BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
2. Jenis Pidana yang dijatuhkan terhadap ABH
Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun
Pembahasan mengenai kenakalan anak dan perlindungannya tidak akan pernah berakhir sepanjang masa, karena anak merupakan generasi penerus bangsa suatu negara. Menlindungi anak berarti melindungi potensi sumber daya manusia seutuhnya untuk membangun negara dengan menciptakan penerus bangsa yang berkualitas dan mampu memelihara serta memimpin negaranya berdasarkan cita-cita Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu perlu suatu
pembinaan, serta perlindungan terhadap anak dari segala kemungkinan yang membahayakan kehidupan anak dimasa depan.
Perlindungan terhadap anak di suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, dimana bangsa tersebut dapat menjaga salah satu aset negaranya. Namun demikian terkadang ditemui penyimpangan perilaku anak, bahkan perbuatan yang melanggar hukum negara itu sendiri. Ada banyak faktor munculnya perilaku menyimpang pada anak, antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, dsb. Kedudukan keluarga sangat fundamental dan memiliki peranan yang vital dalam mendidik anak selain peran negara dalam memberikan perlindungan hukum pada anak. Salah satu bentuk kebijakan perlindungan hukum yang diberikan negara pada anak khususnya anak yang memiliki penyimpangan perilaku bahkan melakukan perbuatan yang melanggar hukum adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sebelumnya telah diatur pengaturan tentang pemidanaan pada ABH yaitu dalam KUHP, yang saat ini pengaturan tersebut sudah dicabut melalui keberadaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Meningkatnya jumlah perkara pidana ABH di Indonesia terutama di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun menunjukkan pemidanaan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak masih terdapat kelemahan. Banyak Putusan yang dijatuhkan pada ABH di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun khususnya adalah pidana penjara daripada tindakan terhadap ABH. Setya Wahyudi mengatakan pada Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto,
kecenderungan Hakim Anak dalam menjatuhkan pidana penjara membuktikan bahwa penegak hukum masih sangat menekankan pada aspek yuridis formal yang belum menekankan pada tujuan pemidanaan anak yaitu untuk kepentingan dan melindungi anak (Setya Wahyudi, 2009: 37).
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan peneliti mengenai jenis pemidanaan yang dijatuhkan pada ABH di Pengadilan Negeri Kabupaten
Madiun, pada 31 perkara pidana terhadap ABH tahun 2011 kesemua perkara pidana tersebut dijatuhi pemidanaan antara lain berupa:
a. Pidana pokok yaitu pidana penjara
b. Pidana pokok berupa pidana denda subsider wajib latihan kerja selama 90 hari atau pidana kurungan.
c. Pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu.
Peneliti menilai, tindakan Hakim Anak khususnya Hakim Anak Di Pengadilan Negeri kabupaten Madiun yang cenderung menjatuhkan putusan pemidanaan berupa penjara meskipun dalam jangka pendek, bertentangan dengan adanya asas ultimum remidium karena pemberian pidana meskipun dalam jangka waktu pendek, tetap saja memberikan stigma yang buruk pada pelaku dalam hal ini ABH yang harus dilindungi kepentingannya di masa mendatang. Hal ini akan mempengaruhi sikap dan sifat anak di masa mendatang yang justru karena penjatuhan pidana penjara akan menciptakan kenakalan baru. Seharusnya pemberian pidana merupakan upaya terakhir yang berorientasi dengan kesejahteraan anak. Pemberian status tahanan atau tersangka pada anak justru menjadi label akan berpengaruh pada masa depan anak. Saat peneliti menyampaikan pendapat tersebut pada Hakim yang menjadi narasumber penelitian, beliau mengatakan bahwa keinginan hakim menjatuhkan pidana penjara sebagai ultimum remidium atau upaya terakhir harus berbenturan dengan fakta yang terjadi dilapangan. Hakim menyampaikan bahwa dari awal sebelum perkara masuk ke Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, sudah dilakukan penahanan terhadap ABH. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Hakim menjatuhkan pidana penjara pada ABH yang bersangkutan. Selain itu, pada perkara pidana ABH apabila Putusan pemidanaan dijatuhkan lebih ringan dari pidana penjara maka tindakan Hakim Anak tersebut justru melanggar Hak Asasi Manusia dimana yang menjadi subyeknya adalah ABH. Sebagai salah satu alternatif agar hukuman pemidanaannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia namun tetap memperhatikan kesejahteraan ABH maka Hakim Anak di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun sering menjatuhkan pidana penjara yang lamanya sesuai
dengan waktu ABH telah menjalani masa tahanannya. Hakim Anak juga membuka adanya kesempatan diskresi seluas-luasnya pada setiap tingkat pemeriksaan perkara ABH.
Hakim Anak Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun juga memiliki alasan lain selain alasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Terdapat alasan mengapa dalam penjatuhan pemidanaan cenderung menggunakan penjatuhan pidana pada ABH yaitu:
a. Untuk penjatuhan pidana dan penanganan orang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun akan leb ih ditujukan pada perbaikan kepribadian individu dalam bersikap dan membentuk karakter sifat yang tentunya diharapan akan berubah dari sifat yang dimiliki sebelumnya.
b. Penjatuhan pidana akan mengurangi dan mencegah pengulangan kejahatan dan jumlah residivis akan berkurang.
Terdapat satu lagi fakta menarik bahwa ide diversi di tingkat pemeriksaan pengadilan juga jarang digunakan oleh Hakim Anak yang menangani perkara pidana ABH di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun. Diversi ditolak dan perkara dilanjutkan pada tahap pemeriksaan hingga putusan dijatuhkan. Padahal yang peneliti ketahui bahwa ide diversi merupakan bentuk pengalihan atau penyimpangan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan.
Penjatuhan pemidanaan Hakim Anak pada ABH, menurut peneliti tidak menyimpang dari ketentuan mengenai jenis pamidanaan yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pegadilan Anak yang mengatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi ABH. Pidana pokok terdiri atas:
5) pidana penjara; 6) pidana kurungan; 7) pidana denda; 8) pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:
3) perampasan barang; dan atau 4) pembayaran ganti rugi
Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal meliputi:
4) mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; 5) menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
6) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja;
Pasal 24 ayat (2) tindakan disertai dengan teguran atau syarat tambahan lainnya. Teguran merupakan peringatan Hakim baik secara langsung pada ABH yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua,wali, atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan.
Bagi anak nakal sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 huruf a “anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana”, Hakim menjatuhkan sanksi pidana maupun tindakan. Sedangkan bagi anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 hurif b “anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 yang merupakan privat offence
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2).
Mengenai ketentuan lamanya pidana, Hakim Anak Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun juga menginduk pada aturan hukum yang terdapat pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Untuk mempermudah memahaminya, maka dapat dilihat pada Tabel 1 mengenai matrik pelaksanaan pemidanaan terhadap ABH di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.
Hakim Anak di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun menjatuhkan pemidanaan pada ABH berupa pidana penjara, pidana denda sedangkan untuk pidana denda bisa subsider wajib latihan kerja selama 90 hari atau pidana kurungan karena dari awal ABH sudah dimasukkan penjara. Untuk pidana
tambahan berupa perampasan barang tertentu, Hakim Anak menganggap bahwa barang tersebut dianggap harus dimusnakan oleh negara untuk kepentingan masa depan ABH yang bersangkutan dan masyarkat yang mendapatkan efek dari perbuatan ABH. Biasanya perampasan barang tertentu ini dilakukan pada barang bukti seperti sabu-sabu, pil penenang, handphone yang digunakan untuk merekam tindakan asusila, dan sebagainya.
Peneliti mengambil contoh pemidanaan ABH terhadap Putusan No. 455/Pid..B/2011/PN.Kb.Mn. Pada perkara pidana ABH ini bernama Sugianto Als. Ganden, berusia 17 (tujuh belas) tahun telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan /atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu” sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hakim menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa tersebut dengan hukuman penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) subsider 1 (satu) bulan pidana kurungan. Selain itu, menyatakan barang bukti berupa 367 butir obat warna kuning bertuliskan Nova dalam bungkus plastik, 58 butir obat warna kuning bertuliskan Nova yang dimasukkan dalam bungkus rokok Mild, 1 buah HP Nokia tipe 1202 dirampas untuk dimusnahkan. Hal ini membuktikan bahwa Hakim Anak juga menjatuhkan pemidanaan berupa subsider pidana kurungan atas pengganti pidana denda, dan melakukan perampasan barang bukti kepada negara untuk dimusnahkan. Untuk pindana penjara yang dijatuhkan yaitu selama 5 (lima) bulan dukurangi selama terdakwa dalam tahanan. Terdakwa ditahan sejak bulan September dan Putusan perkara pidana ABH ini dibacakan pada bulan Desember. Jadi jangka waktu Terdakwa telah menjalani hukumannya adalah selama 5 (lima) bulan. Hal ini sesuai dengan putusan yang dijatuhkan Hakim Anak pada Terdakwa.
Sebagai pertimbangan Hakim Anak di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dalam menentukan apakah perbuatan ABH tersebut memenuhi unsur tindak pidana atau tidak, dapat dilihat dari:
a. Subyeknya, maksudnya adalah melihat apakah ABH tersebut memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab. Artinya anak dalam melakukan perbuatan tindak pidana harus dilihat apakah dia memiliki kemampuan untuk membedakan salah atau benar, baik atau buruk dalam melakukan perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan hal ini dapat dilihat dari batas usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.
b. Adanya unsur kesalahan, artinya melihat apakah ABH benar melakukan perbuatan yang dapat dipidana atau dilarang oleh undang-undang. Jadi harus diperiksa dengan pasti pasal-pasal yang dilanggarnya. Dengan begitu Hakim Anak dapat memutus perkara ABH dengan adil dan bijaksana karena setiap Putusan Hakim Anak yang berkaitan dengan perkara ABH memiliki pengaruh bagi kehidupan ABH tersebut kedepannya sebagai generasi penerus bangsa.
c. Efek dari perbuatannya, Hakim Anak dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap ABH juga harus memperhatikan efek dari perbuatan yang telah dilakukan ABH tersebut.
Selain tiga alasan yang perlu diperhatikan tersebut di atas, Hakim Anak wajib mempertimbangkan laporan hasil Litmas dari Pembimbing Kemasyarakatan. Aturan ini terdapat pada Pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dijelaskan bahwa, kata “wajib” dalam pasal ini artinya apabila Hakim Anak tidak menjadikan hasil Litmas sebagai salah satu pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan maka putusan tersebut dapat batal demi hukum. Litmas yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan terhadap ABH, memiliki tujuan untuk mengetahui keadaan internal dan eksternal ABH yang sebenarnya yang dianggap dapat mendorong
mengapa dia sampai melakukan perbuatan tersebut. Peranan Balai Pemsayarakatan dalam pemidanaan ABH menjadi sangat penting untuk membantu Hakim dalam mencari fakta dan kebenaran dalam Peradilan Anak. Maka dari itu, hasil Litmas memiliki peran fital sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan pada ABH. Isi Litmas antara lain mengenai:
a. data diri pribadi klien dan keluarga dari klien yang bersangkutan b. masalah klien
c. riwayat hidup klien d. pandangan masa depan
e. tanggapan klien terhadap masalah yang dialam i f. keadaan keluarga
g. keadaan lingkungan masyarakat
h. tanggapan pihak keluarga, korban, masyarakat dan pemerintah setempat i. kesimpulan dan saran.
Dengan mengetahui hasil Litmas, Hakim akan memperoleh gambaran yang tepat untuk menjatuhkan putusan pemidanaan yang seadil- adilnya bagi ABH yang bersangkutan selain pertimbangan pasal-pasal yang dijeratkan pada ABH, serta efek perbuatan yang dilakukan ABH. Selain itu sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hasil Litmas merupakan faktor wajib yang harus diperhatikan Hakim Anak dalam menjatuhkan putusannya, dimana apabila hasil Litmas dari pembimbing kemasyarakatan ABH tidak diperhatikan Hakim Anak dalam menjatuhkan putusan, maka putusan tersebut dapat batal demi hukum. Artinya perkara tersebut dianggap tidak ada. Hakim Anak di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun juga menjadikan hasil Litmas sebagai pertimbangan utama dalam menjatuhkan pemidanaan pada ABH. Terkadang pembimbing kemasyarakatan memberikan hasil Litmas ABH yang bersangkutan yaitu hukuman yang seringan-ringannya atau menyerahkan segala keputusan pada Hakim Anak yang menangani perkara pidana ABH di Pengadilan Negeri
Kabupaten Madiun, namun tetap saja Hakim Anak sangat memperhatikan hasil Litmas tersebut. Hakim tetap mempelajari hasil Litmas tersebut sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan ABH yang bersangkutan. Selain itu hasil Litmas juga dapat berupa pidana bersyarat untuk ABH.
Sebagai contoh peneliti mengambil Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Nomor 523/ Pid.B/ 2011/ PN.Kb.Mn. Perkara pidana ABH ini dilakukan oleh 2 (dua) orang ABH. Terdakwa I bernama Rohmat Hidayat, 17 (tujuh belas) tahun dan Terdakwa II bernama Lukas Suko Ahmadi, 14 (empat belas) tahun. Kedua Terdakwa tersebut terbukti secara bersama-sama melakukan penganiayaan ringan (Pasal 80 ayat (1) Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 170 ayat (1) KUHP) pada saksi korban Adi Setiyawan, 17 (tujuh belas) tahun, yang terjadi pada hari kamis tanggal 42 November 2011 pukul 09.30 WIB di warung Marlan di Desa Kwangsen, Kecamatan Jiwan- Kabupaen Madiun. Telah dilakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan pada kedua Terdakwa melalui Surat Perintah dari: a. Penyidik berdasarkan Surat Perintah Penahanan tanggal 25 November
2011, sejak tanggal 25 November 2011sampai 14 Desember 2011. b. Kemudian dilakukan perpanjangan oleh Penuntut Umum berdasarkan
Surat Perintah Perpanjangan Penahanan tanggal 2 Desember 2011, sejak tanggal 15 Desember 2011 sampai 24 Desember 2011.
c. Penuntut Umum berdasarkan Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penuntutan) tertanggal 22 Desember, sejak tanggal 22 Desember hingga 31 Desember 2011.
d. Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun berdasarkan Penetapan tertanggal 29 Desember 2011, sejak tanggal 29 Desember 2011 sampai 12 Januari 2012.
e. Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun berdasarkan Penetapan tertanggal 2 Januari 2012, sejak 13 Januari 2012 hingga 11 Februari 2012.
Berdasarkan Laporan hasil Litmas yang ditandatangani oleh Pembimbing Kemasyarakatan Kelas II Madiun tertanggal 5 Desember 2011 terungkap fakta bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa I dan Terdakwa II lebih didasarkan adanya pengaruh lingkungan suatu kelompok kaegiatan tertentu dengan pengaaruh yang kuat dalam rasa solidaritas dan simpati antar teman yang saling memiliki tanpa menyadari risiko yang ditanggung termasuk adanya anggapan remeh terhadap kemampuan orang lain mendukung para terdakwa untuk melangar peraturan hukum dengan mengembangkan ilmu dan kemampuan yang dimiliki.
Mengingat Klien masih berusia 17 (tujuh belas) tahun dan 14 (empat belas) tahun maka berdasarkan Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 16 dan 18, kiranya Klien d inyatakan bersalah sebagai pembelajaran diri klien untuk lebih menjadikan peringatan, pendidikan dan penyadaran bagi dirinya dimasa yang akan datang dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat dipilih Pembimbing Kemasyarakatan berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-udang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat yang ancaman hukumannya pidana penjara paling lama dua tahun. Selain itu status para Terdakwa II yang masih tercatat sebagai murid di Sekolah. Kemudian berdasarkan Laporan hasil Litmas dari Pembimbing Kemasyarakatan yang menangani ABH tersebut, Hakim Anak yang menangani perkara pidana ABH menjatuhkan putusan pemidanaan berupa pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan dengan masa penahanan yang telah dijalani para Terdakawa dikurangkan dengan pidana yang dijatuhkan.
Dari contoh perkara yang diambil peneliti dapat dianalisis bahwa Hakim Anak Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun tidak dapat menjatuhkan hukuman bersyarat sesuai dengan hasil Litmas dari Pembimbing Kemasyarakatan, hal ini terjad i karena ABH sejak awal penyidikan sudah ditahan hingga perkara pidananya di putus oleh Hakim Anak di Pengadilan
Negeri Kabupaten Madiun. Jadi sekali lagi apabila putusan pemidanaannya lebih ringan maka putusan tersebut sudah pasti melanggar Hak Asasi Anak. Hakim Anak mengambil putusan pemidanaan ABH yaitu pidana penjara 3 (tiga) bulan dengan masa penahanan yang telah dijalani, dikurangkan dengan pidana yang dijatuhkan pada masing-masing Terdakwa ABH, hal ini sesuai dengan tuntutan yang dimohonkan oleh Penuntut Umum perkara yang bersangkutan. Selain karena alasan diatas, Hakim menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa telah meresahkan masyarakat. Hakim juga mempertimbangkan bahwa para Terdakwa masih berusia muda dan besar harapan dapat memperbaiki dirinya demi masa depan yang lebih baik, para Terdakwa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan, dan antara para Terdakwa dengan Korban sudah saling memafkan di Persidangan. Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan pada ABH sangat memperhatikan hukum materiil dan hukum formil yang ada. Dengan demikian tujuan pemberian pemidanaan pada ABH harus mencapai asas keadilan, kesejahteraan dan memberikan perlindungan pada ABH yang bersangkutan.
Perlu d iketahui hal terpenting dalam penjatuhan pemidanaan adalah untuk mengutamakan kesejahteraan ABH. Selain telah dijelaskan pada penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengenai perlindungan dan kesejahteraan ABH, ditegaskan pula dalam Peraturan PBB bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya bahwa, pengadilan anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memanjukan kesejahteraan fisik dan mental ABH. Pada The United Nations Rules for The Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty
menyebutkan sama seperti pada Beijing Rules bahwa perampasan kemerdekaan anak hendaknya ditempatkan sebagai upaya terakhir dan itupun untuk jangka waktu yang pendek. Perampasan kemerdekaan ABH, hendaknya tetap memperhatikan penghormatan hak-hak asasi anak (ABH), yang diberikan dalam bentuk penyediaan tempat kegiatan yang bermanfaat
demi peningkatan kesehatan dan munculnya penghormatan pada diri ABH dalam rangka mempersiapkan anak yang berintegrasi di masyarakat.
Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa tujuan pemidanaan anak adalah memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi perkembangan ABH yang dituntut karena pelanggaran pidana. Hal ini dilakukan dengan menjaga harkat dan martabat dari terpidana ABH sehingga ketika mereka kembali ke lingkungan masyarakat, terpidana menjadi orang yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, nusa dan bangsanya. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana ABH serta memberikan rasa takut atau ancaman pada orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama. Dengan kata lain pemidanaan memiliki sifat memberikan jera/ penjeraan.
Peradilan anak merupakan bagian dari kebijakan keadilan sosial bagi ABH yang dibuat oleh negara. Keadilan sosial ini tercermin dari berbagai ketentuan di setiap tahapan proses peradilan anak. Oleh karena itu perlu diperhatikan mengenai hak-hak ABH. Hak-hak ABH itu antara lain:
a. Hak unutk diberitahukan tuduhan b. Hak untuk diam
c. Hak untuk mendapatkan penasehat hukum d. Hak untuk hadirnya orang tua/ wali
e. Hak untuk menghadapi saksi dan pemeriksaan silang para saksi f. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih atas
Dalam pemenuhan hak-hak ABH khususnya pada tingkat pemeriksaan hingga pelaksanaan putusan, Hakim Anak Di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, memberikan hak-hak ABH tersebut dengan bentuk pemenuhan apa yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang- undangan khususnya dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak. Pemenuhan tersebut antara lain:
1) hak anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun untuk diserahkan kembali kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya untuk dibina. Jika tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya maka diserahkan
kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan (Pasal 5 ayat (2) dan (3)).
2) hak untuk tetap diajukan ke sidang anak, meskipun melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota ABRI (Pasal 7). 3) hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup, kecuali dalam hal tertentu dan dipandang perlu dilakukan dalam sidang terbuka (Pasal 8 ayat (1) dan (2)).
4) hak untuk disingkat namanya, nama orang tua, wali, atau orang tua pengasuhnya, jika dilakukan pemberitaan proses perkara sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan (Pasal 8 ayat (5)).
5) hak untuk diperiksa oleh penyidik dalam suasana kekeluargaan, misalnya penyidik tidak memakai pakaian dinas dan pendekatan yang simpatik (Pasal 42 ayat (1)).
6) hak untuk dirahasiakan selama proses penyidikan (Pasal 42 ayat (3)). 7) hak untuk ditahan di rutan, cabang rutan, atau ditempat tertentu (Pasal 44
ayat (6)). Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa (Pasal 45 ayat (3)).
8) hak untuk tetap dipenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak selama ditahan (Pasal 45 ayat (4)).
9) hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat