• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini memiliki ruang lingkup hanya pada penetapan pajak bumi dan bagunan pada masa khalifah umar bin khathab dan kebijakan undang-undang nomor 12 tahun 1985 terkait dengan objek pajak, subjek pajak, cara penetapan

pajak, dan mekanisme penagihan pajak. Pembatasan ini menjadi penting guna mengefisienkan waktu yang ada sekaligus menjaga arah penelitian agar tetap pada koridor atau tujuan penelitian yang diharapkan.

Judul penelitian ini adalah, “Analisis Komparatif Ketentuan Pajak Bumi dan Bagunan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dengan kebijakan Kharaj Pada masa Umar Bin Khathab”. Dalam menghindari ketidakjelasan atau ambiguitas dalam penelitian ini penulis merasa perlu menjelaskan istilah-istilah yang ada dalam judul tersebut. Adapun istilah-istilah dalam judul penelitian ini yaitu Ketentuan, Pajak Bumi dan Bangunan, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985, Perspektif, Khalifah Umar Bin Khathab.

1. Analisis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyelidikan suatu perisiwa untuk megetahui keadaan sebenarnya.

2. Komparatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berkenaan atau berdasarkan perbandingan.

3. Ketentuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan suatu yang sudah tentu atau yang telah ditentuakan.

4. Pajak Bumi dan Bagunan merupakan segala pungutan atau iuran wajib tehadap warga Negara yang berhubungan dengan kepemilikan dan pengelolaan sebidang tanah.

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 adalah undang-undang yang memuat aturan tentang pajak bumi dan bangunan di Indonesia.

6. Khalifah umar bin khathab merupakan salah satu khulfaur rasyidin dan merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw.

8

Berdasarkan beberapa defenisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa judul penelitian ini memiliki pengertian yaitu ketentuan pajak bumi dan bangunan dimasa khalifah umar bin khathab yang kemudian dibandingkan untuk mencari persamaan dan perbedaannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 membahas tentang pajak bumi dan bangunan di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai ketentuan pajak bumi dan bangunan menurut undang- undang nomor 12 tahun 1985 dilihat dari ketentuan pajak bumi dan bagunan pada masa umar bin khathab masih belum banyak dilakukan oleh akademisi. Salah satu penelitian yang ditulis oleh Muhammad Riza yang fokus membahas Konsep Maqashid Syariah dan Aplikasinya Dalam Persoalan Pajak Tanah (Kharaj) Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab Ra, dimana dari hasil penelitiannya menerangkan bahwa khalifah umar menggunakan maqashid syariah dalam menerapkan kebijakan kharaj demi kemaslahatan umat.13

Sedangkan dari penelitian Maman Surahman, Fadillah Ilahi yang fokus pada konsep hukum islam dalam pajak menerangkan bahwa konsep hukum islam, pajak adalah kewajiban yang dapat secara temporer diwajibkan oleh ulil amri sebagai dharibah karena kekurangan di baitul mal, dan dapat dihapus jika keadaan baitul mal sudah terisi kembali, diwajibkan hanya kepada kaum muslim yang kaya saja, dan harus digunakan untuk kepentingan mereka (kaum muslim), bukan untuk

13 Muhammad Riza,” Maqashid Syariah Dalam Penerapan Pajak Kharaj Pada Masa Umar Bin Khattab Ra” Jurnal EBIS, Vol. 2, No. 2, (2016), h. 12

kepentingan umum, sebagai bentuk jihad kaum muslim untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar jika hal itu dilakukan.14

Selanjutnya dari penelitian Eddy Rahmawan, yang fokus penelitiannya proses pemungutan pajak bumi dan bangunan yang menerangkan bahwa penerimaan pajak bumi dan bangunana di kecamatan limpasu kabupaten hulu sungai dalam peningkatan pendapatan daerah belum mencapai target yang diharapkan, ini disebabkan karena kurang efektifnya untuk pelaksanaan pemungutan dan pengawasan yang masih sangat kurang dilakukan, hal ini dapat dilihat dari kurang efisiennya pelaksanaan sistem dan prosedur yang dilakuakan untuk mencapai target yang telah di tetap oleh pemerintah setempat.15 Untuk lebih jelasnya akan digambarkan pada tabel 1.1.

14 Maman Surahman, Fadillah Ilahi, “Konsep Hukum Islam Dalam Pajak” Jurnal Amwaluna, Vol. 1 No. 2, (2017), h 166-177.

15 Eddy Rahmawan, “Optimalisasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan (Pbb) Dalam Peningkatan Pendapatan Daerah (Studi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (Pbb) Di Kecamatan Limpasu Kabupaten Hulu Sungai Tengah)” Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan Lokal, Vol. I, Edisi 2, Juli- Desember, (2012), h. 33.

10

Tabel 1.1.

No Penulis/ Tahun/ Judul Variable/Fokus Hasil

1 Maman Surahman,

3 Eddy Rahmawan / 2012

4 Lisa tivani langi, David P.E.saersng/ 2008 /

12

E. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagian berikut:

a. Untuk mengetahui ketentuan pajak bumi dan bangunan menurut undang- undang nomor 12 tahun 1985.

b. Untuk mengetahui analisis perbandingan ketentuan pajak bumi dan bangunan menurut undang-undang nomor 12 tahun 1985 dengan kebijakan kharaj pada masa umar bin khattab.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Secara teoris, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan keilmuan dalam studi perbandingan Ekonomi Islam, khususnya pada aspek pajak bumi dan bangunan yang berlaku di Indonesia dan kebijakan kharaj pada masa umar bin khattab.

b. Secara praktisi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman dalam penerapan perpajakan di Indonesia.

c. Regulasi, penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi regulator untuk memperbarui dan memperbiki kebijakan pajak bumi dan bangunan di Indonesia.

A. Pajak

BAB II

TINJAUAN TEORIS

1. Pengertian Pajak

Pajak merupakan kewajiban warga negara dalam upaya mendapatkan pendapatann untuk pembangunan nasional kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-peraturan pemerintah.16 Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sedangkan menurut P. J.

A. Andriani: “Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”17

Ada pun beberapa ulama yang memberikan definisi tentang pajak dalam Islam di antaranya:

16 Andi Tenri Ummu, “Implementasi Kebijakan Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (Pbb) Di Kecamatan Ulaweng Kabupaten Bone”, Skripsi. Makassar Universitas Hasanuddin, (2015), h. 6.

17 R. Agoes Kamaroellah, “Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pamekasan” Jurnal Ekonomi dan perbankan syariah, Vol. 4, No. 1 Juni (2017), h. 85

14

1) Yusuf Qardhawi berpendapat, “pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial,politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara”.

2) Gazi Inayah berpendapat, “pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah”.

3) Abdul Qadim Zallum berpendapat, “pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. Kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta”.

4) Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Juwaini berpendapat, “pajak adalah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang – orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal”.18

Undang-Undang Perpajakan memberikan kepercayaan kepada setiap

18 Gusfahmi ,Pajak menurut Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2007), h.31-32.

16

warga negara untuk melakukan kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya ke kantor pelayanan pajak. Pajak yang dibayar oleh wajib pajak dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam membiayai keperluan penyelenggaraan kenegaraan yakni pembangunan nasional, dimana pelaksanaan pembangunan nasional diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku saat ini menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang telah menetap di Indonesia selama 183 hari secara berturut-turut dan memperolah penghasilan dari setiap kegiatan usahanya wajib untuk membayarkan pajaknya sesuai dengan Undang – Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia.19

2. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya didalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :

a. Fungsi penerimaan

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiyaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebgai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

19 Andi Tenri Ummu, “Implementasi Kebijakan Pengelolaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Pbb) Di Kecamatan Ulaweng Kabupaten Bone”, Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin, (2015), h. 7.

b. Fungsi mengatur

Pajak berfungsi sebagi alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.20

c. Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan.

d. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.21

3. Jenis – Jenis Pajak

Pembagian jenis pajak dapat dikelompokkan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:

20 Lince Bulutoding, “Perpajakan Indonesia” (Makassar: Alauddin University Press, 2015), h. 7.

21 Jamaluddin, “Pengantar Perpajakan “ (Makassar: Alauddin University Press: cetakan 1, 2011), h. 3.

18

a. Menurut Golongannya

1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh:

Pajak penghasilan.

2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai b. Menurut Sifatnya

1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh:

Pajak Penghasilan.

2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasankan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan din Wajib Pajak. Contoh Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

c. Menurut Lembaga Pemungutnya

1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai numah tangga negara. Contoh:pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan bea materai.

2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemenntah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas:

a) Pajak Daerah Tingkat I (propinsi), Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

b) Pajak Daerah Tingkat II (kotamadya/kabupaten), Contoh: Pajak Pembangunan I, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Bangsa.22

4. Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum , yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

22 Siti Resmi, Perpajak: Teori dan Kasus (Jakarta: Salemba Empat, 2009), h.23-24.

20

d. Pemungutan Pajak harus efisien ( Syarat Finansil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan pajak harus sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.23

5. Pajak Bumi dan Bangunan

Undang-undang yang mengatur tentang pajak bumi dan bangunan (PBB) beberapa kali mengalami perubahan yakni mulai dari Undang-undang No.12 Tahun 1985, kemudian direvisi dalam Undang – Undang No.12 tahun 1994. pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan yang besarannya ditentukan dari objek dari pajak itu yakni bumi atau tanah atau bangunan.24 Bumi yang dimaksudkan yakni permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.25 Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.26

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak obyektif atau pajak kebendaan

h. 2.

23 Mardiasmo“ Perpajakan”, Edisi Revisi 2006 (Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset, 2006),

24 R Agoes Kamarullah, "Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Dinas Pendpatan Daerah Kabupaten Pamekasan", Jurnal IQTISHODIA 5, No.1, (2017), h.87.

25 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pasal 1, ayat 1.

26 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pasal 1, ayat 2.

karena besar kecilnya pengenaan pajak ditentukan oleh kondisi obyek pajaknya yang berupa bumi dan atau bangunan. Sedangkan menurut Rochmat Soemitro, Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, maka oleh sebab itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak. Maka oleh sebab itu pajak ini disebut juga pajak yang obyektif.27

Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang dikenakan terhadap hampir seluruh lapisan masyarakat dan merupakan salah satu sumber utama penerimaan daerah. Dalam APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan daerah dari bagi hasil pajak. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak.Dalam hal ini yang dipentingkan adalah objeknya, maka status atau keadaan orang atau badan yang dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak.28 Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak.29

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan pajak bumi dan bangunan adalah pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki,

27 Soemitro, Rochmat, Pajak Bumi dan Bangunan (Edisi Revisi), (Jakarta :Refika Aditama, 2001), h. 5.

28 Rochmat Soemitro dan Dewei Kania Kughianti, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung:

PT Refika Aditama, 2004), h. 5.

29Erly Suandy, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat. 2011), h. 61.

22

dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dimana besarnya pajak ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah danbangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak.

Faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak bumi dan bangunan adalah luas bangunan, jumlah surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT), dan jumlah objek pajak bumi dan bangunan.

1. Luas Bangunan, Bangunan yang dijadikan objek pajak adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal, tempat berusaha atau tempat yang diusahakan. Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor- faktor sebagai berikut: Bahan yang digunakan, Letak, Kondisi Lingkungan.

2. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) , pajak bumi dan bangunan merupakan pajak dengan sistem pemungutan official assessment yang menekankan pihak fiskus yang lebih proaktif dan kooperatif berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak (WP) atau verifikasi pihak fiskus di lapangan. Pemerintah daerah dibantu oleh setiap Kelurahan untuk mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) sampai ke tangan seluruh wajib pajak. Pajak yang terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang

adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada wajib pajak. Surat pemberitahuan pajak terhutang ini diterbitkan berdasarkan surat pemberitahuan objek pajak (SPOP).

3. Objek Pajak Bumi dan Bangunan , Objek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia dan tubuh bumi yang ada dibawahnya Contoh: sawah, lading, kebun, tanah, pekarangan, dan tambang. Sedangkan yang dimaksud Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan termasuk: Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti jotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut. jalan tol, kolam renang, pagar mewah tempat olahraga, galangan kapal, dermaga taman mewah tempat penampingan/ kilang minyak, air dan gas, pipa minyak dan fasilitas lain yang memberikan manfaat.30

Dasar hukum pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia antara lain sebagai berikut:

a. UU No. 12 Tahun 1985 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

30 Diana Sari “Konsep Dasar Perpajakan”( Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), h. 123.

24

b. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.

c. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

d. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

e. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.

f. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE- 43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.

g. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.31

31Muhammad Akhsan, “Pengaruh Kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar”, Skripsi. Makassar: Universitas Islam Negeri, (2014), h.21- 22.

Pemberlakuan Undang-undang ini didalam penjelasannya, bahwa PBB didasari pemikiran antara lain bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/ atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Sebagaimana telah diketahui, PBB di Indonesia merupakan pajak pusat karena pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Pusat, walaupun hasil akhirnya yang berupa penerimaan dikembalikan kepada daerah dengan prosentase yang besar.

B. Kharaj

Kharaj telah dikenal sebelum Islam. Kisra Persia Qubaz ibn Fairuz adalah

orang pertama yang telah mengambil pajak tanah di Irak. Asal muasalnya, ketika ia sedang berburu ia melihat seorang ibu yang sedang memarahi anaknya di sebuah kebun buah-buahan, karena anak tersebut memetik saja buah yang disukainya. Kisra bertanya tentang perbuatannya itu. Sang ibu menjawab bahwa buah itu sudah diperuntukkan kepada Kisra, ia mempunyai hak atas penghasilan dari kebun tersebut. Sejak itu, Kisra membiarkan tanahtanah tersebut kepada penduduk dan menetapkan pungutannya.

Sementara dari hadis Rasulullah saw disebutkan al-kharaj bi al-dhaman, pengeluaran itu dibalas tanggungan. Jika rakyat dipungut maka mereka berhak

26

mendapat balasannya. Artinya kemaslahatan rakyat secara umum menjadi tanggung jawab negara melindunginya. Inovasi tentang pajak yang terpenting dari para sahabat adalah dari pemikiran Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, dan Umar bin Khattab yang memikirkan biaya operasional negara untuk ke depannya.

Pemasukan negara di zaman ini Pajak Sebagai Sumber Pendapatan Negara.

Untuk zakat meskipun negara yang mengelolanya namun hasilnya tidak boleh disatukan dengan kas baitul mal, sebab harta zakat alokasi penggunaannya sudah jelas, untuk asnaf yang delapan dan bersifat konsumtif, tidak boleh untuk membiayai operasional negara. Tinggallah sumber pemasukan negara dari hasil perang dan penaklukan. Jika penaklukan tidak ada lagi lalu bagaimana nasib negara ke depan.

Oleh sebab itu, hasil perang yang dicapai pada saat ini harus bisa menjadi sumber pembiayaan negara dalam waktu yang panjang, namun bagaimana mengolahnya, sementara pemikiran adanya badan usaha milik negara pada saat itu bukan solusi, sebab rawannya resiko negatif dari pengelola usaha yang ditunjuk.

Tidak mungkin hal itu belum terpikirkan oleh ummat Islam saat itu, sebab tanah Fadak dan Khaibar yang dikuasai Islam pada zaman Rasul pengelolaannya dilakukan Yahudi dengan separuh hasilnya untuk Rasul.32

1. Pegertian Kharaj

Islam membenarkan adanya pajak atau kharaj yang pengaturannya berdasarkan ijtihad para imam. Pemerintah berhak menarik pajak sesuai dengan

32 Junaidi Lbs, “Pajak Sebagai Sumber Pendapatan Negara (Analisis Sejarah Penentuan

32 Junaidi Lbs, “Pajak Sebagai Sumber Pendapatan Negara (Analisis Sejarah Penentuan

Dokumen terkait