• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan awal terhadap lembaga pemerintahan terkait untuk terlibat

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Pendekatan awal terhadap lembaga pemerintahan terkait untuk terlibat

langsung dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan

preliminary workshop mengenai

pembayaran jasa lingkungan yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan

working group untuk memberikan

pemahaman awal mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan

Kesulitan pertama adalah dalam meyakinkan masyarakat untuk mengubah praktek pertanian sayur yang tidak ramah lingkungan menjadi praktek perkebunan multistrata yang lebih ramah lingkungan karena masyarakat sudah terbiasa dan merupakan mata pencaharian utama mereka. Kesulitan selanjutnya yaitu mengajak pihak swasta atau badan usaha untuk memberikan kompensasinya, karena menurut mereka sudah ada pajak air dan mereka juga merasa sudah punya program penghijauan lain. Selain itu kesulitan lainnya adalah dalam pendekatan awal terhadap lembaga pemerintahan yang mempunyai wewenang langsung terhadap DAS Citarum untuk terlibat aktif secara langsung. Kesulitan tersebut dikarenakan masing-masing lembaga pemerintahan yang terkait pengelolaan DAS Citarum cenderung terpaku pada program yang mereka miliki. Menurut Rahardja (2010), secara umum organisasi pengelola DAS Citarum menyadari kepentingan bersama, namun dalam prakteknya lebih mengedepankan kepentingan sendiri, sedangkan konsistensi dan komitmen masih rendah.

Beberapa kendala tersebut kemudian mulai diusahakan untuk dicarikan solusinya. Pada kendala masyarakat misalnya, solusi yang dilakukan adalah dengan pendekatan langsung dan diskusi panjang bersama petani dengan posisi petani sebagai subjek bukan objek untuk mengubah pola pikir mereka terhadap lingkungan. Sehingga dalam pendekatan tersebut secara aktif petani diajak untuk membuka wawasan mereka secara bersama-sama terhadap apa yang telah terjadi dengan lingkungan mereka. Solusi untuk kendala ini sebenarnya dipermudah dengan adanya program terkait lingkungan sebelum adanya mekanisme ini. Beberapa orang di Desa Sunten Jaya telah mengikuti program sekolah lapang yang dimotori oleh USAID, yaitu program dimana masyarakat diajak bersama- sama untuk meneliti masalah lingkungan yang dihadapi di sekitar mereka. Program tersebut merupakan program yang panjang dimana terdapat 16 kali pertemuan yang tujuannya adalah membentuk pola pikir masyarakat menjadi ramah lingkungan. Dengan adanya program ini sebelumnya, maka pendekatan terhadap petani untuk terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan menjadi lebih ringan atau dengan kata lain tidak harus dari nol membangun pola pikir petani. Walaupun tidak semua anggota kelompok tani ikut program ini, tetapi beberapa anggota yang ikut dapat mempengaruhi anggota lainnya dan

dengan bantuan dari ketua kelompok tani untuk mensosialisasikan program ini, sehingga seluruh anggota kelompok tani bersedia untuk ikut terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan ini.

Untuk kendala dalam mengajak pihak-pihak dari lembaga pemerintahan dan swasta atau badan usaha, maka dilakukan preliminary workshop mengenai pembayaran jasa lingkungan yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan working group untuk memberikan pemahaman awal mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan secara bertahap dan bersama-sama membangun keterlibatan para pihak yang lebih luas untuk implementasi mekanisme ini dan diharapkan selanjutnya dari working group ini dapat berkembang menjadi sebuah lembaga pembayaran jasa lingkungan dan juga pemberdayaan masyarakat sekitar DAS Citarum.

5.5 Evaluasi Mekanisme Inisiatif Pembayaran Jasa Lingkungan Berdasarkan Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan dari Wunder (2005)

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang sudah terjadi di Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum dapat dibandingkan dengan prinsip pembayaran jasa lingkungan (Payment Environment Services) yang dikembangkan oleh Wunder (2005). Apakah mekanisme yang terjadi sudah sesuai dengan prinsip tersebut atau terdapat beberapa penyesuaian yang mendekati prinsip tersebut.

Prinsip pertama yang dikembangkan oleh Wunder (2005) adalah transaksi sukarela (voluntary transaction). Transaksi sukarela didefinisikan sebagai kesepakatan yang tidak dipaksakan, dan sangat berbeda dari ukuran perintah dan pengendalian. Pada studi kasus ini (Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum), transaksi yang terjadi antara PT. Aetra dengan Kelompok Tani Syurga Air terjadi secara sukarela walaupun awalnya difasilitasi untuk dipertemukan dalam mekanisme ini oleh pihak LP3ES. PT. Aetra bersedia untuk membayar sejumlah kompensasi kepada pihak penyedia jasa lingkungan yaitu Kelompok Tani Syurga Air yang bersedia mengkonservasi lahan milik mereka tanpa ada paksaan dari siapapun. Pembayaran jasa lingkungan tersebut tentunya di luar dari pajak air dan iuran penggunaan air yang harus dibayarkan oleh pihak PT. Aetra.

Prinsip selanjutnya, yaitu jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan baik, jasa lingkungan tersebut dapat berupa jasa yang secara langsung dapat terukur

atau penggunaan lahan yang dapat membantu penyediaan jasa lingkungan tersebut. Pada studi kasus ini, jasa yang dipertukarkan adalah jasa lingkungan berupa perbaikan tutupan lahan di daerah hulu untuk perbaikan tata air yang diperlukan PT. Aetra sebagai sumber air baku. Walaupun telah diketahui bahwa hutan dapat membantu ketersediaan jasa air, hubungan secara kualitatif dan kuantitatif antara hutan dan jasa air seringkali sedikit dimengerti secara ilmiah (Chomitz dan Kumari 1998 diacu dalam Prasetyo et al 2009). Titik perbaikan tutupan lahan dalam kasus ini masih sangat kecil dan tidak diketahui dampaknya terhadap tata air. Menurut Wunder et al. (2008), pembayaran jasa lingkungan tidak dapat berdasarkan variabel yang tidak dapat diobservasi oleh penyedia jasa lingkungan. Contohnya, petani tidak mempunyai cara untuk mengobservasi bagaimana kegiatan penggunaan lahan mereka mempengaruhi penyediaan jasa air untuk masyarakat hilir yang jauh.

Prinsip selanjutnya adalah jasa lingkungan yang dibeli oleh minimal satu pembeli jasa lingkungan dari minimal satu penyedia jasa lingkungan. Pada kasus ini PT. Aetra bertindak sebagai pembeli jasa lingkungan. PT. Aetra merupakan pemanfaat aliran air Sungai Citarum melalui Kanal Barum Barat sehingga pihak ini memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan jasa lingkungan (air) yang menurutnya dapat dicapai jika daerah tangkapan air terjaga. Pihak yang menjadi penyedia jasa lingkungan adalah Kelompok Tani Syurga Air. Pihak ini merupakan masyarakat hulu DAS yang mempunyai sejumlah lahan milik di daerah tangkapan air. Kegiatan yang dilakukan pada lahan tersebut tentunya berpengaruh tata air di bawahnya.

Prinsip yang terakhir, yaitu jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan melindungi ketersediaan jasa lingkungan. Pada kasus ini kondisi seperti yang diharapkan dari prinsip tersebut hanya diaplikasikan pada tahapan rehabilitasi lahan dan pembayaran dilakukan jika penanaman tanaman multistrata telah dilakukan sesuai dengan luasan yang disepakati. Untuk kondisi berupa keberlanjutan ketersediaan jasa air yang berkualitas masih belum dapat tercapai karena titik rehabilitasi lahan yang cakupannya sangat kecil (22 ha) dibandingkan dengan luas lahan kritis secara keseluruhan satu DAS (30.540,30 ha (BPDAS Citarum Ciliwung 2006)). PT. Aetra dalam hal ini tidak dapat berharap banyak

selain dari cakupan titik rehabilitasi lahan yang kecil, jarak dari titik rehabilitasi sampai lokasi pengolahan air baku PT. Aetra di Jakarta sangat jauh. Sehingga resiko tersemarnya air sepanjang perjalanan dari titik rehabilitasi ke pembeli jasa lingkungan sangat besar. Terlebih lagi kanal Tarum Barat yang dimanfaatkan oleh PT. Aetra dilalui oleh tiga persimpangan sungai (Sungai Cibeet, Sungai Cikarawang, dan Sungai Bekasi) melalui aliran terbuka yang menyebabkan aliran air dari Sungai Citarum tercampur dengan air dari tiga sungai tersebut dengan resiko kondisi ketercemaran air yang semakin buruk.

BAB VI