• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN UPAH MINIMUM

Dalam dokumen BAB-BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN INDONESIA (Halaman 136-142)

Surya Tjandra

Fakta kasus

B

erdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 2006, luas

perkebunan Provinsi Sumatra Utara adalah sekitar 967.000 ha antara lain: perkebunan kelapa sawit sekitar 600.000 ha, dan karet dan lain-lain

sekitar 367.000 ha. Jika diasumsikan lahan seluas 100 ha dikerjakan oleh 22 buruh maka jumlah buruh untuk luas lahan 967.000 adalah sekitar 212.740 orang.

Secara hukum buruh kebun di Sumatra Utara mempunyai hak yang sama dengan buruh di sektor industri, jasa dan lainnya. Hak-hak buruh tersebut di antaranya meliputi hak untuk mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, hak untuk mendapatkan jaminan sosial, hak untuk kebebasan berserikat dan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan hak untuk mendapatkan upah yang layak.

Namun pada kenyataannya buruh kebun mempunyai ”hukum”-

nya sendiri, yang lahir dan terus dihidupkan dalam praktik sehari- hari hubungan perburuhan di perkebunan, yang sudah berlaku sejak era kolonial ratusan tahun lalu. Kalau dulu adalah perusahaan dagang Belanda yang menguasai kebun di sekitar pantai timur pulau

Sumatra, maka sekarang ada yang namanya BKS-PPS (Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatra) yang mewakili kepentingan

pengusaha perkebunan swasta yang beroperasi di wilayah Sumatra, dengan salah satu basis utamanya adalah di Sumatra Utara.

Kalau buruh swasta di sektor industri lain upahnya mengacu pada penetapan upah minimum oleh pemerintah, maka khusus untuk buruh kebun berlaku upah minimum khusus yang merupakan hasil

”kesepakatan bipartit” antara BKS-PPS dengan serikat buruh FSP PP SPSI (Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), yang kemudian dimuat dalam semacam

seluruh perusahaan perkebunan swasta anggota BKS-PPS. Praktik ini sudah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun lalu, dan efektif diikuti oleh anggota BKS-PPS.

Masalahnya adalah penetapan upah minimum bagi buruh kebun di Sumatra ini seringkali berada di bawah nilai upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur Sumatra Utara saban tahunnya. Misalnya

untuk upah minimum buruh kebun tahun 2011, BKS-PPS dan FSP PP SPSI telah mengeluarkan ”Kesepakatan Bersama”, tanpa tanggal,

mengenai ”Upah Pekerja Perkebunan Pada Perusahaan Perkebunan

Swasta Anggota BKS-PPS di Provinsi Sumatra Utara Tahun 2011”. Pada surat tersebut tertulis pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut:

(1) Upah uang terendah Pekerja Harian Tetap dinaikan dari Rp

1.005.000,- menjadi Rp 1.090.425,- (Rupiah: satu juta sembilan puluh ribu empat ratus dua puluh lima) sebulan (kenaikan sebesar Rp 85.425,-).

(2) Pekerja Bulanan yang menerima upah uang di atas upah uang

terendah yang disepakati ini, maka upah uangnya ditambah

sekurang-kurangnya Rp 85.425,- (Rupiah: delapan puluh lima ribu empat ratus dua puluh lima) sebulan.

(3) Di samping upah uang tersebut di atas kepada Pekerja Harian

Tetap dan Pekerja Bulanan diberikan catu beras menurut susunan

keluarganya sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Apabila dicermati maka kesepakatan yang mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 2011 yang menetapkan upah minimum di perusahaan

anggota BKS PPS sebesar Rp 1.090.425,- mempunyai nilai yang lebih

rendah dari upah minimum yang ditetapkan Gubernur untuk sepuluh Kabupaten yang ada di Sumatra Utara untuk tahun 2011, antara lain Kabupaten Deli Serdang (sebesar Rp 1.170.000,-), Kabupaten Langkat

(Rp 1.160.000,-), Kabupaten Mandailing Natal (Rp 1.177.000,-), Kabupaten Batu Bara (Rp 1.156.500,-), Kabupaten Asahan sebesar (Rp

1.115.000,-), dan seterusnya. Praktik melanggar hukum ini tidak pernah ada yang mempersoalkannya secara hukum, dan terus berlangsung selama puluhan tahun bahkan sejak awal ketentuan upah minimum diterapkan di Sumatra Utara sejak awal 1980an.

Kesepakatan bersama yang melanggar hukum tersebut, meski

dibuat hanya oleh dua pihak, yaitu BKS PPS dan FSP PP SPSI, dalam

praktiknya ia berlaku bagi seluruh pekerja perkebunan yang bekerja di perusahaan perkebunan swasta tanpa membedakan asal serikat pekera/serikat buruh dari pekerja/buruh yang bersangkutan. Termasuk didalamnya ketentuan mengenai upah bagi pekerja perkebunan serta

Kasus-kasus

pemberian catu beras menurut susunan keluarga sesuai Perjanjian

Kesepakatan Bersama (PKB).

Untuk itu pada awal tahun 2011, beberapa pimpinan buruh kebun di Sumatra Utara mengadakan pertemuan guna membahas upaya hukum apa yang dapat dilakukan terkait hal tersebut. Pertemuan

yang difasilitasi TURC (Trade Union Rights Centre), sebuah organisasi

non-pemerintah pembelaan hak-hak buruh di Jakarta, menghasilkan beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan oleh para buruh kebun.

Pada tanggal 28 Januari 2011, seorang pimpinan buruh yang adalah juga Ketua PUK (Pengurus Unit Kerja) SPSI di PT Lonsum berinisiatif

mengundang Ketua Pengurus Daerah FSP PP SPSI Sumatra Utara guna membahas permasalahan selisih gaji tahun kerja 2010.

Ia mendasarkan bahwa terjadi perbedaan besaran Upah Minimum Kabupaten pada tahun 2010 dengan upah minimum hasil kesepakatan

BKS PPS dengan FSP PP SPSI. Dengan pertemuan itu, ia mengharapkan agar PD FSP PP SPSI Sumatra Utara dapat mengikuti ketentuan upah minimum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Akan tetapi, Ketua PD FSP PP SPSI Sumatra Utara tidak memberikan tanggapan terhadap undangan tersebut.

Pada sebuah pertemuan dua hari di Medan, pada tanggal 27 Februari 2011 sekelompok pimpinan buruh kebun dari berbagai perusahaan perkebunan yang ada di Sumatra Utara, dan tergabung

dalam Forum Pekerja/Buruh Perkebunan Sumatra Utara, membuat

resolusi bersama mengenai penolakan terhadap ”Kesepakatan Bersama

Mengenai Upah Pekerja Perkebunan pada Perusahaan Swasta Anggota

BKS-PPS di Provinsi Sumatra Utara Tahun 2011”. Resolusi Bersama tersebut pada intinya menolak Kesepakatan Bersama tersebut karena bertentangan dinilai dengan pasal 88, pasal 89, pasal 90 ayat (1), dan pasal 91 ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebagai tindak lanjut pertemuan itu, para buruh kebun menggalang dukungan dari berbagai organisasi non-pemerintah yang ada di Sumatra Utara untuk mempersiapkan gugatan perbuatan melawan hukum

terhadap BKS PPS dan FSP PP SPSI, dengan juga memasukkan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatra Utara sebagai pihak yang juga akan digugat karena tidak melaksanakan tugasnya melakukan pengawasan

terhadap pelanggaran upah minimum di kebun tersebut. Beberapa organisasi non-pemerintah, seperti LBH Medan, Bakumsu (Bantuan

Hukum Sumatra Utara), KPS (Kelompok Pelita Sejahtera), hadir pada pertemuan tersebut dan sepakat bahwa memang hal tersebut masalah yang penting untuk direspon bersama.

Posisi kasus dalam hukum perburuhan Indonesia

Berdasarkan aturan yang ada, upah minimum dimaksudkan ”untuk

mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan penetapannya didasarkan pada ”kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan

ekonomi” (pasal 88 UU Ketenagakerjaan). Namun pada kenyataannya

beberapa masalah sudah langsung bisa ditemukan.

Upah minimum yang ditetapkan hanya berlaku pada sektor

formal secara efektif tidak berlaku bagi mereka yang bekerja di sektor ekonomi informal yang meliputi sekitar 70 persen angkatan kerja (Bird dan Suryahadi, 2002). Sejumlah besar pebisnis kecil biasanya membayar

upah lebih rendah dari upah minimum karena tidak peduli atau

memanfaatkan peluang hukum untuk penangguhan yang sering kali dikabulkan oleh pemerintah (Isaac dan Sitalaksmi, 2008).

Upah minimum yang ditetapkan pun relatif masih amat rendah dan efektivitasnya pun diragukan. Sekitar 30 persen buruh tetap dan 50 persen buruh lepas praktis bekerja dengan upah di bawah ketentuan upah minimum (2006) dan 40 hingga 50 persen upah tersebut habis hanya untuk memenuhi kebutuhan makan (Merk 2009). Lepas dari

kenaikan nominal setiap tahunnya, upah riil buruh praktis tidak bergeser dari kisaran Rp 200.000 per bulan jika dibandingkan dengan

sebelum 1998 (tahun reformasi) yang tiap tahun rata-rata naik 5 persen (Dhanani dkk, 2009).

Alih-alih menjadi upah dasar, upah minimum di Indonesia praktis

menjadi upah efektif untuk sebagian besar buruh di sektor formal.

Mereka amat bergantung pada upah minimum untuk menaikkan upah

mereka dan praktis berperan amat kecil dalam perundingan kolektif. Penetapan upah minimum adalah forum, barangkali satu-satunya forum, bagi serikat buruh – yang baru berkembang setelah 1998 – untuk

bisa menunjukkan yang mereka lakukan bagi anggotanya terkait dengan upah yang lebih baik. Khususnya ketika upaya memperjuangkan kenaikan upah anggotanya di perusahaan sering kali berakhir dengan pemutusan hubungan kerja pengurus serikat buruh atau bahkan penutupan perusahaan secara sepihak. Situasi ini diperparah oleh

masih belum efektifnya sistem jaminan sosial di negeri ini.

Catatan kritis

Akan tetapi, pelanggaran upah minimum di sektor kebun, sebagaimana terjadi dalam kasus ini, adalah barangkali yang paling kasat mata dan

”terbuka”. Biasanya perusahaan pelanggar cenderung menyembunyikan

Kasus-kasus

terbuka dan bahkan diberi legitimasi berupa ”kesepakatan bersama”

antara organisasi pengusaha dan organisasi buruh. Hal ini merefleksikan

beberapa persoalan laten yang memang sudah menghantui sektor ini

sejak ratusan tahun lalu dari zaman kolonial Belanda.

Penyebabnya yang paling utama adalah dominasi perusahaan perkebunan terhadap buruh yang sudah berlangsung sejak berabad- abad lalu dengan praktis tanpa perbaikan berarti. Struktur kerja yang sedemikian rupa mendorong ketergantungan berlebih dari buruh kebun dan juga keluarganya kepada pihak perusahaan perkebunan.

Sistem kerja berdasar target dan bukan jam kerja (jumlah hasil kerja

tertentu yang harus dicapai sekali pun waktu untuk pulang sudah

tercapai) yang membuat seorang buruh kebun terpaksa harus

mempekerjakan seluruh anggota keluarga sekadar untuk mengejar

target tadi. Penyediaan fasilitas perumahan di tengah-tengah kebun bukan sekadar untuk efisiensi dan kemudahan untuk bekerja, tetapi juga merupakan mekanisme kontrol yang amat efektif kepada buruh. Di sisi lain penyediaan sekolah untuk maksimal Sekolah Dasar (SD) hanya

membuat sulit bagi anak-anak buruh kebun yang ingin melanjutkan sekolah karena harus ke luar kebun, dan artinya harus tambah biaya lagi.

Namun, selain dominasi perusahaan yang begitu kuat, dalam kasus

ini tampak bahwa dominasi ini tidak akan begitu mencengkeramnya tanpa ”dukungan” dari buruh sendiri melalui serikat buruh yang memang dibuat sedemikian rupa untuk dekat dengan pengusaha perkebunan. Serikat buruh korporatis inilah yang alih-alih menjadi alat perjuangan buruh malah justeru menjadi alat perusahaan guna meredam

tuntutan buruh. Banyak kasus yang menunjukkan keberadaan mereka

yang justeru malah merugikan buruh, seperti tampak jelas di dalam kasus ini. Dalam konteks inilah hukum perburuhan yang seharusnya mempunyai peran menjadi seperti tumpul justru ketika organisasi buruh yang seharusnya tampil sebagai penegak hukum justeru menjadi bagian dari pelanggaran itu sendiri.

4

PENEGAKAN

Dalam dokumen BAB-BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN INDONESIA (Halaman 136-142)