• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

B. Kharaj

3. Jenis-Jenis Kharaj

Jenis kharaj dibagi menjadi dua yakni berdasarkan tarif dan cara mendapatkannya Kharaj berdasarkan tarifnya dibedakan menjadi dua bagian diantaranya:

40 Veithzal Rivai, Amiur Nuruddin, Faisar Ananda Arfa, Islamic Buiness and Economic Etchis, (Yogyakarta : Bumi Aksara, 2012) h. 27.

32

a. Kharāj wāzifah (tetap) yakni beban khusus pada tanah sebanyak hasil lahan atau uang persatuan lahan, kharāj tetap menjadi wajib setelah satu tahun dan hanya dikenakan satu kali satu tahun.

b. Kharāj muqasamah (proporsional), yakni pajak yang dikenakan berdasarkan hasil yang diperoleh dari tanaman. Setengah atau sepertiga hasil tanah tersebut sesuai kebijaksanaan imam asalkan tidak lebih dari setengah hasil tanah atau kurang dari seperlima. Pada umunya dipungut setiap kali panen dan bisa lebih dari satu kali setahun.

Sedangkan berdasarkan cara mendapatkannya dibagi juga menjadi dua, diantaranya:

a. Kharāj 'unwah (Kharaj paksaan), yaitu tanah yang diambil oleh orang muslim terhadap orang kafir melalui peperangan. Contohnya tanah Irak, Syam dan Mesir.

b. Kharāj sulhi (Kharaj damai), yaitu tanah yang diambil dari pemiliknya karena menyerahkan diri kepada orang Islam berdasarkan perjanjian damai.

C. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan gambaran sementara dari objek analisis untuk memudahkan arah penelitian. Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, objek pembahasan berawal dari kebijakan fiskal suatu pemerintahan. Kebijakan fiskal tersebut tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan setiap tahunnya. Beberapa komponen dari APBN di Indonesia diantaranya Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, Defisit Anggaran, dan

Fiskal

Keseimbangan primer

Defisit anggaran

Pendapatan pembiayaa Belanja

Pajak daerah Pajak pemerintah

Hibah Pajak

PNBP Non Muslim Muslim

Pengeluaran Pendapatan

Analisi Komporatif

Hasil

Kharaj PBB (UU

No.12Tahun 1985 ) Pembiayaan.

Fokus dari peneilitian ini, pada komponen pendapatan yang bersumber dari pajak bumi dan bangunan yang sesuai dengan ketentuan UU No.12 tahun 1985.

Ketentuan tersebut terkait objek pajak, subjek pajak, cara penetepan, dan mekanisme penangihannya. Beberapa ketentuan sebelumnya akan di analisis dan dibandingkan dengan kebijakan Kharaj pada masa Umar bin Khattab.

Adapun kerangka pemikiran penelitian ini, dijelaskan pada gambar 2.1.

sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Umar bin khattab

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tokoh yang termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan (Library Research) dengan pendekatan Historis. Artinya penelitian ini cenderung mengungkapkan biografi dan juga pemikiran sang tokoh baik tokoh itu masih hidup maupun tokoh itu sudah meninggal, baik melalui wawancara langsung maupun tak langsung dan juga dengan mengadakan penelusuran terhadap hasil karyanya dari naskah-naskah yang pernah ditulis oleh tokoh itu sendiri maupun yang ditulis oleh tokoh lain tentang biografi dan pemikiran tokoh yang akan diteliti.41 Pada penelitian ini, fokus pada ketentuan pajak bumi dan bangunan menurut Undang-undang nomor 12 tahun 1985 dan juga literatur-literatul yang mengkaji terkait masa kepemimpinan Umar bin Khattab, terkhusus pada kebijakannya tentang kharaj.

B. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.

1. Penelitian ini menggunakan data primer yaitu naskah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang ketentuan pajak bumi dan bangunan. Selain itu beberapa Jurnal yang membahas tentang konsep kharaj dalam keuangan publik Islam.

41 Nursapia Harahap, “Penelitian Kepustakaan”, Jurnal Iqra, Vol 8, No. 2, (2014), h. 70.

34

2. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang diperoleh melalui perantara berupa jurnal atau peraturan pemerintah, serta berita tentang isu-isu terkait.42 Data tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk memahami data dan dokumen penelitian. Data dikumpulkan oleh lembaga pendata dan dirilis ke komunitas pengguna data (Kuncoro, 2009: 148). Untuk memperoleh makna atau kejelasan terhadap kenyataan, data yang diperoleh akan dideskripsikan. Data diperoleh dari literatur terkait dengan materi yang akan dibahas, baik berupa laporan kinerja, laporan tahunan, buku, terbitan berkala, surat kabar, maupun data yang diperoleh dari sumber lain yang mendukung penelitian ini.

C. Metode Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap orientasi dan tahap eksplorasi.

1. Tahap orientasi adalah tahap dimana peneliti mengumpulkan data secara umum tentang sang tokoh dan seluruh karya-karyanya dan juga seluruh pemikirannya dalam semua bidang.43

2. Tahap eksplorasi yaitu tahap dimana seorang peneliti mengumpulkan data data yang lebih terarah sesuai fokus penelitian atau bidang yang diteliti.

42 M. Burhan Bungin, “Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi,Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Lainnya”, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 133.

43 Nursapia Harahap, “Penelitian Kepustakaan”,Jurnal Iqro, Vol, 8, No. 1, (20140, h. 70.

36

D. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif dengan teknik analisis data yaitu induktif dan deduktif. Metode deskriptif, yaitu dengan menggambarkan secara tepat masalah yang akan diteliti sesuai dengan data yang diperoleh kemudian dianalisa44

1. Deduktif, yaitu kebalikan dari metode induktif. Metode ini membahas data- data yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus dari data-data tersebut.

E. Instrumen Penelitian

Menurut Suharsimi, instrumen penelitian merupakan alat bantu dalam pengumpulan data.45 Instrumen penelitian merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena fungsinya sebagai sarana pengumpul data yang banyak menentukan keberhasilan suatu penelitian yang dituju. Oleh karena itu, instrumen penelitian yang digunakan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari penelitian itu sendiri. Adapun instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini yakni peneliti, jurnal-jurnal, buku, dan leptop.

F. Teknik Pengelolaan Data dan Analisis Data

Teknik pengolaan data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang disajikan dalam bentuk narasi kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk

44 Kazwaini, “Epistemologi Perpajakan Dalam Pemikiran Al-Mawardi”, Jurnal An-nida, Vol 41, No. 1, (2017), h. 86.

45 SuharsimiArikunto, Prosedur Peneliti Suatu Pendekatan Praktik (Edisi revisi;Jakarta:

Rineka Cipta, 2006), h.68.

verbal yang diolah menjadi jelas, akurat, dan sistematis.46 Peneliti melakukan pencatatan dan berupaya mengumpulkan informasi mengenai ketentuan pajak bumi dan bangunan menurut undang-undang nomor 12 tahun 1985 dan kekhalifaan pada masa Umar bin Khattab.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, seperti kajian kepustakaan yang sudah di tuliskan dalam catatan peneliti. Adapun teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknis analisis data dari Miles dan Huberman, sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitia ini dilakukan dengan mencari, mencatat, dan mengumpulkan data melalui hasil kajian pustaka terkait fokus penelitian.

2. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses perangkuman data dengan cara memilih hal- hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Pada reduksi data, peneliti menfokuskan pada objek pajak, subjek pajak, cara penetapan pajak, dan mekanisme penangihan.

3. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langka selanjutnya adalah penyajian data.

46 Pawito, Penelitian komunikasi kualitatif, Cet.1. (Yogyakarta: PT Lkis, 2008), h. 89.

38

Dalam penyajian data, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Penyajian data dilakukan untuk mempermudah peneliti untuk dapat mendeskripsikan data sehingga akan lebih mudah dipahami kesimpulan mengenai rumusan masalah sebelumnya.

4. Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi

Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah langkah terakhir dalam menganalisis data penelitian kualitatif. Akan tetapi, kesimpulan awal biasanya masih bersifat sementara sehingga dapat berubah apabila tidak ditemukan bukti yang dapat mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya. Namun sebaliknya, apabila kesimpulan awal tersebut didukung oleh bukti- bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang andal dan teruji (kredibel).

BAB IV HASIL

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu perlu dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Disamping itu pajak bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam garis-garis besar haluan pajak bumi dan bangunan pada Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peran serta dan kegotong-royongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional. Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbudkan beban pajak berganda bagi masyarakat, dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum, untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang- undang tentang pajak bumi dan bangunan.

39

40

A. Ketentuan Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bagunan

Pajak bumi dan bangunan dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. Pajak bumi dan bangunan pengenaannya didasarkan pada Undang- undang No. 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.

Dalam bab I diatur tentang Ketentuan Umum yang memberikan penjelasaan tentang istilah-istilah teknis atau definisi-definisi pajak bumi dan bangunan seperti pengertian :

a. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.

Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betul- betul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang, gas material yang lainnya.

b. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.

1. Ketentuan Umum

Pasal 1 Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :

a. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;

b. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;

c. Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi juai beli, Nilai Jual Obyek Pajak oleh Presiden Republik Indonesia.ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti;

d. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang- undang ini;

e. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak.

2. Obyek Pajak

Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.

Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :

“Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan, adalah

42

kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.”

Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.

a. Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang di kecualikan dari pengenaan pajak bumi dan bangunan.

a. Obyek Pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah obyek pajak

1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan

2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis.

3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik

5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

b. Obyek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah. Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap satuan bangunan.

c. Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat

d. Akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

3. Subyek Pajak

Subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Namun, tidak jarang ada objek pajak yang diakui oleh lebih dari satu orang subjek pajak, yang berarti ada satu objek pajak tetapi memiliki beberapa wajib pajak.

Apabila terjadi statu kejadian dimana satu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh beberapa subjek pajak atau satu objek pajak belum diketahui dengan jelas siapa Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat perjanjian (agreement) antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek pajak tersebut. Dalam perjanjian tersebut salah satu pasalnya biasanya membahas siapa yang akan melakukan kewajiban pembayaran pajak termasuk pajak bumi dan bangunan. Apabila dalam perjanjian tidak disebutkan atau memang terjadi lebih dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum diketahui siapa yang menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajaknya (UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).

44

Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini.

Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak. Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

4. Tarif Pajak

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). Mengenai cara menghitung pajak Pasal 6

(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak

(2) Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.

(3) Dasar penghitungan pajak adalah nilai jual kena pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100%

(seratus persen) dari Nilai Jual Obyek Pajak.

(4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam`

ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Dengan melihat ketentuan pajak diatas, bahwasanya sebagai penulis juga sebagai peneliti bahwasanya pajak yaitu kontribusi wajib pajak negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi dalam pembangunan sarana dan prasarana. Salah satu aspek penunjak dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional selain dari aspek sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya adalah ketersediaan dana pembangunan baik yang diperoleh dari sumber-sumber pajak maupun non pajak.

Pembangunan nasional yang baik dan berkesinambungan akan berjalan lancar, oleh karena itu harapan kami diperlukan berbagai macam faktor pendorong yaitu dukungan dan partisipasi dari seluruh masyarakat baik yang berada di daerah maupun yang berada di pusat serta dana yang bersumber dari

46

pajak dan non pajak. Sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat potensial.

B. Perbandingan ketentuan Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bagunan dengan kebijakan Kharaj pada masa khaifah Umar bin Khattab

Pajak (Dharibah) merupakan salah satu bentuk muamalah dalam bidang ekonomi sebagai alat pemenuhan kebutuhan negara diantaranya untuk pembangunan sarana dan prasarana dan masyarakat untuk membiayai berbagai kebutuhan bersama (kolektif), seperti keamanan kesehatan, dan pendidikan.

Untuk itu, tentu diperlukan adanya tentara, polisi,pegawai serta perlengkapan lainnya, tenaga kesehatan dan rumah sakit, para guru dan gedung sekolah. Jika sumber-sumber seperti zakat, ghanimah, danlain-lain tidak mencukupi, maka ulil Amri dapat menetapkan pajak (Dharibah) sebagai pendapatan tambahan dan dipungut hanya dalam keadaanterjadinya kekosongan atau kekurangan Baitul Mal (kas Negara). Sungguhpun tidak diperbolehkan oleh ulama, pelaksanaannya harus sesuai dengan rambu-rambu syariat. Jika tidak, pajak akan keluar dari jalurnya sebagai alat pemenuhan kebutuhan Negara dan masyarakat, menjadi alat penindas dari penguasa kepada rakyat.

Islam sebagai Agama memiliki seperangkat aturan atau syariat yang mengatur tata cara hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antar sesama manusia dalam seluruh aspek. Dalam bidang Ekonomi, Alqur‟an dan Hadis mengatur bagaimana tata cara individu dan negara memperoleh

pendapatan, sehingga terpenuhi47. Berbagai kebutuhan seluruh umat manusia, baik kebutuhan pribadi maupun kebutuhan Negara. Pada dasarnya pajak sebagai sumber pendapatan Negara dalam Al-Qur‟an maupun hadis dibenarkan, karena Islam sudah mewajibkan zakat bagi orang-orang yang sudah terpenuhi ketentuan mengenai zakat. Namun bisa sajaterjadi suatu kondisi di mana zakat tidak lagi mencukupi pembiayaan Negara.

Pada masa Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada non muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak- anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini. Disamping itu, Rasulullah Saw juga menerapkan sistem kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan setengah hasil produksinya kepada negara. Rasulullah Saw mengirim orang-orang yang ahli untuk menaksir jumlah keseluruhan hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai konpensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran, dan sisanya yang dua pertiga dibagi-bagikan, setengahnya untuk negara dan

47 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.12

48

setengahnya untuk para penyewa. Dalam perkembanganya, kharaj-inilah yang menjadi sumber pemasukan bagi Negara.

Konsep Pajak dalam bahasa Arab pajak disebut kharaj yang berasal dari kata kharaj yang berarti mengeluarkan. Secara etimologis kharaj adalah sejenis pajak yang dikeluarkan pada tanah yang ditaklukkan dengan kekuatan senjata,terlepas dari apakah si pemilik seorang muslim. Dalam pengertian lain, kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan. Misalnya dengan dikeluarkannya pungutan dari hasil tanah pertanian. Dapat dikatakan pula bahwa kharaj adalah hasil bumi yang dikenakan pajak atas tanah yang dimiliki oleh non muslim.

Dalam istilah lain kharaj adalah uang sewa yang menjadi milik negara akibat pembebasan tanah itu oleh tentara Islam. Tanah itu dipandang sebagai milik negara dan disewakan kepada penduduk muslimin dan Irfan Mahmud Ra‟ana, sistem ekonomi pemerintahan Umar Ibn Khattab.48

Secara etimologi mempunyai arti sebagai iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara / pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang dan sebagainya. Jenis-jenis Pajak dalam Islam ada beberapa macam pajak diantaranya Jizyah. Jizyah adalah pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh suatu Negara Islam pada mereka guna melindungi kehidupannya.

Pada masa Rasulullah saw. Besarnya jizyah satu dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan

48 Rachmatullah Oky, “Teori Pajak Menurut Abu Yusuf Sebuah Alternatif Solusi Perpajakan Di Indonesia” Iqtishoduna, Vol. 8, No.1 (2019), h.7.

dari kewajiban ini.Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa. Sistem ini terus berlangsung hingga masaHarun ar- Rasyid. Dasar hukum ini terdapat dalam surat at-Taubah ayat 29 yaitu sebagai berikut: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang

dari kewajiban ini.Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa. Sistem ini terus berlangsung hingga masaHarun ar- Rasyid. Dasar hukum ini terdapat dalam surat at-Taubah ayat 29 yaitu sebagai berikut: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang

Dokumen terkait