PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK
TINJAUAN UMUM
1.3 Jenis-Jenis Pidana Menurut KUHP
Menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas:
1. Pidana Pokok: a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda; e. Pidana tutupan. 2. Pidana Tambahan:
a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim.
1. Pidana Pokok Ad. 1 a. Pidana Mati
Pidana mati adalah pidana yang terberat menurut perundang-undangan pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas kepentingan umum, yaitu jiwa atau nyawa manusia. Dalam masalah pidana
mati ini pada dasarnya dapat ditegaskan bahwa “KUHP yang berlaku di Indonesia seharusnya konkordan atau sesuai dengan wetboek van strafrecht
yang berlaku di negara Belanda”. Dikatakan seharusnya karena pada
kenyataannya di Belanda pada waktu wetboek van strafrecht itu sendiri terbentuk pada tahun 1881 orang di negeri Belanda sudah tidak mengenal lagi PIDANA MATI, karena lembaga pidana mati itu sendiri telah dihapuskan dengan Undang-undang tanggal 17 September 1870 (Stb. 1870
13
M. Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kreasi Wacana, Yogyakarta, h. 16
No. 182) dengan alasan yang terutama bahwa pelaksanaan atau eksekusi pidana mati itu di Negeri Belanda sudah jarang dilakukan karena para terpidana hukuman mati hampir selalu telah mendapatkan pengampunan atau grasi dari raja. Akan tetapi mereka tetap mempertahankan lembaga pidana mati itu di dalam:
1. KUHP Militer mereka, dengan diancamkan bagi kejahatan-kejahatan: a) Yang telah dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang; b) Yang telah dilakukan oleh anggota militer untuk kepentingan
musuh, dan
2. Bagi beberapa kejahatan yang telah disebutkan di dalam CRIMINEEL WETBOEK;
3. Dan apabila kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan di atas kapal yang sedang berada di atas lautan bebas atau sedang berada di atas perairan dari negara-negara asing baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.
Utrecht menyatakan, hukuman mati di banyak negeri tidak lagi dikenal. Hakim di negeri Belanda tidak lagi menetapkan pidana mati. Sejak tahun 1870 hukum pidana mengenai hukum penjara seumur hidup sebagai hukuman terberat. Hal ini tidak diikuti di daerah koloni, artinya masih dipertahankan karena keadaan istimewa di daerah-daerah koloni.14
Oleh karenanya pidana mati ini masih kontroversial dikarenakan ada
sebagian orang yang menginginkan pidana mati ini dihapuskan dan sebagian
lagi menginginkan agar pidana mati dipertahankan.
Ad. 1 b. Pidana Penjara
Yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Pidana penjara sudah dikenal orang sejak abad keenam belas atau abad ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini, pidana
14
penjara pada waktu itu dilakukan orang dengan menutup para terpidana di menara-menara, di puri-puri, di benteng-benteng lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk sementara maupun yang untuk seumur hidup.
Pidana penjara sebagaimana yang dapat kita jumpai dewasa ini baru mulai berkembang sejak dihapuskannya pidana mati atau pidana badan di berbagai negara, tetapi perlakuan terhadap para terpidana di dalam rumah-rumah penjara seringkali sifatnya adalah tidak manusiawi.
Banyak usaha yang telah dilakukan orang agar perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para terpidana segera dapat dihentikan dan diganti dengan tindakan-tindakan yang bersifat lebih lunak. Yang paling berjasa untuk mengubah pandangan orang terhadap orang-orang terpidana di dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan adalah seorang berkebangsaan Inggris bernama John Howard, yang mempunyai pengaruh bagi pembaharuan di seluruh dunia.
Sejak abad ketujuh belas, dimana-mana orang mulai membangun apa yang disebut wekplaatsen atau lembaga-lembaga penertiban dan apa yang disebut werkplaatsen atau lembaga-lembaga kerja, mula-mula di Amsterdam, kemudian di Hanzesteden, semuanya di negeri Belanda yang kemudian disusul dengan lembaga-lembaga yang sejenis hampir di seluruh Eropa, antar lain apa yang disebut verbeterhuis atau lembaga untuk memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma pada tahun 1703 dan apa yang disebut tuchthuis atau lembaga penertiban di Gent pada tahun 1775.
Sejak saat itu orang menghendaki agar pidana penjara mempunyai tujuannya yang tersebdiri, yaitu bukan saja dengan maksud untuk menutup dan membuat jera para terpidana melainkan juga memperbaiki para terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka untuk menaati peraturan tata tertib dan mendidik mereka secara sistematis untuk melakukan macam-macam pekerjaan.
Dengan tujuan seperti itulah apa yang disebut tuchthuizen, rasphuizen dan apinhuizen di Amsterdam dan Hanzesteden itu telah dibangun, yakni dengan maksud agar para pengemis, para pemabok, para pelacur dan remaja-remaja yang telah mendapat pengaruh dari penjahat dapat membiasakan diri dengan melakukan berbagai pekerjaan yang berguna bagi mereka, apabila mereka sewaktu-waktu dikembalikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat normal.
Tuchthuis secara harfiah artinya rumah penertiban. Yang dimaksud dengan tuchthuis di atas adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat, sedangkan rasphuis adalah rumah penjara di mana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana cara melicinkan permukaan dari benda-benda dari kayu dengan menggunakan ampelas. Spinhuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya memintal benang.15
Ad. 1 c. Pidana Kurungan
Niniek Suparni mengemukakan „Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup
masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman
penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang’.16
Sama halnya dengan pidana, pidana kurungan juga merupakan suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut mentaati semua peraturan
tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan
dengan suatu tindakan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka
yang melanggar peraturan tersebut.
Lembaga pidana kurungan sebenarnya berasal dari lembaga
emprisonnment pour contravention depolice yang terdapat di dalam Code Penal
15
PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 55-56.
16
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dalam Sistem Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.
Perancis. Pidana kurungan mempunyai pengertian yang sama dengan Half di
Jerman atau dengan arresto di Italia.
Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang
dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan
kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang
telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah diatur di
dalam Buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Akan tetapi pidana
kurungan bukan merupakan pidana pokok, yang diancamkan semata-mata bagi
pelanggaran-pelanggaran, karena di dalam Buku ke-II Kitab Undang-undang
Hukum Pidana kita juga dapat menjumpai sejumlah kejahatan yang oleh
pembentuk undang-undang telah diancam dengan pidana kurungan, yakni yang
telah diancam secara alternatif dengan pidana penjara bagi mereka yang telah
melakukan culpose delicten atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak
disengaja.
Menurut penjelasan di dalam Memorie van Toelichting, dimasukkannya
pidana kurungan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah
terdorong oleh dua macam kebutuhan masing-masing, yaitu:
a. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana
berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu verijheidsstraf
yang sifatnya sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan, dan
b. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan
yang menurut sifatnya tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental
atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya, ataupun
yang juga sering disebut sebagai suatu custodia honesta belaka.
Custodia honesta seperti itu adalah misalnya apa yang dikenal orang sebagai detention di Prancis, sebagai Einschliessung di Prusia, sebagai Festungshalf di Jerman, sebagai overtrading di negeri Belanda, ataupun sebagai pelanggaran
di Indonesia.
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu dari dan
selama-lamanya satu tahun.
Akan tetapi, lamanya pidana kurungan tersebut dapat diperberat hingga satu tahun dan empat bulan, yaitu karena terjadinya samenloop, suatu recidive atau karena tindak pidana yang bersangkutan telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus, atau karena pegawai negeri tersebut pada waktu melakukan tindak pidananya telah menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang ia peroleh karena jabatannya.17
Ad. 1 d. Pidana Denda
Pidana denda adalah merupakan bentuk pidana denda tertua bahkan
lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Adalah
merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan
17
keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran uang
sejumlah tertentu.18
Minimum pidana denda adalah Rp. 0,25 (dua puluh lima sen) x 15.
Maksimumnya tidak ditentukan secara umum melainkan ditentukan dalam
pasal-pasal dari tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku-II dan buku-III
KUHP. Di luar KUHP adakalanya ditentukan dalam 1 atau 2 pasal bagian
terakhir dari perundang-undangan tersebut untuk norma-norma tindak pidana
yang ditentukan dalam beberapa pasal yang mendahuluinya. Di dalam KUHP
sebelum dirubah pasal 303 maksimum denda yang tertinggi diancamkan
terdapat dalam Pasal 403 yaitu Rp. 10.000,00 x 15 = Rp. 150.000 yang nota
bene merupakan ancaman pidana tunggal. Maksimum pidana denda untuk Pasal
303 KUHP setelah dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1974 jumlah
dendanya sebesar Rp. 25.000.000 jika terpidana tidak mampu membayar pidana
denda yang dijatuhkan kepadanya maka dapat diganti dengan pidana kurungan
dan pidana demikian kemudian disebut sebagai pidana kurungan pengganti.19