i
TESIS
TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN HAK MEMILIH
DAN DIPILIH SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I WAYAN DHARMA NA GARA NIM: 1290561049
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN HAK MEMILIH
DAN DIPILIH SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Tesis Ini Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I WAYAN DHARMA NA GARA
NIM: 1290561049
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 26 FEBRUARI 2016
Pembimbing I,
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H.,M.Hum. NIP: 194612311976021001
Pembimbing II,
Dr. I Dewa Made Suartha, S.H.,M.H. NIP: 1957121219860110001
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM. NIP: 196111011986012001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 5 Februari 2016
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana
Nomor 0269/UN14.4/HK/2016 tanggal 15 Januari 2016
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H.,M.Hum.
Sekretaris : Dr. I Dewa Made Suartha, S.H.,M.H.
Anggota : 1. Dr. I Gede Artha, S.H.,M.H.
2. Dr. I Gde Made Swardhana, S.H.,M.H.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : I Wayan Dharma Na Gara
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih Dan Dipilih
Sebagai Pidana Tambahan Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima
sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menter Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor: 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 5 Februari 2016,
Yang menyatakan,
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu, ’Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Syalom, Namo Budaya, Salam Sejahtera Bagi Semua Makhluk Hidup.
Atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini dengan Judul ”Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih
dan Dipilih Sebagai Pidana Tambahan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi” yang mana disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan dalam penyelesaian tesis ini telah mendapat banyak dukungan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan hormat kepada:
vii
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LL.M., beserta jajarannya atas kesempatan, dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum., atas kesempatan, arahan, dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
viii
Sembah sujud syukur dan terima kasih penulis berikan kepada orang tua penulis antara lain: I Ketut Sudjana, B.Sc., dan Sherly Luwis serta tidak lupa peluk dan cinta kepada adik penulis: Ni Made Krishin Na Gara, S.H., kekasih tercinta: Ni Made Mitarsih Sri Agustini, S.H., juga kepada keponakan penulis: Velove Farelya, Shank, Poci, Alexander, Kapon dan kerabat lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu pada kesempatan ini.
Atasan penulis yakni Bapak Josep Robert Khuana, S.H., Bapak Drs. I Ketut Ngastawa, S.H.,M.H., sahabat dan rekan-rekan sekantor penulis: I Wayan Sudiarta, S.H., I Wayan Rudi, Johannes Maria Vianney G., S.H., Haratua Silitonga, S.H., Mas Khusnul Hakim, S.E., I Gusti Ayu Anggun, S.H., serta Mbok Tjokorda Istri Manik Susantini, S.E., yang dengan sabar membimbing dan memberikan kesempatan, waktu, pemikiran, solusi kepada penulis sehingga tesis ini dapat rampung dan selesai. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa dan Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012, Kristianti, Dayu Anastasiarani, Gung Dian, Rizky, Pasek, Pak Wenten, Bu Sri, Gung Mas, Ratih, Trisna, Bu Sinar, Pak Dewa, Mbok Gita, tak lupa teman-teman S1 penulis: Dian, Widya dan Sastra yang mana kesemuanya selalu memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, serta teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu pada kesempatan ini.
ix
Pada akhir kata dari ucapan terima kasih tesis ini, penulis tutup dengan sebuah sloka dari Kitab Bhagavad-Gita (disusun dan diterjemahkan oleh Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada): Sloka 14.17 ”Pengetahuan Yang Sejati Berkembang dari Sifat Kebaikan, Loba Berkembang dari Sifat Nafsu dan Kegiatan
Yang Bukan-Bukan, Sifat Gila dan Khayalan Berkembang dari Sifat Kebodohan”. Terima kasih atas kesediaan waktunya untuk membaca dan semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat luas dan para pembacanya tentunya. Om Santih, Santih, Santih, Om..., ’Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Syalom, Salam Sejahtera Bagi Semua Makhluk Hidup.
Denpasar, 5 Februari 2016,
x
RINGKASAN
Tesisi ini berjudul ”Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih Dan Dipilih Sebagai Pidana Tambahan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
yang disusun dalam 5 (lima) bab secara garis bersar dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab I, menguraikan tentang latar belakang masalah yang berkaitan dengan
pencabutan hak memilih dan dipilih, serta landasan hukum dapat dan tidak dapatnya
hak memilih dan dipilih tersebut dicabut.
Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum dan mengenai
pengertian-pengertian dari judul yang diangkat dalam tesis ini.
Bab III, menguraikan tentang analisis, dasar hukum, disharmoni hukum serta
penerapan teori-teori hukum yang telah dikumpulkan untuk mengkaji penerapan dan
pemberian pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi
terpidana kasus korupsi;
Bab IV, menguraikan tentang dasar-dasar pertimbangan dan analisis teoritis
mengenai dasar-dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memberikan pidana
tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih pada kasus tindak pidana
korupsi.
Bab V, menguraikan tentang kesimpulan terhadap disharmoni norma hukum
antara norma hukum yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia dengan norma
hukum yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disertai juga
dengan saran terhadap disharmoni norma hukum dari masing-masing permasalahan
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv
HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
RINGKASAN TESIS ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah... 25
1.3Ruang Lingkup Masalah ... 25
1.4Tujuan Penelitian ... 26
1.4.1 Tujuan Umum ... 26
1.4.2 Tujuan Khusus ... 26
1.5Manfaat Penelitian ... 27
1.6Orisinalitas Penelitian ... 28
1.7Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ... 30
A. Landasan Teoritis ... 30
1. Teori Keadilan ... 31
2. Teori Hukum Progresif ... 32
3. Teori Relatif Dalam Hukum Pidana ... 33
xii
5. Asas Preferensi Hukum ... 36
6. Asas Proporsionalitas ... 36
B. Kerangka Berpikir ... 37
1. Bagan: Kerangka Berpikir ... 39
1.8Metode Penelitian ... 40
1.8.1 Jenis Penelitian ... 40
1.8.2 Jenis Pendekatan ... 42
1.8.3 Sumber Bahan Hukum... 45
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 46
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 47
BAB II TINJAUAN UMUM... 49
2.1Pengertian Tinjauan Yuridis ... 49
2.2Pengertian Pidana Dan Pemidanaan ... 49
2.3Jenis-Jenis Pidana Menurut KUHP ... 53
1. Pidana Pokok ... 54
1.a Pidana Mati... 54
1.b Pidana Penjara ... 55
1.c Pidana Kurungan ... 56
1.d Pidana Denda ... 59
2. Pidana Tambahan ... 60
2.4Pengertian Hak Memilih Dan Dipilih ... 72
2.4.1 Hak Memilih ... 72
2.4.2 Hak Dipilih ... 73
2.5 Hak Memilih Dan Dipilih Dalam HAM ... 73
2.6 Pengertian Pemberantasan ... 77
2.7Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 77
2.7.1 Pengertian Tindak Pidana ... 77
xiii
2.8 Korupsi sebagai White Collar Crime... 84
BAB III TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM LINGKUP HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 88
3.1 Pandangan Umum Perundang-undangan ... 88
3.2 Norma Hukum dan Norma Lainnya ... 90
3.3 Asas Hukum Perundang-undangan ... 91
3.4 Daya Laku dan Daya Guna Norma ... 95
3.5 Penyimpangan Kaedah Hukum ... 100
3.6 Disharmonisasi Hukum dan Penyelesaiannya ... 103
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN YURIDIS MAJELIS HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH... 115
4.1 Perkembangan Korupsi di Indonesia ... 115
4.2 Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan ... 116
4.2.1 Kebebasan Hakim ... 116
4.2.2 Asas Bagi Hakim Dalam Mengadili dan Memutus Perkara Pidana ... 120
4.2.2.1Asas Mengadili Menurut Hukum ... 121
4.2.2.2Asas Pengadilan Tidak Boleh Menolak Perkara ... 125
4.2.2.3 Hakim Bertanggungjawab Atas Putusan Pengadilan Yang Dibuatnya ... 126
4.3 Pertimbangan-Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Tambahan Pencabutan Hak Memilih Dan Dipilih ... 129
4.3.1 Putusan Ratu Atut Chosiyah ... 129
4.3.2 Putusan Luthfi Hasan Ishaaq ... 135
xiv
4.4.1 Flodl Melawan Austria (Civil Law System) ... 141
4.4.2 Delaware-Amerika (Common Law System) ... 142
4.4.3 Turki (Civil Law System) ... 142
4.5 Analisis Penerapan Teori dalam Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih ... 143
4.6 Parameter Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih ... 151
BAB V PENUTUP ... 153
5.1Kesimpulan ... 153
5.2Saran ... 154
BAB I
1.1LATAR BELAKANG
Negara yang berdaulat adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi
hukum dan hak asasi manusia dalam konstitusinya. Suatu negara tanpa supremasi
hukum dan hak asasi manusia adalah negara yang berdasarkan atas kekuasaan dan
kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi
manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terdapat di dalam
landasan dasar negara Indonesia (staatfundamentalnorm) yaitu Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945) tepatnya pada Pasal 27 (1) dimana setiap warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara
yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Adapun unsur-unsur rechsstaat
menurut Scheltema antara lain: 1) kepastian hukum; 2) persamaan; 3) demokrasi; dan
4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum.1
Adanya instrumen perundang-undangan yang menjunjung tinggi HAM serta
adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law)
maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk kewajiban untuk
1
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik utama
yang melekat pada konsep negara hukum.2
Hukum di ciptakan untuk suatu tujuan yang mulia, yakni memberikan
pelayanan kepada masyarakat agar tercipta suatu keselarasan, keadilan, ketertiban,
dan keamanan yang berujung pada kesejahteraan. Namun, pada kenyataannya masih
tetap terjadi penyimpangan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja. Terhadap penyimpangan hukum tersebut tentunya harus ditindaklanjuti
dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai
dengan hukum acara yang berlaku dan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia dalam penerapannya.
Hukum pada hakekatnya adalah perlindungan kepentingan manusia, yang
merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak.3 Hal
tersebut merupakan ungkapan yang pas hendaknya diberikan bagi keberlakuan
hukum di belahan dunia manapun di bumi ini, disatu sisi mengatur mengenai
larangan seseorang untuk melakukan sesuatu yang menurut masyarakat tersebut
terlarang, di satu sisi membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu bahkan
menjaminnya dengan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Pergolakan dua sisi yang
saling bertentangan ini seolah tidak pernah ada habisnya, sepanjang manusia masih
dapat hidup dan berpikir untuk memenuhi kesejahteraannya, menjamin
2
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1.
3
keselamatannya juga mempertahankan populasinya. Hukum menghendaki stabilitas
dan keadilan dan dalam suatu tata hukum masyarakat yang bebas, yang di dalamnya
orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara
yang mandiri.4
Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada dasarnya berlaku
dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketenteraman dan ketertiban.
Menurut Mohchtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip Samidjo dan A. Sahal,
menyatakan: „Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asasnya yang
mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara
ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan
berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat‟.5
Menurut John Locke manusia itu sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan
dan hak-hak asasi. Hak asasi itu ialah: hak kehidupan, kemerdekaan, kesehatan dan
harta milik, hal ini dijumpai pada manusia dalam keadaan alami dan hak asasi
manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, terkecuali oleh pemiliknya.
Adapun pendapat John Locke (terjemahan bebasnya) yakni: „Negara secara alamiah
diatur oleh hukum alam yang harus dipatuhi setiap orang sebagai hukum, memberi
arahan dalam kehidupan manusia dimana setiap orang mempunyai kebebasan dan
4
B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 68.
5
persamaan, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan, kemerdekaan atau
memenjarakan yang lain‟.6 Berdasarkan hal tersebut, menurut John Locke, tujuan
negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi
manusia. Eratnya hubungan manusia dalam hal ini masyarakat dengan hukum
melahirkan prinsip ubi societas ibi ius.7
Negara dalam proses untuk mencapai tujuannya yakni menjamin
terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia sering kali mendapati
masalah-masalah yang umumnya dihadapi oleh negara-negara manapun di belahan dunia ini,
diantaranya kesenjangan sosial, kemiskinan, pencemaran lingkungan, kejahatan
konvensional maupun internasional, korupsi serta gejala-gejala sosial lain yang
berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rakyat yang hidup
dalam negara tersebut.
Permasalahan yang paling mendasar dan substansial yang terjadi di Indonesia
sekarang adalah masalah korupsi yang merupakan penyakit sosial yang sangat akut
dan sangat menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan terutama pada suatu negara
yang sedang berkembang, dimana penegakan hukumnya masih lemah. Korupsi
adalah kejahatan pokok yang sangat berbahaya dan susah untuk diberantas karena
sering kali melibatkan oknum pejabat-pejabat penting di dalamnya serta melintasi
berbagai sektor profesi, terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan dan menggunakan
6
Bernard arief sidharta, Op.Cit., h. 65.
7
alat-alat yang canggih guna menutupi jejak kejahatan korupsinya. Faktor tersedianya
sumber daya alam yang memadai, faktor lingkungan, faktor budaya yang
menyimpang dan faktor-faktor negatif lainnya seakan memperburuk dan membuat
korupsi semakin merajalela di suatu negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia
yang tingkat korupsinya belum berubah secara signifikan pasca era reformasi.
Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya korupsi sebenarnya dapat dijelaskan oleh Teori GONE8 yang terdiri dari G
yakni Greed yang berarti keserakahan dari pelaku korupsi yang ingin melanggengkan
kekuasaan, disamping itu O yakni Opportunity berarti Kesempatan dimana sistem
yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi ataupun
adanya momentum dimana penegakan hukum lemah, alat-alat pendukung
pengungkapan kejahatan kurang dan integritas penegak hukum yang lemah sehingga
terciptalah kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya N yakni
Neccessity yang berarti kebutuhan yang tak kunjung ada batasnya, Neccesity lebih ke
arah mencari kepuasan. Adapun E yakni Exposure yang berarti pengungkapan
dimana pengungkapan kasus korupsi terutama di Indonesia sangat kecil, selain
dikarenakan ketiga hal diatas juga karena wilayah Indonesia yang luas dan
terpisah-pisah karena kontur pegunungan dan lautan disamping itu juga moral dari aparat
penegak hukum.
8
Adapun menurut indeks korupsi dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-107 dari 175 negara terkorup di dunia. Posisi Indonesia jauh berada di bawah Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85). Untuk urusan korupsi, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos (145), serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik ketimbang Rusia (136), Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan sejumlah negara di Afrika.9
Oleh karenanya diperlukan suatu gebrakan atau terobosan baru dari aparat
penegak hukum baik pada tingkat penuntutan dan persidangan dalam melakukan
tindakan represif yang di dalamnya juga terdapat unsur preventif dan preemtif
terhadap tindak pidana korupsi agar negara ini terhindar dari penghancuran secara
sistematis serta masif terhadap aspek-aspek pembangunan yang potensial, untuk
menanggulangi kerugian negara itu sendiri akibat perilaku korup, juga
menyelamatkan bangsa khususnya generasi muda dari dampak negatif yang dapat
dicontoh oleh mereka.
Indonesia sebagai peringkat ke-107 negara terkorup di dunia perlu berbenah
diri dari segi hukuman konvensional seperti pidana penjara, denda, hingga
pengembalian aset negara yang belum berdampak signifikan terhadap kasus-kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut juga belum mengakomodir rasa
keadilan rakyat Indonesia yang telah di lukai oleh perilaku-perilaku korup oknum
pejabat baik di pusat maupun di daerah, oleh karenanya diperlukan sanksi tambahan
dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi agar perilaku-perilaku korup
9 Ervan Hardoko, 2014, Indeks Korupsi Dunia: Denmark Terbersih, Indonesia Ke-107,
terdapat pada
tersebut dapat ditekan seminimal mungkin dan nantinya hukuman tambahan tersebut
dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sejalan dengan proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia serta pengakuan dan penegakan hak asasi manusia, maka diperlukan
langkah progresif dari aparat penegak hukum sebagai langkah preventif maupun
represif agar para koruptor tidak melakukan tindak pidana korupsi lain yang baru dan
menjadi jera melakukan korupsi. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan
memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi
terpidana korupsi yang belakangan ini marak di jatuhkan oleh Majelis Hakim pada
tingkat Banding dan Kasasi. Sebut saja terpidana kasus suap sengketa Pemilihan
Kepala Daerah Lebak Banten di Mahkamah Konstitusi yakni Ratu Atut Chosiyah
yang mana menyeret juga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar,
keduanya dicabut hak memilih dan dipilihnya.
Pada kasus lain yakni, pengadaan kuota impor daging sapi oleh Luthfi Hasan
Ishaaq oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dicabut hak memilih dan
dipilihnya, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo pada tingkat banding yang dicabut
hak memilih dan dipilihnya sehubungan dengan pengadaan alat simulator SIM (Surat
Izin Mengemudi). Terhadap putusan-putusan tersebut seharusnya menjadi acuan bagi
aparat penegak hukum pada tingkat Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan tingkat
pidana korupsi sebagai konsistensi dari solidnya aparat penegak hukum dalam
memberantas tindak pidana korupsi pada semua lini kehidupan.
Pencabutan hak-hak tertentu memang di atur dalam beberapa pasal pada
undang-undang yang berbeda, diantaranya yakni:
Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan.
b. Pidana Tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.
Selanjutnya Pasal 35 KUHPmenegaskan:
1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampun atau pengampun pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) yakni:
Pasal 18 ayat (1)
Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyak dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana korupsi memang
sedang hangat-hangatnya mendapat sorotan masyarakat, terlebih dari para pakar
hukum yang menilai bahwa pencabutan hak memilih dan dipilih adalah merupakan
suatu bentuk keadilan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan
dicabutnya hak memilih dan dipilih terpidana kasus korupsi selain memberikan efek
jera juga mengakomodir aspirasi rakyat selama ini yang sudah gerah akan keberadaan
perilaku korup di negara ini.
Faktanya, pencabutan hak memilih dan dipilih ini masih terganjal dengan
pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia di satu sisi kejahatan korupsi
merupakan suatu kejahatan yang digolongkan dengan extraordinary crime oleh
dibutuhkan extraordinary measure atau tindakan luar biasa dalam
penanggulangannya khususnya pada saat keadaan indonesia seperti sekarang ini yang
segera membutuhkan tindakan yang tegas, cepat dan progresif. Tetapi di sisi lain hak
memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang dapat dikurangi tetapi
terdapat prosedur yang mesti dipatuhi oleh suatu negara yang mana diatur dalam
UUD 1945 jo., Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang International Covenant on
Civil and Political Rights (selanjutnya disebut UU ICCPR) jo., Undang-undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM).
Extraordinary crime adalah istilah yang masih banyak penafsiran dan belum
ada standarisasi yang baku, dalam artian, kejahatan seperti apa yang patut untuk
dimasukkan dalam kategori extraordinary crime. Dengan tidak diberikannya ruang
bagi extraordinary crime berupa kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka hal
tersebut akan menumbuhkan kepercayaan kepada rakyat bahwa pemerintah memang
konsekwen dan tegas terhadap perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dapat
berujung pada stabilitas Ipoleksosbud (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya)
serta Hankam (Pertahanan dan Keamanan) sehingga berdampak pada meningkatnya
taraf hidup rakyat indonesia layaknya negara-negara maju di dunia.
Pakar hukum pidana, Muladi mencoba mengemukakan beberapa dasar
pemikiran pengelompokan sebuah kejahatan termasuk kategori extraordinary crime.
kepentingan, dari keamanan ketertiban, sistematis atau terorganisasi, mengancam stabilitas politik, masa depan pembangunan dan lain-lain. Beliau memberikan contoh korupsi yang termasuk dalam kategori extraordinary crime, karena potensial mengakibatkan kerugian dalam berbagai dimensi.10
Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Muladi, antara lain sebagai
berikut:
a. Ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat;
b. Merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, bersifat diskriminatif dan etika dalam kompetisi bisnis yang jujur;
c. Mencederai pembangunan berkelanjutan dan “the rule of law”.
d. Kemungkinan keterkaitan antara korupsi dengan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk “Money Laundering” (tindak pidana korupsi merupakan “predícate crime” atau disebut juga kejahatan asal), terorisme, perdagangan manusia dan lain-lain; e. Tindak pidana korupsi yang besar (high level corruption) berpotensi
merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah besar sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik;
f. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat “transnational” dengan memberdayakan sarana-sarana canggih;
g. Menimbulkan bahaya terhadap “human security”, termasuk dunia pendidikan, pelayanan pendidikan, fungsi-fungsi pelayanan sosial, dan lain-lain;
h. Merusak mental pejabat dan mereka yang bekerja dalam wilayah kepentingan umum.11
Perilaku korup dari para pejabat negara yang telah dipercaya dan dipilih oleh
masyarakat untuk mengemban aspirasi rakyat jelas sangat mencederai dan melukai
perasaan, kehidupan serta Hak Asasi Manusia dari seluruh rakyat Indonesia, dimana
rakyat diambil haknya berupa dana dari negara yang serharusnya dialokasikan kepada
rakyat guna menunjang agar tiap-tiap individu dalam Negara Kesatuan Republik
10
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out Court System, Gramata Publishing, Depok, h. 20.
11
Indonesia dapat hidup sejahtera tetapi oleh koruptor kemudian diambil untuk
kepentingannya sendiri.
Bayangkan saja apabila hak memilih dan dipilih terpidana korupsi tersebut
tidak di cabut, otomatis koruptor tersebut atau orang lain yang dipilihnya dapat
terpilih kembali atau terpilih dan melakukan perbuatan korup yang sama atau bahkan
lebih parah dikarenakan pelaku berpikiran sudah terlanjur akan terstigmatisasi. Hal
ini tentunya akan mencederai demokrasi di negara kita dan berimbas pada runtuhnya
falsafah hidup kita yakni Pancasila di sisi lain juga berdampak fatal, yakni menjadi
contoh bagi generasi-generasi muda dikemudian hari.
Sebenarnya di indonesia sudah ada lembaga super body atau lembaga yang
maha kuat yang bertugas untuk menyadap, menyelidiki, menyidik, menuntut bahkan
mengambil alih suatu kasus korupsi apabila menurut penilaian mereka
penanganannya berlarut-larut dan cenderung akan menimbulkan kasus korupsi baru.
Lembaga tersebut adalah KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan KPK dapat
berkoordinasi dengan Interpol atau penegak hukum internasional dalam rangka
memberantas korupsi12, KPK juga dapat bekerja sama dengan Departemen Hukum
dan HAM atau lembaga pemerintah lain guna pencegahan tersangka keluar negeri13
12
Aziz Syamsuddin, 2011,Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 209.
13
Wahyu Satya Kuncahyo, 2015, Tiga Pejabat BBJ dicegah ke Luar Negeri, terdapat di:
maupun seharusnya dalam rangka membekukan atau menuntut agar hak memilih dan
dipilih seseorang tersangka atau terdakwa dicabut apalagi bagi terpidana guna
melindungi rasa keadilan rakyat Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melakukan pendataan tentang praktik korupsi di Indonesia. Hasilnya, 50 persen kasus korupsi di Indonesia berbentuk penyuapan. Itu sebabnya mengapa KPK mengategorikan korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime). Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan ada tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional. "Koruptor Indonesia banyak mengirim uangnya ke negara lain," ujarnya kepada Republika di kantor PLN pusat, Kamis (23/2). Hasil pendataan KPK, kata Abdullah, 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Itu berarti orang terkaya di Singapura bukanlah orang Singapura, melainkan orang Indonesia. Oleh sebab itu juga Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.14
Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura, kata Abdullah, menjadi tempat nyaman untuk pelarian koruptor di Indonesia. Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya membutuhkan usaha ekstra keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi.15
Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. „sehingga Masalahnya apakah kita dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul hutang-hutan baru dari korupsi baru‟, kata Abdullah.16
14
Edwin Dwi Putranto, 2012, Inilah 3 Alasan Mengapa Korupsi di sebut Kejahatan Luar Biasa, terdapat pada: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3-alasan-mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa, diakses tanggal 27 Agustus 2015, pukul 22.10.
15 Ibid.
Pencabutan hak memilih dan dipilih pada perkara korupsi sangat gencar di
lakukan pada saat penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
belakangan ini oleh karena disatu sisi pidana penjara dan denda seakan tidak
berdampak signifikan terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin
banyak terjadi di negara ini.
Terobosan baru dalam hal pencabutan hak memilih dan dipilih tersebut
diharapkan sedikit dapat mengurangi gencarnya perilaku korup elit politik dan
diharapkan dapat memberikan rasa keadilan masyarakat, mengingat terdapat banyak
kasus korupsi yang hak memilih dan dipilihnya tidak dicabut sehingga terpidana
korupsi tetap dapat memperoleh suara bahkan terpilih sebagai calon legislatif, ada
pula bahkan sedang menunggu untuk dilantik. Sungguh ironi di negara yang kaya
seperti Indonesia rakyatnya masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan akibat
dampak sistemik dari korupsi. Contoh kasus yakni Susno Duaji yang diusung oleh
Partai Bulan Bintang untuk DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat I di nomor urut
pertama.17 Sedangkan contoh lain yang sampai dilantik adalah kasus Bupati Boven
Digoel-Papua dan Bupati Tomohon dimana pelaku sudah diputus bersalah namun
masih menang dalam pemilihan kepala daerah.18
17
Hazliansyah, 2013, Putri Susno Duadji Gantikan Ayahnya Jadi Caleg, terdapat di:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/17/mmw8nf-putri-susno-duadji-gantikan-ayahnya-jadi-caleg, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37.
18
Terkait hal tersebut diatas, Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menunjukkan data di KPK hingga April 2014, sudah 74 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlibat kasus korupsi. Hal ini disampaikan untuk menunjukkan adanya kerawanan konflik kepentingan jika pimpinan KPK harus dipilih DPR. „Cukup banyak terdakwa yang berasal dari partai politik kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman,‟ kata Bambang di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 15 April 2015,
lansir tempo.co. Bambang mengatakan jumlah politikus yang tersandung kasus korupsi ini diduga akan lebih besar lagi jika ditambah dari data penanganan kasus serupa oleh kepolisian dan kejaksaan. Kejahatan korupsi sendiri dinilai semakin masif, sistematis, dan terstruktur yang mengharuskan adanya lembaga antikorupsi independen. KPK juga mencatat total kepala lembaga atau kementerian yang terlibat korupsi ada 12 orang, duta besar 4 orang, komisioner 7 orang, gubernur 10 orang, wali kota atau bupati 35 orang, pejabat eselon 114 orang, hakim 10 orang, swasta 94 orang, dan lainnya 41 orang. Total seluruh terdakwa yang ditangani KPK yaitu 401 orang.19
Data mengenai jumlah politikus yang terlibat kasus korupsi juga terdapat data
jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi yang tidak kalah
fantastis, hal ini dikarenakan kelemahan undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi indonesia yang hanya mengenakan maksimum pidana denda sebesar 1 (satu)
milyar rupiah, sementara dampak sistemiknya masih luput dari jangkauan
penghitungan hasil kerugian negara yang belum tercantum dalam undang-undang
tersebut, hal ini terdapat pada:
Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, merilis hasil analisis terhadap 1365 kasus korupsi yang sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. „Ada 1842 terdakwa koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman finansial
Rp15,09 triliun,‟ kata Rimawan kepada media seusai diskusi diseminasi hasil
19
riset mengenai "Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA 2001-2012" di Yogyakarta, Senin, 4 Maret 2013. Namun, Rimawan juga menyodorkan data pembanding nilai denda finansial tadi dengan besaran jumlah nilai uang yang dikorupsi atau ia sebut biaya eksplisit korupsi, yakni Rp 168,19 triliun. Data itu jauh sekali dibandingkan dengan nilai denda finansial untuk koruptor yang hanya sebesar 8,9 persennya saja atau berarti negara kehilangan uang sebanyak Rp 153,1 triliun. Dia juga memperkirakan kerugian negara jauh lebih besar jika dimasukkan pula biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi, biaya implisit atau efek beban finansial negara akibat korupsi. Kerugian negara di luar uang yang dikorup itu, dia kategorikan sebagai biaya sosial korupsi yang rumusan penghitunganya belum ada di Indonesia. "Semestinya ada, karena di negara maju biaya sosial kejahatan itu ada rumusan hitungannya," ujar dia.
Kata Rimawan, besaran biaya sosial bisa membengkak jika ada praktek pencucian uang yang terjadi dan mengalir hingga ke luar negeri. Biaya pengejaran aset yang dicuci itu tentu sangat besar. Sementara efeknya bisa membuat dinamika ekonomi nasional terkena imbasnya sebab ada dana yang lari ke kawasan asing. "Kalau ada pencucian uang, kerugian makin besar.20
Data terakhir yang diambil melalui Editorial Media Indonesia yakni „pada
tahun 2014 sebesar Rp. 1792 triliun yang mana nyaris setara dengan APBN kita pada
tahun yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ada perbaikan indeks
korupsi satu poin saja, laju investasi meningkat 4% dan laju pertumbuhan ekonomi
naik menjadi lebih dari 0.5 %‟.21
Berdasarkan data-data tersebut dapat dikemukakan bahwa dampak dari tindak
pidana korupsi belum sebanding dengan pengembalian aset yang menjadi kerugian
20
Addi Mawahibun Idhom, 2013, Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp168,19 triliun,
terdapat pada: http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/akibat-korupsi-uang-negara-menguap-rp168-19-triliun, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 7:44.
21
Media Indonesia, 2015, Korupsi Membonsai Ekonomi, terdapat pada:
negara, dalam hal ini terjadi ketimpangan yang cenderung mengarah kepada keadaan
ketidakadilan yang tentunya sangat di rasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, hal
mana berimbas pada ketidakmerataan pembangunan, kesenjangan sosial yang tinggi
serta menimbulkan efek domino pada seluruh sendi kehidupan rakyat Indonesia serta
menjurus ke kebangkrutan negara akibat korupsi. Oleh karenanya tidak salah
kemudian KPK menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai extra-ordinary
crime/kejahatan luar biasa.
Berbicara mengenai keadilan, hakikat keadilan itu sendiri adalah penilaian
seseorang kepada orang lain, umumnya dilihat dari pihak yang menderita akibat
putusan hakim. Pemberian keadilan dalam putusan hakim yang ideal bisa dikaitkan
dengan pendapat Gustav Radbruch, bahwa suatu putusan pengadilan idealnya harus
mengandung idee des recht, yaitu aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek kepastian
hukum (rechtssicherkeit) dan aspek kemanfaatan (gerechtigheid).22
Disatu sisi, adanya jaminan terhadap kebebasan hakim dalam mengadili yang
sangat memadai dalam konsitusi dan peraturan perundang-undangan, sudah
seharusnya dipergunakan secara proporsional, jangan menonjolkan sikap arrogance
of power, memperalat kebebasan untuk menghalalkan cara, maka digunakan dengan
acuan:
22
1. Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, sesuai dengan asas dan status law must prevail (ketentuan Undang-undang harus diunggulkan);
2. Menafsirkan hukum yang tepat dengan cara-cara pendekatan yang dibenarkan (penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa (gramatika), analogis dan a contrario) atau mengutamakan keadilan daripada peraturan perundang-undangan, apabila ketentuan undang-undangan tidak potensial melindungi kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan dengan doktrin equity must prevail (keadilan harus diunggulkan).
3. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechtvinding), dasar-dasar dan asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis
(hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni
mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama kepatutan dan kelaziman.23
Putusan hakim merupakan puncak dari pemeriksaan perkara pidana dalam
keseluruhan proses peradilan pidana. Dalam putusan hakim diharapkan akan
ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran hakiki, hak asasi manusia,
penguasaan hukum dan fakta secara mapan, mumpuni dan faktual. Putusan hakim
mencerminkan visualisasi etika, mentalitas, moralitas hati nurani hakim serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada justiabelen, ilmu hukum/doktrin-doktrin hukum,
masyarakat dan „Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‟.24
Para hakim dalam memutus perkara sebenarnya sudah mendapat
kebebasan/independensi di negara kita guna mengakomodir rasa keadilan yang
berada di dalam masyarakat, dimana hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 24
23
Yahya Harahap, 2005, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 60.
24
ayat (1) yakni “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan” jo., Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan juga:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Mantan Hakim Agung, J. Johansyah, menggarisbawahi bahwa independensi
dalam rumusan pasal-pasal tersebut pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi
pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu
sengketa hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam Pasal konstitusi tersebut
adalah „berdasarkan hukum dan keadilan‟.25
Independensi hakim dapat bersifat normatif, dapat juga bersifat
kenyataan/realita. Kedua independensi itu tidak dapat dipisahkan. Ada pula ahli
hukum yang memilah antara independensi sempit dan Independensi luas. Pada
dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tidak hanya semata independensi
kelembagaan, tetapi juga independensi perseorangan hakim. Independensi hakim
karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan
25
J. Johansyah, 2010, Independensi Hakim di Tengah Benturan Politik dan Kekuasaan dalam
lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di
pengadilan dan berdasarkan hukum.26
Suatu hal yang merupakan kewajiban dalam menjatuhkan putusan, hakim
harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, khusus di Indonesia, hakim
bukan merupakan corong undang-undang. Hakim merupakan cerminan kepatutan,
keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, hakim
wajib memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sudah semestinya
menerapkannya. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat hal mana ditujukan agar putusan hakim sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lagipula, penting di ingat
bahwa sumber hukum tidak saja berupa undang-undang, adat istiadat atau kebiasaan
yang masih hidup yang tidak bertentangan dengan hukum juga merupakan sumber
hukum. Oleh karenanya, hakim dapat memakai adat istiadat atau kebiasaan sebagai
referensi.
Meskipun Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim
mengakomodir nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi ada suatu waktu
hakim tidak tunduk pada kewajiban itu. Bahkan, kadangkala hakim „menyimpang‟
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan.
26
Misalnya, Putusan MA No. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat
yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan
lagi.
Landasan rasionalitas argumentasi hukum dalam pertimbangan hukum
putusan hakim memberikan gambaran tentang paradigma pemikiran hakim, apakah
masih terkurung dalam formalitas legisme atau pembebasan dan pencarían kebenaran
dan keadilan yang lebih progresif keluar dari tawanan undang-undang.
Putusan hakim bersifat profesional jika dibangun struktur konseptual yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum dan kemanfaatan sosial. Secara
doktrinal, putusan hakim sudah seharusnya mendasarkan pada sumber hukum yang
lengkap yaitu: fakta hukum, peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,
asas-asas hukum, doktrin hukum pidana dan yurisprudensi.
Proses peradilan pidana yang menekankan pada tujuan mengadili dan tujuan
hukum menimbulkan pandangan para hakim bahwa hukum bukanlah merupakan
satu-satunya dasar memutus perkara. Cara pandang hakim bahwa putusan hanya
semata-mata demi hukum atau pernyataan “hukum untuk hukum” (justice for the sake
of law). Hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai alat, cara dan
keluaran (hasil) putusan pengadilan harus mampu mewujudkan keadilan, ketertiban,
Keterikatan hakim dengan tujuan hukum dan tujuan mengadili seperti yang
dikemukakan oleh Wiarda-Koopmans tentang „3 typen van vinding yaitu terdapat tiga
fungsi hakim dalam memutuskan perkara antara lain menerapkan hukum
(rechtoepassing); penemuan hukum (rechtvinding/legal finding) dan menciptakan
hukum (rechtchepping)‟.27
Sejalan dengan fungsi hakim dalam menerapkan hukum (rechtoepassing),
penjatuhan pidana berupa pencabutan atau pembekuan hak memilih dan dipilih tidak
serta merta menghilangkan hak untuk berpolitisi dari terdakwa maupun terpidana
pada kasus korupsi, hal tersebut juga berkaitan erat dengan penemuan hukum
(rechtvinding/legal finding) yang menjadi fungsi dari hakim itu sendiri serta tidak
terlepas dari konsepsi putusan hakim yang profesional sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Penemuan hukum itu sendiri berkaitan erat dengan pendekatan
hermeneutika hukum, produk suatu putusan hukum selalu mengimplikasikan
hubungan antara kaidah dengan fakta, yaitu relasi momen-momen normatif dalam
Undang-undang dengan fakta yaitu situasi konkret secara sirkular. Hubungan antara
kaidah hukum dengan fakta situasional bersifat saling mempengaruhi dalam
hubungan yang bersifat sirkular (lingkaran tidak berujung pangkal), yaitu fakta-fakta
dikualifikasi dari sudut kaidah hukum, sedangkan kaidah hukum diseleksi (reduksi)
berdasarkan kejadian fakta-fakta.28
27
Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum, Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Inonesia-MMIX, Jakarta, h. 135.
28
Putusan pengadilan pidana terlepas dianggap adil atau tidak sangat tergantung
dari penilaian terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik yang menjadi tujuan
hukum pidana adalah usaha mempertahankan ketertiban dan keamanan masyarakat
sehingga keadilan yang diargumentasikan dalam putusan pengadilan berkaitan
dengan realitas terlindunginya kepentingan sosial (social interest) masyarakat.
Aspek keadilan dalam perkara pidana sebagaimana dinyatakan Aristoteles
yakni:
Sebagai keadilan vindikatif atau korektif atau pembalasan merupakan keadilan yang berorientasi pada kepentingan hukum masyarakat, yaitu terjaminnya ketertiban dan keamanan. Prinsip keadilan korektif menggunakan instrument pidana atau hukuman, sehingga nilai keadilan sangat tergantung dari penjatuhan pidana atau hukuman yang tepat, dikenal pula istilah penjatuhan hukuman yang setimpal dengan perbuatan.29
Dengan dicabutnya hak untuk memilih maupun dipilih terhadap terdakwa atau
terpidana kasus korupsi diharapkan dapat memenuhi aspek keadilan sebagaimana
dinyatakan oleh Aristoteles diatas, pada sisi lain hal ini juga menandakan keseriusan
penegak hukum dalam memberantas korupsi serta menandakan era baru dalam
penegakan hukum terutama penjatuhan sanksi bagi koruptor di Indonesia telah
dimulai. Penjatuhan sanksi tersebut terlebih dahulu haruslah mendapat telaah yang
lebih dalam dari sisi ilmu hukum itu sendiri, oleh karena Indonesia pada tahun 2005
telah meratifikasi produk-produk hukum dari International Covenant on Civil and
29
Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan sebelumnya telah
diatur juga Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16, 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.
3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada berakhirnya pengurangan tersebut.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini.
Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya.
Hal ini juga perkuat dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 73
dan 74 yang menegaskan:
Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang.
Juga terdapat pada pasal 28 D ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
Dari pembahasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, jelaslah terdapat
beberapa Undang-undang atau aturan yang tidak harmonis atau terdapat
disharmonisasi norma satu dengan yang lainnya sehingga menarik untuk diangkat
dalam suatu penulisan tesis berjudul “
TINJAUAN
YURIDIS
PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH SEBAGAI
PIDANA TAMBAHAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
”.1.2RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut diatas, beberapa permasalahan pokok yang akan
diteliti antara lain sebagai berikut:
1. Apakah penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan terhadap hak
memilih dan dipilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sudah sesuai
dengan pengaturan HAM di Indonesia?
2. Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana
tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih pada tindak pidana korupsi?
1.3Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara
1. Permasalahan pertama dibahas mengenai penjatuhan putusan pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi
ditinjau dari hukum positif yang mengatur tentang HAM di Indonesia.
2. Permasalahan kedua dibahas mengenai dasar yuridis dan hal-hal substansial
dari Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak
memilih dan dipilih terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana
korupsi.
1.4Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas,
maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan
penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait
dengan paradigma science as a process (ilmu pengetahuan sebagai proses),
dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah berhenti/final dalam
penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana ilmu hukum mengkaji
pencabutan hak memilih dan dipilih oleh Majelis Hakim khususnya pada
tingkat kasasi terhadap terpidana kasus korupsi dan relevansinya terhadap
pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia melalui UU
ICCPR dan UU HAM.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum pertimbangan Majelis
Hakim dalam putusannya yang memberikan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih dalam tindak pidana korupsi yang
dihubungkan dengan teori-teori hukum maupun pendapat-pendapat para
sarjana hukum serta falsafah negara Indonesia sehingga menjadi acuan
bagi aparat penegak hukum ke depannya dalam menerapkan hukum yang
berbasis pada rasa keadilan masyarakat luas.
1.5Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana
khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana pada kasus korupsi di
Indonesia mengenai hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana
yang dihubungkan dengan teori dan asas yang dipakai dalam penulisan karya
2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
lembaga yudikatif, khususnya aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus
serupa agar visi pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
berjalan maksimal serta rasa keadilan masyarakat terpenuhi.
1.6Orisinalitas Penelitian
Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset
(penelitian) yang pada pokoknya membahas mengenai korupsi dan penjatuhan
pemidanaan terhadap pelakunya namun kajiannya masih belum progresif dan belum
kritis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam Hukum Pidana (KUHP) dan/atau
aturan-aturan lain di luar KUHP yang bersifat khusus, adapun karya ilmiah tersebut
sebagai berikut:
1. Nama : Ifransko Pasaribu;
NIM : 057005009/HK;
Universitas : Universitas Sumatera Utara;
Judul Tesis :“Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Sistem Pembebanan dan Sanksi dalam undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
- Bagaimanakah perumusan pembebanan pembuktian dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
- Bagaimanakah perumusan sanksi dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Nama : Erfan Efendi Yudi Arianto;
NIM : 11010110400046;
Universitas : Universitas Diponegoro;
Judul Tesis :“Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan Dalam Upaya Penanganan Masalah Barang Rampasan Hasil Tindak Pidana Korupsi”.
Lingkup rumusan masalah:
- Bagaimana formulasi sistem pemidanaan dalam upaya penanganan
masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk
pengembalian kerugian keuangan negara saat ini?
- Bagaimana kebijakan formulasi sistem pemidanaan dalam upaya
penanganan masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk
1.7Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir A. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan-aturan hukum, norma
hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas
masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal
dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.30 Konsep (concept) adalah
kata yang merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.31
Sedangkan kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan
abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan
untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan untuk penelitian. Kriteria teori yang ideal adalah:
1. Suatu teori secara logis harus konsisten, tidak ada hal-hal yang saling bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan.
2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu, pernyataan yang mempunyai interrelasi yang serasi.
3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori, harus dapat mencakup semua unsur gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat tuntas.
4. Tidak ada pengulangan ataupun duplikasi di dalam pernyataan tersebut.
30
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 4.
31
5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian, mengenai hal ini ada asumsi tertentu yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian tersebut senantiasa harus bersifat empiris. 32
Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan,
maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah
Teori Keadilan. Untuk mendukung teori utama (Grand Theory) maka digunakan
Teori Hukum Progresif sebagai Middle Range Theory, sedangkan untuk Applied
Theory33 menggunakan Teori Relatif Dalam Hukum Pidana, Model Pendekatan
Keadilan atau Model Just Desert dan Asas Proporsionalitas. Berikut penjelasan dari
teori dan asas tersebut:
1. Teori Keadilan
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Gustav Radbruch:
menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermanfaat. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas sebagai hukum.34
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji I), h. 123.
33
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi), Alumni, Bandung, h. 24.
34
Menurut Gustav Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee, yakni keadilan. Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak
dapat mengatakan lain kecuali: „yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama‟. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, kita harus menengok pada segi finalitasnya. Jadi bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada „kesamaan hak di depan
hukum‟. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan
kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian merupakan kerangka operasional hukum.35
Sebelum perang dunia kedua, Gustav Radbruch telah berkali-kali mengemukakan bahwa berkenaan dengan keberlakuan hukum positif harus diberikan arti yang paling utama pada kepastian hukum. Namun, dibawah pengaruh pengalaman-pengalaman dengan rezim Nazi, Radbruch telah mengubah pandangannya. Wawasannya sekarang adalah bahwa pada asasnya hukum positif tetap mempertahankan keberlakuannya juga jika
isinya tidak adil, „es sei denn, dass der Widerspruch des positiven Gesetzes zur Gerechtigkeit ein so unertragliches mass erreich, dass das Gesetz
als’unrichtiges Recht’der Gerechtigkeit zu weichen hat‟ (seandainya
kontradiksi dari hukum positif terhadap keadilan mencapai ukuran yang
begitu tidak sesuai, sehingga hukum tersebut sebagai “hukum yang tidak benar‟ harus menyingkir demi keadilan).36
2. Teori Hukum Progresif
Satjipto Rahardjo mengidentifikasi karakteristik hukum progresif sebagai
prinsip-prinsip dasar ideal, yaitu
(1) Paradigm „hukum adalah untuk manusia‟, manusia (penegak hukum) sebagai sentral dalam berhukum, (2) menolak status quo dari hukum yang legal-positivistik, (3) tidak menyerahkan sepenuhnya berhukum dalam teks
35 Ibid.
36
formal undang-undang, tetapi membebaskan dari isolasi tersebut, (4) memberikan perhatian pada perilaku manusia (penegak hukum), tidak menyerah pada teks undang-undang saja, (5) membangun diri meningkatkan kualitas manusia untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat.37
Hukum Progresif mempunyai relevansi dengan kebebasan hakim dalam
proses mengadili perkara pidana, karena prinsip-prinsip hukum progresif
memberikan spirit kreativitas dan inovasi konseptual kepada hakim dalam
mengadili. Artidjo Alkostar menggambarkan hakim progresif, tidak lepas dari
kompetensi keilmuan, kecakapan dan kualitas kepribadian sebagai penegak
hukum. Predikat sebagai hakim progresif membawa konsekuensi etis dalam
membuat putusan yang memuat kecerdasan moral, intelektual dan emosional.38
3. Teori Relatif Dalam Hukum Pidana
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeaneaes
berpendapat teori ini dapat disebut teori perlindungan masyarakat (the theory of
social defence).39
Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif
(the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut
37
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 61-69.
38
J. Pajar Widodo, Op.cit., h. 134.
39