• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Belajar

2.4.1. Jenis-jenis Belajar

Para ahli mencoba membuat kategori jenis-jenis belajar yang sering kita kenal dengan taksonomi belajar. Salah satu yang dikenal adalah taksonomi yang disusun oleh Benyamin S. Bloom. Jenis-jenis belajar juga disusun oleh Robert M. Gagne dan yang paling mutakhir dilakukan oleh suatu komisi yang dibentuk oleh Badan Pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu UNESCO yang dikenal dengan empat pilar fondasi pendidikan yang disusun oleh sebuah komisi yang diketuai oleh Jacques Delors.

1. Taksonomi Bloom

Taksonomi bloom terdiri dari tiga kategori yaitu yang dikenal dengan domain atau ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Ranah-ranah ini adalah perilaku yang memang diniatkan untuk ditujukan kepada peserta didik atau pembelajar dalam cara-cara tertentu, misalnya bagaimana mereka berfikir (ranah kognitif), bagaimana mereka bersikap dan merasakan sesuatu (ranah afektif) dan bagaimana berbuat (ranah psikomotorik).

a. Ranah kognitif

Pada ranah kognitif ini terdapat tingkatan yang mulai dari hanya bersifat pengetahuan tentang fakta-fakta sampai kepada proses intelektual yang tinggi yaitu dapat mengevaluasi sejumlah fakta. Tingkatan tersebut adalah: 1) Pengetahuan;

2) Pemahaman; 3) Aplikasi;

4) Analisis dan sintesis; 5) Evaluasi.

b. Ranah Afektif

Komponen afektif merupakan keyakinan individu dan penghayatan orang tersebut tentang objek sikap, apakah ia merasa senang atau tidak senang, bahagia atau tidak bahagia. Berdasarkan taksonomi yang dikemukakan (Karthwol, Bloom dan Masia, 1964) sikap disusun lagi sedemikian rupa hingga menunjukkan tahapan yang hirarkis. Tingkatan-tingkatan tersebut dimulai dengan pertama, menerima stimulus secara pasif; kedua memberi respon secara aktif; ketiga, memberi penilaian terhadap respon yang dilakukan; keempat, mengorganisasikan, artinya menjadikan objek tersebut sebagai bagian dari dirinya; kelima, Karakterisasi. Berikut dibahas lebih rinci mengenai hal-hal tersebut:

1) Menerima atau menaruh perhatian; 2) Memberi respon;

3) Memberi penilaian; 4) Pengorganisasian; 5) Karakterisasi; c. Ranah psikomotorik

Belajar psikomotorik menekankan keterampilan motorik yaitu bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot.

2. Kategori jenis belajar menurut Robert M. Gagne

Kategori belajar menurut Gagne meliputi lima jenis kemampuan manusia yaitu:

a. Kecakapan intelektual

Gagne membagi-bagi jenis belajar ini ke dalam hirarki yang dimulai dengan belajar membedakan kemudian belajar konsep-konsep, dilanjutkan dengan belajar aturan-aturan dan pada tingkatan akhir adalah belajar memecahkan masalah.

b. Strategi kognitif

Strategi kognitif merupakan cara yang digunakan individu yang belajar mengatur proses dalam dirinya.

c. Strategi kognitif

Verbal karena informasi dirumuskan dalam kalimat dan dinyatakan dalam tulisan atau percakapan.

d. Belajar kecakapan motoris

Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motoris bukan saja karena ia melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga karena mereka melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu. Kelancaran serta ketepatan waktu kecakapan motoris dapat diperbaiki dengan latihan yang terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup panjang.

e. Belajar sikap dan nilai

Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya. Sikap memiliki komponen afektif atau emosional, aspek konatif dan berakibat pada tingkah laku. 3. Kategori jenis belajar menurut UNESCO

Menyikapi perkembangan dunia yang sangat cepat berubah, UNESCO membentuk komisi untuk menggali konsep reformasi dalam bidang pendidikan melalui kegiatan penelitian ke berbagai negara anggota. Komisi ini diketuai oleh Jacques Delors. Laporan komisi Delors mengidentifikasikan empat pilar sebagai fondasi yang merupakan pembaharuan dan reformasi pendidikan. Keempat pilar tersebut adalah :

a. Learning to Know

Pada learning to know terkandung makna belajar bagaimana belajar. Dalam hal ini tercakup paling tidak tiga aspek yaitu apa yang dipelajari, bagaimana caranya agar seseorang bisa

mengetahui dan belajar, serta siapa yang melakukan kegiatan belajar.

b. Learning to Do

Konsep ini menekankan kepada bagaimana mempelajari berbagai keterampilan yang berhubungan dengan dunia kerja, profesi dan perdagangan termasuk bagaimana interaksi antara pendidikan dan pelatihan. Secara konseptual, learning to do

mirip dengan learning by doing atau belajar dengan melakukan/mengerjakan, artinya bukan hanya mendengar atau melihat semata-mata. Dalam hal ini pengalaman mempraktekkan suatu kegiatan merupakan alat atau jalan untuk memperoleh pengetahuan dan bukan merupakan hasil kegiatan. Learning to do termanifestasikan oleh berbagai bentuk program latihan dan pendidikan kejuruan.

c. Learning to Live Together

Konsep ini memiliki pengertian belajar hidup bersama secara harmonis dengan menyikapi perbedaan kultur, geografis dan etnik secara arif sehingga mampu mengatasi berbagai konflik. d. Learning to Be

Jenis belajar ini merujuk kepada pengembangan potensi insani secara maksimal. Adanya kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, dengan kebebasan yang lebih besar dan kearifan melakukan pilihan-pilihan yang terpadu dengan rasa tanggung jawab yang kuat.

Menurut Mangkuprawira (2006), paradigma pendidikan (proses pembelajaran) yang terbaru menekankan bahwa sasaran pendidikan diarahkan pada (1) learning to know, (2) lerning to do, (3)

learning to be dan (4) learning to live together (UNESCO). Di masa depan dan siapa pun peserta dan penyelenggaranya maka proses pembelajaran perlu diarahkan pada kegiatan ”belajar untuk belajar” sehingga terbentuk suatu masyarakat belajar.

2.4.2 Prestasi dalam Belajar

Menurut Slameto 2003, Prestasi belajar merupakan output yang sangat penting dan merupakan alat pengukur kemampuan kognitif siswa. Untuk mencapai prestasi belajar yang baik, seorang siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi di sekitar kehidupannya baik yang terjadi di rumah tangga maupun di dalam pergaulan masyarakat. Cara belajar juga menentukan keberhasilan anak dalam mencari prestasi. Belajar teratur dan bertahap (mencicil) akan lebih menanamkan ilmu tersebut dalam diri anak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar selain keadaan gizi adalah hereditas, keadaan sosial ekonomi keluarga, faktor lingkungan, stimulus, fasilitas belajar dan daya tahan tubuh. Prestasi belajar juga dipengaruhi oleh cara belajar dan disiplin diri dalam belajar. Belajar disiplin diri sebaiknya diterapkan semenjak usia muda, agar kebiasaan disiplin sudah terbentuk dan memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial dengan teman-teman. Kebiasaan disiplin diri menjadi pendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi belajar di sekolah. Kognitif yang tinggi tidak menjamin keberhasilan sepenuhnya bila tidak didukung oleh faktor lain yaitu motivasi (Slameto, 2003).

Metode pembelajaran yang dilaksanakan seorang anak, akan menentukan hasil belajar. Jika hasil yang diperoleh tidak memuaskan dapat karena sifat malas belajar seorang anak atau sikap orang tua yang memperlihatkan rasa kecewa atau menekan anak. Anak akan berhasil dalam belajar, bila orang tua mendampingi, membimbing serta mendorong dalam mencapai prestasi yang memuaskan (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Keberhasilan prestasi belajar anak tidak hanya dari dukungan orang tua dan kecerdasan kognitif, akan tetapi didukung dengan kecerdasan emosional.

Kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan belajar seseorang. Kecerdasan emosional memiliki peran yang besar dalam

memperoleh prestasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada diri anak baik fisik maupun psikis akan mempengaruhi keseluruhan pola perilaku termasuk dalam hal pencapaian prestasi belajar (Goleman, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian Nurani (2004), aspek kecerdasan emosional yang dapat mendorong prestasi belajar, yaitu variabel motivasi diri, yang meliputi ketekunan, kemauan contoh dalam mencapai tujuan belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, mencapai prestasi, menyelesaikan tugas sesuai dengan target. Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh kualitas perkawinan, pengasuhan anak, kecerdasan emosional anak.

Prestasi belajar yang dimiliki seorang anak, tidak hanya dilihat dari keberhasilan anak di kelas. Kemampuan remaja dalam bersosialisasi dapat menjadi suatu prestasi juga untuk remaja. Remaja dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki dengan mengikuti berbagai aktivitas, baik aktivitas yang ada di sekolah maupun di luar sekolah (Hurlock, 1994).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Suparno (2001) pada siswa tingkat sekolah dasar, diperoleh fakta terkait dengan permasalahan yang dihadapi dalam proses belajar diantaranya disebabkan adanya gangguan emosi yang dialami oleh anak terutama disebabkan orang tua yang sibuk bekerja. Kemudian pengamatan lain yang dilakukan oleh Utomo dan Ruijter terhadap mahasiswa menunjukkan bahwa masalah belajar disebabkan banyak mahasiswa di rumah tidak mempersiapkan diri untuk belajar, tidak mengerjakan tugas yang diberikan dosen dan hal lain yang berhubungan dengan cara mengajar dosen.

Hasil survei menunjukkan bahwa permasalahan dapat disebabkan mahasiswa merasa sukar mencerna materi yang dianggap sulit, merasa kehilangan gairah belajar karena nilai dari berbagai mata kuliah yang diperolehnya rendah, tidak bisa berkonsentrasi

ketika belajar, tidak cukup tekun mengerjakan tugas-tugas belajar dan adanya perasaan bosan pada materi pelajaran. Masalah juga timbul akibat mahasiswa merasa was-was memikirkan biaya kuliah yang berat, adanya ketidakpuasan akan penilaian yang dilakukan oleh dosen, anggapan bahwa dosen tidak cukup menguasai materi, cara-cara kuliah yang kurang menarik dan kesulitan memahami perkuliahan karena mereka berasal dari latar belakang pendidikan yang konsentrasinya kurang mendukung perkuliahan atau jurusan yang dipilihnya (Suparno, 2001).

Pada umumnya permasalahan bersumber dari dalam dan luar mahasiswa. Permasalahan yang berasal dari dalam diri mahasiswa tersebut adalah rasa bosan, semangat belajar turun, sulit mencerna pelajaran, sulit mengatur waktu, sukar berkonsentrasi, tidak cakap menganalisis soal, sulit memahami buku teks, sulit memahami tugas- tugas dan tidak memiliki cukup keterampilan belajar. Sumber kesulitan eksternal meliputi dosen/tenaga pengajar, penyiapan pengajaran monoton, penilaian tidak adil, tuntutan terhadap jawaban tes tepat seperti yang ada dalam buku dan perkuliahan terlalu teoritis. Selain kedua sumber kesulitan tersebut lingkungan fisik dan sosial ekonomi juga mempengaruhi proses belajar. Hal yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial ekonomi diantaranya fasilitas laboratorium tidak memadai, ruang belajar tidak nyaman, suara bising, mahasiswa lain mencontek saat ujian, buku diperpustakaan kurang, biaya kuliah mahal dan biaya hidup mahal (Suparno, 2001).

Dokumen terkait