• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL DAN STRUKTUR PENGUASAAN TANAH DESA BANTAR KARET

1. Petani Pemilik Tanah 2

Petani Penggarap 1.011 Buruh tani 639 2. Usaha Pengusaha Besar 0 Pengusaha Menengah 2 Pengusaha Kecil 1 3. Pengrajin 12 4. Buruh Industri 0 5. Buruh Bangunan 25 6. Buruh Pertambangan 65 7. Buruh Perkebunan 0 8. Pedagang 200 9. Pengemudi 21

10. Pegawai Negeri Sipil 24

11. TNI/POLRI 0 12. Pensiunan (TNI/POLRI/PNS) 0 13. Anggota DPRD Kabupaten 0 14. Anggota DPRD Provinsi 0 15. Anggota DPR 0 16. Anggota DPD 0 17. Anggota MPR 0

Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani penggarap lebih banyak jumlahnya dibanding mata pencaharian lain. Hal ini didukung oleh kondisi geogafis Desa Bantar Karet yang berbentuk dataran rendah, berbukit dan bergunung-gunung dengan kemiringan 21-40 Derajat. Selain itu, mata pencaharian sebagai pedagang pun memiliki jumlah terbesar kedua dari petani penggarap. Hal ini dikarenakan Desa Bantar Karet adalah desa yang terdapat perusahaan tambang dan aktivitas pertambangan yang mendatangkan orang dari luar daerah, sehingga inisiatif ekonomi mulai muncul dengan membuka warung karena banyaknya pendatang dan kebutuhan desa yang semakin meningkat.

Kondisi Perekonomian Desa Bantar Karet setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin beragamnya mata pencaharian masyarakat Desa Bantar Karet. Meskipun sebagian besar masyarakat desa adalah petani, namun masyarakat sudah mulai sadar akan berbagai mata pencaharian yang pada dasarnya sebagai sarana pemenuh kebutuhan masyarakat desa. Contohnya yaitu mata pencaharian sebagai pedagang. Banyak masyarakat yang mengembangkan mata pencahariannya menjadi pedagang karena akses terhadap pasar utama sangat jauh, sehingga masyarakat sadar untuk menjadi distributor kebutuhan masyarakat desa melalui kegiatan berdagang.

Kondisi Sarana dan Prasarana

Desa Bantar Karet memiliki sarana prasarana yang telah didata dalam monografi Desa Bantar Karet tahun 2014. Sarana prasarana tersebut meliputi:

Tabel 9 Jumlah sarana keagamaan Desa Bantar Karet

No. Sarana Keagamaan Jumlah (Buah)

1. Mesjid Agung 2 2. Mesjid Jami 15 3. Mushola 37 4. Langgar 12 5. Surau 0 6. Majelis Ta’lim 5 7. Gereja 0 8. Pura 0 9. Vihara 0 10. Klenteng 0 11. Pagoda 0

Sumber: Data Monografi Desa Bantar Karet Tahun 2014

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah sarana keagamaan terbanyak yaitu mushola. Hal ini membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Desa Bantar Karet memeluk agama islam. Akan tetapi, dilihat dari kondisi sarana yang tersedia

masih ada kekurangan secara fisik, yaitu ukuran yang belum bisa menampung kapasitas masyarakat Desa Bantar Karet yang sangat banyak jumlahnya.

Selain sarana keagamaan, terdapat juga prasarana pemerintahan yaitu 1 buah kantor kelurahan. Kantor kelurahan merupakan tempat aparat desa melakukan aktivitas yang berkaitan dengan urusan masyarakat, mulai dari tempat musyawarah, tempat membuat berbagai data kependudukan dan lain-lain. Prasarana pengairan yang tersedia di desa yaitu sungai/kali yang berjumlah 12 buah. Selain itu ada juga prasarana perhubungan yaitu jalan kabupaten yang panjangnya 17 km dan jalan desa yang panjangnya 7 km. Kemudian tersedianya terminal di desa sebanyak 2 buah, jembatan beton sebanyak 8 buah dan jembatan gantung sebanyak 3 buah. Lembaga keuangan yang tersedia di desa dalam bentuk simpan pinjam berjumlah 1 buah. Prasarana perekonomian yang terdapat di desa terdiri dari toko yang berjumlah 15 buah, kios berjumlah 5 buah dan warung berjumlah 18 buah. Kemudian prasarana pertanian yang tersedia yaitu bedungan yang berjumlah 1 buah dan irigasi 1 buah. Sarana kesehatan di Desa Bantar Karet masih memprihatinkan. Hal ini terlihat dari minimnya fasilitas kesehatan karena hanya terdapat 1 buah poliklinik dan 13 posyandu. Jumlah ini sangat minim untuk menangani kesehatan masyarakat desa yang jumlahnya begitu banyak. Selain sarana kesehatan, sarana pendidikan di Desa Bantar Karet juga masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dari jumlah sekolah yang terdiri dari SMP swasta 1, SD Negeri 7 buah, TK swasta 3 buah dan TPA islam 3 buah. Jumlah ini terbilang minim untuk menunjang akses masyarakat Desa Bantar Karet terhadap pendidikan. Hal ini yang juga menjadi faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Bantar Karet karena sulit akses pada pendidikan terutama kurangnya fasilitas pendidikan. Fasilitas umum lainnya yang tersedia yaitu lapangan olahraga dengan luas 1,5 ha, pemakaman keluarga seluas 0,3 ha dan pemakaman umum seluas 2,5 ha.

Subyek dan Obyek Agraria

Pemerintah Desa Bantar Karet

Karakter pemerintah lebih cenderung kepada peran pemerintah dalam hal penguasaan atas sumber-sumber agraria. Seperti dalam penelitian Nirmala (2013) yang menyatakan bahwa negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia.

Sebelum masuknya PT. Antam, pemerintah desa telah mampu mengatur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet. Hal ini dibuktikan dengan adanya

pendataan tanah-tanah milik warga desa dan pemerintah desa memberikan bukti kepemilikan tanah berupa girik. Kegiatan ini dilakukan untuk menghindari adanya sengketa tanah antar warga desa sehingga dilakukan kegiatan pendataan tanah milik warga. Karakter pemerintah sebagai pemegang wewenang dalam mengatur, mengurus memelihara, dan mengawasi pemanfaatan ini berpengaruh pada implementasi kegiatan pertambangan. Implementasi kegiatan pertambangan dapat terlaksana dengan peran dari pemerintah sebagai pemberi kebijakan. Saat PT. Antam masuk ke Desa Bantar karet untuk melakukan kegiatan pertambangan, pemerintah desa berani menyetujui pembebasan tanah untuk kegiatan pertambangan. Pemerintah desa beranggapan bahwa dengan adanya perusahaan pertambangan, masyarakat akan menjadi lebih sejahtera. Sesungguhnya mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. Ketika usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat hilang, maka hilang pula sumber penghasilan masyarakat desa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pemerintah seperti bertindak sebagai pemilik tanah yang bebas menjual tanah yang dimiliki masyarakat desa. Orde baru pun menjadi alasan mengapa pemerintah desa mampu memberikan izin sebesar-besarnya untuk kegiatan pertambangan, karena pada masa itu pemerintahan bersifat sentralistik dan otoriter. Oleh Karena itu, tidak ada satupun masyarakat yang bisa membantah atau bahkan menolak adanya intervensi perusahaan dalam hal ini adalah PT. Antam. Sejak saat itu terlihat adanya keberpihakan pemerintah desa dalam hal pemberian akses penguasaan tanah.

Petani Kampung Nunggul dan Kampung Tugu

Masyarakat Desa Bantar Karet memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.239 jiwa dan terbagi ke dalam 13 kampung. Kampung-kampung di Desa Bantar Karet terdiri dari Kampung Cadas Leueur, Kampung Bojong Sari, Kampung Jatake, Kampung Leuwicatang, Kampung Sidempok, Kampung Bantar Karet, Kampung Gunung Dahu, Kampung Tugu, Kampung Nunggul, Kampung Ciguha dan Kampung Cilanggar. Salah satu kampung di Desa Bantar Karet yang menjadi lokasi penelitian adalah Kampung Nunggul dan Kampung Tugu. Mata pencaharian dari penduduk di Kampung Nunggul dan Kampung Tugu adalah pedagang, petani dan pengemudi. Hal ini dibuktikan dari responden yang sebagian besar bermata pencaharian pedagang, bertani dan pengemudi (ojeg).

Sebelum masuk kegiatan pertambangan, penduduk Kampung Nunggul dan Kampung Tugu bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi, setelah masuknya kegiatan pertambangan, terjadi peristiwa pembebasan tanah dalam memenuhi kebutuhan perusahaan PT. Antam untuk kegiatan pertambangan. Pembebasan tanah yang dilakukan tersebut adalah untuk kebutuhan pembuatan kantor, jalan, dan pembuangan limbah. Hal ini berakibat pada perubahan mata pencaharian sebagian penduduk kedua kampung menjadi pedagang karena lahan pertaniannya harus dibebaskan untuk memenuhi kebutuhan pertambangan tersebut. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan pertanian, kegiatan pertanian tetap dijalankan namun hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga secara pribadi, dengan kata lain tidak untuk dijual. Akan tetapi, bagi penduduk yang sudah tidak memiliki tanah lagi, maka mata pencaharian utama yang ditekuninya adalah berdagang dengan sampingan sebagai gurandil

(penambang liar). Secara sosial, penduduk Kampung Nunggul jarang sekali terlibat konflik. Hal ini disebabkan karena dalam satu kampung tersebut merupakan penduduk yang terikat dengan ikatan saudara kandung. Jadi mulai dari kakek, nenek, orangtua dan anak semua ada dalam satu kampung. Konflik mulai hadir ketika ada intervensi perusahaan pertambangan, karena penduduk ketakutan tanah mereka akan dirampas oleh pihak perusahaan.

Sebagian besar penduduk Kampung Nunggul adalah petani pemilik. Mereka memiliki tanah dengan bukti sertifikat berupa girik. Karakter kepemilikan tanah pertanian ini yang mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan, sehingga Kampung Nunggul dan Kampung Tugu menjadi kampung yang sebagian besar lahan pertaniannya dibebaskan oleh PT. Antam. Kepemilikan tanah tersebut merupakan warisan turun temurun, sehingga tidak jarang penduduk menganggap tanah milik mereka adalah tanah adat. Selain itu, tingkat pendidikan penduduk Kampung Nunggul dan Kampung Tugu juga menjadi karakter yang berpengaruh pada implementasi kegiatan pertambangan. Ketidakberdayaan masyarakat untuk akses informasi hukum pada saat itu dalam hal pengelolaan sumberdaya menyebabkan masyarakat tunduk dan menerima apapun keputusan pihak lain yang bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Akhirnya partisipasi masyarakat tidak terlihat pada implementasi kegiatan pertambangan, khususnya dalam berbagai musyawarah penetapan berbagai peraturan dalam pemanfaatan sumberdaya agraria.

PT. Aneka Tambang UBPE Pongkor

PT. Antam merupakan perusahaan raksasa nasional yang bergerak di sektor pertambangan. Perusahaan ini merupakan perusahaan dengan berorientasi ekspor. PT. Antam merupakan perusahaan yang dibangun sebagai Badan Usaha Milik Negara pada tahun 1968. PT. Antam merupakan perusahaan yang sebagian besar sahamnya adalah milik Negara. Akan tetapi sejak 1997 PT. Antam telah menawarkan sahamnya sebesar 35% ke publik dan mencatatnya di Bursa Efek Indonesia. Jenis industri yang dikelola oleh PT. Antam UBPE Pongkor adalah industri pertambangan dengan konservasi lingkungan dan upaya penghematan biaya operasional. PT. Antam memulai kegiatan ekplorasi melalui salah satu unit kerjanya yaitu unit geologi, memulai eksplorasi pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1981 di daerah Gunung Limbung, Cibugis dan sekitarnya yaitu sebelah Utara – Timur Gunung Pongkor, dengan tujuan utamanya adalah mencari cebakan bijih logam dasar (base metal) yang saat itu permintaan pasaran masih tinggi. Pada akhir tahun 1979, saat eksplorasi di daerah Gunung Limbung, juga diperoleh informasi adanya mineralisasi sulfida pirit di daerah sekitar Gunung Pongkor. Selanjutnya pada tahun 1981, tim unit geologi melakukan reconnaissance (survei tinjau) ke daerah Gunung Pongkor dan menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Berdasarkan hasil tinjauan tersebut direncanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP), yang mana didapatkan KP Eksplorasi seluas 4 339 ha (KP DU 562/Jabar).

Pelaksanaan kegiatan pertambangan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah pada saat itu. Izin dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral

(ESDM) dapat dikeluarkan ketika perusahaan telah mampu memenuhi persyaratan mulai dari laporan eksplorasi, studi kelayakan, UPL (Upaya Pelestarian Lingkungan), rencana reklamasi, dan rencana pasca tambang. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, izin usaha pertambangan (IUP) dikeluarkan oleh Bupati, Namun saat ini IUP tidak lagi dikeluarkan oleh Bupati, melainkan oleh Gubernur. Kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk mengurusi berbagai hal tentang pertambangan telah dicabut. Saat ini yang mengurusi segala bentuk perizinan dan kebijakan adalah Pemerintah Provinsi. Informasi ini disampaikan oleh salah satu informan yaitu staf Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Bogor.

Obyek Agraria: Tanah Pertanian dan Cadangan Pertambangan

Struktur agraria tidak lepas kaitannya antara subyek agraria dan obyek agraria. Subyek agraria dikenali sebagai pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan obyek agaria atau sumberdaya agraria. Obyek agraria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanah pertanian dan cadangan pertambangan. Tanah pertanian di Desa Bantar karet terbilang cukup luas. Sekitar 11. 718 ha tanah pertanian yang ada di Desa Bantar Karet dengan jenis lahan yaitu lahan tadah hujan. Lahan tadah hujan merupakan jenis lahan yang sumber air utama berasal dari curah hujan. Jenis lahan ini bergantung dengan turunnya hujan. Curah hujan di Desa Bantar Karet sebesar 400-800 mm/tahun.Menurut Yulianto dan Sudibyakto (2012), tanaman padi dapat hidup baik didaerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1 500-2 000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi yaitu 23 °C. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 -1 500 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya curah hujan di Desa Bantar Karet masih belum cukup untuk mengairi lahan pertanian dengan jenis lahan tadah hujan. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Luas penggunaan sawah di Kecamatan Nanggung pada tahun 2008- 2013

Tahun

Luas Penggunaan Lahan Irigasi Sederhana (ha) Tadah Hujan (ha) Pasang Surut (ha) 2008 214 364 - 2009 425 364 - 2010 405 355 - 2011 443 325 - 2012 349 330 - 2013 1571 54 -

Sumber: Monografi Pertanian dan Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013.

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa luas penggunaan sawah tadah hujan di Kecamatan Nanggung pada tahun 2008-2013 semakin menurun. Hal ini

disebabkan oleh intensitas curah hujan yang semakin rendah setiap tahunnya di Bogor. Pada irigiasi sederhana, luas lahan yang digunakan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh sistem pengairan irigasi yang lebih baik dibanding sistem pengairan tadah hujan, karena sistem pengairan tadah hujan menjadikan curah hujan sebagai faktor pembatas yang menentukan keberhasilan padi sawah tadah hujan (Widyantoro dan Toha 2010).

Berdasarkan hasil kuesioner mengenai luas lahan yang dimiliki oleh responden, maka analisis mengenai luas lahan yang dimiliki responden dapat diilustasikan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki sebelum dan sesudah ada pertambangan

No. Luas Lahan

Sebelum ada pertambangan Sesudah ada Pertambangan n % n % 1. < 1.800 m 10 33 20 67 3. 1.800-12.000 m 16 53 8 27 4. > 12.000 m 4 14 2 6 Total 30 100 30 100

Berdasarkan Tabel di atas, terlihat bahwa 10 responden menyatakan luas lahan yang dimilikinya kurang dari 1 800 m sebelum ada pertambangan dan 20 responden menyatakan luas lahan yang dimilikinya kurang dari 1 800 m. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak masyarakat yang memiliki lahan kurang dari 1.800 m setelah ada pertambangan. Selanjutnya, terdapat 16 responden yang menyatakan bahwa luas lahan yang dimilikinya berada pada kisaran 1 800-12 000 m sebelum ada pertambangan dan 8 responden menyatakan bahwa luas lahan yang dimilikinya berada pada kisaran 1 800-12 000 m setelah ada pertambangan. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan jumlah responden yang menyatakan luas lahan yang dimiliki berada pada luas 1 800-12 000 m yang artinya semakin sedikit responden yang memiliki lahan dengan luas tersebut. Terakhir yaitu sebanyak 4 responden menyatakan bahwa luas lahannya lebih dari 12 000 m sebelum ada pertambangan, dan 2 responden menyatakan bahwa luas lahannya lebih dari 12 000 m sesudah ada pertambangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah responden yang memiliki lahan dengan luas lebih dari 12 000 m sesudah ada pertambangan. Peningkatan dan penurunan luas lahan yang dimiliki ini disebabkan oleh kegiatan pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. Antam untuk membuat jalan, kantor dan tempat pengolahan limbah. Kegiatan pembebasan tanah ini menyebabkan banyak masyarakat Desa Bantar Karet mengalami penurunan luas lahan untuk kegiatan ekonomi, seperti pertanian dan perkebunan sayur.

Obyek agraria yang lain adalah cadangan pertambangan. PT. Antam merupakan unit bisnis pertambangan emas yang tentunya menjadikan emas sebagai produksi tambang utama. Berdasarkan informasi dari hasil studi dokumen yang didapat dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral, diketahui bahwa endapan emas yang terdiri dari sembilan urat kwarsa-adularia sub paralel yang kaya akan oksigen mangan dan limonit dan sangat miskin akan sulfida (Milesi et al 2000, Warmada et al 2003 seperti dikutip oleh PT. Antam 2013) yang dikenal dengan tipe Pongkor Deposit (Basuki et al 1994 seperti dikutip oleh PT. Antam

2013). Urat-urat ini mempunyai panjang antara 700-2 500 m, tebal rata-rata antara 2-10 m dengan maksimal ketebalan 24 m dengan kedalaman lebih dari 200 m yang memotong satuan batuan volkanik. Urat yang mempunyai nilai ekonomis meliputi urat Ciurug, Ciguha, Kubang Cicau, Pasir Jawa, dan Gudang Handak.

Endapan emas-perak Pongkor merupakan endapan epitermal sulfida rendah (kwarsa karbonat-adularia). Dari hasil analisis inklusi fluida yang diambil dari kwarsa maupun kalsit dapat diinterpretasikan bahwa suhu pembentukannya berkisar antara 180-220OC. Hal ini yang menjadikan emas memiliki nilai ekonomi sangat tinggi karena proses pembentukan dan pengolahannya yang memerlukan waktu cukup lama. Oleh karena itu, banyak pengusaha maupun masyarakat sekitar yang memburu endapan emas hingga tidak jarang perburuan ini memunculkan konflik kepentingan diantara pihak-pihak terkait. Obyek-obyek agraria di atas menjadi sumberdaya yang sangat bernilai. Hal ini yang menyebabkan munculnya kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Antam untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut.

Struktur Penguasaan Tanah Desa Bantar Karet

Penguasaan Tanah Sebelum Masuk nya PT. Antam

Masyarakat Desa Bantar Karet sejak dahulu hidup dengan bergantung pada tanah pertanian yang mereka miliki. Dahulu, status kepemilikan tanah yang dipegang adalah berupa tanah adat. Menurut kisahnya, tanah adat yang dimaksud oleh masyarakat Desa Bantar Karet adalah tanah yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang. Pada zaman Belanda, sistem penguasaan tanah tersebut berupa “siapa yang mengelola dia yang memiliki”. Jadi setiap individu dari masyarakat Desa Bantar Karet yang menggunakan atau memanfaatkan tanah untuk kegiatan pertanian kemudian tanah tersebut di “rincik”. Rincik tersebut merupakan nama dari masyarakat Desa Bantar Karet yang artinya adalah “ukur”. Maka siapa yang menggunakan atau memanfaatkan tanah tersebut kemudian tanahnya dirincik/diukur. Kegiatan rincik tersebut dilakukan oleh pemilik tanah dan disaksikan oleh pemerintah desa pada waktu itu. Setelah kegiatan rincik selesai, maka dilanjutkan dengan membayar rincikan atau membayar biaya pengukuran. Setelah pembayaran selesai dilakukan, baru dibuatkan akta tanah atas nama orang yang menggunakan atau memanfaatkan tanah tesebut. Pada tahun 1990 akta tanah yang dimiliki masyarakat bukanlah berupa sertifikat, tetapi berupa girik yang didalamnya memuat nama pemilik tanah dan luas tanah yang dimanfaatkannya. Dapat dilihat bahwa struktur penguasaan tanah sebelum PT. Antam masuk adalah sebagai berikut:

Gambar 4 Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Keret sebelum masuknya PT. Antam

Gambar di atas memperlihatkan bahwa tanah pertanian dimanfaatkan sepenuhnya hanya oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Bantar Karet sebagai tanah pertanian. Pada masa itu tanah di desa Bantar Karet merupakan tanah pertanian. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di desa ini hanya melibatkan masyarakat dan aparat desa saja tanpa campur tangan pihak lain. Kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam berupa tanah pertanian tersebut dilakukan oleh

Dokumen terkait