• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis-jenis Sumberdaya Hutan yang dimanfaatkan

B.1. Jenis-jenis Sumbe rdaya Hutan yang Dimanfaatkan dan Persentase Pemanfaat

Ada beberapa jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran dengan persentase pemanfaat yang berbeda seperti terlihat pada tabel 16 berikut ini.

Tabel 16. Persentase Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran

Jumlah Pemanfaat Tiap Desa No Jenis Sumberdaya Hutan Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo Total Pers en (%) 1 Asam 9 6 4 5 - 24 6,38 2 Biji Akasia 10 15 9 3 - 37 9.,84 3 Gadung 2 3 2 - - 7 1,36 4 Gebang (Kobel) 7 6 - 15 3 31 8,24 5 Ikan 7 6 7 3 4 27 7,18 6 Kelanting 10 - - - - 10 2,66 7 Kemiri - 4 3 2 - 9 2,39 8 Kroto 10 - - 5 2 17 4,52 9 Madu 5 2 2 2 - 11 2,93 10 Rambanan 15 20 9 10 3 57 15,16 11 Kayu bakar 23 22 15 15 3 78 20,74 12 Rumput 18 20 14 11 5 68 18,09

Masyarakat memanfaatkan beberapa jenis sumberdaya hutan dengan persentase pemanfaat yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar memanfatkan lebih dari satu jenis sumberdaya hutan. Kayu bakar adalah jenis yang paling banyak dimanfaatkan pemanfaat. Besarnya persentase pemanfaat kayu bakar menandakan tingginya interaksi masyarakat dengan hutan dalam hal ini kebutuhan akan energi rumah tangga.

Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran sebagian besar dilakukan secara musiman. Berikut disajikan tata waktu pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran. Tabel 17. Tata Waktu Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dalam Kawasan TN Baluran

No Jenis Sumberdaya Hutan Waktu (Bulan)

1 Asam Juni-Agustus

2 Biji Akasia Juni-September

3 Gadung September-Oktober

4 Gebang Sepanjang tahun

5 Ikan Sepanjang tahun

6 Kelanting Sepanjang tahun

No Jenis Sumberdaya Hutan Waktu (Bulan)

8 Kroto Sepanjang tahun

9 Madu Sepanjang tahun

10 Rambanan Sepanjang tahun

11 Kayu bakar Sepanjang tahun

12 Rumput Sepanjang tahun

Beberapa jenis sumberdaya hutan dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran antara lain :

1. Daun Gebang (Kobel)

Gebang (Corypha utan) merupakan jenis palem yang kokoh dan kuat, berbatang satu, bentuk tiang, tinggi hingga 30 meter. Tumbuhan ini banyak dijumpai di daerah atau kawasan pantai TN Baluran bahk an hampir di seluruh zonasi TN Baluran dijumpai tumbuhan gebang kecuali di zona pemanfaatan tradisional (Lihat Lampiran 5). Lokasi pemanfaatan pupus gebang oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran antara lain mulai dari Sumber Kodung, Alas Malang, Bilik, Merak, Kajang, Bama, Sirontoh, Candibang, Curah Ulin, Sirokoh, Sumiang, Dadap, Palongan, Kalikepuh, Sambikerep, Puyangan sampai ke Perengan.

Daunnya yang masih muda atau lebih dikenal dengan pupus gebang (kobel) banyak dimanfaatkan untuk tali temali khususnya oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran yang berasal dari daerah Tenggiran, Desa Bajulmati. Selain itu, sebagian berasal dari Dusun Jelun, Desa Wonorejo dan daerah Karangtekok, Desa Sumberwaru. Di daerah Tenggiran terdapat empat orang pengepul (pengumpul) yang masing- masing pengepul minimal mempunyai 15 orang pelanggan (pengambil pupus gebang).

Dalam satu hari masyarakat bisa memperoleh kobel 2-5 kg dari ±4 pohon gebang. Satu pohon gebang bisa menghasilkan ½ kg kobel. Pengambilan pupus

gebang ini dilakukan dengan beberapa cara, untuk perempuan pengambil pupus gebang biasanya memungut yang jatuh ke lantai tanah atau mengambil dari anakan gebang. Berbeda halnya dengan kaum lelaki, mereka biasanya mengambil dengan bantuan galah bambu yang dipasang pisau/sabit diujungnya. Apabila panjang galah tidak mencapai sasaran maka dilakukan pengambilan dengan memanjat pohon gebang. Dalam hal ini, untuk mempermudah memanjat, mereka membuat anak tangga yang dipaku ke pohon tersebut sebagai pegangan dan injakan kakinya.

Pengambil gebang biasanya berangkat dari rumahnya sekitar pukul 04.00 WIB dan pulang dari alas (hutan) sekitar pukul 17.00 WIB. Jika tidak ada patroli gabungan, mereka hampir tiap hari mengambil pupus gebang dari dalam kawasan TN Baluran. Kalau pun mereka libur/tidak mencari pupus gebang, mereka memproses pupus tersebut yang telah diperolehnya. Untuk mempermudah dan memperingan dalam membawanya ke tempat tinggal, umumnya pengambil membuang dahulu lidinya di hutan. Tetapi ada juga pengambil pupus gebang yang membawa pupus tersebut tanpa dibuang lidinya terlebih dahulu. Untuk pengambil yang demikian, mereka membuang lidinya di tempat tinggalnya. Setelah daun gebang tersebut terbagi dua kemudian diserut salah satu bagian permukaannya yang cukup kuat lalu dijemur dalam ikatan- ikatan untuk mempermudah pengeringan sampai berwarna kecoklat-coklatan. Proses dari pembuangan lidi sampai penjemuran bisa menghabiskan waktu ±3 hari. Setelah itu, daun gebang siap untuk dijual. Daun tersebut dibeli oleh pengepul dengan harga Rp. 4000,00 sampai Rp. 4500,00/kg. Dengan kualitasnya yang cukup kuat untuk tali temali maka daun gebang ini biasanya dijual oleh para pengepul ke Pasuruan. Di

Pasuruan tali gebang tersebut diproses menjadi tampir yang selanjutnya dapat dijadikan tas, topi, tutup lampu dan kerajinan lainnya.

Pengambilan gebang menimbulkan kerusakan tegakan gebang di lokasi serta kondisi habitatnya. Pada umumnya, kondisi fisik tanaman yang rusak, baik pada gebang dalam pertumbuhan awal (anakan) atau pada gebang dewasa, ditandai dengan tinggi tanaman yang tidak merata dengan tinggi rata-rata hanya 6 meter karena pertumbuhan yang terganggu. Selain itu juga, kondisi daun yang tidak normal, yaitu banyak tangkai daun yang patah atau akibat pemotongan dan pengambilan daun muda/pupus. Banyak diantaranya yang nampak mati sebelum keluar malai (tandan bunga/biji) karena pengambilan daun muda yang tanpa perhitungan. Dan sejak anakan, dimana dianggap oleh pemanfaat gebang telah menghasilkan daun muda/kobel yang secara kriteria telah memenuhi standar untuk diambil, maka tanpa peduli mereka pun mengambilnya juga. Sedangkan dari kondisi habitatnya, di lokasi tersebut nampak areal-areal terbuka yang merupakan akibat dari matinya tegakan gebang pada pertumbuhan awal. Hal ini mengurangi kerapatan dari tegakan gebang di lokasi tersebut.

Penanganan yang dilakukan untuk mengendalikan kegiatan pemanfaat daun gebang tersebut diantaranya yaitu dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat akan akibat/dampak negatif dari perusakan tersebut. Di samping itu juga perlu patroli lapangan secara rutin/terpadu untuk mencegah masyarakat melakukan pengambilan bagian-bagian gebang tersebut. Upaya lainnya, yaitu dengan berupaya memberikan aktivitas ekonomi alternatif lain tanpa masuk kawasan TN Baluran. Langkah lainnya dengan pendekatan kepada para pengepul, sebagai pemilik modal, agar mengarahkan anak buahnya untuk meminimalisir pengambilan daun gebang dari dalam kawasan taman nasional dan berupaya mengatur pola pemanfaatan daun gebang dalam kawasan TN Baluran yang memenuhi kaidah kelestarian sehingga walaupun adanya pemanfaaan, tegakan gebang mempunyai tenggang waktu untuk regenerasi secara optimal.

2. Biji gebang (kelanting)

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, biji gebang atau lebih dikenal dengan kelanting juga banyak ditemukan di kawasan pantai TN Baluran meliputi

Sumber Kodung, Alas Malang, Bilik, Merak, Kajang, Bama, Sirontoh, Candibang, Curah Ulin, Sirokoh, Sumiang, Dadap, Palongan, Kalikepuh, Sambikerep, Puyangan sampai ke Perengan.

Apabila gebang mencapai titik pertumbuhan dengan keluarnya tandan bunga berbentuk malai melebar dan kemudian menjadi biji, juga dimanfaatkan oleh masyarakat. Biji gebang atau kelanting tersebut biasanya digunakan dalam kerajinan tasbih dan sandaran jok mobil. Hampir semua pengambil kelanting di sekitar TN Baluran berasal dari Dusun Jelun, Desa Wonorejo. Di dusun tersebut hanya terdapat satu orang pengepul yang berdasarkan wawancara, pengepul tersebut mempunyai 10 orang pelanggan (pengambil kelanting) yang semuanya berasal dari Jelun. Pengepul biasanya memperoleh 40-60 kg/hari dari semua pelanggannya.

Satu pohon gebang bisa menghasilkan 1 ton kelanting. Dalam pengambilannya, kelanting tersebut dijatuhkan dari pohonnya ke lantai tanah dengan memanjat pohon gebang yang telah dipasang anak tangga seperti halnya dalam pengambilan pupus gebang. Setelah terkumpul di bawah tegakannya maka kelanting tersebut dibiarkan ±6 bulan di tempat tersebut untuk memperingan dala m membawanya sampai ke tempat tinggal pengambil dan membantu dalam pengelupasan kulitnya. Setelah itu, baru dibawa ke pengepul untuk di selip (dibersihkan dari kulitnya) dengan menggunakan mesin penyelip dan kemudian dijemur ±3 hari. Dalam proses penyelipan 2 ton kelanting bisa diselip dalam jangka waktu 1 hari.

Kelanting dijual ke pengepul dengan harga Rp. 75,00/kg. Untuk satu kali pengiriman, pengepul mengumpulkan ±2 ton dalam waktu 2 bulan. pengiriman kelanting biasanya ke daerah Jember untuk dibuat tasbih. Menurut hasil

wawancara, 1 kg kelanting bisa menghasilkan 6 tasbih dengan harga Rp. 2.000,00/tasbih.

Kegiatan pengambilan kelanting berakibat berkurangnya persentasi regenerasi alami gebang. Apabila kegiatan ini terus berlangsung maka kondisi tegakan gebang yang telah rusak akibat dari pengambilan daun muda menjadi diperparah dengan berkurangnya potensi regenerasi gebang muda. Dari kondisi tersebut di atas, merupakan ancaman terhadap kelestarian gebang di TN Baluran. Banyaknya volume pengambilan biji gebang, serta banyaknya jumlah masayarakat pengambil mengakibatkan percepatan rusaknya tegakan gebang tersebut. Apabila kegiatan masayarakat tersebut semakin tidak terkendali, maka dalam hitungan tahun keberadaan gebang di TN Baluran semakin parah dan tidak menutup kemungkinan akan habis.

Seperti halnya pada daun gebang, penanganan dalam pengambilan bijinya pun dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman, patroli lapangan secara rutin dan terpadu serta memberikan aktivitas ekonomi alternatif lain bagi masyarakat pemanfaat gebang. Selain itu penting juga adanya pengaturan dari pihak pengelola mengenai pola pemanfaatan yang memperhatikan kelestarian baik itu cara atau mekanismenya maupun pembatasan pada lokasi pengambilannya.

3. Biji Akasia

Akasia nilotica sangat identik dengan TN Baluran. Pohon ini melimpah ruah dan penyebarannya pun cukup cepat di kawasan TN Baluran. Hampir di setiap zonasi dalam kawasan TN Baluran ditemui pohon akasia sehingga mempermudah masyarakat untuk mengambilnya (Lihat Lampiran 5). Lokasi- lokasi yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TN Baluran antaralain di Alas Malang, Watu Numpuk, Sumber Kodung, Bilik, Merak, Balanan, Lempuyang, Kajang, Bekol, Pal Boto, Paleran, dan di sepanjang pinggir jalan raya mendekati pos Karang Tekok.

Dengan penyebaran tersebut di atas, tak heran jika masyarakat desa penyangga TN Baluran banyak yang memanfaatkan akasia dari dalam kawasan TN Baluran. Selain kayunya yang dipergunakan sebagai bahan bakar, bijinya pun dimanfaatkan untuk campuran kopi dan bisa juga dibuat kecambah untuk sayur.

Pada musim kemarau biji akasia sudah mulai tua dan masak antara bulan Juni- September.

Pengambilan biji akasia oleh masyarakat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan memungut dari biji yang jatuh di lantai hutan maupun dengan menggunakan alat yang dapat menjangkau biji akasia di pohonnya. Pengambilan tersebut dapat menekan laju pertumbuhan akasia sejauh kegiatan pemanfaatan dilakukan tanpa merusak kawasan di sekitar lokasi pemanfaatan. Tetapi ada sebagian masyarakat untuk memanfaatkannya mereka melakukan penyelipan (penjemuran dengan membuang kulitnya untuk mendapatkan biji akasia bersih) di jalan raya untuk pos Karang Tekok (dari arah batangan). Kadang-kadang bekas dari penyelipan dibakar dipinggir jalan tersebut

Pada umumnya, pengambil biji akasia yaitu kaum perempuan. Sebagian diantaranya membawa sepeda untuk mencari biji akasia ke dalam kawasan TN Baluran. Tetapi tak sedikit juga yang jalan kaki baik sendiri maupun bersama temannya. Mereka biasanya berangkat mencari biji tersebut pagi-pagi sekitar pukul 06.00 WIB. Dalam sekali mencari biji akasia diperoleh 3-20 kg. Setelah terkumpul ±1 kuintal baru biji tersebut diselip di jalan ataupun di pekarangan rumahnya. Penyelipan yang dilakukan di jalan raya biasanya dimulai dari pukul 06.00-13.00 WIB. Penyelipan tersebut untuk mempermudah pemanfaatan karena selain kondisinya yang panas di atas aspal juga dibantu dengan kendaraan yang menggilasnya sehingga biji-biji akasia cepat mengelupas dari kulitnya. Setelah itu, baru disapu dan ditampi. Hasil tampiannya dipisah antara kulit yang terbuang dengan biji yang sudah lepas dari kulitnya. Kemudian dianginkan supaya bersih dari kulitnya dan terakhir ditampi kembali. Setelah itu barulah biji akasia siap

untuk dijual. Harga biji akasia bersih mencapai Rp. 1.500,00 sampai Rp. 3.000,00 per kg.

Dampak pemanfaatan akasia diduga dapat membantu pengelolaan TN Baluran. Hal ini dikaitkan dengan Akasia nelotica sebagai tumbuhan exotic yang merupakan permasalahan dalam pengelolaan TN Baluran. Dalam pengelolaannya justru dilakukan pemberantasan terhadap tanaman tersebut. Sehingga dengan adanya pemanfaatan akasia oleh masyarakat baik itu pengambilan kayunya maupun bijinya diduga akan mengurangi penyebaran akasia. Tetapi jika dalam teknik pemanfaatannya dilakukan penyelipan yang salah misalnya di jalan raya mendekati pos Karang Tekok maka hal ini memicu tumbuhnya akasia dari biji-biji sisa yang tertinggal setelah penyelipan, karena pemanfaat menyapunya ke pinggir jalan dan menampinya. Selain itu, sisa-sisa dari penyelipan tersebut dibakar sehingga menimbulkan polusi udara, musnahnya lapisan humus dan jasad renik serta mengurangi tingkat kesuburan tanah. Dampak negatif lain dari pemanfaatan akasia, semakin banyak orang yang masuk ke dalam kawasan semakin sulit pengawasannya karena memungkinkan pula mengambil sumberdaya hutan lainnya.

Berdasarkan dampak pemanfaatan akasia yang telah dikemukakan di atas, maka pengambilan biji akasia ini diperbolehkan tetapi terbatas pada lokasi- lokasi tertentu dengan teknik-teknik pemanfaaatannya lebih memperhatikan konservasi, tidak seperti kasus penyelipan yang telah dibahas.

Gambar 9. Kegiatan dalam Penyelipan Biji Akasia (Ditampi dan Dianginkan)

Gambar 10. Dampak Penyelipan (Pembakaran)

4. Asam (Tamarindus indica)

Penyebaran pohon asam tidak merata dalam kawasan TN Baluran. Wilayah penyebarannya antara lain sepanjang jalan Batangan-Bekol, Bekol, Curah Ulin, Glingseran, Gunung Montor, Alas Malang, Jeding, Bilik, Gatel, dan daerah pondok jaran lainnya.

Dengan penyebaran tersebut, maka mengundang masyarakat sekitar kawasan TN Baluran untuk memanfaatkan buah asam sebagai keperluan rumah tangga atau dijual untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau sebagai pekerjaan sampingan. Pemanfaatan ini berlangsung selama Bulan Juni- Agustus. Pada musimnya tersebut, pemanfaatan asam dapat dilakukan 2-7 kali/minggu. Dalam satu kali pengambilan biasanya diperoleh 1-2 sak asam (1 sak = 5-10 kg). Hasilnya dikumpulkan untuk dijemur kemudian dikupas sehingga didapatkan buah asam bersih yang siap dijual dengan harga Rp. 2.000,00 sampai Rp. 3.000,00/kg. Biasanya mereka mulai mengumpulkan buah asam sekitar pukul 04.00-17.00 WIB selepas pekerjaaan yang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat pemanfaat asam, saat ini produksi asam di dalam kawasan TN Baluran lebih sedikit dibandingkan tahun- tahun sebelumnya sehingga pemanfaat asam di desa penyangga TN Baluran pun berkurang dan harga asam saat ini menjadi naik dari ± Rp. 1300,00/kg pada tahun 2004 menjadi Rp. 2.000,00 sampai Rp. 3.000,00/kg.. Menurut pengalaman para pemanfaat asam, ketika musim asam berbuah di dalam kawasan TN Baluran biasanya mereka dikenakan karcis untuk satu kali musim asam berbuah oleh pihak TN Baluran, dengan satu karcis senilai Rp. 10.000,00 dan dibayar kolektif kepada kepala dusun. Walaupun retribusi pungutan tersebut sudah tidak berjalan lagi tapi

dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan cara yang pernah dilegalkan oleh pihak TN Baluran terhadap pemanfaatan asam.

Pengambilan asam dapat dilakukan dengan berbagai cara memungut dari buah asam yang jatuh di sekitar tegakannya, memanjat pohonnya atau menggunakan galah. Pengambilan dengan memotong cabang atau ranting mengakibatkan menurunnya hasil yang diperoleh pada musim berikutnya karena tajuk menjadi rusak dan pertumbuhan dahan yang dipotong akan mengalami hambatan. Lain halnya apabila pengambilan dilakukan dengan cara menggunakan galah yang ujungnya diberi benda tajam bahkan dengan cara memungut di bawah tegakannya. Hal ini tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada dahan tersebut. Adanya pemanfaat buah asam dapat juga menimbulkan gangguan terhadap ketenangan satwa. Pola penyebaran satwa sering terganggu dan terhalau oleh pemanfaat buah asam pada waktu satwa beristirahat.

Dalam rangka menjaga kelestarian pohon asam, sebaiknya pihak pengelola TN Baluran melakukan atau menetapkan pengaturan dalam pola pemanfaatan asam dengan cara dan mekanisme yang aman tanpa merusak kelestarian pohon tersebut. Selain itu, untuk meminimalisir gangguan terhadap ketenangan satwa dilakukan pengaturan lokasi atau zonasi pengambilan buah asam tersebut.

5. Kayu Bakar

Kayu bakar yang berasal dari dalam kawasan TN Baluran diambil dari daerah Bunutan, Licin, Paleran, Pengarengan, Tlogo, Gatel, Tekok Abu, Alas Malang, Watu Numpuk, dan Lemabang untuk masyarakat pemanfaat kayu bakar

dari Desa Sumberwaru dan Desa Sumberanyar. Sedangkan untuk Desa Wonorejo, Bajulmati dan Watukebo, mereka mengambil kayu bakar dari daerah Kedung Bunder, Siroko, Kali Kepuh, Pal Boto, Puyangan, Curah Ulin, Perengan. Lokasi- lokasi tersebut sebagian besar termasuk ke dalam daerah penyangga TN Baluran (Lihat Lampiran 5).

Pemanfaatan kayu bakar sebagai bahan bakar masih banyak dilakukan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran. Sebagian masyarakat tersebut mengumpulkan kayu bakar dari dalam kawasan TN Baluran untuk digunakan sendiri dan sebagian besar lainnya untuk dijual sebagai penghasilan utama maupun sebagai penghasilan tambahan.

Kegiatan pemanfaatan kayu bakar dimulai pukul 06.00-17.00 WIB dengan lama pemanfaatan 2-4 jam/individu dalam 2-7 kali/minggu. Jenis kayu yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat TN Baluran antara lain akasia (Acacia nelotica), walikukun (Schoutenia ovata), talok (Grewia acuminata), jati (Tectona grandis), kesambi (Scleicheira oleosa), dan asam (Tamarindus indica).

Sebagian besar dari pemanfaat kayu bakar menggunakan sepeda dan motor sebagai alat transportasi dan pengangkutan kayu bakar. Selain itu, sebagian lagi berjalan kaki dengan memikul atau menyunggi kayu tersebut, ada juga yang menggunakan truk untuk pengambilan di zona penyangga yang dikelola Perhutani. Pemanfaatan kayu bakar yang menggunakan sepeda dan motor bisa mengambil kayu dalam satu kali ke hutan ± 2-5 ikat sedangkan pemanfaat yang memikul atau menyunggi hanya mengambil ± 1-2 ikat. Pengambilan dengan menggunakan kendaraan truk di zona penyangga dilakukan secara berkelompok sekitar 4-10 orang dan dalam volume pemanfaatan 120-200 ikat/truk.

Kayu bakar yang diperoleh oleh pemanfaat baik yang memikul, menyunggi maupun menggunakan sepeda dan motor biasanya dijual ke Pasar Galean, Pasar Asem Bagus maupun ke restoran-restoran yang membutuhkannya. Harga per ikat kayu bakar mencapai Rp. 1.500,00 sampai Rp.3.000,00. Sedangkan kayu bakar yang diangkut dengan truk biasanya langsung dijual ke Pabrik Kapur, Pabrik Batu Merah atau Pabrik Genting dengan harga Rp. 160.000,00 sampai Rp.200.000,00/truk. Sedangkan harga beli dari para pengambil kayu di hutan mencapai Rp.40.000,00 sampai Rp.85.000,00/truk.

Pengambilan kayu bakar yang selama ini dilakukan tidak hanya dalam bentuk mengambil ranting-ranting atau cabang-cabang pohon yang sudah kering, tetapi juga dalam bentuk menebang pohon. Pemanfaatan kayu bakar bila dilakukan dengan cara mengambil ranting-ranting tidak menimbulkan dampak yang berarti terhadap vegetasi di lokasi pemanfaatan. Namun bila pengambilan dilakukan dengan cara menebang pohon akan menimbulkan perubahan terhadap vegetasi di lokasi pemanfaatan tersebut. Pengambilan dengan cara tersebut biasanya memerlukan waktu yang lama karena kayu tersebut disimpan terlebih dahulu agar na mpak seperti kayu kering pada saat pengangkutannya dari kawasan TN Baluran. Selain itu juga, dengan menebang pohon dapat menimbulkan kelangkaan jenis tegakan dan mengurangi atau menghilangkan habitat satwa.

Dalam mengendalikan pengambilan kayu bakar tersebut diantaranya dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman secara intensif kepada masyarakat akan dampak dari perusakan tersebut. Disamping itu, perlu juga patroli lapangan secara rutin/terpadu. Upaya lainnya yaitu adanya koordinasi dengan Perum Perhutani terutama dalam hal pengembangan hutan untuk kayu bakar dan adanya pengaturan dari pihak TN Baluran mengenai lokasi dan mekanisme pengambilan yang memperhatikan konservasi.

6. Rumput

Seperti halnya kayu rencek, lokasi pemanfaatan rumput juga antara lain di Bunutan, Licin, Alas Malang, Lemabang, Watu Numpuk, Air Tawar, Paleran, Pengarengan, Tlogo, Gatel, Tekok Abu, Puyangan, Perengan, Sumiang dan sepanjang Batangan-Bekol (Lihat Lampiran 5).

Pengembalaan liar di dalam kawasan TN Baluran telah memicu masyarakat di sekitarnya untuk memanfaatkan rumput sebagai pakan ternaknya. Walaupun telah menggembalakan ternaknya tiap hari ke hutan tetapi tetap saja mereka juga mengambil rumput untuk mencukupi pakannya selama di kandang. Pemanfaatan rumput umumnya dilakukan oleh masyarakat Desa Sumberwaru, Desa Wonorejo dan Desa Bajulmati. Pemanfaatan tersebut berlangsung sepanjang musim dengan intensitas pemanfaatan hampir terjadi setiap hari.

Jenis rumput yang biasa dimanfaatkan seperti lamuran (Arundellia setosa), merakan (Apluda mutica), lamuran putih (Dichantium caricosum), kolonjono (Brachiaria sp), gajah- gajahan (Scleractine punctata), jarong (Shchytarheta jamaincensis), alang-alang (Imperata cylindrica) dan padi-padian (Shorgum nitidus).

Selain dipikul, pemanfaat rumput biasanya mengambil rumput dengan menggunakan sepeda. Dalam satu sepeda, rumput yang diambil bisa mencapai 1-3 ikat. Rumput tersebut jarang sekali untuk diperjualbelikan tetapi bila rumput tersebut ditukar dengan barang lain ataupun dijual maka bisa mencapai harga ± Rp. 2.500,00 sampai Rp 5.000,00/ikat.

Rumput termasuk kelompok flora yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemanfaatan tradisional pada kawasan pelestarian alam (Sriyanto 2005). Tetapi walaupun demikian pengambilan rumput dalam kawasan TN Baluran menyebabkan turunnya potensi persediaan pakan satwa liar herbivor. Selain itu pengambilan rumput juga memicu pemanfaat untuk mengambil sumberdaya hutan lainnya dari dalam kawasan TN Baluran. Seperti pada jenis sumberdaya hutan yang telah dikemukakan terdahulu, dalam mengendalikan dampak tersebut

diperlukan pembatasan lokasi dan pengaturan cara dan mekanisme yang aman sehingga potensi sumberdaya hutan tetap lestari.

7. Rambanan

Dokumen terkait