• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 35.Zonasi Taman Nasional Wasur hasil kesepakatan dengan masyarakat adat Rancangan awal zonasi dengan bentuk geometrik

lingkarann untuk membuffer tempat sakral yang batas- batasnya hanya diketahui oleh marga pemilik tempat- tempat sakral tersebut (imajiner). Buffer tempat sakral

yang disepakati adalah selebar 2 km.

Rancangan final melalui interpretasi batas-batas alam maupun batas`lapang untuk memudahkan

pengelolaan di lapangan.

Kolom pengesahan oleh ketua Lembaga Masyarakat Adat Malind-anim dan kepala-kepala suku

4. Pengukuhan Secara Adat terhadap Zonasi dan Polisi Adat

Sesuai dengan aturan adat, maka keseluruhan kesepakatan dikukuhkan melalui upacara adat yang dipimpin oleh kepala-kepala adat setiap suku. Pengukuhan adat dilaksanakan di Taman Nasional Wasur dan yang bertindak sebagai tuan rumah adalah Suku Marory Men-gey, sesuai dengan lokasi pelaksanaan upacara adat. Upacara pengukuhan pertama, yaitu pada tanggal 20 Januari 2011 tidak dapat terlaksana karena kedatangan Muspida Merauke yang sudah melewati waktu yang diijinkan adat untuk pelaksanaan upacara adat (melewati batas matahari di atas kepala). Melalui musyawarah selanjutnya disepakati kembali waktu pengukuhan adat, yaitu pada tanggal 2 Februari 2011. Dalam pengukuhan adat ini juga dilakukan pengangkatan anak adat dan polisi adat bagi staf Balai Taman Nasional Wasur sehingga mereka memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengelolaan di wilayah adat (Gambar 36).

Gambar 36.Ritual pengukuhan secara adat kesepakatan zonasi dan pengangkatan staf Balai Taman Nasional Wasur sebagai anak adat dan polisi adat

Berdasarkan hasil adaptasi kriteria Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 dengan aturan-aturan adat diperoleh luasan zona inti yang lebih besar dari rencana zona inti dalam dokumen rencana pengelolaan, yaitu sebesar 42,41% dari 28,82% seperti terlihat dalam Tabel 15. Hal ini karena masyarakat adat menilai dengan menjadikannya beberapa tempat sakral kedalam zona inti dapat lebih melindungi

dari berbagai gangguan dari luar dengan tambahan fungsi zona inti sebagai tempat pelaksanaan kegiatan ritual adat. Melalui cara ini, salah satu kriteria zona inti, yaitu kawasan dengan kondisi yang masih alami dan belum diganggu manusia, dapat terpenuhi. Untuk zona khusus, zonasi hasil kesepakatan memunculkan luasan yang lebih kecil karena diprioritaskan pada areal-areal permukiman dan jalan trans Irian, sedangkan untuk kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari, seperti berburu dan meramu dapat dilakukan di zona rimba dan disesuaikan dengan wilayah adat masing-masing marga. Konsep ini berbeda dengan zonasi dalam rencana pengelolaan yang mengkonsentrasikan kegiatan-kegiatan masyarakat dalam zona permukiman. Dalam kesepakatan ini juga dimunculkan peran pemerintah daerah untuk melaksanakan program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat di zona khusus.

Tabel 15.Zonasi hasil kesepakatan di Taman Nasional Wasur

Zonasi Luas (Ha) Persentase (%)

Zona Inti 175.483,69 42,41 Zona Rimba 201.337,98 48,65 Zona Pemanfaatan 129,47 0,03 Zona Religi 2.215,12 0,54 Zona Khusus 34.643,74 8,37 Total 413.810,00 100,00

Sumber: draft rencana zonasi Taman Nasional Wasur, 2011

Penyusunan Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang

Penyusunan zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang diawali dengan pembentukan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah perwakilan masyarakat adat pada bulan Oktober tahun 2000 untuk menampung semua aspirasi masyarakat adat. Namun demikian, penyusunan data dasar penting untuk menginvetarisasi ruang-ruang tradisional dan sumberdaya penting masyarakat adat telah dilakukan melalui program pemetaan desa partisipatif yang difasilitasi oleh WWF Kayan Mentarang Project tahun 1993 sampai 1998. Kegiatan ini merupakan salah satu kajian untuk meyakinkan pemerintah bahwa di kawasan yang telah dibentuk secara formal menjadi cagar alam telah terdapat masyarakat adat yang telah memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam. Bentuk kawasan konservasi ini sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya, sehingga penetapan ini perlu ditinjau kembali.

Tahapan-tahapan yang ditempuh dalam proses penyusunan zonasi di Taman Nasional Kayan Mentarang adalah sebagai berikut:

1. Bulan Agusus 2005 sampai Oktober 2006, FoMMA difasilitasi oleh WWF Indonesia melalui Kerjasama Pemerintah Indonesia - Jerman Program Taman Nasional Kayan Mentarang, menyusun pedoman dan proses perencanaan tata ruang wilayah adat di beberapa wilayah adat.

2. Melalui serangkaian konsultasi tata ruang atau zonasi di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang maka pada tanggal 25 November 2008, Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif (DP3K) Taman Nasional Kayan Mentarang sebagai lembaga kolaboratif Taman Nasional Kayan Mentarang mengusulkan Dokumen Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang.

3. Bulan September 2009 FoMMA menyampaikan usulan zonasi yang berbasiskan pemahaman dan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan taman nasional kepada Balai Taman Nasional Kayan Mentarang.

4. Sebagai jawaban dari usulan tersebut, Kementerian Kehutanan dalam hal ini Balai Taman Nasional Kayan Mentarang dan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) berkesimpulan bahwa penetapan zonasi di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang sebaiknya berdasarkan rekomendasi masyarakat adat dengan mensinergiskan dengan aturan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006. Oleh karena itu dibentuk tim kecil untuk mengintegrasikan konsep penyusunan Kriteria dan Indikator zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang.

Usulan masyarakat adat yang direpresentasikan oleh rumusan zonasi yang diusulkan FoMMA adalah terdiri dari zona inti, zona khusus dan zona pemanfaatan tradisional seperti tercantum dalam Tabel 16 dan Gambar 37. Alokasi luasan terbesar adalah untuk zona pemanfaatan tradisional, yaitu sebesar 60,72%. Luasan ini hampir dua kali lipat luasan zona tradisional indikatifnya, yaitu 32,26%. Untuk zona inti dengan luasannya sebesar 15,57%. Luasan ini lebih kecil dibandingkan dengan potensial zona inti (17,26%) dan zona inti indikatif (30,05%). Dalam kriteria dan indikator zonasi yang telah disahkan Direktur Konservasi Kawasan Ditjen PHKA, selain zona-zona yang diusulkan FoMMA

juga terdapat zona pemanfaatan dan zona rimba (Tabel 17). Hal ini terjadi karena penyusunan kriteria dan indikator zonasi disusun oleh sebuah tim yang ditugaskan untuk merumuskan hasil dari rangkaian seminar yang dihadiri parapihak yang tergabung dalam lembaga kolaborasi Taman Nasional Kayan Mentarang.

Tabel 16.Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang usulan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA)

Wilayah Adat Zona Luas (Ha) Inti Khusus Tradisional

Lumbis 27.236,77 18.075,31 23.027,45 68.339,54 Krayan Hilir 13.123,17 19.808,56 63.139,79 96.071,53 Mentarang 0,00 10.399,50 20.056,17 30.455,66 Krayan Darat 0,00 18.075,31 27.236,77 45.312,09 Krayan Tengah 0,00 2.228,46 15.351,64 17.580,10 Krayan Hulu 0,00 11.142,32 58.435,26 69.577,58 Tubu 0,00 43.083,62 53.483,12 96.566,74 Hulu Bahau 18.818,13 35.655,41 198.333,23 252.806,78 Pujungan 28.227,20 58.435,26 224.084,36 310.746,82 Kayan Hilir 120.337,02 99.290,42 126.774,80 346.402,24 Jumlah Persentase 207.742,30 15,57 316.194,18 23,71 809.922,60 60,72 1.333.859,08 100,00

Ket: Luas hasil perhitungan di atas peta

Tabel 17.Kriteria-indikator dan arahan pengelolaan zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang hasil rumusan Ditjen PHKA, BTNKM, DP3K dan FoMMA

Zona Kriteria dan Indikator Arahan Pengelolaan

Zona Inti (Publik) Zona yang mewakili tipe ekosistem khas, homerange bagi key-stone species, jauh dari jangkauan masyarakat dan

perlindungan kawasan “water catchment”

hulu beberapa sungai besar dan pengaturan tata air

 Perlindungan dan pengamanan, penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan.

 Dikelola langsung oleh Balai TNKM

Zona Rimba (Adat)

Zona rimba merupakan zona perlindungan atau penyangga dan pengaman fungsi zona inti

 Pengembangan konservasi lintas batas; pemanfaatan gaharu oleh masyarakat lokal

 Dikelola oleh BTNKM dan masyarakat adat

Zona Pemanfaatan (Adat)

Zona yang letak, kondisi dan potensi alamnya masih terjaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan jasa lingkungan/PES (PWS, NTFP, ekowisata, bioprospecting, REDD, dll)

 Penelitian; trekking ekowisata; SDA oleh masyarakat setempat (terbatas);

bioprospecting; PES; berburu (terbatas)

 Dikelola oleh BTNKM dan masyarakat adat

Zona Tradisional (Adat)

Zona yang ditetapkan untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan oleh masyarakat adat yang karena kesejarahan telah mengelola kawasan tersebut serta masih mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam

 Penelitian, pengembangan, dan pendidikan; ekowisata; pemanfaatan dan usaha SDA oleh masyarakat lokal; bahan bangunan dan transportasi oleh masyarakat lokal; budaya dan pembinaan habitat; berburu

 Dikelola oleh BTNKM dan masyarakat adat

Zona Khusus (Multistakeloders)

Zona dimana telah terjadi pemanfaatan sumberdaya atau telah didiami sejak sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, serta merupakan pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat maupun permukiman penduduk

 Ekowisata; permukiman dan bekas permukiman; pertanian dan budidaya berbasih masyarakat; infrastruktur komunikasi, pendidikan, dan transportasi.

 Dikelola oleh BTNKM, Pemda dan masyarakat adat

Gambar 37.Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan usulan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA)

Adaptasi Kriteria Zonasi Taman Nasional

Penentuan zonasi melalui mekanisme formal pada kawasan taman nasional yang berada dalam wilayah adat, mengakibatkan terbatasinya akses masyarakat adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini disebabkan kriteria zona-zona, yaitu zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan, disusun dengan orientasi pemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak eksternal sehingga tidak bersesuaian dengan kepentingan kehidupan masyarakat adat atau kepentingan pihak internal. Penggunaan kriteria ekologis sebagai dasar penyusunan zonasi menyebabkan penapisan pertama dalam penetapan zonasi adalah kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, selanjutnya sisa ruang yang ada dialokasikan untuk berbagai kepentingan lain, termasuk kepentingan masyarakat adat. Penentuan zonasi melalui cara tersebut menyebabkan munculnya persepsi pada masyarakat adat bahwa kehidupan mereka tidak dipentingkan dibandingkan dengan pelestarian tumbuhan dan satwaliar.

Menyikapi konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Kayan Mentarang, telah dilakukan penyusunan zonasi bersama masyarakat adat sebagai upaya untuk memperoleh solusi yang tepat. Melalui proses panjang penyusunan zonasi, telah dihasilkan zonasi yang dapat disepakati. Dalam zonasi yang disepakati, zona-zona yang dihasilkan faktanya mendekati pola tata guna lahan tradisional masyarakat adat. Hal ini dapat dimengerti karena tata guna lahan tradisional merefleksikan ruang-ruang kelola yang dibangun oleh masyarakat adat sebagai upaya pengaturan sumberdaya alam dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik untuk kebutuhan fisik maupun spiritualnya. Secara umum, masyarakat adat mengelompokan tata guna lahannya pada dua kepentingan utama, yaitu lahan-lahan yang diperuntukan bagi perlindungan sumberdaya alam dan spiritualnya, serta lahan-lahan yang diperuntukan bagi kepentingan budidaya. Adapun klasifikasi tata guna lahan yang digunakan dalam pembentukan zona-zona adalah:

1. Klasifikasi tata guna lahan yang diperuntukan sebagai lahan-lahan simpanan/cadangan dan/atau diperuntukan untuk nilai-nilai spiritualnya tertentu digunakan untuk pengembangan zona inti.

2. Klasifikasi tata guna lahan yang diperuntukan sebagai lahan-lahan pengambilan dan/atau pemungutan hasil hutan secara terbatas digunakan untuk pengembangan zona rimba.

3. Klasifikasi tata guna lahan yang diperuntukan sebagai lahan-lahan produksi dan/atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari digunakan untuk pengembangan zona tradisional.

4. Klasifikasi tata guna lahan yang diperuntukan sebagai lahan-lahan bernilai spiritual, mitos, kepercayaan dan perjalanan sejarah digunakan untuk pengembangan zona religi,budaya dan sejarah.

5. Klasifikasi tata guna lahan yang diperuntukan sebagai lahan-lahan permukiman digunakan untuk pengembangan zona khusus.

Masyarakat adat tidak dapat melakukan penyusunan zona pemanfaatan karena orientasi pembentukan zona ini adalah untuk mengakomodir aktivitas pemanfaatan oleh pihak-pihak luar atau pengunjung, yaitu pariwisata dan rekreasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, masyarakat tidak memiliki klasifikasi tata guna lahan yang secara langsung dapat sesuai untuk kepentingan tersebut. Namun demikian, tradisi pada masyarakat adat merupakan potensi dalam pengembangan daya tarik wisata dan rekreasi di taman nasional.

Dari sisi pengelolaan taman nasional, penentuan klasifikasi tata guna lahan tradisional sebagai zona-zona pengelolaan tentunya harus dapat memenuhi fungsi- fungsi yang dimandatkan pada zona-zona taman nasional agar kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dapat tetap dilaksanakan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, fungsi-fungsi yang dimandatkan pada zona-zona taman nasional pada intinya adalah sebagai berikut:

1. Zona inti berfungsi untuk perlindungan ekosistem, flora dan fauna khas beserta habitatnya, sumber plasma nutfah, kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.

2. Zona rimba berfungsi untuk pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa dan menunjang budidaya

3. Zona pemanfaatan berfungsi untuk pengembangan wisata, pendidikan dan penelitian.

4. Zona khusus berfungsi untuk kepentingan masyarakat yang telah ada sebelum taman nasional ditetapkan dan adanya sarana-prasarana penunjang.

5. Zona tradisional berfungsi untuk pemanfaatan potensi oleh masyarakat adat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

6. Zona religi, budaya dan sejarah berfungsi untuk perlindungan nilai-nilai hasil karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan sebagai wahana pendidikan, penelitian, wisata sejarah, arkeologi dan religius.

Sedangkan fungsi-fungsi ruang pada tata guna lahan tradisional dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Lahan sakral/keramat berfungsi untuk ritual keagamaan, penghormatan leluhur dengan bentuk lahan berupa hutan, perairan, gunung dan/atau rumpun tumbuhan yang dihormati dan digunakan dengan cara-cara tertentu.

2. Lahan bersejarah berfungsi untuk pelestarian identitas suku, ritual keagamaan, penghormatan leluhur dengan bentuk lahan berupa dusun lama, kuburan tua, tempat-tempat perpindahan leluhur dan/atau situs-situs budaya yang dihormati dan digunakan dengan cara-cara tertentu.

3. Lahan hutan simpanan berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam dan penyangga kehidupan serta perlindungan keanekaragaman hayati penting dengan bentuk lahan berupa hutan primer yang tidak dijamah/dimanfaatkan dan tidak dilakukan budidaya tanaman untuk pemenuhan kebutuhan hidup. 4. Lahan konservasi adat dan hutan lindung berfungsi untuk penyangga

kehidupan serta pelestarian keanekaragaman hayati penting dengan bentuk lahan berupa hutan, danau, rawa, dan/atau sungai yang dimanfaatkan secara tidak intensif melalui pengaturan periode waktu dan kuota pemanfaatan. 5. Lahan budidaya dan pemanfaatan sumberdaya alam berfungsi untuk budidaya

tumbuhan dan satwa berguna dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan bentuk lahan berupa sawah, kebun, ladang, hutan, padang rumput, sungai, danau dan/atau rawa yang dimanfaatkan secara intensif.

6. Lahan permukiman berfungsi untuk tempat tinggal, interaksi sosial, sistem pewarisan tradisi serta budidaya tumbuhan dan satwa berguna dengan bentuk lahan berupa kampung, dusun dan/atau desa yang ditata berdasarkan kepercayaan, strata sosial dan/atau perlindungan warganya.

Mencermati dengan cara mengkomparasikan uraian fungsi pada setiap zona dan fungsi pada setiap ruang tradisional tersebut di atas yang disajikan pada Tabel 18, dapat diketahui bahwa tata guna lahan tradisional yang digunakan dalam penyusunan zonasi memiliki fungsi-fungsi yang dapat mewadahi/mengakomodir fungsi-fungsi yang dimandatkan dalam zona-zona pengelolaan taman nasional. Hal ini juga didukung oleh kondisi lanskap pada tiap-tiap klasifikasi tata guna lahan tradisional yang bersesuaian dengan kondisi lanskap yang diperlukan pada tiap-tiap zona pengelolaan taman nasional.

Tabel 18.Akomodasi fungsi zona-zona taman nasional oleh fungsi ruang-ruang pada tataguna lahan tradisional

Struktur Ruang Masyarakat Adat Akomodasi Zonasi

Tata Guna

Lahan Fungsi Zona Fungsi

Lahan sakral, Lahan keramat

Ritual keagamaan dan/atau penghormatan leluhur dengan kondisi lanskap hutan, perairan, gunung dan/atau rumpun tumbuhan

· Religi, budaya dan sejarah · Inti

· Perlindungan nilai-nilai hasil karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan

Lahan bersejarah

Pelestarian identitas, ritual keagamaan dan/atau

penghormatan leluhur dengan kondisi lanskap dusun lama/bekas dusun, kuburan tua, tempat- tempat perpindahan leluhur dan/atau situs-situs budaya

· Religi, budaya dan sejarah · Pemanfaatan

· Perlindungan nilai-nilai hasil karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan

· Pengembangan wisata, pendidikan dan penelitian

Hutan simpanan Menjaga keseimbangan alam, penyangga kehidupan dan perlindungan keanekaragaman hayati penting dengan kondisi lanskap hutan rimba/primer

Inti · Perlindungan ekosistem, flora dan fauna khas beserta habitatnya, sumber plasma nutfah, kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. Lahan konservasi adat, Hutan lindung, Tana’ ulen

Penyangga kehidupan dan pelestarian tumbuhan dan satwa penting dengan kondisi lanskap hutan, danau, rawa dan/atau sungai

· Inti · Rimba

· Perlindungan ekosistem, flora dan fauna khas beserta habitatnya, sumber plasma nutfah, kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. · Pengawetan dan pemanfaatan

sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa dan menunjang budidaya

Struktur Ruang Masyarakat Adat Akomodasi Zonasi Tata Guna

Lahan Fungsi Zona Fungsi

Lahan budidaya dan

pemanfaatan sumberdaya alam

Budidaya tumbuhan dan satwa berguna untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan kondisi lanskap kebun, ladang hutan, padang rumput, sungai, danau, rawa dan/atau sawah

· Tradisional · Pemanfaatan

· Pemanfaatan potensi oleh masyarakat adat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya · Pengembangan wisata,

pendidikan dan penelitian Lahan

permukiman

Tempat tinggal, interaksi sosial dan sistem pewarisan tradisi serta pelestarian tumbuhan dan satwa berguna dengan kondisi lanskap kampung, dusun dan/atau desa

· Khusus

· Pemanfaatan ·

Kepentingan aktivitas

masyarakat dan sarana-prasarana · Pengembangan wisata,

pendidikan dan penelitian

Berdasarkan tabel tersebut dapat diuraikan akomodasi tata guna lahan tradisional terhadap zona-zona taman nasional sebagai berikut:

1. Lahan sakral atau keramat dapat berfungsi zona religi, budaya dan sejarah. 2. Lahan bersejarah dapat berfungsi zona religi, budaya dan sejarah, dan zona

pemanfaatan.

3. Lahan hutan simpanan dapat berfungsi zona inti.

4. Lahan konservasi adat/hutan lindung dapat berfungsi zona inti dan zona rimba. 5. Lahan budidaya dan pemanfaatan sumberdaya alam dapat berfungsi zona

tradisional dan zona pemanfaatan.

6. Lahan permukiman dapat berfungsi zona khusus dan zona pemanfaatan. Selain itu, dapat diketahui bahwa klasifikasi tata guna lahan tradisional umumnya dapat mewadahi/mengakomodir lebih dari satu fungsi (multi fungsi) zona, sehingga pembagian zona-zona secara kaku (rigid) dapat mempersempit peruntukan-peruntukan yang dapat dikembangkan pada suatu zona. Pada tataran operasional pembagian zona-zona secara kaku juga akan menyebabkan terjadinya kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukan zona yang dimaksudkan. Hal-hal tersebut menjadi faktor penting dalam penentuan bentuk dan kriteria zonasi, sehingga aturan juridis-formal yang ada yang terkait dengan bentuk dan kriteria zonasi serta persyaratan kelengkapan zona-zona dalam pengelolaan taman nasional perlu diamandemen karena belum bersesuaian dengan fakta-fakta lapangan.

Kemampuan tata ruang tradisional dalam mewadahi/mengakomodir fungsi zona-zona membuktikan bahwa pengelolaan wilayah adat oleh masyarakat adatnya dapat digunakan sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam

untuk kepentingan konservasi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, pengembangan zonasi taman nasional yang berada dalam wilayah adat dilakukan dengan cara mengadaptasikan kebutuhan zona-zona yang diperlukan sebagai unit- unit kelola taman nasional dengan kearifan tradisional dalam pengaturan tata guna lahan. Melalui adaptasi seperti ini, maka zonasi yang dihasilkan dapat bersesuaian (compatible) dan dapat diterapkan (applicable) karena terjadi sinkronisasi atau harmonisasi antara kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan kehidupan masyarakat adat.

Mengacu pada pola pembentukan zona-zona hasil kesepakan dan kesesuaian fungsi-fungsi ruang-ruang, maka dapat dibuat alur penyusunan zonasi taman nasional yang berada di wilayah adat seperti disajikan pada Gambar 38. Dalam penyusunan zonasi digunakan faktor sosio-budaya sebagai pertimbangan utama, yaitu melalui penapisan ruang berdasarkan parameter tata guna lahan tradisional. Selanjutnya, tata guna lahan tradisional difungsikan menjadi zona-zona yang dibutuhkan berdasarkan faktor ekologis, seperti dalam Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006. Berdasarkan hal tersebut, maka zona-zona yang dapat dikembangkan terdiri dari:

1. Zona-zona yang langsung bersesuaian, yaitu zona-zona yang dapat langsung dibentuk karena klasifikasi tata guna lahan tradisional yang diperlukan tersedia. Zona-zona ini terdiri dari zona tradisional, zona religi budaya dan sejarah, dan zona khusus.

2. Zona-zona yang tidak langsung bersesuaian, yaitu zona-zona yang dapat dibentuk apabila pemanfaatan zona oleh pihak-pihak eksternal dimungkinkan oleh aturan-aturan adat. Zona-zona ini terdiri dari zona rimba dan zona pemanfaatan.

3. Zona yang langsung bersesuaian apabila klasifikasi tata guna lahan tradisional yang diperlukan tersedia, tetapi menjadi tidak langsung bersesuaian apabila klasifikasi tata guna lahan tradisional yang diperlukan tidak tersedia, yaitu zona inti.

153

Dokumen terkait