• Tidak ada hasil yang ditemukan

Development of national park zoning system: a synthesis of the importance of biodiversity conservation and the livelihood of costumary people

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Development of national park zoning system: a synthesis of the importance of biodiversity conservation and the livelihood of costumary people"

Copied!
455
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN ZONASI TAMAN NASIONAL:

Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati

dan Kehidupan Masyarakat Adat

NANDI KOSMARYANDI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Zonasi Taman Nasional: Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masyarakat Adat ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)

Boan makan : Hak ulayat pada masyarakat adat Malind-anim Dema : Leluhur pada mitologi Malind-anim

DP3K : Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif, yaitu lembaga kolaboratif yang dibentuk dalam pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang

FoMMA : Forum Musyawarah Masyarakat Adat, yaitu forum yang dibentuk untuk menampung aspirasi masyarakat adat di Taman Nasional Kayan Mentarang

FPIC : Free, Prior Informed Consent, yaitu prinsip tanpa paksaan dan pemberitahuan diawal yang harus digunakan dalam pengelolaan kawasan lindung (kawasan konservasi)

Gotad : Bangunan asrama para pemuda yang sedang menjalani inisiasi adat pada masyarakat Malind-anim

Haindun milah : Dunia abadi dalam mitologi Malind-anim (istilah lain: haindu mirav) Lamin : Rumah tradisional Dayak berbentuk rumah panjang (istilah lain: uma’

dado)

Lepo’ : Permukiman masyarakat adat Dayak Kenyah

LMA : Lembaga Masyarakat Adat, yaitu lembaga masyarakat-masyarakat adat di Taman Nasional Wasur

Milah/mirav : Lahan/tanah (bahasa Malind-anim)

Otiv : Rumah tradisional Malind-anim yang berbentuk rumah panggung Sasi : Aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk menjaga

keseimbang alam pada masyarakat Malind-anim

Tana’ ulen : Hutan yang dilindungi dan diatur secara ketat oleh aturan adat pada Dayak Kenyah (atau tana’ jaka pada Dayak Punan, tana’ ang pada Dayak Kayan)

Terra nullius : Tidak berpenghuni; terminologi digunakan untuk menyatakan kawasan hutan tidak dihuni masyarakat

Totem : Perubahan wujud Dema kedalam bentuk tumbuhan, binatang ataupun benda dan menjadi simbol kelompok

Ulen leppo' : Wilayah adat masyarakat adat Dayak Kenyah Unam : Alam semesta (bahasa Malind-anim)

WPC : World Park Congress, yaitu forum global untuk menetapkan agenda kawasan lindung yang diselenggarakan sepuluh tahun sekali oleh lembaga konservasi internasional (IUCN)

(5)

ABSTRACT

NANDI KOSMARYANDI. Development of National Park Zoning System: a synthesis of the importance of biodiversity conservation and the livelihood of costumary people. Under supervision of SAMBAS BASUNI, LILIK BUDI PRASETYO, and SOERYO ADIWIBOWO.

The objectives of this research is to develop such policies for park zonation that amalgamating the national-global interests for conservation on the one side and the customary community interests on the other side. More specifically, this research is directed for developing new criteria for park zonation that integrating conservation policies and regulations with indigenous knowledge. Two national parks i.e. the Wasur National Park and the Kayan Mentarang National Park that have overlapping areas with customary territories were studied. The field research was carried out in relations with participatory planning activities for park zonation that conducted from October 2008 to July 2011. Literatures review, in-depth interviews, field observations as well as participant observations during park zonation process are fields methods applied for data collections. Three important findings are found. First, the sustainable use of natural resource would be in place where customary community still keeps their traditional way of life particularly that in relations to conservation. Second, so far the park zonation policy does not take into account the values, norms and livelihoods of the customary community. Third, the regulations and criteria for park zonation hinder the traditional access and control of customary community over national park. The last two mentioned factors could potentially create conflicts between customary community and parks. Through spatial analysis and participatory planning carried out in the two national parks studied, zones that integrating or amalgamating indigenous knowledge and conservation policy and regulations can be produced. Five genuine zones are produce from this process i.e. cultural core zone, customary wilderness zone, the multi use zone, historical, cultural and religious zone and the traditional use zone. The first four mentioned zones are produced through amalgamation processes. However, the last zone is produced through similar requirements address in the Decree of the Minister of Forestry No P.56/Menhut-II/2006. Hence, it can be said that park zonation process that could integrating or amalgamating indigenous knowledge and biodiversity conservation policy and regulations are conservation policies that built upon the customary community perspective.

(6)

NANDI KOSMARYANDI. Pengembangan Zonasi Taman Nasional: Sintesis kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, LILIK BUDI PRASETYO, dan SOERYO ADIWIBOWO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kebijakan zonasi taman nasional yang merupakan amalgamasi kepentingan konservasi nasional-global dan kepentingan kehidupan masyarakat adat, dan khususnya membangun kriteria baru zonasi taman nasional hasil amalgamasi kebijakan dan peraturan perundangan konservasi dengan kearifan lokal masyarakat adat. Untuk menjawab tujuan tersebut, dilakukan penelitian di dua taman nasional yang kawasannya bertumpang tindih dengan wilayah adat, yaitu Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Kayan Mentarang. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2008 sampai bulan Juli 2011 disesuaikan dengan tata waktu proses perencanaan zonasi partisipatif pada kedua taman nasional tersebut. Metode penelitian yang digunakan meliputi studi literatur, wawancara dengan para informan, pengamatan lapang terbatas dan pelibatan peneliti dalam proses partisipatif penyusunan zonasi.

Fakta-fakta penting yang diperoleh adalah sebagai berikut: Pertama, masyarakat adat yang masih kental dengan praktek-praktek konservasi tradisionalnya dapat melakukan pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam.

Kedua, kebijakan zonasi dalam pengelolaan taman nasional belum tepat atau bahkan belum mengakomodir norma-norma dan tata kehidupan masyarakat adat yang direfleksikan dalam ruang kelola wilayah adat. Ketiga, persyaratan dan kriteria juridis-formal zonasi yang diterapkan dalam pengelolaan taman nasional telah menyebabkan akses masyarakat adat menjadi terbatas. Implikasi lebih jauh dari hal ini adalah timbulnya sengketa dan konflik antara masyarakat adat dengan taman nasional.

(7)

Keempat, zona religi, budaya dan sejarah (historical, cultural and religious zone) namun dengan pemaknaan yang lebih mendalam dari Permenhut No P.56/Menhut-II/2006. Zona ini berfungsi untuk menjaga keberlangsungan ritual, kepercayaan dan perlindungan nilai-nilai hasil karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan. Kelima, zona pemanfaatan tradisional (traditional use zone). Zona ini sepenuhnya bersesuaian dengan zona tradisional menurut Permenhut No P.56/Menhut-II/2006.

Zonasi dengan kriteria baru tersebut dapat diimplementasikan dengan cara: a) pengembangan zonasi diarahkan pada pencapaian fungsi taman nasional bukan diarahkan pada pencapaian kelengkapan zona seperti yang dipersyaratkan secara juridis-formal dalam Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006, dan b) adaptasi bentuk dan kriteria zonasi dengan memperhatikan tata guna lahan tradisional sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat. Kebijakan zonasi yang mengamalgamasikan kebijakan konservasi keanekaragaman hayati dengan pengetahuan dan kearifan lokal akan menjadi kebijakan pengelolaan taman nasional yang sarat dengan perspektif masyarakat adat..

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

PENGEMBANGAN ZONASI TAMAN NASIONAL:

Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati

dan Kehidupan Masyarakat Adat

NANDI KOSMARYANDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F.trop

(11)

Judul Disertasi : Pengembangan Zonasi Taman Nasional : Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masyarakat Adat

Nama : Nandi Kosmaryandi

NIM : E061050051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 25 Januari 2012 ...

(12)
(13)

PRAKATA

Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena telah dapat menyelesaikan karya ilmiah ini setelah melalui pengamatan panjang proses partisipatif pembangunan kesepakatan zonasi taman nasional dan konsultasi intensif dengan komisi pembimbing. Isi dalam karya ilmiah ini merupakan sintesis terhadap kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dan kepentingan kehidupan masyarakat adat untuk menemukan efektivitas pengelolaan taman nasional di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS, Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran. Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis didukung oleh Balai Taman Nasional Wasur, Balai Taman Nasional Kayan Mentarang, dan WWF Indonesia, khususnya WWF Region Sahul Papua dan WWF Kayan Mentarang Project, serta masyarakat adat di Taman Nasional Wasur, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya atas bantuan data, informasi dan fasilitasi selama di lapangan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan kerja di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, dan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Fakultas Kehutanan IPB atas semua dukungan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, oleh karena itu saran dan kritikan yang bersifat konstruktif senantiasa penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi sumbangan dalam pengembangan kebijakan dan pengelolaan taman yang lebih efektif.

(14)

Penulis lahir di Garut pada tanggal 28 Juni 1966 sebagai anak kedua dari ayah Engkos Kosasih (Alm) dan ibu Siti Mariah Kusdiningsih (Almh). Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Deyah Nurdiniyah dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Muhammad Lazuardi Allauddin, Nadya Riska Rahmadina dan Muhammad Andya Nurrahman.

Jenjang pendidikan penulis, untuk pendidikan Sarjana diselesaikan di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1991, selanjutnya pendidikan Master diselesaikan di Fakultät für Forstwissenschaften und Waldökologie, Georg-August-Universität Göttingen Germany pada tahun 2001 dengan beasiswa dari DAAD. Pendidikan Doktoral ditempuh pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

(15)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Kerangka Pikir Penelitian ... 13

Tujuan Penelitian ... 15

Manfaat Penelitian ... 15

Novelty/Kebaruan ... 15

DISKURSUS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL ... 17

Perkembangan Cara Pandang Konservasi Sumberdaya Alam ... 17

Perkembangan Pengakuan Hak-hak Adat dalam Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam ... 18

Perkembangan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia ... 27

Praktik-praktik Konservasi Tradisional di Kawasan Taman Nasional ... 30

METODE PENELITIAN ... 35

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

Bahan dan Alat ... 36

Sumber dan Jenis Data ... 36

Tahapan Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

Tradisi Masyarakat Adat dalam Mengelola Sumberdaya Alam ... 39

Cara Pandang terhadap Sumberdaya Alam ... 39

Sistem Pengelolaan Lahan sebagai Bentuk Konservasi Tradisional ... 42

Perubahan Situasi Sosial sebagai Pemicu Peluruhan Tradisi ... 52

(16)

ii

Halaman

Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional ... 85

Implikasi Implementasi Kebijakan Taman Nasional di Wilayah Adat ... 85

Menuju Cara Efektif Pengelolaan Taman Nasional ... 115

Kriteria Zonasi Taman Nasional ... 135

Perjalan Panjang Penyusunan Zonasi Taman Nasional di Wilayah Adat ... 135

Adaptasi Kriteria Zonasi Taman Nasional ... 147

SIMPULAN DAN SARAN... 157

Simpulan ... 157

Saran ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... 161

(17)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Masyarakat adat dan bentuk interaksinya di kawasan taman nasional ... 6

2. Inkonsistensi dalam peraturan perundangan pengelolaan taman nasional... 8

3. Paradigma baru kawasan konservasi (protected area) ... 19

4. Tipe lahan masyarakat Dayak Kenyah... 48

5. Jumlah penduduk dan mata pencaharian di desa-desa dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Wasur ... 57

6. Jumlah penduduk di setiap lokasi yang berada dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang ... 59

7. Suku utama dan sub-kelompok di dalam dan sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang ... 60

8. Nilai persetujuan responden tentang dua topik adat ... 70

9. Rencana zonasi dan luas tiap-tiap zona berdasarkan wilayah adat di Taman Nasional Wasur ... 98

10. Tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Wasur ... 101

11. Luas tata guna lahan tradisional di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang ... 103

12. Zonasi indikatif Taman Nasional Wasur pada setiap wilayah adat ... 112

13. Luas setiap zona indikatif pada setiap wilayah adat di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang ... 114

14. Jenis, kriteria dan arahan pengelolaan zona hasil kesepakatan di Taman Nasional Wasur ... 139

15. Zonasi hasil kesepakatan di Taman Nasional Wasur ... 143

16. Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang usulan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) ... 145

17. Kriteria-indikator dan arahan pengelolaan zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang hasil rumusan Ditjen PHKA, BTNKM, DP3K dan FoMMA ... 145

(18)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ... 14

2. Tahap penelitian ... 38

3. Wilayah Adat Malind-anim. ... 43

4. Tempat-tempat penting Malind-anim di kawasan Taman Nasional Wasur ... 46

5. Lepuvung di Desa Long Alango ... 48

6. Peta tata guna lahan tradisional di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang ... 51

7. Rumah-rumah masyarakat di Desa Rawa Biru, Taman Nasional Wasur ... 54

8. Situasi permukiman di Desa Yanggandur, Taman Nasional Wasur ... 55

9. Rumah tradisional Malind-anim ... 55

10. Situasi permukiman di Long Bawan, ibu kota Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan yang terletak di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang ... 63

11. Situasi permukiman di Long Alango, ibu kota Kecamatan Bahau Hulu yang terletak di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang ... 63

12. Peta tempat penting masyarakat adat dan tipe tutupan lahan di kawasan Taman Nasional Wasur ... 69

13. Peta tata guna lahan tradisional dan tempat penting budaya masyarakat adat di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang ... 72

14. Luas perubahan tipe ekosistem di kawasan Taman Nasional Wasur ... 74

15. Peta perubahan penggunaan lahan tahun 2002 dan 2009 di kawasan Taman Nasional Wasur ... 75

16. Sebaran spesies asing di kawasan Taman Nasional Wasur ... 76

17. Lanskap di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang... 77

18. Persentase perubahan tutupan lahan tahun 2000, 2005 dan 2010 di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang ... 78

19. Perubahan tutupan lahan di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang pada tahun 2000, 2005 dan 2010 ... 79

20. Tumpang tindih kawasan Taman Nasional Wasur dengan Wilayah Adat Malind-anim ... 91

(19)

v Halaman

22. Ritual sasi penambangan pasir di Ndalir Taman Nasional Wasur... 94 23. Kondisi aksesibilitas dan perekonomian di jalur trans Irian dan menuju

wilayah perbatasan negara ... 96 24. Kondisi aksesibilitas untuk pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat di

wilayah Krayan dari wilayah negara tetangga ... 96 25. Peta rencana zonasi Taman Nasional Wasur ... 99 26. Peta potensi zona inti Taman Nasional Kayan Mentarang ... 100 27. Overlay peta vegetasi dan dusun (lahan pemanfaatan tradisional) di

kawasan Taman Nasional Wasur ... 102 28. Peta tata guna lahan tradisional di kawasan Taman Nasional Kayan

Mentarang ... 104 29. Penggunaan wilayah adat untuk tempat penting adat dan dusun-dusun

tradisional di kawasan Taman Nasional Wasur ... 106 30. Overlay peta tempat penting adat dengan rencana zonasi Taman

Nasional Wasur ... 108 31. Overlay peta tata guna lahan tradisional dan budaya dengan potensi

zona inti Taman Nasional Kayan Mentarang ... 109 32. Peta zonasi indikatif Taman Nasional Wasur berdasarkan kriteria zonasi

dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 ... 111 33. Peta zonasi indikatif Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan

kriteria zonasi dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.

P.56/Menhut-II/2006 ... 113 34. Posisi DP3K-Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan SK

Menhut No 347/Menhut-II/2007 ... 120 35. Zonasi Taman Nasional Wasur hasil kesepakatan dengan masyarakat

adat ... 141 36. Ritual pengukuhan secara adat kesepakatan zonasi dan pengangkatan

staf Balai Taman Nasional Wasur sebagai anak adat dan polisi adat ... 142 37. Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan usulan Forum

Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) ... 146 38. Penapisan parameter ruang dalam penyusunan zonasi adaptif di taman

(20)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi ... 168

2. Permohonan Masyarakat Adat Kanum Korkari ... 171

3. Tempat-tempat penting Suku Kanume di Taman Nasional Wasur ... 173

4. Tempat-tempat penting Suku Marori Meng-gey di Taman Nasional Wasur ... 174

5. Tempat-tempat penting Suku Imbuti di Taman Nasional Wasur ... 175

6. Tempat-tempat penting Suku Yeinan di Taman Nasional Wasur ... 176

7. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Apokayan ... 177

8. Peta potensi sumberdaya alam di wilayah masyarakat adat Apokayan ... 178

9. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Hulu Bahau ... 179

10. Peta sebaran budaya di wilayah masyarakat adat Hulu Bahau... 180

11. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Krayan Darat ... 181

12. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Krayan Hilir ... 182

13. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Krayan Hulu... 183

14. Peta sebaran budaya dan sumberdaya alam di wilayah masyarakat adat Krayan Hulu ... 184

15. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Krayan Tengah... 185

16. Peta sebaran budaya dan sumberdaya alam di wilayah masyarakat adat Krayan Tengah ... 186

17. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Lumbis ... 187

18. Peta sebaran budaya dan sumberdaya alam di wilayah masyarakat adat Lumbis ... 188

19. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Mentarang Hulu ... 189

20. Peta sebaran budaya dan sumberdaya alam di wilayah masyarakat adat Mentarang Hulu ... 190

21. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Pujungan ... 191

22. Peta potensi sumberdaya alam di wilayah masyarakat adat Pujungan ... 192

23. Peta sebaran budaya di wilayah masyarakat adat Pujungan ... 193

24. Peta tata guna lahan di wilayah masyarakat adat Tubu ... 194

(21)

vii Halaman

26. Luas tata guna lahan di setiap wilayah adat di Taman Nasional Kayan

Mentarang ... 196 27. Kesepakatan pengukuhan nilai-nilai kearifan tradsional masyarakat adat

di Taman Nasional Wasur ... 198 28. Susunan pengurus Badan Pengelola Tana Ulen Desa Long Alango ... 200 29. Jenis, kriteria dan fungsi zona berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 ... 201 30. Nota kesepahaman pengelolaan Tana’ Ulen Hulu Bahau ... 205 31. Kesepakatan tata batas Taman Nasional Kayan Mentarang ... 207 32. Pernyataan sikap masyarakat adat Krayan terhadap keberadaan Taman

(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembentukan taman nasional di Indonesia dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelestarian sumberdaya alam yang dalam pemanfaatannya ditujukan bagi kepentingan sains modern dan kepariwisataan. Hal ini tersirat dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan taman nasional apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

e. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

(24)

pertimbangan keputusan penunjukan taman nasional, yaitu hanya satu taman nasional yang secara jelas memasukkan pertimbangan keberadaan masyarakat adat sebagai dasar pembentukannya, yaitu Taman Nasional Bukit Duabelas. Dimunculkannya pertimbangan keberadaan masyarakat adat di Taman Nasional Kayan Mentarang, adalah akibat dari adanya penolakan masyarakat adat terhadap pembentukan Cagar Alam Kayan Mentarang di wilayah adatnya sehingga pemerintah melakukan perubahan fungsi menjadi taman nasional. Masyarakat adat yang wilayahnya dibentuk menjadi kawasan taman nasional, tidak mendapatkan informasi diawal, alih-alih dilibatkan dalam pembentukan taman nasional tersebut.

Disisi lain, ketidakberdayaan masyarakat adat dalam menghadapi berbagai kepentingan eksternal terhadap sumberdaya alam yang berada wilayah adatnya memerlukan perhatian pemerintah dalam melindungi praktik-praktik konservasi tradisional mereka. Di wilayah Gunung Lumut, Kalimantan Tengah, misalnya, kepentingan eksternal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan secara langsung dirasakan sebagai salah satu bentuk ancaman bagi kelestarian tempat penting (sakral) Suku Dayak Tonyoi dan Benuaq. Oleh karena itu, masyarakat adat disini sedang mencari alternatif formal untuk melindungi dan melestarikan wilayah adatnya. Salah satu alternatif yang dipertimbangkannya adalah menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan taman nasional.

Berdasarkan situasi yang dihadapi tersebut di atas, aspek sosial budaya dalam pengelolaan taman nasional menjadi penting untuk dikedepankan. Selama ini pengelolaan terhadap masyarakat, terutama masyarakat adat, yang ada di dalam kawasan taman nasional ditujukan untuk kepentingan pengembangan pariwisata ataupun dilakukan akibat dari keterlanjuran pembentukan kawasan taman nasional di wilayah tersebut. Sementara itu, hal-hal yang tumbuh di masyarakat yang berupa kearifan tradisional tidak dijadikan acuan dalam pengelolaan taman nasional, sehingga masyarakat adat menjadi termarjinalkan oleh kebijakan yang sesungguhnya bertujuan untuk melestarikan sumberdaya alam.

(25)

permasalahan yang cukup pelik dalam pengelolaan tamanan nasional yang kawasannya bertumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, antara lain dalam penerapan sistem zonasi. Kriteria pembentukan zonasi taman nasional belum dibangun dengan pola pikir kesetaraan dan mutual benefit dengan masyarakat adat, sehingga terjadi ketidakselarasan kriteria antara pola penggunaan ruang yang diterapkan pemerintah (zonasi) dengan pola penggunaan ruang tradisional yang menyebabkan tidak terpenuhinya persyaratan zonasi pengelolaan taman nasional.

Kekeliruan dalam pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi (protected area) yang terkait dengan masyarakat telah pula disadari oleh dunia internasional. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam Kongres Taman Sedunia (World Park Congress/WPC) ke lima pada bulan September 2003 di Durban, Afrika Selatan, menghasilkan Durban Accord yang terkait dengan penghormatan hak-hak masyarakat asli, tradisional dan berpindah (indigenous, traditional and mobile people) yang berada dalam protected area. Kekeliruan konsep pembentukan dan pengelolaan protected area adalah telah mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sebagai ‘pemilik’ kawasan secara turun temurun. Padahal, berdasarkan kesejarahan kawasan, sesungguhnya keberadaan protected area lebih belakangan dibandingkan dengan keberadaan kawasan yang dijadikan sumber kehidupan masyarakat adat, yaitu kawasan-kawasan yang biasa disebut sebagai hutan adat, tanah ulayat ataupun wilayah adat.

(26)

serta sumber daya alam mereka dianggap sebagai alat penting dalam mencapai kelestarian sosial dan lingkungan. Penghormatan hak tersebut oleh badan-badan konservasi harus dapat mengakhiri konflik yang menyengsarakan pada masyarakat adat dan pihak-pihak yang ingin membangun protected area di wilayah mereka. Dengan menghormati hak masyarakat adat, dan khususnya hak atas FPIC, protected area masa depan dapat dibentuk di wilayah masyarakat adat bila telah ada saling sepakat tentang cara-cara pengelolaan wilayah itu yang didasarkan atas pengakuan atas hak masyarakat adat untuk memiliki dan memegang kontrol atas tanah dan wilayah tersebut.

Lebih dari itu, dalam deklarasi Durban dinyatakan bahwa terhadap hutan-hutan adat, tanah-tanah ulayat ataupun tanah-tanah adat yang diambil alih untuk

protected area tanpa persetujuan di masa lalu, harus dikembalikan kepada masyarakat adat. Observasi terhadap hak masyarakat adat untuk FPIC juga harus membantu memastikan bahwa skema-skema pembangunan hanya dapat diselenggarakan di tanah-tanah mereka apabila dampak terhadap masyarakat adat telah ditanggapi sampai masyarakat adat sendiri yakin bahwa proyek-proyek itu akan membawa manfaat jangka panjang bagi mereka. Penghormatan terhadap hak

untuk berkata ‘tidak’ harus bisa menghentikan berbagai skema-skema pembangunan yang memaksa dan merusak budaya, sehingga akan berkontribusi pada penggunaan dan konservasi sumber daya alam secara lestari.

(27)

Di beberapa belahan dunia, seperti di Afrika, Asia Selatan dan Australia, upaya-upaya memposisikan masyarakat adat dalam proyek-proyek konservasi sudah banyak dilakukan yang difasilitasi oleh lembaga internasional, seperti IUCN dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO), sebagai bagian dari implikasi konvensi dan deklarasi internasional yang sudah disepakati dalam berbagai pertemuan. Di Indonesia, berbagai program pelibatan masyarakat yang didukung lembaga-lembaga dunia tersebut sudah pernah dijalankan, diantaranya adalah Integrated Conservation and Development Project (ICDP) dan Integrated Protected Area System (IPAS) pada awal tahun 1990-an, namum karena sifatnya keproyekan dan sehingga tidak ada kelanjutannya. Selain itu mekanisme perencanaan programnya juga tidak melibatkan para pihak yang terlibat (utamanya masyarakat), sehingga

implementasinya cenderung “memaksa” para pihak untuk berpartisipasi.

Demikian halnya dengan lembaga swadaya masyarakat juga sudah menyuarakan hak-hak masyarakat adat yang selama ini dinilai termarjinalkan dan belum tersentuh pembangunan. Namun, upaya ini belum dapat mencapai sasaran perubahan kebijakan seperti yang diharapkan.

(28)

Perumusan Masalah

Zonasi taman nasional adalah pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona. Zona adalah wilayah yang dibedakan menurut fungsi, serta kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zonasi sebagai prasyarat pengelolaan belum dapat disusun pada semua taman nasional karena berbagai latar belakang penyebabnya, baik karena belum memadainya data kondisi biofisik kawasan maupun karena masih adanya permasalahan sosio budaya. Adanya permasalahan sosio budaya karena beberapa kawasan taman nasional berada pada wilayah yang berpenghuni maupun terdapat berbagai interaksi dengan masyarakat adat. Beberapa taman nasional yang kawasannya dihuni masyarakat adat secara turun temurun maupun memiliki interaksi budaya ataupun sejarah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.Masyarakat adat dan bentuk interaksinya di kawasan taman nasional

No Taman Nasional Suku/budaya/situs

1. Wasur Kanum, Marin, Marori-Men, Yeinan

2. Lorenz Nduga, Dani Barat, Amungme, Sempan, Asmat

3. Manusela Desa enclave (Manusela, Ilena Mariana, Selumena, Kanike) 4. Kayan Mentarang Peninggalan arkeologi (makam dan alat-alat batu) etnis Dayak

5. Betung Kerihun Dayak Iban: pusaka dan alat tradisonal di Dusun Sadap, rumah panjang di Dusun Sungai Sedik; Dayak Tamambaloh: tradisi dan budaya di dusun tertua,

6. Bali Barat Pura Bakungan yang dibangun abad ke 16 dan makam Jayaprana 7. Alas Purwo Pura Luhur Giri Salaka yang digunakan umat Hindu untuk upacara

Pagerwesi

8. Baluran Candi Bang, makam putra Maulana Malik Ibrahim 9. Bromo Tengger Semeru Upacara ritual masyarakat Tengger

10. Gunung Merapi Upacara ritual masyarakat

11. Karimun Jawa Makam Sunan Nyamplungan (Sunan Muria), sumur wali 12. Halimun Salak Tradisi masyarakat Kasepuhan

13. Ujung Kulon Gua Sanghiang Sirah yang dikeramatkan, Arca Ganesha 14. Bukit Duabelas Orang Rimba

15. Bukit Tigapuluh Talang Mamak dan Anak Dalam 16. Siberut Tradisi masyarakat Mentawai

17. Manupeu Tanadaru Upacara adat ritual (hamayang) kepercayaan Marapu dari suku Sumba 18. Kelimutu Agroforestri tradisional “napu”

19. Lore Lindu Tata kelola hutan Suku Sinduru 20. Kepulauan Togean Masyarakat adat Togian Lipu Bangkang 21. Bukit Baka Bukit Raya Hutan adat Ketemenggungan Siyai 22. Rawa Aopa Watomohai Masyarakat adat Moronene 23. Kerinci Seblat Masyarakat Adat Jurukalang

24. Teluk Cendrawasih Suku Wandamen,Umar, Yaur, dan Yerisiam

(29)

Dari sebanyak 50 (lima puluh) taman nasional, baru sebanyak 30 (tiga puluh) yang sudah memiliki rencana zonasi, namun yang sudah disahkan baru di 25 (dua puluh lima) taman nasional (Lampiran 1). Sebanyak 10 (sepuluh) dari 24 (dua puluh empat) taman nasional yang terkait dengan wilayah adat sudah memiliki rencana zonasinya. Namun demikian zonasi pada kawasan-kawasan taman nasional tersebut dan kawasan taman nasional lainnya yang terkait dengan masyarakat adat masih menyisakan permasalahan alokasi ruang, seperti hasil-hasil penelitian yang dilakukan Harada et al. 2001 di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Purnama et al. 2006 di Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Manembu 1991 di Taman Nasional Lorentz, Muda 2005 di Taman Nasional Kelimutu, Golar 2007 di Taman Nasional Lore Lindu, Ikhsan et al. 2005 di Taman Nasional Batang Gadis, Kuswijayanti et al. 2007 di Taman Nasional Gunung Merapi dan Eghenter dan Sellato 1998 di Taman Nasional Kayan Mentarang.

Zonasi taman nasional berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan, sedangkan dalam PP No. 28 tahun 2011 meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan atau zona lain sesuai kebutuhannya. Selanjutnya, penjabaran dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional terdapat upaya untuk mempertimbangkan keberadaan masyarakat

dalam kawasan taman nasional, yaitu dengan menambahkan “budaya” sebagai

tujuan pemanfaatanya, walaupun tidak dapat disimpulkan apakah hal ini merupakan sesuatu yang disengaja atau tidak karena tidak ada dalam

penjelasannya. Penambahan “budaya” ini menjadi payung untuk zona tradisional,

religi dan budaya sebagai bagian dari zona lain taman nasional. Inkosistensi yang terdapat dalam hirarki perundangan tersebut disajikan pada Tabel 2.

(30)

Tabel 2.Inkonsistensi dalam peraturan perundangan pengelolaan taman nasional

Aspek

Peraturan Perundangan

UU No.5 Tahun 1990 PP No.28 Tahun 2011 Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006

d.Zona lain, antara lain: 1) Zona tradisional; 2) Zona

rehabilitasi; 3) Zona religi, budaya dan sejarah; 4) Zona khusus.

1. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

2. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

3. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

(31)

satu kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan zona tradisional adalah adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada kawasan taman nasional yang berada dalam wilayah adat, seperti di Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Kayan Mentarang, relatif sangat sulit untuk mendapatkan areal yang belum “diganggu” manusia karena cara pandang, pola hidup dan sejarah pemanfaatan oleh masyarakat adat terhadap sumberdaya hutan menyebabkan keseluruhan wilayah adat menjadi daerah jelajah dan menjadi tempat yang digunakan untuk sumber pemenuhan hidup dan kehidupannya, sehingga keseluruhan kawasan dapat memenuhi kriteria sebagai zona tradisional. Pada situasi seperti ini, pemerintah tetap mengharuskan adanya zona-zona yang menjadi persyaratan minimal dalam sistem pengelolaan taman nasional, sehingga zonasi ini seringkali dapat didefinitifkan di atas peta tetapi sulit diimplementasikan di lapangan.

Kriteria penetapan zona khusus sangat mencerminkan bahwa penetapan kawasan taman nasional mengabaikan pertimbangan sosial budaya dan pembangunan wilayah. Kriteria zona khusus dibuat sebagai bentuk keterlajuran pembentukan taman nasional yang ternyata menempati wilayah masyarakat ataupun bangunan infrastuktur pembangunan. Hal ini terlihat dari kriteria zona khusus, yaitu:

1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;

2. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;

Sejauh ini dijumpai beberapa fakta dalam pengelolaan taman nasional yang terkait dengan masyarakat adat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Di taman nasional yang seluruh kawasannya berada dalam wilayah adat: a. Taman Nasional Wasur yang penunjukannya dilakukan pada tahun 1997,

(32)

Nasional tidak mengetahui dengan pasti peta zonasi yang dimaksud dalam SK Dirjen PKA No. 15/Kpts/DJ-V/2001, tanggal 6 Pebruari 2001, sehingga hal ini hanya menjadi rencana di atas peta yang tidak dapat diimplementasikan. Fakta di lapangan konflik ruang dan pengelolaan masih terjadi karena keseluruhan kawasan taman nasional berada pada wilayah-wilayah masyarakat adat dimana pada wilayah adat telah terdapat pengaturan-pengaturan ruang berdasarkan kepercayaan dan tradisinya, misalnya, ruang-ruang sakral, perlindungan dusun sagu dan sumber air sebagai wilayah sumber kehidupan, serta perlindungan wilayah perjalanan nenek moyang sebagai bagian penting dalam tatanan sosialnya.

b. Taman Nasional Kayan Mentarang merupakan perubahan dari cagar alam. Perubahan ini terjadi karena adanya reaksi masyarakat adat yang merasa

“tidak dimanusiakan” karena pemerintah lebih mementingkan pengelolaan

tumbuhan dan satwaliar di atas wilayah adatnya. Dengan adanya perubahan fungsi pada tahun 1996 dan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 1213, 1214, dan 1215/Kpts-II/2002 tentang Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional Kayan Mentang, sehingga masyarakat adat relatif dapat menerima keberadaan taman nasional di wilayah adatnya. Akan tetapi pelaksanaan kolaboratif ini tidak seperti yang diharapkan masyarakat adat, karena tetap harus mengacu pada peraturan perundangan yang ada, sehingga realitasnya tidak berbeda dengan taman nasional lain yang tidak ditetapkan dikelola secara kolaboratif. Disamping itu perbedaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat adat terhadap pengaturan ruang (zonasi) menimbulkan konflik penggunaan sumberdaya alam karena masyarakat menuntut hak penggunaan wilayah adatnya berdasarkan pola keterikatannya terhadap sumberdaya alam saat ini dan masa mendatang, seperti terhadap tana ulen (wilayah hutan yang dilindungi dan diatur secara ketat oleh aturan adat), kampung lama, kuburan leluhur, alokasi lahan untuk kebutuhan mendatang dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan penyusunan zonasi belum dapat diselesaikan sampai saat ini.

(33)

tinggal di sekitar kawasan taman nasional tetapi memiliki keterikatan dengan sumberdaya alam di dalam kawasan. Situasi adanya masyarakat adat di sekitar taman nasional dapat terjadi oleh karena kesejarahan masyarakat adat yang bersangkutan ataupun karena kebijakan pemerintah dalam hal pemukiman masyarakat terpencil, regrouping ataupun

resettlement dengan maksud memudahkan pemberian pelayanan sosial dan penyediaan utilitas.

2. Di taman nasional yang kawasannya tidak berada atau hanya menempati luasan tertentu pada wilayah adat: Kriteria zonasi yang tercantum dalam peraturan perundangan relatif tidak menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Pada situasi seperti ini, adanya alokasi ruang bagi masyarakat ataupun klaim wilayah oleh masyarakat adat masih memungkinkan dibentuknya zona-zona yang dipersyaratkan. Contoh kasus ini diantaranya adalah pada Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru, Taman Nasional Gunung Rinjani dan Taman Nasional Meru Betiri

Fakta-fakta tersebut di atas tentunya menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana pemerintah dapat menetapkan suatu kawasan menjadi taman nasional padahal kawasan tersebut tidak dapat memenuhi kriteria dalam peraturan perundangan, dimana salah satu kriterianya adalah merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Apakah dengan tidak terpenuhinya kriteria, penunjukan taman nasional dapat dibatalkan? Apabila mengacu pada IUCN, pengelolaan kawasan konservasi dapat dikelola secara legal atau dengan cara efektif lainnya.

Berbagai permasalahan tersebut di atas muncul karena pemerintah sebagai

(34)

Padahal, pada kenyataannya pemerintah tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola sumberdaya alam secara optimal, sehingga terjadi open access. Disisi lain terdapat masyarakat adat yang memandang sumberdaya alam sebagai common proverty yang memiliki keterikatan erat dengan kehidupannya (home land), baik secara material maupun emosional.

Dalam konsep community property rights yang dikemukakan Harwell dan Lynch (2002), hak kepemilikan masyarakat tidak semestinya dianggap atau selalu tergantung pada pemberian negara atau dokumen formal, seperti halnya hak asasi manusia yang diakui oleh hukum internasional maupun oleh konsep-konsep hukum alam. Harwell dan Lynch (2002) juga menyatakan bahwa hak kepemilikan berbasis masyarakat (community based property rights) adalah pengakuan terhadap otoritas yang berasal dari masyarakat di tempat mereka berada, bukan pemberian dari negara. Pengelolaan sumberdaya alam sebagai barang publik (common-pool resources) oleh masyarakat sebagai commom property regimes, dipandang oleh Ostrom (1990) dapat menghindari targedy of the common akibat dari open access sumberdaya alam. Penghormatan terhadap kepemilikan berbasis masyarakat adalah melalui pengakuan dalam hukum formal agar dapat digunakan dalam mencapai tujuan kepentingan publik. Konsep "berbasis masyarakat" yang

dikembangkan pemerintah selama ini adalah masih berbentuk “inisiatif eksternal” yang masih terbatas pada upaya pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) dinyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

(35)

adat, sehingga diperoleh pengembangan zonasi yang bersesuaian (compatible) dan dapat diterapkan (applicable).

Kerangka Pikir Penelitian

Adanya dua cara pandang yang berbeda terhadap tujuan yang sama, yaitu tujuan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari menyebabkan adanya perbedaan bentuk dan kriteria alokasi ruang atau zonasi. Kepentingan sains modern dan global yang diterjemahkan dalam aturan-aturan formal taman nasional dan kepentingan masyarakat adat yang diterjemahkan dalam aturan-aturan adat yang bersifat lokalitas dapat menjadi benturan apabila tidak diadaptasikan. Oleh karena itu, keterlanjuran pembentukan taman nasional pada wilayah-wilayah masyarakat adat memerlukan formulasi kebijakan baru terutama dalam sistem zonasi dan pembagian peran agar pengelolaan taman nasional dapat berjalan efektif sesuai dengan karakteristiknya.

(36)
(37)

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan umum:

Mengembangkan kebijakan zonasi di kawasan taman nasional yang merupakan amalgamasi kepentingan konservasi nasional-global dan kepentingan kehidupan masyarakat adat.

2. Tujuan khusus:

Membangun kriteria baru untuk zonasi taman nasional yang merupakan amalgamasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan konservasi dengan kearifan lokal masyarakat adat.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Menyediakan hasil kajian ilmiah dalam pengembangan kebijakan zonasi taman nasional yang berada dalam wilayah adat dan pengelolaan sumberdaya alam yang terkait dengan masyarakat adat.

2. Mengimplementasikan salah satu tahapan kesepakatan internasional terkait hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. 3. Menjadi bahan informasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Novelty/Kebaruan

(38)
(39)

DISKURSUS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

Perkembangan Cara Pandang Konservasi Sumberdaya Alam

Perkembangan konservasi sumberdaya alam dimulai dengan cara pandang yang berbeda di Eropa dan Amerika. Di Eropa, perkembangan konservasi alam dimulai dengan keingintahuan para teolog, filosof, aristokrat dan ilmuwan terhadap kompleksitas alam semesta. Wujud dari cara pandangan tersebut dinyatakan dalam bentuk mengkoleksi berbagai jenis satwa liar dan bagian-bagiannya sebagai hiasan yang menjadi kebanggaan dan status sosial bagi para bangsawan Eropa. Hal ini berimplikasi pada konsep yang cenderung preservatif, sehingga aksinya lebih menekankan pada pengawetan kawasan alam agar tidak terusik dari luar (nature reserve). Situasi ini juga terlihat dari kebijakan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yang membentuk kawasan-kawasan sebagai monumen alam dan cagar alam. Di Amerika, konservasi alam dimulai dengan penetapan lansekap yang indah sebagai taman nasional, yaitu dengan dideklarasikannya Yellowstone sebagai taman nasional pertama di dunia pada tahun 1870. Tujuan yang ingin dicapainya adalah untuk melestarikan kawasan dan dapat dimanfaatkan publik secara konservatif.

Perubahan dalam cara pandang kawasan konservasi sejak awal pembentukan dan perkembangannya saat ini adalah sebagai berikut:

1. Di Amerika pada akhir abad ke 19, pandangan bahwa wilayah hidupan liar harus disisihkan untuk tujuan kesenangan dan kepuasan manusia betul-betul dibantah oleh Yohanes Muir dan meletakan dasar untuk sistem taman nasional di Amerika Serikat dan untuk pola konservasi secara global (Colchester 1994). 2. Penyebaran konsep taman nasional di seluruh dunia adalah juga dikaitkan

(40)

3. Sejak United Nation (UN) Conference tentang Human Environment tahun 1972 yang diadakan di Stockholm dan UN Conference tentang Environment and Development tahun 1992 di Rio, pendekatan internasional dan nasional kepada konservasi harus dilakukan secara harmonis dengan kebutuhan sosial dan agenda pembangunan. Dengan demikian persepsi suatu kawasan konservasi sudah lebih ditingkatkan. Sekarang ini, tujuan-tujuan dari kawasan konservasi adalah meliputi penggunaan sumberdaya alam, pelestarian jasa ekosistem dan pengintegrasian dengan proses-proses pembangunan sosial secara lebih luas, beserta peran inti dari konservasi keanekaragaman hayati. Lebih banyak perhatian kini diberikan untuk menghormati nilai-nilai budaya sebagai mitra-mitra penting dari keanekaragaman hayati dan kebutuhan untuk melibatkan masyarakat-masyarakat asli dan lokal di dalam keputusan manajemen yang mempengaruhi mereka. Dimulai dengan fokus kepada "nature" yang pada dasarnya tidak termasuk masyarakat, hingga semakin banyak para profesional kawasan konservasi saat ini mengenali sumberdaya alam, masyarakat dan budaya-budaya yang pada dasarnya saling berhubungan (Borrini-Feyerabend et al. 2004).

Pendekatan yang lebih inklusif terhadap pengelolaan kawasan konservasi telah mencuat pada akhir-akhir ini. Kecenderungan pengelolaan ditangkap dalam paradigma baru bagi kawasan konservasi (Tabel 3).

Perkembangan Pengakuan Hak-hak Adat dalam Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam

(41)

Tabel 3.Paradigma baru kawasan konservasi (protected area)

Topik Awal: kawasan dilindungi adalah... Menjadi: kawasan dilindungi adalah...

Objektif disisihkan untuk konservasi

dibentuk terutama untuk hidupan liar yang menarik dan perlindungan

menjalankan juga sasaran sosial dan ekonomi

seringkali menerapkan pertimbangan ilmiah, ekonomi dan budaya

dikelola bersama masyarakat lokal

dihargai untuk kepentingan budaya yang disebut "hidupan liar"

juga tentang pemulihan dan rehabilitasi Tata kelola dilaksanakan oleh pemerintah pusat dilaksanakan oleh banyak mitra dan melibatkan

suatu rangkaian stakeholders

menjalankan dengan, untuk, dan dalam kasus yang sama dengan masyarakat lokal

dikelola untuk mengatasi kebutuhan masyarakat lokal

Konteks lebih luas

dibangun secara terpisah

dikelola sebagai ‘pulau-pulau’

direncanakan sebagai bagian nasional dari sistem-sistem national, regional dan international

dibangun sebagai ‘jejaring-jejaring’ (kawasan -kawasan dilindungi, penyangga dan dihubungkan dengan koridor-koridor hijau)

Persepsi dipandang terutama sebagai kekayaan nasional

dipandang hanya sebagai suatu perhatian nasional

dipandang juga sebagai suatu kekayaan masyarakat

dipandang juga sebagai suatu perhatian internasional

Teknik pengelolaan

dikelola secara reaktif dalam skala waktu pendek

dikelola secara teknokratis

dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang

dikelola melalui pertimbangan-pertimbangan politk

Pembiayaan dibiayai oleh pembayar pajak dibiayai dari berbagai sumber Kemampuan

pengelolaan

dikelola oleh para ilmuwan dan para ahli sumberdaya alam

ahli yang memimpin

dikelola oleh individu-individu multi-skilled

menjalankan pengetahuan local

Sumber: Phillips [in print] dalam Thomas dan Julie (2003)

1. Main Target 8 – Semua kawasan dilindungi yang sudah ada dan akan datang didirikan dan dikelola sepenuhnya sesuai dengan hak-hak masyarakat adat, termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat lokal sampai dengan waktu IUCN World Parks Congress berikutnya.

2. Main Target 9 – Pengelolaan dari semua hal yang relevan dengan kawasan dilindungi melibatkan wakil-wakil yang dipilih oleh masyarakat adat, termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat lokal, secara proporsional terhadap hak-hak dan kepentingan mereka, sampai dengan waktu IUCN World Parks Congress berikutnya.

(42)

Dalam outcome 5 ini juga dicantumkan program aksi yang harus dilakukan oleh otoritas pengelola, baik pada level nasional dan lokal maupun pada level pengelola kawasan. Program aksi tersebut adalah:

1. Aksi nasional dan lokal

a. Mengakui kontribusi dan status kawasan konservasi masyarakat serta bentuk-bentuk keterkaitannya dengan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam, maupun kawasan yang dimiliki secara adat yang ditunjuk dan dikelola sebagai kawasan dilindungi dalam sistem nasional, dimana kawasan-kawasan tersebut memenuhi definisi kawasan dilindungi dari IUCN CBD.

b. Meninjau semua peraturan dan kebijakan konservasi yang ada yang mempengaruhi masyarakat adat dan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat berpindah, serta memastikan keterlibatan dan partisipasi mereka secara efektif dalam peninjauan ini.

c. Mengadopsi dan melaksanakan peraturan dan kebijakan tentang kontrol terhadap tempat-tempat sakral/suci masyarakat adat dan masyarakat lokal, secara partisipasi penuh dan efektif.

d. Mengakui pentingnya mobilitas sebagai sistem mata pencaharian yang vital dan pola hidup tradisional yang relevan untuk konservasi di wilayah dimana masyarakat adat berpindah hidup secara tradisional.

e. Melestarikan dan memulihkan integritas wilayah tradisional masyarakat adat berpindah, termasuk rute migrasinya.

f. Mengadopsi dan mempromosikan pendekatan pengelolaan adaptif yang mengakui ketergantungan masyarakat adat berpindah terhadap sumberdaya milik bersama, dan membangun mobilitas dan pola hidup mereka yang berbeda, mata pencaharian, hak-hak dan kepemilikan sumberdaya, hukum adat dan skala dinamis penggunaan lahan.

g. Menghormati, mempromosikan dan mengintegrasikan penggunaan pengetahuan tradisional, institusi, hukum adat dan praktik pengelolaan sumber daya masyarakat adat berpindah, bekerja pada mainstream

(43)

dilindungi dan intervensi terkait dievaluasi berdasarkan pengetahuan lokal dan diterapkan melalui lembaga masyarakat adat berpindah.

h. Mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat adat berpindah terhadap restitusi atas tanah mereka, wilayah dan sumberdaya yang dilestarikan dan ditempati secara tradisional serta digunakan secara berkelanjutan oleh mereka, yang telah dimasukkan dalam kawasan lindung tanpa persetujuan secara bebas dan tanpa diinformasikan di awal kepada mereka.

i. Mempromosikan dialog lintas-budaya dan resolusi konflik di dalam dan di antara masyarakat berpindah dan menetap di sekitar dan dalam kawasan dilindungi.

2. Aksi pengelola kawasan dilindungi

a. Gunakan ukuran-ukuran, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik berdasarkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat secara utuh, termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat local, yang menyangkut kawasan dilindungi; memastikan bahwa suara mereka didengar dan dihormati dalam pengambilan keputusan; menyertakan pengetahuan tradisional, praktik dan inovasi; memastikan distribusi yang adil dalam hal manfaat, tanggungjawab dan otoritas; dan mendorong mekanisme insentif yang bisa diterima oleh satu sama lain. b. Menyesuaikan manajemen kawasan dilindungi dan kawasan konservasi

masyarakat untuk kebutuhan khusus dari masyarakat adat berpindah, termasuk haknya dalam praktik-praktik pengelolaan sumberdaya, hak-hak musiman dan temporal dan koridor untuk pergerakan; mendukung tercapainya sasaran konservasi pada masyarakat adat yang masih berpindah.

c. Mengembangkan dan mengadopsi mekanisme untuk menjamin partisipasi secara penuh dari masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam penetapan dan pengelolaan kawasan dilindungi.

(44)

kawasan yang dimiliki dan dikelola sebagai kawasan dilindungi oleh masyarakat adat dapat dibangun sebagai suatu sistem kawasan dilindungi. IFAD (2003) menyimpulkan aspirasi-aspirasi masyarakat adat dari berbagai pertemuan dan konferensi selama dekade yang lalu sebagai berikut:

1. Mengenali dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Isu terpenting bagi masyarakat adat adalah penghormatan hak-hak – keseluruhan hak-hak mereka, tidak hanya terhadap hak-hak lahannya. Mereka menginginkan pengenalan kolektivitasnya, hak-hak intergenerasi terhadap teritori-teritori yang selalu ditempati dan kepemilikan sumberdaya yang selalu mereka gunakan. Bagi mereka, lahan tidak hanya sebagai aset untuk keamanan matapencaharian tetapi juga berhubungan dengan dukungan keberlanjutan eksistensinya sebagai masyarakat adat.

2. Menghormati budaya dan sistem-sistem pengetahuan asli.

Masyarakat adat bangga dengan keanekaragaman, bahasa-bahasa dan sistem kepercayaan dan pengetahuan mereka. Kebenaran dari berbagai kepercayaan dan praktik-praktik mereka semakin banyak dikenal oleh masyarakat non-adat. Masyarakat adat mengalami pemiskinan, apakah melalui diskriminasi langsung atau mengabaikan rasa sosial, masyarakat adat memerlukan penghormatan untuk sistem nilai mereka sendiri dan cara hidup dalam konteks inisiatif-inisiatif pembangunan. Mereka ingin mengatakan apa yang dilakukan di lahan-lahan mereka dan bagaimana pembagian yang adil dari manfaat yang dihasilkannya akibat dari eksploitasi sistem pengetahuan mereka.

3. Hak-hak untuk berpartisipasi secara berarti.

(45)

perundingan sebagai bagian dari pemerintahan-pemerintahan atau sebagai lembaga-lembaga masyarakat untuk memastikan bahwa hak-hak dan perspektif mereka masuk kedalam keputusan, serta dapat memberi legitimasi terhadap perjuangannya untuk pengakuan hak-haknya. Masyarakat adat merasa bahwa mereka dapat berkontribusi secara berarti dalam menghadapi tantangan sosial dan ekologis yang dihadapi dunia saat ini.

4. Otonomi dalam tindakan.

Masyarakat adat juga menginginkan lebih otonom dalam mengelola hubungan-hubungan mereka, termasuk beberapa otoritas keputusan bagi aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan wilayah-wilayah mereka. Mereka menginginkan hak-hak seperti masyarakat adat lainnya dan kemampuan untuk memilih arah mereka sendiri dalam pembangunan dalam kerangka kerja nasional. Mereka menginginkan bekerja melalui institusi lokal, organisasi dan struktur kepemimpinan yang dimilikinya, menggunakan pengambilan keputusan dan hukum adat mereka terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingannya. Organisasi-organisasi masyarakat adat semakin meningkatkan tuntutan peran aktif dalam dialog kebijakan nasional dalam isu-isu pembangunan, sehingga minat masyarakat adat dapat dimasukkan dalam konteks strategi-strategi reformasi nasional dan penanggulangan kemisikinan.

Disamping keharusan pengakuan dan penghormatan oleh negara dan kelompok masyarakat lainnya, hak-hak masyarakat adat terhadap wilayah adatnya juga tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). Dalam United Nations (2008) dinyatakan beberapa dasar dan pasal tentang hak-hak masyarakat adat terhadap wilayah adatnya, diantaranya yaitu: 1. Menegaskan bahwa masyarakat adat sejajar dengan semua masyarakat

lainnya, serta tetap mengakui hak semua orang untuk berbeda, untuk memandang dirinya berbeda dan untuk dihargai karena perbedaan tersebut; 2. Memperhatikan bahwa masyarakat adat telah mengalami penderitaan dari

(46)

pembangunan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingannya;

3. Meyakini bahwa kontrol masyarakat adat terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan tanah-tanahnya, wilayah dan sumberdaya alamnya, akan memungkinkan mereka untuk menjaga dan memperkuat lembaga-lembaga, budaya-budaya dan tradisi-tradisinya, dan untuk memajukan pembangunan mereka selaras dengan aspirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhannya;

4. Pasal 10: Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayahnya. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa prinsip pemberitahuan diawal dan tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh dilakukan setelah ada kesepakatan ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk dapat kembali lagi ke tanah mereka.

5. Pasal 18: Masyarakat adat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-haknya, melalui perwakilan-perwakilan yang dipilih berdasarkan prosedur mereka sendiri, dan juga untuk mempertahankan dan mengembangkan pranata pembuatan keputusan yang mereka miliki secara tradisional.

6. Pasal 19: Negara-negara akan mengkonsultasikan dan bekerjasama secara tulus dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri agar mereka bisa secara bebas menentukan persetujuannya sebelum menerima dan melaksanakan undang-undang atau tindakan administratif yang mungkin mempengaruhi mereka

7. Pasal 20 (2): Pencerabutan atas penghidupan dan pembangunan masyarakat adat harus mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil

(47)

9. Pasal 26: (1) Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan, (2) Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumberdaya-sumberdaya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki dengan cara lain, (3) Negara-negara akan memberikan pengakuan hukum dan pelindungan atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.

10.Pasal 32: (1) Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk pembangunan atau penggunaan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya lainnya, (2) Negara-negara akan berunding dan bekerjasama dalam cara-cara yang tulus dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilannya supaya mereka dapat mencapai persetujuan diawal dan tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah dan sumberdaya yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi atas mineral, air dan sumberdaya yang lainnya, (3) Negara-negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk ganti rugi yang adil dan pantas untuk aktivitas apapun dan langkah-langkah yang tepat akan diambil untuk mengurangi pengaruh kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya atau spiritual.

Colchester (2008) menjelaskan hak-hak masyarakat hutan/masyarakat adat terkait dengan aspek akses terhadap sumberdaya dan kepemilikannya berdasarkan deklarasi bangsa-bangsa sebagai berikut:

(48)

mengendalikan, menggunakan dan menikmati secara damai lahan-lahan, wilayah-wilayah dan sumberdaya lainnya, serta aman dalam cara penghidupan mereka. Pernyataan ini dengan jelas memberikan gambaran bahwa terdapat pengakuan terhadap hak-hak milik (memiliki), hak-hak politis dan sipil (mengendalikan), hak-hak ekonomi (menggunakan dan cara penghidupan), dan hak-hak sosial dan budaya (menikmati). Tidak satupun dari hak-hak ini dapat dinikmati dengan damai apabila tidak dilakukan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar. Lebih dari itu, sejalan dengan hukum hak azasi manusia internasional dan jurisprudensi, masyarakat hutan menuntut hak untuk memiliki lahan-lahan dan hutan-hutan mereka sejalan dengan norma-norma adat dan hak mereka sebagai manusia untuk menentukan nasib sendiri.

2. Masyarakat hutan, termasuk semua orang-orang, berinteraksi dengan lingkungannya dan membangun mata pencariannya dalam kerangka kerjanya sendiri berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, hubungan sosial, lembaga-lembaga serta praktik-praktik unik. Hak dari semua orang terhadap budayanya sendiri dan cara pandang hidupnya secara tegas dinyatakan dalam the UN’s International Bill of Human Rights, khususnya di dalam the Covenant on Civil and Political Rights dan the Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.

3. Dasar hak-hak kepemilikan lahan, bukanlah hanya tuntutan hak milik, tetapi juga menyiratkan suatu pertimbangan yang disebut hak azasi manusia generasi pertama (hak-hak sipil dan politis dari individu dalam hubungan dengan negara); hak azasi manusia generasi kedua (hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dari individu dalam hubungan dengan negara); dan hak azasi manusia generasi ketiga (hak-hak kolektif dari orang-orang untuk penentuan nasib sendiri dan pengembangan di dalam hubungan terhadap orang lain dan terhadap negara).

(49)

mempunyai hak untuk memegang ataupun menyerahkan kepemilikan kekayaannya berdasarkan sistem adat mereka. Oleh karena itu, tata kelola tenurial harus mendukung perlindungan yang sama dalam hukum.

Perkembangan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Taman nasional di Indonesia merupakan salah satu kategori dari bentuk kawasan konservasi yang diadopsi dari hasil kesepakatan internasional yang dihasilkan oleh IUCN. Thomas dan Julie (2003) mencantumkan definisi kawasan konservasi (protected area) yang dibuat IUCN tahun 1994 sebagai berikut: “Suatu daratan dan/atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan

keanekaragaman biologis dan sumberdaya alam serta memiliki hubungan dengan

budaya, berdasarkan hukum ataupun cara efektif lain”. Perkembangan selanjutnya dari definisi kawasan konservasi dihasilkan dalam pertemuan IUCN di Spanyol pada tahun 2007 dinyatakan oleh Dudley (2008), yaitu "Suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola

berdasarkan hukum ataupun cara lain yang efektif, untuk mencapai tujuan

konservasi alam jangka panjang, tekait dengan fungsi-fungsi ekosistem dan

nilai-nilai-nilai budaya”. Pengertian berdasarkan hukum ataupun cara efektif lain adalah bahwa kawasan konservasi harus dikukuhkan (diakui oleh perundang-undangan hukum sipil), diakui melalui konvensi internasional ataupun perjanjian, atau dikelola melalui cara efektif lain tetapi tanpa melalui pengukuhan, seperti dikelola melalui aturan-aturan tradisional pada kawasan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat atau dikelola melalui kebijakan mendirikan organisasi non-pemerintah.

Kategori kawasan konservasi tersebut dibagi enam tipe berdasarkan tujuan-tujuan pengelolaannya (Thomas dan Julie 2003), yaitu:

Kategori I Kawasan dilindungi dikelola terutama untuk pengetahuan atau perlindungan hidupan liar (I(a) Strict Nature Reserves/Cagar Alam, dan I(b) Wilderness Areas/Suaka Margasatwa).

Kategori II Kawasan dilindungi dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi (National Park/Taman Nasional).

(50)

Kategori IV Kawasan dilindungi dikelola terutama untuk konservasi melalui cara intervensi pengelolaan.

Kategori V Kawasan dilindungi dikelola terutama untuk konservasi landscape/ seascape dan rekreasi (Protected Landscape/Seascape).

Kategori VI Kawasan dilindungi dikelola terutama untuk pemanfaatan secara lestari dari ekosistem-ekosistem alam (Managed Resource Protected Area).

Thomas dan Julie (2003) juga menyatakan bahwa meskipun setiap kategori kawasan dilindungi memiliki perbedaan ruang lingkup dari tujuan pengelolaan, namun semua katagori perlu memiliki satu keunggulan secara umum: suatu pemikiran yang baik melalui proses perencanaan pengelolaan untuk memastikan dicapainya hasil-hasil secara optimum. Sebagai tambahan dalam mengkonservasi keanekaragaman biologis dan budaya, saat ini dikenali secara luas bahwa banyak kawasan dilindungi juga memiliki kepentingan fungsi-fungsi sosial dan ekonomi. Hal ini meliputi perlindungan daerah aliran sungai, tanah dan garis-garis pantai, menyediakan produk-produk alam untuk pemanfaatan berbasis kelestarian, dan mendukung pariwisata dan rekreasi. Banyak kawasan dilindungi juga sebagai rumah bagi masyarakat dengan budaya dan pengetahuan tradisional, dimana kekayaan ini juga memerlukan perlindungan.

Sebelum dimunculkannya terminologi taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan hutan konservasi di Indonesia yang mengadopsi IUCN, sesungguhnya kebijakan pengelolaan kawasan konservasi sudah dilakukan, yaitu dalam bentuk hutan suaka alam seperti tercantum dalam UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Kebijakan ini dibuat karena secara faktual terdapat warisan kawasan-kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang perlu dilanjutkan pengelolaan. Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan hutan suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya. Hutan suaka alam ini terdiri dari: 1. Hutan Suaka Alam yang berhubungan dengan keadaan alamnya yang khas

Gambar

Tabel 2. Inkonsistensi dalam peraturan perundangan pengelolaan taman nasional
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Gambar 2. · rekaman proses zonasi partisipatif·
Gambar 3. Wilayah Adat Malind-anim.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Anak mampu melakukan keterampilan gerak dasar secara sederhana dengan koordinasi yang lebih baik. Dapat melakukan gerak di tempat dengan koordinasi yang

Dengan ini Pokja 12 ULP Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2015, mengumumkan pemenang pengadaan barang/jasa paket pekerjaan tersebut di atas sebagai berikut :..

Proposal untuk memperoleh Dana Bantuan PAUD Percontohan Kabupaten/Kota disusun oleh lembaga untuk diajukan ke Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini melalui Dinas

Yang hadir adalah yang menandatangani surat penawaran atau yang namanya tercantum dalam akte perusahaan dengan membawa surat kuasa dari Direktur Perusahaan.

Diberikan dua metode untuk mendeteksi periodisitas, yaitu Fisher statistik dan Chiu statistik dan sebuah ilustrasi dengan menggunakan data simulasi untuk menguji dan mereplikasi

Tingkat berbuah sedikit dengan letak kawat strangulasi cabang primer memberikan jumlah kluster bunga, kuncup bunga, bunga mekar, dan buah terbentuk per pohon nyata

Ilmu Statistika Pendekatan Teoritisdan Aplikasi Disertai Contoh..

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,