• Tidak ada hasil yang ditemukan

11 Yanggandur - 330 - - 10 73 340 65 - 3 5 Dendeng, Ikan asin,

minyak kayu putih

150.000,- s/d 200.000,-

87 388

12 Sota - - - 222 632 209 854 154 - 10 45 Minyak kayu putih,

ikan asin, sayuran, buah-buahan, umbi- umbian, pisang, jambu mete

200.000,- s/d 300.000,-

- 1.916

Jumlah 442 954 429 222 1.131 738 3.178 861 58 23 85 5.388

Sumber : * Kompilasi data Balai Taman Nasional Wasur Tahun 2006

** Kompilasi data dari kepala-kepala desa dalam workshop di Merauke tanggal 9-10 Juni 2010 Keterangan : *** Desa di luar kawasan taman nasional

Pola kehidupan bersama masih sangat kental di masyarakat Malind-anim, karena alokasi sumberdaya masih merata dan kebutuhan primer masih dalam keadaan yang mencukupi. Pola kehidupan di Kampung Ndalir yang berada dalam kawasan Taman Nasional Wasur masih mempertahankan pola tradisional dengan ciri-ciri kebutuhan kehidupan sehari-hari masih dipenuhi dari pola kehidupan sebagai peramu, berburu, berkebun dan mencari ikan atau udang dengan cara-cara tradisional. Hasil wawancara dengan masyarakat yang dilakukan pada tahun 2008, besarnya belanja yang dikeluarkan per keluarga rata-rata per bulan berkisar Rp. 60.000,- yang digunakan untuk pembelian kebutuhan seperti gula, kopi dan pinang. Penduduk Kampung Ndalir ini tergolong masih subsisten, sehingga ketika digali harapan atau keinginan apa dalam kehidupan mereka supaya lebih baik, mereka sulit menjawabnya. Berbeda dengan masyarakat di Kampung Onggaya yang lebih heterogen, dimana sudah banyak masyarakat pendatang bermukim disini serta posisi pemimpin formal (Kepala Desa) terlihat lebih dominan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Tuntutan pembangunan daerah sangat dirasakan, apalagi Onggaya direncanakan sebagai ibukota Distrik Naukenjerai, dan keberadaan taman nasional dengan berbagai peraturan yang ada dirasakan menghambat pembangunan tersebut.

Pada masyarakat adat di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang perubahan situasi sosial dimulai melalui tradisi perpindahan suku. Tradisi berpindah untuk mencari permukiman baru dilakukan karena adanya berbagai faktor diantaranya karena mencari daerah yang subur dan pertambahan penduduk, seperti misalnya Desa Long Alango dengan luas wilayah ± 493.8 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 558 jiwa (Juni 2010), merupakan pemukiman yang dibangun oleh masyarakat Kenyah yang melakukan perpindahan secara berangsur-angsur antara tahun 1953-1958 dari Desa Long Kemuat. Saat ini Desa Long Alango ditetapkan sebagai ibukota Kecamatan Bahau Hulu. Jumlah penduduk di setiap lokasi dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah penduduk di setiap lokasi yang berada dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang

No. Nama Lokasi Jumlah penduduk

Jumlah

KK Kabupaten Kecamatan

Wilayah Adat Besar

1 Long Pasia (Long Layu) 97 26 Nunukan Krayan Selatan Krayan Hulu

2 Liang Lunuk 118 37 Nunukan Krayan Selatan

3 Pa Ibang 143 34 Nunukan Krayan Selatan

4 Pa Amai 127 30 Nunukan Krayan Selatan

5 Pa Kaber 125 31 Nunukan Krayan Selatan

6 Pa Tera 145 31 Nunukan Krayan Selatan

7 Pa Sing 102 36 Nunukan Krayan Selatan

8 Long Budung 119 25 Nunukan Krayan Selatan

9 Pa Dalan 52 17 Nunukan Krayan Selatan

10 Long Birar 110 25 Nunukan Krayan Selatan

11 Pa Upan 130 25 Nunukan Krayan Selatan

12 Tang Paye 86 18 Nunukan Krayan Selatan

13 Long Kelupan 89 13 Nunukan Krayan Selatan

14 Long Rungan 92 23 Nunukan Krayan Selatan Krayan Tengah

15 Pa Urang 55 23 Nunukan Krayan Selatan

16 Long Pupung 110 32 Nunukan Krayan Selatan

17 Pa Milau 115 24 Nunukan Krayan Selatan

18 Tang Badui 83 22 Nunukan Krayan Selatan

19 Long Mutan 140 40 Nunukan Krayan Selatan

20 Pa Yalau 68 18 Nunukan Krayan Selatan

21 Long Rian 120 28 Nunukan Krayan Selatan

22 Long Padi 102 25 Nunukan Krayan Selatan

23 Ba Liku 133 25 Nunukan Krayan Selatan

24 Ba Binuang 326 41 Nunukan Krayan Selatan

25 Long Midang (5 Desa) 568 97 Nunukan Krayan Selatan Krayan Hilir

26 Buduk Tumu (2 Desa) 194 35 Nunukan Krayan Selatan

27 Tang Paye ( 2 Desa) 286 48 Nunukan Krayan Selatan

28 Lembudud (2 Desa) 355 61 Nunukan Krayan Selatan

29 Tanjung Karya (4 Desa) 483 93 Nunukan Krayan Selatan 30 Berian Baru (6 Desa) 890 157 Nunukan Krayan Selatan

31 Long Puak ( 3 Desa) 121 26 Nunukan Krayan Selatan

32 Pa Padi (2 Desa) 259 41 Nunukan Krayan Selatan Krayan Darat

33 Wa Yagung 186 35 Nunukan Krayan Selatan

34 Bungayan 41 9 Nunukan Krayan Selatan

35 Long Nawang 167 32 Nunukan Krayan Selatan

36 Tau Lumbis (10 desa) 673 98 Nunukan Krayan Selatan Lumbis

37 Long Titi 205 44 Malinau Mentarang Mentarang

38 Rian Tubu 153 37 Malinau Mentarang Mentarang

39 Long Pala 129 28 Malinau Mentarang Hulu Mentarang Hulu

40 Long Bena 83 22 Malinau Pujungan Pujungan

41 Apauping 286 57 Malinau Bahau Hulu Bahau Hulu

Jumlah 7.866 1.569

Penduduk asli kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang adalah masyarakat suku Dayak dari kelompok-kelompok Kenyah, Lundayeh, Punan, Saben, Kayan dan Tagel. Data Tabel 7 menggambarkan penyebaran kelompok etnis utama dan sub kelompok di kecamatan-kecamatan di Taman Nasional Kayan Mentarang. Adanya suku lain, misalnya Cina, Jawa dan Bugis umumnya terbatas pada individu yang datang/bekerja sebagai pedagang atau pegawai negeri.

Tabel 7. Suku utama dan sub-kelompok di dalam dan sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang

Kecamatan Wilayah Adat Kelompok Suku

Utama Kelompok Sub Suku

Kelompok Suku- suku Pendatang

Pujungan Hulu Bahau

Pujungan Kenyah Kenyah Leppo’ Ke’ Leppo Maut Uma Lasan Uma Alim Uma Lung Leppo Ndang Badeng Bakung Punan Benalui

Jawa, Bugis, Toraja

Kayan Hulu Apokayan Kenyah Leppo’ Tau

Badeng Uma Jalan Bakung Uma Tukung

Jawa, Bugis, Cina, Lundaye

Kayan Hilir Apokayan Kayan

Kenyah Punan

Uma leken Bakung Punan Aput

Jawa, Bugis, Lundaye

Mentarang Long Pala Tubu Lundaye Punan Merap Berau Tana Lun Tubu

Krayan Krayan Darat

Krayan Hilir Krayan Hulu Krayan Tengah Lundaye Lundaye Lundaye, Saben Lengilu Lun Ba’ Tana Lun Lengilu

Jawa, Bugis, Timor, Batak, Cina, Bugis, Punan

Lumbis Lumbis Hulu Tagel

Lundaye

Abai Tana Lun

Jawa, Bugis, Cina

Sumber: diolah dari Devung dan Rudi (1998)

Gambaran perubahan situasi sosial masyarakat Dayak antara lain adalah: 1. Pengaruh masuknya agama Kristen pada tahun 50 - 60an memunculkan

perubahan kepercayaan dan sistem strata sosial yang menyebabkan tidak terlalu jelas lagi penggolongan antara kaum paren (kaun bangsawan) dan panyen (kaum biasa). Perubahan kepercayaan terjadi pada Suku Kenyah dimulai oleh para misionaris yang dibawa oleh pemerintah kolonialis Belanda yang secara perlahan mengikis pada kepercayaan leluhur serta tradisi lain dan sebagian besar mulai memeluk agama Kristen Protestan, disamping beragama Katolik di daerah Krayan Darat dan Lumbis Hulu. Penduduk beragama Islam

biasanya pegawai negeri, polisi, TNI dan pedagang yang bukan berasal dari Kayan Mentarang (Eghenter dan Sellato 1998).

2. Pengaruh lain dari masuknya agama Kristen adalah hilangnya kekuasaan pada kaum paren dalam status kepemilikan dan strategi pengelolaan terhadap tana’ ulen, seperti di Hulu Bahau yang menjadi tana’ ulen leppo atau milik desa. Saat ini hak dan tanggung jawab dikuasai sebuah lembaga adat dengan membentuk badan pengelola tana’ ulen, tetapi pemimpin lembaganya tetap dari kaum paren dan berasal dari keturunan pengelola tana’ ulen terdahulu (Eghenter dan Sellato 1998).

3. Adanya peningkatan teknologi, kebutuhan ekonomi yang bertambah dan terutama adanya peningkatan jumlah orang luar yang datang untuk mengeksploitasi kekayaan hutan pedalaman telah membawa tekanan yang lebih besar pada sumber daya alam. Ide-ide baru dan pola yang dipelajari dari hubungan dengan orang luar dan media massa telah mulai mengikis ketaatan dan makna hukum adat bagi generasi muda, sehingga pengakuan terhadap peraturan adat tidak sekuat dulu (Eghenter dan Sellato 1998).

4. Hilangnya tradisi tinggal di lamin (rumah panjang) yang juga dipicu oleh program pemerintah berupa resettlement dan regrouping penduduk, menyebabkan pola permukiman saat ini adalah setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing sehingga terbentuk keluarga batih, sehingga mengikis sistem pewarisan adat.

Pada rumah panjanglah kaum tua menceritakan aturan-aturan adat kepada kaum muda dalam suatu obrolan bersama di sore hari dan kaum tua yang hadir saling mengkoreksi satu sama lain bila ada hal-hal yang kurang tepat yang disampaikannya. Dengan demikian aturan adat dapat disampaikan kepada kaum muda dengan benar. Sekarang generasi muda sudah merasa tidak tabu lagi duduk satu tikar dengan kepala adat, padahal dahulu kaum muda tidak berani untuk duduk dalam satu tikar dengan kepala adat (Bangau6 23 Juni 2010 komunikasi pribadi).

6

Rumah panjang mencerminkan sesuatu perwujudan dari sebuah struktur hubungan-hubungan sosial khas Dayak. Di masyarakat Kenyah, rumah panjang menggambarkan fungsi yang sama dengan fungsi sebuah desa. Pada pecahan sub suku Kayan yang menempati gugus-gugus desa di sepanjang pinggiran sungai utama, sebuah desa bisa terdiri dari satu rumah panjang (Samsoedin et al. 2010).

5. Penggunaan simbol-simbol sosial juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh semakin sulitnya untuk mendapatkannya di hutan, juga adanya produk-produk buatan, seperti gigi-gigi binatang buatan, sehingga siapa saja bisa menggunakannya. Disamping itu karena melemahnya adat sehingga kurang dipahami lagi penggunaan simbol-simbol tersebut (Uluk et al. 2001).

6. Saat ini kepala desa telah disatukan dalam sistem pemerintahan. Dalam banyak kasus kepala desa masih berasal dari kaum bangsawan. Kriteria untuk memilih seorang kepala desa telah diperluas, termasuk tingkat melek huruf, misalnya dan cara memilihnya pun telah disesuaikan dengan persyaratan nasional. Selain itu dengan masuknya agama Kristen, strata budak telah dihapus dan perbedaan sosial lainnya tidak nyata lagi, walaupun belum sepenuhnya dihilangkan (Devung dan Rudi 1998).

Aksesibilitas untuk mencapai kedua lokasi ini masih relatif sulit. Menuju dua ibukota kecamatan ini belum ada akses jalan darat dari kota terdekat atau dari dari ibukota, moda transportasi yang diandalkan adalah pesawat terbang dengan kapasitas 12 penumpang menuju Long Bawan dan empat penumpang menuju Long Alango. Moda transportasi sungai hanya bisa ditempuh dengan menggunakan long boat, itupun relatif tidak aman karena banyaknya giram di sepanjang aliran sungai. Situasi permukiman dengan beberapa sarana pemerintahan di Long Bawan dan Long Alango dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. Penempatan rumah-rumah tinggal serta bangunan pemerintahan dan fasilitas umum mengikuti pola jalan darat yang telah dibangun.

Gambar 10.Situasi permukiman di Long Bawan, ibu kota Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan yang terletak di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang

Gambar 11.Situasi permukiman di Long Alango, ibu kota Kecamatan Bahau Hulu yang terletak di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang Long Alango, ibukota Kecamatan Hulu Bahau Kantor Kecamatan Hulu Bahau

Warung yang dibuka di salah satu rumah penduduk Perumahan di Long alango

Long Bawan, ibukota Kecamatan Krayan Kantor Desa dan Pos Yandu

Perubahan sosial merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat adat karena merekapun perlu menyesuaikan dengan perkembangan kemajuan yang terjadi. Memelihara tradisi tidak berarti harus selalu hidup dalam ketertinggalan pembangunan. Selama kelembagaan adat masih ada dan dihormati oleh masyarakatnya serta oleh para pendatang, termasuk dalam hal ini adalah pemerintah, maka perubahan ini tidak akan menuju pada perubahan budaya, yaitu hilangnya pranata sosial yang sudah sedemikian adapatif dengan situasi lingkungan yang ada. Filosofi mengelola sumberdaya alam dengan penuh penghormatan dan dilakukan dengan penuh kehati-hatian tidak boleh hilang, karena nilai-nilai seperti itulah yang saat ini dicari oleh masyarakat “modern” untuk bisa mengelola lingkungannya yang sudah terlanjur rusak akibat dari bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengabaikan keseimbangan alam.

Peluang Kelestarian Sumberdaya Alam melalui Praktik-praktik Konservasi Tradisional

Di Indonesia, terdapat masyarakat adat yang masih melakukan pengelolaan sumberdaya hutan dan mempertahankan kelestariannya. Beberapa terminologi yang digunakan untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adat diantaranya adalah tana’ ulen oleh Dayak Kenyah, tembawang oleh Dayak Bidayuh, katuan oleh Dayak Meratus, leuweung tutupan dan leuweung kolot oleh masyarakat Sunda, repong oleh masyarakat Krui, wanakiki oleh masyarakat Toro dan lain-lain. Namun demikian, beberapa pandangan muncul terhadap kemampuan keberlanjutan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam secara lestari akibat adanya perubahan-perubahan sosial.

Beberapa hasil penelitian tentang masyarakat adat di kawasan taman nasional, diantaranya dilakukan oleh Golar (2007) terhadap masyarakat Toro di Taman Nasional Lore Lindu dan Arafah (2009) di Taman Nasional Laut Wakatobi memperlihatkan bahwa pengelolaan yang dilakukan mengarah pada kelestarian keanekaragaman hayati melalui bentuk-bentuk pengaturan tata guna lahan, prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dan sistem tenurial bersifat komunal yang dapat memberikan manfaat secara adil demi kepentingan bersama.

Hal-hal tersebut dikawal oleh aturan-aturan adat dalam kelembagaan yang berkembang dan diyakini oleh semua unsur masyarakat adat.

Dalam pandangan masyarakat adat, kelestarian sumberdaya alam merupakan hal penting yang harus dijaga karena mempengaruhi keberlangungan kehidupan, sebaliknya rusaknya sumberdaya alam akan merusak keberlangsungan kehidupan mereka. Hal ini juga diperkuat oleh sistem kepercayaan mereka yang sangat mengaitkan kehidupan manusia dengan alam. Tindakan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan masyarakat adat merupakan hasil adaptasi dengan karakteristik lingkungannya, sehingga pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam bersifat lokalitas dan spesifik. Sifat ini memunculkan keunikan dan efektivitas pengelolaan. Keunikan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adat ini sesungguhnya akan dapat menjadi nilai tambah dalam pengelolaan taman nasional dan mendukung kriteria penetapan kawasan taman nasional yang menekankan adanya kekhasan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 dinyatakan bahwa kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Namun dalam kriteria formal, kekhasan ini lebih berorientasi pada keunikan flora, fauna, ekosistem dan gejala alam bukan pada kekhasan pengelolaan yang muncul dari tradisi masyarakat.

Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) maupun pembangunan pranata sosial atau modal sosial (social capital) merupakan faktor-faktor yang berperanan penting dalam menunjang keberlanjutan dan ketangguhan ekosistem yang kerap kali terabaikan dalam upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam. Bahkan, keduanya terpinggirkan oleh domain pengetahuan ilmiah, serta pranata-pranata sosial hasil reka-cipta para birokrat atau agen pembangunan. Dalam dasa warsa terakhir, telah semakin besar perhatian para ilmuwan dan agen pembangunan terhadap pentingnya kedua hal itu dalam upaya penanggulangan degradasi lingkungan (Winarto dan Ezra 2001).

Timbulnya berbagai kerusakan sumberdaya hutan akibat kebijakan- kebijakan formal menjadikan perlunya penelaahan kembali ide-ide dan praktik

konservasi tradisional. Masyarakat adat pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Peluang dan tantangan dalam pembangunan bagi masyarakat adat yang diuraikan dalam IFAD (2003) adalah sebagai berikut:

1. Meskipun seringkali marginal, wilayah-wilayah masyarakat adat umumnya berpeluang besar sebagai sumber pembangunan ekonomi, seperti sumber air, listrik, keanekaragaman biologi, mineral-mineral, dan sumberdaya lokal yang tidak ditemukan ditempat lain, serta peluang investasi termasuk koleksi dan penjualan produk hutan kayu dan non-kayu dan produksi materi bernilai tinggi seperti makanan organik, kerajinan tangan, wol dan sutera. Globalisasi menyebabkan pasar-pasar dengan relung kuat sedang terbuka untuk produk- produk masyarakat adat di seluruh dunia, namun kemampuan mereka untuk memasuki pasar-pasar ini terkendala oleh terbatasnya jalur transportasi, infrastruktur pemasaran dan akses ke pasar-pasar potensial.

2. Wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat seringkali berlokasi pada kondisi alam yang masih sangat murni, dimana sangat sesuai untuk ekowisata. Wilayah ini sebagian besar merupakan wilayah yang tersisa dari kerusakan karena marginalisasi masyarakat adat, kondisi ini merupakan sesuatu yang harus dibalikkan untuk mengurangi kemiskinan mereka. Didalam proses, setiap usaha harus dibangun untuk memelihara aset-aset ini. Masyarakat adat memiliki pengetahuan mendalam terhadap sumberdaya yang kaya di wilayahnya, tetapi memiliki keterbatasan kontrol terhadapnya. Terdapat peningkatan kesadaran untuk mengganti kerugian akibat 'pengurusan' sumberdaya alam masyarakat adat dan kesadaran untuk membantu mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya dengan cara yang lestari.

3. Situasi unik wilayah marginal yang dihuni masyarakat adat, yaitu akesibilitas terbatas, kerapuhan dan keanekaragaman, umumnya memerlukan diversifikasi penggunaan sumberdaya dan produksi. Akan tetapi membuka pasar-pasar eksternal dapat meningkatkan spesialisasi pada beberapa produk serta mendorong intensifikasi penggunaan sumberdaya dan eksploitasi relung

potensial yang menyebabkan menurunnya perhatian terhadap konsekuensi lingkungan dan sosial-ekonomi mereka. Kondisi ini sering menyebabkan konsekuensi over-extraction kayu, mineral-mineral dan tumbuh-tumbuhan herba tidak dapat terelakkan, suatu dampak negatif lingkungan. Selain itu, proses membuka pasar-pasar yang sangat cepat menyebabkan masyarakat adat kekurangan waktu dan kapasitas yang cukup untuk menyesuaikannya.

Melalui pengetahuan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam, basis data penting yang sangat diperlukan sebagai dasar tindakan pengelolaan, yaitu kelengkapan data potensi, dapat diinventarisir melalui peta mental masyarakat adat. Hal ini dapat terlihat dari hasil pemetaan secara partisipatif yang telah dilakukan di kawasan Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Kayan Mentarang dimana dapat memunculkan data potensi yang relatif lengkap serta bagaimana bentuk pengelolaannya secara efektif. Potensi sumberdaya alam dan tempat-tempat penting untuk setiap wilayah adat yang dapat diinventarisir melalui peta mental masyarakat adat di Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Kayan Mentarang disajikan pada Lampiran 3 sampai 25 dan luas tata guna lahan tradisional di Taman Nasional Kayan Mentarang disajikan pada Lampiran 26. Kelengkapan data potensi, selama ini selalu menjadi kelemahan dalam pengelolaan taman nasional yang diakibatkan oleh keterbatasan sumberdaya manusia dan dana pengelolaan. Winarto dan Ezra (2001) menyatakan bahwa telah semakin disadari bahwa pemerintah bukanlah merupakan aparat yang mampu menanggulangi berbagai masalah lingkungan hidup yang sangat beragam dan dinamis. Penanggulangan masalah pengelolaan sumberdaya alam seyogianyalah dilaksanakan dengan sepenuhnya melibatkan penduduk setempat itu sendiri.

Pada masyarakat Malind-anim, secara struktural, pengelolaan sumberdaya alam berada pada tingkat boan/marga dengan batas-batas ruang yang cenderung imajiner karena terkait dengan mitos dan kepercayaan, seperti misalnya tempat- tempat sakral sulit dijelaskan secara saintifik dan batas-batas lapang tidak dapat dikarakteristikan karena bentuknya terkadang hanya berupa rumpun bambu, tanah lapang ataupun jalan setapak. Walaupun demikian, batas-batas kepemilikan lahan, tempat-tempat penting setiap boan dapat diketahui dengan tepat oleh masyarakat Malind-anim, sehingga mereka tidak akan melakukan pemanfaatan secara tidak

terkendali karena bila terjadi pelanggaran maka akan terkena sanksi, baik berupa denda-denda maupun hukuman secara mistis yang dikontrol oleh kelembagaan adat yang mereka miliki.

Salah satu mekanisme pelestarian alam pada masyarakat Malind-anim adalah sasi. Sasi diberlakukan terhadap tempat sakral, rawa, dusun sagu, dusun kayu, dan tata cara pembakaran lahan. Berlakunya sasi ditandai oleh suatu upacara adat dan pemancangan misar (sejenis tongkat yang ditanam ditanah sebagai tanda berlakunya masa sasi) atau pemberian tanda pada suatu pohon. Sasi diberlakukan apabila populasi suatu jenis tumbuhan maupun satwa sudah berkurang atau untuk menghentikan kegiatan yang berdampak kerusakan lingkungan. Pelanggaran sasi akan mendapat sanksi yang berupa teguran, denda sampai kepada kematian (Gebze 2006).

Adanya perlindungan terhadap tempat-tempat sakral dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat Malind-anim, secara tidak langsung merupakan upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam. Berdasarkan hasil hasil overlay peta terlihat bahwa keberadaan tempat-tempat sakral dan tempat-tempat penting tersebut menyebar di semua tipe tutupan lahan atau tipe ekosistem di kawasan Taman Nasional Wasur, sehingga aturan-aturan adat terhadap tempat- tempat penting tersebut berimplikasi pada terjaganya kelestarian ekosistem- ekosistem yang ada (Gambar 12). Bentuk konservasi tradisional ini tentunya sejalan dengan apa yang ditargetkan dalam konservasi keanekaragaman hayati, dimana dalam pembentukan kawasan konservasi harus memperhatikan keterwakilan tipe ekosistem.

Gambar 12.Peta tempat penting masyarakat adat dan tipe tutupan lahan di kawasan Taman Nasional Wasur

Terjadinya penurunan populasi beberapa jenis satwa yang menjadi totem masyarakat adat lebih disebabkan oleh kegiatan perburuan satwa yang dilakukan pihak-pihak luar. Kesulitan masyarakat adat dalam mengatasi hal ini karena aturan adat lebih banyak berlaku bagi masyarakat adat sendiri tidak dengan serta-merta diterapkan kepada para pendatang (Basikbasik7 20 Oktober 2008 komunikasi pribadi). Hal ini dilatarbelakangi oleh sifat masyarakat adat yang tidak vokal dan agresif, sehingga lebih mengharapkan tumbuhnya kesadaran para pendatang untuk memahami dan menghormati aturan-aturan adat yang berlaku di masyarakat. Melihat banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi oleh para pendatang, masyarakat adat lebih berharap peran aktif pemerintah, dalam hal ini Balai Taman Nasional Wasur, untuk dapat menegakan aturan-aturan formal kepada para pendatang yang melakukan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya alam.

Perubahan situasi sosial yang berlangsung akibat dari berbagai intervensi budaya luar masih dapat dikontrol dengan masih dipertahankannya kelembagaan adat oleh masyarakatnya sendiri, yaitu dengan telah dikukuhkannya nilai-nilai kearifan tradisional. Disamping itu, adanya penghormatan dari para pendatang terhadap kelembagaan adat, seperti yang terlihat dari hasil penelitian Solossa (2005) diacu dalam Widjono (2006) bahwa penduduk pendatang di Papua mempunyai cukup empati pada masyarakat asli tentang dua topik adat (Tabel 8), meskipun pendatang masih kurang memahami sejumlah aspek lain dari budaya

Dokumen terkait