• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis dan Pihak yang Menyelenggarakan Pengaturan Penguasaan Tanah

Peraturan Pemerintah Peraturan Adat 0 5 10 15 20 25 30

Rendah Sedang Tinggi

pengaturan penguasaan tanah 0 28 2 Ju m lah r e sp o n d e n

Gambar di atas menunjukkan tingkat pengaturan penguasaan tanah yang sebelumnya dikemukakan Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012) bahwa implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Pada penelitian ini hanya dikaji mengenai kegiatan pengaturan penguasaan tanah. Tingkat implementasi pengaturan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan didukung oleh pihak lain seperti pihak perusahaan PT. Antam dan masyarakat sekitar dapat dilihat berdasarkan pendapat responden. Sebanyak 28 responden mengatakan bahwa implementasi kegiatan pertambangan dalam kegiatan pengaturan penguasaan tanah ada pada tingkat sedang. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kegiatan pertambangan pada kegiatan pengaturan penguasaan tanah dilakukan sebatas pelaksanaan secara prosedural. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat salah satu informan berinisial SNP 95 Tahun.

“Pemerintah desa mah neng jalanin peraturan dari pemerintah pusat. Kadang mihak petani kadang mihak perusahaan. Dijalanin mah dijalanin, tapi gak sepenuhnya. Kita yang awan teh teu bisa ngomong apa-apa, ngikut aja neng”

Demikian pernyataan yang dikemukakan oleh salah satu informan yang merupakan tokoh di Desa Bantar Karet. Secara prosedural pengaturan penguasaan tanah dilaksanakan, namun pihak PT. Antam yang kurang transparan mengenai luas tanah yang dibutuhkan untuk kegiatan pertambangan. Kegiatan pembebasan tanah dan ganti rugi pun menjadi salah satu masalah yang rumit pada waktu itu. Berdasarkan butir-butir pertanyaan yang diajukkan dalam kuesioner, dapat dianalisis bahwa menurut responden, sistem pengaturan penguasaan tanah di Desa Bantar Karet telah berjalan dengan adil. Hal ini dibuktikan dari pemberian hak atas tanah kepada responden yang sesuai dengan luasan lahan yang digarap oleh responden dan kemudian diukur untuk dicatat dan dibuatkan girik sebagai bukti pemilikan tanah. Seluruh responden menggarap sendiri tanah yang dimilikinya dengan diusahakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Tanah yang dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama bagi para responden. Pada saat kegiatan pembebasan tanah, seluruh responden menyatakan bahwa PT. Antam tidak memberikan sosialisasi secara langsung terkait akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah. Lain halnya dengan pemerintah desa yang pada saat itu memberikan sosialisasi kepada responden terkait akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah dan dilanjutkan dengan kegiatan pertambangan. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah yang menjadi jembatan dalam menghubungkan kepentingan perusahaan dan masyarakat. Berbeda dengan kegiatan ganti rugi,

sebagian besar responden tidak diberikan kesempatan untuk melakukan negosisasi harga ganti rugi karena ganti rugi tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan NJOP.

Kegiatan pertambangan sesungguhnya telah menjalankan amanat Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 Pasal 25 Ayat 1 yang mengatakan bahwa pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Kagiatan pertambangan telah melalui prosedur pembebasan tanah serta ganti rugi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Pasal 25 Ayat 1. Kemudian PT. Antam telah menjalankan amanat pada pasal 26b bahwa diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu. Responden mengatakan bahwa mereka mendapatkan ganti rugi terlebih dahulu sebelum pembangunan pertambangan dilaksanakan. Akan tetapi lain halnya dengan pasal 26a yang tidak diikuti oleh pihak PT. Antam. Berdasarkan penuturan beberapa informan dan responden, kegiatan pertambangan hanya melalui sosialisasi oleh kepala desa saja dan pihak perusahaan tidak memperlihatkan kuasa pertambangan dan salinannya yang sah diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan- pekerjaan itu akan dilakukan.

Kemudian terdapat pasal lain dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 yang kemudian tidak dijadikan pedoman oleh PT. Antam. Pasal 27 yang berisi bahwa apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan. Akan tetapi, pada kenyataannya hal itu tidak terjadi. Masyarakat Desa Bantar Karet tidak diikutsertakan dalam penentuan harga ganti rugi. Ketika mereka tidak setuju dengan harga ganti rugi dan tidak membebaskan tanahnya, maka mereka akan diancam dan dituduh sebagai pengikut PKI. Oleh karena itu, mereka hanya bisa menuruti keinginan penguasa dan menerima keputusan apapun walau tidak diberikan kesempatan untuk negosiasi harga. Pihak pemerintah dalam hal ini yang berfungsi mengatur dan penyelenggarakan kegiatan pengaturan penguasaan tanah pun tidak mampu bersikap tegas, sehingga semua keputusan sesungguhnya hanya ada di tangan pemerintah dan PT. Antam tanpa mempertimbangkan pendapat dari masyarakat Desa Bantar Karet.

Kemudian pada Undang-Undang No.4 Tahun 2009 pasal 106 menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Hal ini belum dijalankan oleh PT. Antam sepenuhnya, karena

berdasarkan informasi dari informan hanya sekitar 10% masyarakat desa yang menjadi tenaga kerja PT. Antam. Pada pasal 138 disebutkan juga bahwa hak atas IUP, IPR, atau IUPK, bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. Pasal ini jelas dinyatakan, namun dalam praktik di lapang tidak dilaksanakan. Tragedi pelindasan pihak keamanan PT. Antam menjadi akibat dari tindakan PT. Antam yang menganggap IUP menjadi bukti legal pemilikan hak atas tanah, sehingga masyarakat tidak diberikan akses terhadap jalan menuju Kampung Ciguha dengan alasan mencegah masuknya penambang liar. Keputusan yang ditetapkan tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat sekitar hingga tidak mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan peraturan menunjukkan bahwa PT. Antam menganggap IUP sebagai bukti legal pemilikan hak atas tanah.

Berdasarkan pemaparan di atas, sesungguhnya peraturan yang dibuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 telah mengoperasionalkan peraturan dari UUPA No. 5 Tahun 1960 atau dengan kata lain telah berpedoman pada UUPA No.5 Tahun 1960, namun kajian mengenai implementasi kegiatan pertambangan secara sosiologi yaitu mengaitkan keberadaan masyarakat sekitar masih kurang mendalam. Belum terlihat adanya keberpihakan terhadap masyarakat sekitar terutama yang ekonomi lemah. Selain itu praktek di lapang menunjukkan sebagian kenyataan yang berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Oleh karena itu, responden menganggap bahwa implementasi kegiatan pertambangan dalam hal pengaturan penguasaan tanah masih terbilang sedang, artinya pengaturan penguasaan tanah hanya dilakukan secara prosedural, ada amanat yang ditaati dan ada juga yang tidak ditaati.

Pertikaian dan Penyelesaian sengketa tanah

Isu ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah hingga saat ini masih terjadi. Banyak dari isu ini terjadi di daerah pedesaan, karena daerah pedesaan adalah daerah yang bisa dikatakan jauh dari akses informasi, terutama mengenai kebijakan-kebijakan penguasaan tanah. Isu ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah ini tidak jarang memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah sengketa tanah antara pihak yang berkepentingan. Sengketa pertanahan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 adalah perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak- pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan sengketa tanah.

Pada penelitian ini, penyelesaian sengketa tanah menjadi indikator dari variabel implementasi kegiatan pertambangan. Penyelesaian sengketa tanah merupakan upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menanggulangi

berbagai pertikaian yang berkaitan dengan legalitas hukum terhadap tanah yang dimiliki sehingga memunculkan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Penyelesaian sengketa tanah yang baik tentunya mengutamakan partisipasi dari pemerintah, masyarakat dan perusahaan PT. Antam untuk menyelesaikan sengketa tanah dengan jalan musyawarah dan mufakatserta menguntungkan semua pihak. Penyelesaian sengketa tanah ini kemudian menjadi indikator yang mampu menilai tingkat implementasi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Antam dengan klasifikasi rendah, sedang, atau tinggi.

Pertikaian yang terjadi di Desa Bantar Karet disebabkan oleh perbedaan pendapat terhadap pemberian hak atas tanah, yaitu penutupan akses pada jalan menuju Kampung Ciguha. Menurut masyarakat walaupun PT. Antam memiliki izin pertambangan, tetapi PT. Antam seharusnya tidak melakukan tindakan atau mengeluarkan peraturan tanpa dimusyawarahkan kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat sekitar merupakan warga pribumi yang telah tinggal di Desa Bantar Karet sebelum masuknya pertambangan. Oleh karena itu, masyarakat mengharapkan pihak pertambangan mampu menghargai keberadaan masyarakat sekitar sebagai warga pribumi yang telah lama berada di desa tersebut. Berbeda dengan tanggapan pihak PT. Antam yang telah mengantongi IUP sehingga mampu membuat peraturan apapun berkaitan dengan tanah yang dikuasainya tanpa mengikutsertakan masyarakat dalam penguasaan tersebut, contohnya dengan penutupan akses jalan menuju Kampung Ciguha. Penutupan akses jalan untuk warga yang berdomisili selain di Kampung Ciguha dilakukan oleh pihak PT. Antam untuk mengurangi jumlah PETI atau gurandil yang melakukan penambangan liar di wilayah izin pertambangan PT. Antam. Akan tetapi, peraturan yang dikeluarkan oleh PT. Antam ini sesungguhnya tidak melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan, sehingga masyarakat banyak yang marah dan tidak menerima peraturan ini. Walaupun PT. Antam telah memegang IUP, tetapi bukan berarti PT. Antam bebas mengeluarkan peraturan penutupan akses jalan bagi warga lain karena jalan tersebut juga merupakan jalan satu- satunya untuk menuju Kampung Ciguha. Pertikaian ini menunjukkan bahwa PT. Antam dalam implementasi kegiatan pertambangannya tidak berpedoman pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Pasal 138 yang menyatakan bahwa hak atas IUP, IPR, atau IUPK, bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa IUP bukan menjadi bukti pemilikan hak atas tanah yang membuat PT. Antam mengeluarkan peraturan tanpa melibatkan masyarakat dalam musyawarah untuk mengeluarkan peraturan, terutama peraturan yang berkaitan dengan masyarakat sekitar perusahaan PT. Antam.

Berdasarkan setiap butir pertanyaan yang dicantumkan dalam kuesioner, dapat dianalisis bahwa menurut sebagian besar responden menyatakan bahwa pemerintah desa jarang mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tanah. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa pemerintah dalam menyelesaikan sengketa tanah hanya melibatkan pihak masyarakat saja, tetapi tidak melibatkan PT. Antam dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut. Pada level masyarakat pun sebagian besar responden menyatakan bahwa yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tanah adalah masyarakat yang mengalami sengketa tersebut. Selain itu, sebagian besar responden menyatakan bahwa PT. Antam tidak pernah memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah. Penyelesaian sengketa tanah juga tidak melibatkan

pihak LSM untuk membantu dalam menyampaikan aspirasi dari masyarakat. Hal ini juga yang kemudian menjadi kendala berbagai dalam menyelesaikan sengketa tanah di Desa Bantar Karet.

Indikator penyelesaian sengketa tanah ini terdiri dari 8 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban yaitu tidak pernah, jarang, selalu. Daftar pertanyaan dapat dilihat pada kuesioner terlampir. Tingkat penyelesaian sengketa tanah dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Tingkat penyelesaian sengketa tanah menurut responden di Desa Bantar Karet Tahun 2014

Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden menganggap penyelesain sengketa tanah berada pada taraf sedang. Hal ini ditunjukkan pada gambar tersebut bahwa dari 30 responden, sebanyak 21 responden memberikan penilaian sedang, 9 responden memberikan penilaian rendah dan tidak ada satu pun responden yang memberikan penilaian tinggi. Penilaian pada taraf sedang memiliki pengertian bahwa penyelesaian sengketa tanah secara prosedural dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait. Akan tetapi, hanya beberapa pihak yang melaksankan prosedur tersebut dan ada juga yang tidak, seperti pemerintah yang selalu berusaha mengajak PT. Antam dan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa tanah, namun hanya masyarakat yang mau diajak musyawarah, sedangkan PT. Antam sulit untuk diajak dalam kegiatan musyawarah penyelesaian sengketa tanah. Selain itu, masyarakat pada masa itu banyak yang menempuh jalan protes langsung dalam menyelesaikan sengketa tanah. hal ini disebabkan PT. Antam tidak pernah menyediakan ruang musyawarah untuk mendekatkan diri kepada masyarakat bahkan untuk masalah sengketa tanah pun PT. Antam enggan mengajak masyarakat duduk bersama menyelesaikan sengketa tanah secara kekeluargaan. Di sisi lain, peran LSM yang diharapkan mampu menyuarakan aspirasi masyarakat kepada pihak pemerintah dan perusahaan pun belum hadir di tengah-tengah sengketa tanah pada masa itu, sehingga masyarakat kesulitan dan kebingungan untuk menyampaikan keinginannya. 0 5 10 15 20 25 30

Rendah Sedang Tinggi

Penyelesaian Sengketa Tanah 9 21 0

Ju m lah R e sp o n d e n

IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN

Dokumen terkait