• Tidak ada hasil yang ditemukan

Joko Ismono

Dalam dokumen BAB-BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN INDONESIA (Halaman 132-136)

Fakta kasus

W

ariaji adalah buruh di PT. Yamaha Musical Product Indonesia

(PT. YMPI), sebuah perusahaan penanaman modal asing

yang memproduksi alat-alat musik berlokasi di kawasan Pasuruan

Industrial Estate Rembang ( PIER ), Pasuruan, Jawa Timur. Menyusul keikutsertaannya dalam aksi mogok kerja buruh yang dikoordinasikan oleh Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI), Wariaji dijatuhi sanksi skorsing dalam proses pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha PT. YMPI.

Penyelesaian perselisihan sudah ditempuh kedua belah pihak melalui mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Pasuruan akan tetapi tidak tercapai kesepakatan, selanjutnya pihak pengusaha mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya.

Dalam surat gugatannya pihak pengusaha cq. Penggugat mendalilkan bahwa pihak buruh cq. Tergugat telah melakukan pelanggaran tata tertib yang sudah diatur dalam Perjanjian Kerja

Bersama (PKB) karena meninggalkan pekerjaan tanpa izin untuk

mengikuti mogok kerja. Oleh karena pihak buruh sebelumnya sudah pernah menerima surat peringatan ketiga maka kepada buruh

dijatuhkan sanksi pemutusan hubungan kerja.

Sebaliknya pihak buruh dalam jawabannya membantah dalil pengusaha tersebut dengan mengemukakan bantahan antara lain bahwa pihak pengusahalah yang telah melakukan pelanggaran UU

SP/SB dalam bentuk menghalang-halangi mogok kerja buruh yang

merupakan bagian dari hak berserikat. Bahwa mogok kerja yang dilakukan para buruh tersebut adalah mogok kerja yang sah karena dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam gugatan baliknya atau rekonpensi pihak buruh mengajukan tuntutan untuk dipekerjakan kembali dan tuntutan pembayaran upah selama proses PHK.

Perkara Nomor 35/G/2009/PHI.SBY adalah perkara perselisihan

pemutusan hubungan kerja antara PT. YMPI cq. Penggugat melawan Wariaji cq. Tergugat. Dalam perkara tersebut majelis hakim menjatuhkan putusan sela yang menghukum pengusaha untuk membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh selama proses pemutusan

hubungan kerja. Putusan Sela dijatuhkan berdasarkan Pasal 96 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Ringkasan putusan pengadilan

Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan telah terbukti bahwa benar pihak pengusaha telah menerbitkan surat skorsing dalam proses pemutusan hubungan kerja. Pasal 155 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa selama proses pemutusan hubungan kerja pihak buruh dan pihak pengusaha masing-masing tetap melaksanakan segala kewajibannya, yang dapat disimpangi dengan tindakan skorsing yaitu larangan bagi buruh untuk bekerja akan tetapi pengusaha tetap melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah selama masa skorsing tersebut.

Dalam persidangan dapat dibuktikan bahwa selama masa skorsing tersebut pihak pengusaha menghentikan pembayaran upah dan hak- hak lainnya yang biasa diterima oleh pihak buruh. Oleh karenanya

berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU PPHI jo. Pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dijatuhkan putusan sela. Pembayaran upah selama

masa skorsing merupakan pengecualian dari prinsip no work no pay. Majelis hakim berpendapat bahwa ratio legis yang terkandung

dalam Pasal 96 UU PPHI adalah prinsip perlindungan hukum bagi pekerja untuk tetap mendapatkan upah selama proses pemutusan hubungan kerja.

Dalam amarnya majelis hakim mengabulkan permohonan pihak buruh untuk menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh buruh selama proses pemutusan hubungan kerja.

Posisi kasus dalam hukum perburuhan Indonesia

Putusan sela yang dijatuhkan oleh majelis hakim pada kasus di atas

adalah salah satu bagian dari hukum acara yang berlaku khusus di PHI. Kekhususan dari putusan sela berupa perintah untuk membayar

upah buruh selama proses PHK ini adalah sifatnya yang serta merta

Kasus-kasus

ayat (4) UU PPHI. Terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan atau

upaya hukum lainnya.

Pasal 57 UU PPHI menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku

di PHI adalah hukum acara perdata umum kecuali yang telah diatur khusus dalam UU PPHI ini. Hukum acara yang berlaku khusus di PHI selain putusan sela adalah mengenai kompetensi absolut dan

kompetensi relatif dari PHI serta legal standing SP/SB dalam beracara

di PHI.

Ratio legis dari pengaturan tentang hukum acara khusus tersebut adalah prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Prinsip peradilan yang sederhana terkandung dalam Pasal 83 ayat (2) UU PPHI yang mewajibkan hakim untuk memeriksa isi gugatan

dan apabila terdapat kekurangan maka hakim meminta Penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Prinsip peradilan yang cepat terkandung dalam Pasal 103 UU PPHI yang membatasi tenggang

waktu persidangan dimana putusan harus sudah dijatuhkan selambat- lambatnya 50 hari kerja terhitung sejak siding pertama. Prinsip peradilan dengan biaya ringan terkandung dalam Pasal 58 UU PPHI

dimana pihak-pihak yang berperkara di PHI tidak dikenakan biaya perkara termasuk biaya eksekusi untuk perkara yang nilai gugatannya

di bawah Rp. 150.000.000,- ( seratus lima puluh juta rupiah ).

Catatan kritis

Kendatipun putusan sela berupa perintah untuk membayar upah

selama proses PHK pernah beberapa kali dijatuhkan sebagaimana

contoh kasus di atas, akan tetapi pada umumnya permohonan buruh untuk jatuhnya suatu putusan sela sering tidak dikabulkan oleh majelis

hakim. Pasal 180 HIR memberikan batasan dalam menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (putusan UBV) dengan syarat

gugatan didasarkan pada alas hak yang berbentuk akta otentik atau putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Disamping

itu, MA juga telah mengeluarkan SEMA Nomor 3 tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 tahun 2001 berisi penjelasan dan penegasan agar para hakim

tidak menjatuhkan putusan ubv karena ada kemungkinan putusan tersebut dibatalkan dalam pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.

Dalam praktik penerapan hukum pembuktian, hakim dihadapkan pada persoalan pembagian beban pembuktian. Pembagian beban pembuktian pada acara perdata berpedoman pada Pasal 163 HIR, yaitu barang siapa mendalilkan sehingga dia harus membuktikan. Pedoman pembagian beban pembuktian yang demikian hanya dapat

yaitu peristiwa yang meniadakan atau menghapuskan suatu hak, tidak sepatutnya dibebankan kepada pihak yang mendalilkan. Membuktikan

peristiwa negatif tidak mungkin dilakukan atau non sun probanda.

Perselisihan hubungan industrial umumnya berbentuk peristiwa

negatif berupa tidak dipenuhinya hak-hak normatif buruh.

Praktik penerapan hukum acara perdata secara murni di PHI akan menghasilkan banyaknya gugatan dari pihak buruh yang tidak dapat

diterima atau niet onvankelijkverklaard karena terdapat cacat dalam formalitas gugatan. Praktik penerapan hukum acara perdata secara

murni tanpa melihat konteks akan menjadikan PHI kehilangan jatidiri sebagai sebuah pengadilan khusus.

Hubungan antara buruh dengan majikan adalah hubungan subordinasi. Hubungan antara yang diperintah dengan yang memerintah, hubungan antara yang menerima upah dengan yang memberi upah. Konteks yang demikian seharusnya turut menjadi pertimbangan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Kasus-kasus

Kasus 11

PERBUATAN

MELAWAN

HUKUM

DALAM

Dalam dokumen BAB-BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN INDONESIA (Halaman 132-136)