• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data untuk penelitian ini terdiri dari metode wawancara dan studi literatur. Metode wawancara dilakukan dengan cara semi terstruktur dimana responden dipilih secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam mekanisme terkait dan merupakan tokoh kunci (key person) dari setiap pihak yang terlibat (stakeholder). Menurut Devers & Frankel (2000), purposive sampling di desain untuk mendapatkan pemahaman dari pemilihan individu atau kelompok yang berpengalaman atau untuk mengembangkan teori atau konsep. Tujuan tersebut dicari oleh peneliti melalui pemilihan kasus yang kaya informasi, dimana individu, kelompok, organisasi, atau perilaku yang menyediakan wawasan terbesar terhadap pertanyaan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap ketua Kelompok Tani Syurga Air beserta 12 dari 32 orang anggotanya, dua orang dari PT.Aetra, dua orang dari LP3ES, satu orang dari Yayasan Peduli Citarum, satu orang dari BPLHD Jawa Barat, satu orang dari BBWSC, satu orang dari Dinas Kehutanan, satu orang dari Dinas Pengelola Sumber Daya Air, dan satu orang dari PDAM

Kota Bandung. Menurut Bernard (2002) diacu dalam Tongco (2007), tidak ada batasan terehadap banyaknya informan yang diambil untuk purposive sampling, selama kebutuhan akan informasi masih dibutuhkan. Selanjutnya menurut Seidler (1974) diacu dalam Tongco (2007), ukuran contoh yang telah dipelajari terhadap jumlah informan yang dipilih secara purposive, ditemukan bahwa setidaknya 5 informan dibutuhkan agar data teruji.

Wawancara semi terstruktur merupakan wawancara lintas para pihak untuk memeriksa atau menambahkan kelompok data yang difokuskan (Reed et al. 2009). Sedangkan studi literatur dilakukan melalui penelusuran dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum yang sedang berjalan dan data pendukung lainnya seperti kondisi Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum, data kependudukan dari desa terkait, dll. Berikut adalah jenis, sumber, dan metode pengumpulan data secara lengkap (Tabel1).

Tabel 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data

No Jenis Data Sumber Data Metode Pegumpulan

Data Data Pokok

1 Skema PJL di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum :

- Latar belakang munculnya mekanisme PJL di lokasi tersebut - Cara penentuan nilai

imbal jasa yang disepakati (dasar,cara perhitungan, dan proses) - Aturan dari mekanisme

yang berjalan - Isi perjanjian - Penegakan aturan (monev, pemberian sanksi, dll) - Perkembangan mekanisme PJL yang dilakukan - Permasalahan yang timbul dalam

pelaksanaan dan solusi yang diambil

 Kelompok Tani Syurga Air  PT Aetra Air Jakarta  Yayasan Peduli Citarum

 Lembaga Penelitian,

Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)  Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Jawa Barat Penelusuran dokumen dan wawancara

Tabel 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data (lanjutan)

No Jenis Data Sumber Data Metode Pegumpulan

Data 2 Keterlibatan para pihak :

- Identifikasi para pihak - Peranan para pihak - Tingkat kepentingan

serta pengaruh para pihak

Hak dan kewajiban para pihak serta pemenuhan hak dan kewajiban tersebut

 Kelompok Tani Syurga Air  PT Aetra Air Jakarta  Yayasan Peduli Citarum

 Lembaga Penelitian,

Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

 Badan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (BPLHD) Jawa Barat

Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan

wawancara

Data Pendukung 3 Kondisi Sub DAS

Cikapundung

 BPDAS Citarum-Ciliwung Penelusuran dokumen dan studi literatur 4 Kondisi sosial-ekonomi

masyarakat

Kantor desa Sunten Jaya Kecamatan Lembang, Bandung Penelusuran dokumen dan wawancara 3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan data dari dokumen perjanjian mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan yang ada dengan tiga jalur analisis data (Miles & Huberman 1992 diacu dalam Agusta 2003), yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data untuk menyederhanakan data, meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat berupa skema atau bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan dengan cara peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.

Untuk mekanisme yang sudah berjalan dievaluasi dengan metode triangulasi, yaitu menyocokkan data yang diperoleh dari studi literatur terhadap dokumen terkait dengan hasil dari observasi lapang dan wawancara. Kemudian penyocokkan data tersebut dianalisis secara deskriptif.

3.4.2 Analisis para pihak

Menurut Groenendijk (2003), para pihak (stakeholder) adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan penerapan sebuah proyek. Para pihak merepresentasikan sistem dengan tujuan, sumberdaya, dan sensitifitas masing-masing. Analisis para pihak berusaha untuk membedakan dan mempelajari pihak-pihak yang didasari oleh atribut mereka dan kriteria yang tepat untuk situasi yang spesifik.

Pihak yang terlibat dianalisis untuk mengetahui peranannya melalui metode pendekatan yang dikembangkan oleh Groenendijk (2003), metode tersebut diawali dengan mengidentifikasi pihak yang terlibat dan mengklasifikasikan pihak tersebut menjadi pihak primer, pihak sekunder, dan pihak eksternal berdasarkan keterkaitannya secara langsung/tidak langsung dengan mekanisme yang ada. Kemudian, tiap pihak yang berbeda tersebut tentunya memiliki atribut yang berbeda untuk dikaji tergantung situasi dan tujuan dari analisis. Atribut kunci dari analisis para pihak adalah kepentingan (interest). Atribut lainnya yang juga dimasukkan dalam analisis adalah pengaruh (influence) dan kepentingan (importance).

 Kepentingan (interest) terhadap tujuan proyek/mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari para pihak. Kepentingan ini mungkin bersimpati terhadap tujuan (para pihak juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh proyek) atau kebalikannya (tujuan proyek bertolak belakang terhadap kepentingan dari para pihak).

 Pengaruh (influence) adalah kewenangan para pihak terhadap proyek- untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi proyek secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan.

 Tingkat kepentingan (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan para pihak pada proyek. Jadi itu merujuk pada masalah, kebutuhan, dan kepentingan para pihak yang merupakan prioritas proyek.

Tabel 2 Kepentingan para pihak Kepentingan

(Interest)

Potensi dampak dari mekanisme Tingkat kepentingan relatif Pihak primer Pihak1 ... Pihak n Pihak sekunder Pihak 1 ... Pihak n Pihak eksternal Pihak 1 ... Pihak n

Pada kolom potensi dampak terhadap mekanisme dapat diklasifikasikan menjadi positif (+), negatif (-), tidak jelas (-/+), dan tidak diketahui (?). Untuk kolom tingkat kepentingan relatif pada tiap pihak diisi berdasarkan kebijakan dan tujuan dari mekanisme dengan skala (1-5).

Kesuksesan sebuah mekanisme sebagian tergantung dari kebenaran asumsi yang dibuat dari para pihak yang berbeda, dan resiko yang dihadapi oleh mekanisme. Beberapa dari resiko akan menimbulkan konflik kepentingan. Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan dari tiap pihak pada sebuah diagram matriks, asumsi dan resiko pada pihak dapat teridentifikasi. Posisi dari para pihak pada kuadran tertentu mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan dan potensi koalisi untuk mendukung mekanisme yang ada. Berikut adalah bentuk matriks tersebut (Gambar 6).

High

Importance

Low Influence High

Gambar 6 Diagram matriks kepentingan dan pengaruh dari tiap pihak.

A B C D Pihak 1 Pihak 2 Pihak 3 Pihak 4 Pihak 5

Kotak A, B, dan C merupakan pihak kunci dari mekanisme yang dapat secara signifikan mempengaruhi mekanisme. Implikasi dari tiap kotak adalah sebagai berikut :

A. Pihak dengan kepentingan yang tinggi terhadap mekanisme tapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa mereka membutuhkan inisiatif khusus jika kepentingan mereka ingin dilindungi.

B. Pihak dengan tingkat pengaruh yang tinggi pada mekanisme dan juga kepentingan yang tinggi terhadap kesuksesan mekanisme. Untuk memastikan koalisis efektif yang mendukung mekanisme, staf mekanisme perlu membangun hubungan kerja yang baik dengan pihak ini.

C. Pihak dengan pengaruh yang tinggi, yang dapat mempengaruhi dampak mekanisme, tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak ini bisa menjadi sumber resiko yang signifikan, dan dibutuhkan monitoring dan manajemen yang hati-hati. Pihak kunci ini dapat menghentikan mekanisme dan perlu diperhatikan.

D. Pihak di kuadran ini dengan pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula terhadap mekanisme, mungkin membutuhkan monitoring yang sedikit atau evaluasi namun dengan prioritas rendah. Mereka bukanlah subjek dari aktivitas mekanisme.

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sub DAS Cikapundung 4.1.1 Letak dan luas

Daerah Sungai Cikapundung terletak di sebelah utara Kota Bandung Provinsi Jawa Barat, dan merupakan bagian hulu Sungai Citarum. Secara administrasi pemerintahan ada di Kabupaten Bandung (meliputi : Kecamatan Lembang, Kecamatan Cilengkrang, dan Kecamatan Cimenyan) serta Kota Bandung (meliputi: Kecamatan Cidadap dan Kecamatan Coblong). Luas daerah Sub DAS Cikapundung secara keseluruhan sekitar 40.491,79 ha dengan panjang sungai 975,49 km dan kerapatan sungai 2,41 km/km2 (BPDAS Citarum Ciliwung 2006). Pada bagian hulu terdapat percabangan sungai yang membentuk dua sub sistem DAS, yang terletak di Maribaya. Percabangan ke arah Barat merupakan sub sistem Cigulung meliputi Sungai Cikidang, Cibogo, Ciputri, dan Cikawari. Sedangkan ke arah Timur meliputi Sungai Cibodas, dan Sungai Cigalukguk (USAID 2007).

Sumber : BPDAS Citarum Ciliwung

4.1.2 Kondisi geografis

Berdasarkan analisis peta geologi lembar Bandung yang dinyatakan dalam bentuk irisan memanjang geologi permukaan, daerah hulu Sungai Cikapundung didasari oleh batuan dasar gunung api tua tak teruraikan, bagian hulu tertimbun oleh material gunung api muda tak teruraikan. Hal tersebut dikarenakan daerah hulu Sungai Cikapundung terdiri dari rangkaian pegunungan tinggi (Gunung Tangkuban Perahu dan Bukit Tunggul). Untuk jenis tanah, daerah hulu Sungai Cikapundung terdiri atas jenis tanah : andosol coklat, asosiasi andosol dan regosol coklat, dan latosol coklat (Darsiharjo 2004). Dari segi kelerangan di daerah Sub DAS Cikapundung, terdiri dari kelerengan 0-8% (8.212,82 ha), 15-25% (18.723,60 ha), 25-40% (2.867,88 ha), >49% (10.687,73 ha) (BPDAS Citarum Ciliwung 2006).

4.1.3 Curah hujan

Curah hujan berdasarkan pemantauan 6 stasiun (Margahayu, Kayu Ambon, Cemara, Dago Pakar, Lembang, dan Buah Batu) berkisar antara 1500-2400 mm/tahun dengan hari hujan berkisar antara 96-220 hari dan curah hujan maksimum 89 mm (USAID 2007).

4.1.4 Luas dan tata guna lahan

Tataguna lahan di Sub DAS Cikapundung meliputi : hutan lahan kering sekunder 5.204,90 ha (12,85%), hutan tanaman 54,39 ha (0,13%), pemukiman 18.615 ha (45,97%), pertanian lahan kering 10.336,63 ha (25,53%), pertanian lahan kering campuran 4.162,35 ha (10,28%), sawah 1.917,65 ha (4,74%), tanah terbuka 200,25 ha (0,49%) (BPDAS Citarum Ciliwung 2006).

4.1.5 Sosial ekonomi penduduk

Terdapat kurang lebih 71.875 penduduk yang bermukim di sekitar Sungai Cikapundung dengan tingkat kepadatan menengah ke bawah (Ari 2008). Tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi dengan sebagian penduduk yang tinggal di wilayah Sub DAS Cikapundung dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Untuk mata pencaharian, sebagian besar penduduk bergantung pada sektor pertanian (35,6%), baik bercocok tanam, beternak, maupun berkebun atau wana tani. Pada tingkat pendidikan, masyarakat tersebut masih tergolong rendah karena sebagian

besar hanya tamat SD bahkan ada yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (USAID 2007).

4.2 Penyedia Jasa Lingkungan

Masyarakat Desa Sunten Jaya yang tergabung dalam Kelompok Tani Syurga Air merupakan masyarakat yang bersedia berperan sebagai penyedia jasa lingkungan. Desa Sunten Jaya terletak di Kecamatan Lembang pada ketinggian 1200 m dpl yang memiliki mata-mata air yang potensial sebagai sumber air di daerah-daerah sekelilingnya, termasuk menjadi suplai air untuk Sungai Cikapundung (daerah tangkapan air Sub DAS Cikapundung) yang bermuara ke Sungai Citarum di daerah Dayeuh Kolot. Berdasarkan Profil Desa Sunten Jaya (2009), jumlah mata air yang berada di desa ini sebanyak 6 sumber mata air dalam kondisi baik yang dimanfaatkan oleh 2.068 kepala keluarga.

Luas Desa Sunten Jaya 4.556,56 km2 dengan total populasi 7.032 jiwa. Rata-rata penduduk desa ini memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, pedagang, pegawai negeri, buruh migran, dan jasa ojek. Sebagian besar lahan desa digunakan sebagai lahan pertanian termasuk bercocok tanam di daerah-daerah lereng bukit dengan kemiringan yang cukup tajam, atau sekitar 30° (57,7%) menurut profil desa tahun 2009. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya lahan kritis setiap tahun yang hingga saat ini mencapai sekitar 160 ha (Yayasan Peduli Citarum 2011). Sementara untuk kegiatan peternakan sapi perah, sekitar 3000 ekor sapi dimiliki 35% penduduk desa yang bekerja sebagai peternak dengan produksi per hari rata-rata 10-15 liter susu dari tiap ekor sapi. Namun, peternak tersebut memiliki kebiasaan untuk membuang kotoran ternak langsung ke aliran sungai karena aliran sungai tersebut tidak digunakan warga sebagai sumber air bersih (USAID 2007).

Gambar 8 Mata pencaharian mayoritas desa Sunten Jaya sebagai petani sayur dan peternak.

Gambar 9 Peta lokasi penyedia jasa lingkungan (Desa Sunten Jaya) Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum.

4.3 Pembeli Jasa Lingkungan

PT Aetra Air Jakarta merupakan industri pengelola air baku air minum bagi area industri, area bisnis maupun pemukiman penduduk di wilayah operasional Aetra, meliputi Jakarta Timur, sebagian Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Aetra mendapat konsesi untuk melakukan usaha selama 25 tahun berdasarkan Perjanjian Kerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya). Kerjasama ini berlaku efektif sejak tanggal 1 Februari 1998 hingga tanggal 31 Januari 2023. Aetra bertanggung jawab untuk mengelola, mengoperasikan, memelihara, serta melakukan investasi untuk mengoptimalkan, menambah dan meningkatkan pelayanan air bersih di wilayah operasional Aetra, yaitu sebelah timur Sungai Ciliwung yang meliputi sebagian wilayah Jakarta Utara, sebagian wilayah Jakarta Pusat dan seluruh wilayah Jakarta Timur (Anonim2 2011). Sumber air baku PT. Aetra berasal dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II), yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat (Kalimalang). Produk utama PT. Aetra adalah air bersih perpipaan. Air didistribusikan ke pelanggan rumah tangga dan industri yang berada di area operasionalnya melalui jaringan perpipaan (PT. Aetra Air Jakarta 2009).

Kapasitas produksi air PT. Aetra adalah sebesar 9000 liter/detik dengan standar kualitas air minum sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/Menkes/PER/IV/2010 untuk melayani 386.400 pelanggan (PT. Aetra Air Jakarta 2011). Untuk memproduksi air dengan standar tersebut seringkali PT. Aetra berhadapan dengan masalah kualitas air baku yang buruk. Dari segi standar kekeruhan misalnya, sering kali didapatkan air baku dengan kekeruhan 2.000- 3.000 NTU, bahkan sampai 28.000 NTU sedangkan stndar kekeruhan untuk kualitas air baku adalah 200 NTU (Kompas 2010). Selain itu dari hasil pengukuran amonia telah mencapai lebih dari 1,7 ppm sedangkan pada kondisi normal hanya berkisar maksimum 0,5 ppm (Anonim 2010).

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Mekanisme Inisiatif Pembayaran Jasa Lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

5.1.1 Latar belakang mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

DAS Citarum sebagai salah satu DAS terbesar di Jawa Barat memiliki peranan yang besar terhadap kebutuhan air di daerah sekitarnya bahkan sampai DKI Jakarta. Namun, peranan yang besar tersebut tidak diikuti dengan kondisi DAS yang baik seperti kualitas air yang buruk, laju transpor sedimen yang tinggi, erosi, dll. Menurut Pusat Litbang SDA (2008), status mutu air Sungai Citarum bagian hulu dan hilir dengan Metoda Indeks Pencemaran, terhadap Baku Mutu Air Klas II dari PP 82/2001 tegolong ke dalam tercemar berat dan untuk skala nasional Sungai Citarum termasuk kategori sungai super prioritas berdasarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No.19/1984; Menteri Kehutanan No.059/1984 dan Menteri Pekerjaan Umum No.124/1984. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) bahwa kualitas air waduk saguling (bagian dari DAS Citarum) sudah di atas ambang normal. Kandungan merkuri (Hg), misalnya meroket hingga menembus angka 0,236 padahal menurut standar baku mutu, angka aman adalah 0,002 (Sanjaya 2011). Penyebab dari kondisi tersebut antara lain akibat dari aktivitas manusia seperti pembuangan limbah industri, rumah tangga, pertanian, dan pertenakan langsung ke badan sungai dan terutama adalah perubahan penggunaan lahan di daerah hulu yang menyebabkan naiknya laju aliran permukaan (Farida et al 2006). Menurut Poerbandono (2006), konversi hutan menjadi lahan terbuka pada DAS Citarum hulu dengan luas yang memiliki dampak spasial yang berarti berada pada wilayah yang mengalami peningkatan laju ekspor sedimen tahunan yang melebihi 100 ton/km2. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut tentunya tidak sedikit, sedangkan penggunaan dana yang didapatkan dari pajak air dan iuran penggunaan air dari PJT II masih belum tepat sasaran. Berdasarkan kondisi tersebut, LP3ES yang

merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat mencoba untuk menginisiasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment Environmental Service) di DAS Citarum. Inisiasi mekanisme ini mendapatkan bantuan dana dari Asian Development Bank (ADB) terutama untuk proses persiapan prakondisi terimplementasinya mekanisme pembayaran jasa lingkungan ini.

5.1.2 Proses penerapan mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum

Langkah awal yang ditempuh LP3ES dalam menginisiasi mekanisme ini adalah mengajukan mekanisme ini ke pemerintah terkait seperti Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Jawa Barat (BPSDA Jabar), Balai Besar Sungai Wilayah Citarum (BBWSC), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD Jabar) untuk berkonsultasi mengenai keberlanjutan mekanisme ini. Dari tiga lembaga pemerintahan tersebut, BPLHD Jawa Barat merupakan lembaga yang paling merespon dan menanggapi mekanisme ini.

Kemudian dilakukan proses konsultasi antara LP3ES dengan BPLHD untuk menentukan daerah hulu yang memungkinkan akan menjadi lokasi pelaksanaan mekanisme ini. Pada awalnya, pihak BPLHD merekomendasikan dua lokasi untuk implementasi mekanisme ini, yaitu di daerah Bandung Selatan (Sub DAS Cisangkuy) dan di daerah Bandung Utara (Sub DAS Cikapundung). Evaluasi lapang dilakukan terhadap dua lokasi tersebut dan pada akhirnya LP3ES lebih condong kepada lokasi di Bandung Utara (Sub DAS Cikapundung). Sub DAS Cisangkuy dirasakan kurang cocok karena di lokasi ini sudah ada program konservasi yang berjalan cukup baik namun dengan skema yang berbeda dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan sehingga dikhawatirkan jika dilakukan implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di lokasi ini akan menjadi tidak efektif.

Evaluasi lapang dilakukan atas dasar beberapa kriteria seperti: ketersedian kelembagaan petani yang cukup solid, lokasi strategis pembangunan pemerintah daerah, telah terjadi degradasi lingkungan, ada kesiapan anggota kelompok tani, dan ada keterlibatan dari pemerintah untuk menentukan lokasi. Setelah ada kesediaan dan kesiapan dari kelompok tani di daerah tersebut untuk dijadikan lokasi implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan ijin dari

pemerintah daerah (bukan hanya BPLHD Jabar tetapi juga BBWSC), langkah selanjutnya adalah penguatan kelompok petani untuk lebih siap terlibat dalam mekanisme ini. Setelah kelompok tani siap, selanjutnya dilakukan pendekatan terhadap pemanfaat air yang bersedia untuk memberikan sejumlah kompensasi terhadap kelompok tani tersebut untuk usaha mereka merehabilitasi lahan kritis di lahan milik mereka.

Beberapa pendekatan telah dilakukan ke beberapa pemanfaat air potensial untuk terlibat dalam mekanisme ini sebagai pembeli jasa lingkungan. Pemanfaat tersebut antara lain PT Indonesia Power, PJT II, PT. Palyja, APPLI (Asosiasi pengendali Pencemaran Lingkungan), PDAM Kota Bandung, dan PT. Aetra. Dari beberapa pemanfaat air tersebut hanya PT. Aetra yang baru bersedia untuk menjadi pembeli jasa lingkungan dan terlibat langsung dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Pemanfaat lainnya belum berkepentingan menjadi pembeli jasa lingkungan karena menurut mereka, mereka sudah membayar pajak air atas air yang mereka manfaatkan dan mereka juga sudah melakukan program proteksi lingkungan daerah hulu dengan titik dan mekanisme yang berbeda dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan ini. Sehingga akhirnya dibuatlah kesepakatan antara PT. Aetra sebagai pembeli jasa DAS dengan membayar sejumlah kompensasi kepada Kelompok Tani Syurga Air sebagai penyedia jasa dengan melakukan upaya rehabilitasi lahan kritis daerah hulu seluas 22 ha. Sebenarnya ada pihak lain yang bersedia menjadi pembeli jasa lingkungan, yaitu Pusat Standardisasi Lingkungan (Pustanling), Kementrian Kehutanan. Pustanling yang bersedia memberikan sejumlah kompensasi kepada Kelompok Tani Giri Putri di Desa Cikole, Lembang Bandung atas usaha kelompok tani untuk merehabilitasi lahan kritis seluas 33 ha. Namun dalam penelitian ini hanya fokus pada perjanjian antara PT. Aetra dengan Kelompok Tani Syurga Air.

5.1.3 Penetapan nilai imbal jasa yang disepakati

Nilai imbal jasa lingkungan yang disepakati kedua belah pihak, yaitu pihak PT. Aetra dan Kelompok Tani Sunten Jaya adalah sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Nilai tersebut dibayarkan oleh PT. Aetra kepada Kelompok Tani Syurga Air sebagai kompensasi terhadap upaya Kelompok Tani Syurga Air untuk menanami lahan kritis di desa Sunten Jaya seluas 22 ha sesuai dengan

perjanjian yang disepakati. Besaran nilai tersebut disepakati atas dasar jumlah uang yang dibutuhkan petani untuk menanam satu batang pohon dan biaya teknik pengelolaan lahan serta kemampuan dari pihak PT. Aetra untuk mengeluarkan dana. Berdasarkan dana dan luasan yang sudah disepakati tersebut maka petani mendapatkan kompensasi sebesar Rp 10.000,- per batang untuk tanaman kayu (suren dan ekaliptus) dan Rp 1.500,- per batang tanaman kopi yang mereka tanam. Sehingga pada areal 22 ha tersebut ditanami sebanyak 20.000 bibit kopi, 1.000 bibit suren, dan 1.000 bibit eukaliptus.

Dana yang dikeluarkan oleh PT. Aetra merupakan bagian dari alokasi dana CSR perusahaan mereka. Sebenarnya dana yang dikeluarkan untuk kompensasi tersebut dapat dihitung berdasarkan biaya tambahan yang dikeluarkan akibat pengaruh penurunan kualitas lingkungan seperti biaya penggunaan bahan kimia untuk memperbaiki kualitas air. Penurunan kualitas lingkungan tersebut tentunya semakin lama akan semakin parah jika tidak ada upaya perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi dan konservasi lahan dan air dan tentunya berimplikasi terhadap biaya untuk mengatasi penurunan kualitas air yang semakin mengingkat juga. Jika alokasi biaya tambahan tersebut dialokasikan untuk biaya perbaikan lingkungan, maka tentunya akan menjadi sebuah investasi jangka panjang yang menguntungkan (Tampubolon 2009). PT Aetra Air Jakarta sendiri mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia untuk memperbaiki kualitas air sebesar Rp 87,32 juta per tahun selama kurun waktu 1998-2005 (10,61%) atau Rp 64,00 per m3 biaya produksi air minum (Tampubolon et al. 2007). Besaran biaya tersebut