannya menjadi pedagang karena akses terhadap pasar utama sangat jauh, sehingga masyarakat sadar untuk menjadi distributor kebutuhan masyarakat desa melalui kegiatan berdagang.
Kondisi Sarana dan Prasarana
Desa Bantar Karet memiliki sarana prasarana yang telah didata dalam monografi Desa Bantar Karet tahun 2014. Sarana prasarana tersebut meliputi:
Tabel 9 Jumlah sarana keagamaan Desa Bantar Karet
No. Sarana Keagamaan Jumlah (Buah)
1. Mesjid Agung 2
2. Mesjid Jami 15
3. Mushola 37
4. Langgar 12
5. Surau 0
6. Majelis Ta’lim 5
7. Gereja 0
8. Pura 0
9. Vihara 0
10. Klenteng 0
11. Pagoda 0
Sumber: Data Monografi Desa Bantar Karet Tahun 2014
masih ada kekurangan secara fisik, yaitu ukuran yang belum bisa menampung kapasitas masyarakat Desa Bantar Karet yang sangat banyak jumlahnya.
Selain sarana keagamaan, terdapat juga prasarana pemerintahan yaitu 1 buah kantor kelurahan. Kantor kelurahan merupakan tempat aparat desa melakukan aktivitas yang berkaitan dengan urusan masyarakat, mulai dari tempat musyawarah, tempat membuat berbagai data kependudukan dan lain-lain. Prasarana pengairan yang tersedia di desa yaitu sungai/kali yang berjumlah 12 buah. Selain itu ada juga prasarana perhubungan yaitu jalan kabupaten yang panjangnya 17 km dan jalan desa yang panjangnya 7 km. Kemudian tersedianya terminal di desa sebanyak 2 buah, jembatan beton sebanyak 8 buah dan jembatan gantung sebanyak 3 buah. Lembaga keuangan yang tersedia di desa dalam bentuk simpan pinjam berjumlah 1 buah. Prasarana perekonomian yang terdapat di desa terdiri dari toko yang berjumlah 15 buah, kios berjumlah 5 buah dan warung berjumlah 18 buah. Kemudian prasarana pertanian yang tersedia yaitu bedungan yang berjumlah 1 buah dan irigasi 1 buah. Sarana kesehatan di Desa Bantar Karet masih memprihatinkan. Hal ini terlihat dari minimnya fasilitas kesehatan karena hanya terdapat 1 buah poliklinik dan 13 posyandu. Jumlah ini sangat minim untuk menangani kesehatan masyarakat desa yang jumlahnya begitu banyak. Selain sarana kesehatan, sarana pendidikan di Desa Bantar Karet juga masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dari jumlah sekolah yang terdiri dari SMP swasta 1, SD Negeri 7 buah, TK swasta 3 buah dan TPA islam 3 buah. Jumlah ini terbilang minim untuk menunjang akses masyarakat Desa Bantar Karet terhadap pendidikan. Hal ini yang juga menjadi faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Bantar Karet karena sulit akses pada pendidikan terutama kurangnya fasilitas pendidikan. Fasilitas umum lainnya yang tersedia yaitu lapangan olahraga dengan luas 1,5 ha, pemakaman keluarga seluas 0,3 ha dan pemakaman umum seluas 2,5 ha.
Subyek dan Obyek Agraria
Pemerintah Desa Bantar Karet
Karakter pemerintah lebih cenderung kepada peran pemerintah dalam hal penguasaan atas sumber-sumber agraria. Seperti dalam penelitian Nirmala (2013) yang menyatakan bahwa negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia.
pendataan tanah-tanah milik warga desa dan pemerintah desa memberikan bukti kepemilikan tanah berupa girik. Kegiatan ini dilakukan untuk menghindari adanya sengketa tanah antar warga desa sehingga dilakukan kegiatan pendataan tanah milik warga. Karakter pemerintah sebagai pemegang wewenang dalam mengatur, mengurus memelihara, dan mengawasi pemanfaatan ini berpengaruh pada implementasi kegiatan pertambangan. Implementasi kegiatan pertambangan dapat terlaksana dengan peran dari pemerintah sebagai pemberi kebijakan. Saat PT. Antam masuk ke Desa Bantar karet untuk melakukan kegiatan pertambangan, pemerintah desa berani menyetujui pembebasan tanah untuk kegiatan pertambangan. Pemerintah desa beranggapan bahwa dengan adanya perusahaan pertambangan, masyarakat akan menjadi lebih sejahtera. Sesungguhnya mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. Ketika usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat hilang, maka hilang pula sumber penghasilan masyarakat desa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pemerintah seperti bertindak sebagai pemilik tanah yang bebas menjual tanah yang dimiliki masyarakat desa. Orde baru pun menjadi alasan mengapa pemerintah desa mampu memberikan izin sebesar-besarnya untuk kegiatan pertambangan, karena pada masa itu pemerintahan bersifat sentralistik dan otoriter. Oleh Karena itu, tidak ada satupun masyarakat yang bisa membantah atau bahkan menolak adanya intervensi perusahaan dalam hal ini adalah PT. Antam. Sejak saat itu terlihat adanya keberpihakan pemerintah desa dalam hal pemberian akses penguasaan tanah.
Petani Kampung Nunggul dan Kampung Tugu
Masyarakat Desa Bantar Karet memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.239 jiwa dan terbagi ke dalam 13 kampung. Kampung-kampung di Desa Bantar Karet terdiri dari Kampung Cadas Leueur, Kampung Bojong Sari, Kampung Jatake, Kampung Leuwicatang, Kampung Sidempok, Kampung Bantar Karet, Kampung Gunung Dahu, Kampung Tugu, Kampung Nunggul, Kampung Ciguha dan Kampung Cilanggar. Salah satu kampung di Desa Bantar Karet yang menjadi lokasi penelitian adalah Kampung Nunggul dan Kampung Tugu. Mata pencaharian dari penduduk di Kampung Nunggul dan Kampung Tugu adalah pedagang, petani dan pengemudi. Hal ini dibuktikan dari responden yang sebagian besar bermata pencaharian pedagang, bertani dan pengemudi (ojeg).
(penambang liar). Secara sosial, penduduk Kampung Nunggul jarang sekali terlibat konflik. Hal ini disebabkan karena dalam satu kampung tersebut merupakan penduduk yang terikat dengan ikatan saudara kandung. Jadi mulai dari kakek, nenek, orangtua dan anak semua ada dalam satu kampung. Konflik mulai hadir ketika ada intervensi perusahaan pertambangan, karena penduduk ketakutan tanah mereka akan dirampas oleh pihak perusahaan.
Sebagian besar penduduk Kampung Nunggul adalah petani pemilik. Mereka memiliki tanah dengan bukti sertifikat berupa girik. Karakter kepemilikan tanah pertanian ini yang mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan, sehingga Kampung Nunggul dan Kampung Tugu menjadi kampung yang sebagian besar lahan pertaniannya dibebaskan oleh PT. Antam. Kepemilikan tanah tersebut merupakan warisan turun temurun, sehingga tidak jarang penduduk menganggap tanah milik mereka adalah tanah adat. Selain itu, tingkat pendidikan penduduk Kampung Nunggul dan Kampung Tugu juga menjadi karakter yang berpengaruh pada implementasi kegiatan pertambangan. Ketidakberdayaan masyarakat untuk akses informasi hukum pada saat itu dalam hal pengelolaan sumberdaya menyebabkan masyarakat tunduk dan menerima apapun keputusan pihak lain yang bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Akhirnya partisipasi masyarakat tidak terlihat pada implementasi kegiatan pertambangan, khususnya dalam berbagai musyawarah penetapan berbagai peraturan dalam pemanfaatan sumberdaya agraria.
PT. Aneka Tambang UBPE Pongkor
PT. Antam merupakan perusahaan raksasa nasional yang bergerak di sektor pertambangan. Perusahaan ini merupakan perusahaan dengan berorientasi ekspor. PT. Antam merupakan perusahaan yang dibangun sebagai Badan Usaha Milik Negara pada tahun 1968. PT. Antam merupakan perusahaan yang sebagian besar sahamnya adalah milik Negara. Akan tetapi sejak 1997 PT. Antam telah menawarkan sahamnya sebesar 35% ke publik dan mencatatnya di Bursa Efek Indonesia. Jenis industri yang dikelola oleh PT. Antam UBPE Pongkor adalah industri pertambangan dengan konservasi lingkungan dan upaya penghematan biaya operasional. PT. Antam memulai kegiatan ekplorasi melalui salah satu unit kerjanya yaitu unit geologi, memulai eksplorasi pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1981 di daerah Gunung Limbung, Cibugis dan sekitarnya yaitu sebelah Utara – Timur Gunung Pongkor, dengan tujuan utamanya adalah mencari cebakan bijih logam dasar (base metal) yang saat itu permintaan pasaran masih tinggi. Pada akhir tahun 1979, saat eksplorasi di daerah Gunung Limbung, juga diperoleh informasi adanya mineralisasi sulfida pirit di daerah sekitar Gunung Pongkor. Selanjutnya pada tahun 1981, tim unit geologi melakukan reconnaissance (survei tinjau) ke daerah Gunung Pongkor dan menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Berdasarkan hasil tinjauan tersebut direncanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP), yang mana didapatkan KP Eksplorasi seluas 4 339 ha (KP DU 562/Jabar).
(ESDM) dapat dikeluarkan ketika perusahaan telah mampu memenuhi persyaratan mulai dari laporan eksplorasi, studi kelayakan, UPL (Upaya Pelestarian Lingkungan), rencana reklamasi, dan rencana pasca tambang. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, izin usaha pertambangan (IUP) dikeluarkan oleh Bupati, Namun saat ini IUP tidak lagi dikeluarkan oleh Bupati, melainkan oleh Gubernur. Kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk mengurusi berbagai hal tentang pertambangan telah dicabut. Saat ini yang mengurusi segala bentuk perizinan dan kebijakan adalah Pemerintah Provinsi. Informasi ini disampaikan oleh salah satu informan yaitu staf Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Bogor.
Obyek Agraria: Tanah Pertanian dan Cadangan Pertambangan
Struktur agraria tidak lepas kaitannya antara subyek agraria dan obyek agraria. Subyek agraria dikenali sebagai pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan obyek agaria atau sumberdaya agraria. Obyek agraria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanah pertanian dan cadangan pertambangan. Tanah pertanian di Desa Bantar karet terbilang cukup luas. Sekitar 11. 718 ha tanah pertanian yang ada di Desa Bantar Karet dengan jenis lahan yaitu lahan tadah hujan. Lahan tadah hujan merupakan jenis lahan yang sumber air utama berasal dari curah hujan. Jenis lahan ini bergantung dengan turunnya hujan. Curah hujan di Desa Bantar Karet sebesar 400-800 mm/tahun.Menurut Yulianto dan Sudibyakto (2012), tanaman padi dapat hidup baik didaerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1 500-2 000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi yaitu 23 °C. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 -1 500 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya curah hujan di Desa Bantar Karet masih belum cukup untuk mengairi lahan pertanian dengan jenis lahan tadah hujan. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Luas penggunaan sawah di Kecamatan Nanggung pada tahun
2008-Sumber: Monografi Pertanian dan Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013.
disebabkan oleh intensitas curah hujan yang semakin rendah setiap tahunnya di Bogor. Pada irigiasi sederhana, luas lahan yang digunakan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh sistem pengairan irigasi yang lebih baik dibanding sistem pengairan tadah hujan, karena sistem pengairan tadah hujan menjadikan curah hujan sebagai faktor pembatas yang menentukan keberhasilan padi sawah tadah hujan (Widyantoro dan Toha 2010).
Berdasarkan hasil kuesioner mengenai luas lahan yang dimiliki oleh responden, maka analisis mengenai luas lahan yang dimiliki responden dapat diilustasikan melalui tabel di bawah ini.
Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki sebelum dan sesudah ada pertambangan
No. Luas Lahan
Berdasarkan Tabel di atas, terlihat bahwa 10 responden menyatakan luas lahan yang dimilikinya kurang dari 1 800 m sebelum ada pertambangan dan 20 responden menyatakan luas lahan yang dimilikinya kurang dari 1 800 m. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak masyarakat yang memiliki lahan kurang dari 1.800 m setelah ada pertambangan. Selanjutnya, terdapat 16 responden yang menyatakan bahwa luas lahan yang dimilikinya berada pada kisaran 1 800-12 000 m sebelum ada pertambangan dan 8 responden menyatakan bahwa luas lahan yang dimilikinya berada pada kisaran 1 800-12 000 m setelah ada pertambangan. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan jumlah responden yang menyatakan luas lahan yang dimiliki berada pada luas 1 800-12 000 m yang artinya semakin sedikit responden yang memiliki lahan dengan luas tersebut. Terakhir yaitu sebanyak 4 responden menyatakan bahwa luas lahannya lebih dari 12 000 m sebelum ada pertambangan, dan 2 responden menyatakan bahwa luas lahannya lebih dari 12 000 m sesudah ada pertambangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah responden yang memiliki lahan dengan luas lebih dari 12 000 m sesudah ada pertambangan. Peningkatan dan penurunan luas lahan yang dimiliki ini disebabkan oleh kegiatan pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. Antam untuk membuat jalan, kantor dan tempat pengolahan limbah. Kegiatan pembebasan tanah ini menyebabkan banyak masyarakat Desa Bantar Karet mengalami penurunan luas lahan untuk kegiatan ekonomi, seperti pertanian dan perkebunan sayur.