• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBEBASAN UNTUK BERUNDING DAN KEWAJIBAN UNTUK BERUNDING

Dalam dokumen BAB-BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN INDONESIA (Halaman 104-110)

Asri Wijayanti

Fakta kasus

A

da hak buruh yang dilanggar oleh PT Megariamas Sentosa

(MS), yaitu: 1. Tidak adanya jaminan kesehatan bagi buruh dan

keluarga; 2. Tidak adanya jaminan pelaksanaan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat; 3. Penerapan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu yang bertentangan dengan UU No. 13/2003; 4. Tidak adanya alat pelindung diri (K3); 5. Target produksi yang mengalami

peningkatan dari hari-ke hari dan hal ini tidak manusiawi terlebih akhir-akhir ini jika buruh yang tidak menacapai target mendapat sanksi

dari pegusaha; 6. Tidak adanya fasilitas poliklinik dan mushola sebagai sarana menjalankan ibadah; 7. Tunjangan uang makan dan uang transportasi yang tidak memadahi; 8. Pengusaha sering menjatuhkan surat peringatan tanpa kesalahan; 9. Tidak tersedianya air bersih di

lingkungan perusahaan. Untuk memperjuangkan hak itu, dibentuklah

Serikat Buruh, tanggal 16 Maret 2008, yaitu Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu PT. Megariamas Sentosa (SBGTS-GSBI PT. MS) dengan nomor regristrasi 849/III/S/IV/2008. 15 Juli 2008, Abidin ketua SBGTS-GSBI PT. MS, di PHK. Mendengar berita PHK itu, serentak 477 orang anggota SBGTS-GSBI PT. MS mogok kerja pertama pada tanggal

15 – 17 Juli 2008. Mogok kerja kedua tanggal 4-7 Agustus 2008. Tanggal 8 Agustus 2008, dikeluarkan SK PHK sepihak kepada 416 buruh karena

telah melakukan pemogokan. Atas dasar SK PHK, buruh menggugat ke PHI Jakarta Pusat.

Putusan

Putusan PHI Jakarta Pusat Nomer: 68/PHI/G/2009/PHI. PN.JKT.PST

Ringkasan Putusan Pengadilan

PHI Jakarta Pusat memutuskan:

1. Menyatakan hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat tidak pernah terputus;

2. Menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali para Penggugat sesuai dengan kemampuannya, namun tidak berlaku bagi Para Penggugat yang terbukti telah mengundurkan diri sebelum putusan ini diucapkan;

3. Menghukum Tergugat untuk membayar Tunjangan Hari Raya (THR) 2008 kepada Para Penggugat berdasarkan ketentuan pembayaran

THR yang berlaku di perusahaan Tergugat;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar upah Para Penggugat pada

bulan Agustus 2008 terhitung sejak awal bulan Agustus 2008 hingga

Tergugat menyatakan Para Penggugat tidak memenuhi panggilan terakhirnya untuk bekerja;

5. Memerintahkan Tergugat untuk mengakui keberadaan Serikat Buruh

Garment Textil dan Sepatu – Gabungan Serikat Buruh Independen PT Megariamas Sentosa, serta menjamin hak kebebasan menjalankan

aktivitas serikat buruh di perusahaan Tergugat sesuai dengan PKB yang berlaku di perusahaan Tergugat periode 2008 – 2010 dan UU No. 21/2000;

6. membebankan biaya perkara ditanggung oleh Tergugat.

Posisi kasus dalam hukum perburuhan Indonesia

Kasus MS adalah perselisihan hak yang diikuti PHK. Buruh membentuk Serikat Buruh sebagai sarana berunding untuk menyelesaikan perselisihan hak (Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Perselisihan hak meliputi:

1. Tidak adanya jaminan kesehatan bagi buruh dan keluarga, merupakan bentuk tidak diberikannya jaminan sosial tenaga kerja bagi buruh

dan keluarganya (Pasal 99 ayat (1) UU 13/2003);

2. Tidak adanya jaminan pelaksanaan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapatmerupakantindakanunion busting (Pasal

28 joPasal 43 UU 21/2000). Tanpa diminta, Negara seharusnya melakukan penuntutan maksimal penjara 1 bulan – 5 tahun, dan/ atau denda 100-500 juta);

3. Penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang bertentangan

dengan Pasal 59 UU No. 13/2003;

4. Tidak adanya alat pelindung diri (K3)merupakanpelanggaran (Pasal 35 ayat (3)joPasal 186 UU 13/2003). Tanpa diminta, Negara seharusnya

melakukan penuntutan maksimal penjara 1 bulan – 4 tahun, dan/

atau denda 100-400 juta.);

5. Target produksi yang mengalami peningkatan dari hari-ke hari dan

hal ini tidak manusiawi terlebih akhir-akhir ini jika buruh yang tidak mencapai target mendapat sanksi dari pegusahakepada buruh yang

Kasus-kasus

tidak mencapai target (punish and reward). Hal inibertentangandengan

Pasal 1602 huruf y B.W. menyebutkan “si majikan pada umumnya diwajibkan melakukan atau tidak berbuat segala apa yang di dalam keadaan sepatutnya harus dilakukan atau tidak diperbuat oleh

seorang majikan yang baik”);

6. Tidak adanya fasilitas poliklinik dan mushola sebagai sarana menjalankan ibadah bertentangan dengan (Pasal 100 ayat (1) UU 13/2003);

7. Tunjangan uang makan dan uang transportasi yang tidak memadahi, melanggar Pasal 88 UU 13/2003;

8. Pengusaha sering menjatuhkan surat peringatan tanpa kesalahan

merupakan suatu bentu kunlaw dismissal yang bertentangan dengan

Pasal 161 ayat (1) UU 13/2003;

9. Tidak tersedianya air bersih di lingkungan perusahaan melanggar ketentuan Pasal 1602 huruf y B.W).

Catatan kritis

Kasus MS menunjukkan kegagalan berunding. Buruh tidak mempunyai

kebebasan untuk berunding melalui hak berserikat. Conflict of rights yang seharusnya dapat diselesaikan melalui perundingan antara pengusaha dengan serikat buruh tidak pernah tercapai. Semua anggota serikat buruh di PHK. Hakim dalamputususanPHI Jakarta Pusat Nomor: 68/

PHI/G/2009/PHI. PN.JKT.PST, hanya mempertimbangkan adanya

perselisihan PHK tanpa mempertimbangkan adanya perselisihan hak yang menjadi akar perselisihan. Hal ini disebabkan adanya kerancuan batasan kewenangan PHI menjadi empat dengan memisahkan perselisihan hak dan perselisihan PHK.

Tidak semua tuntutan buruh diperiksa dan diputus oleh hakim PHI. Ada Sembilan tuntutan buruh yang meliputi tuntutan perdata dan pelanggaran pidana. Hal ini mengingat hukum perburuhan adalah

hukum fungsional yang di dalamnya terkandung unsur privat, publik

dan administrasi.

Tuntutan perdata dapat diimbangi dengan pemberian ganti rugi. Pelanggaran di bidang perdata yang dilakukan oleh pengusaha merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang meliputi adanya tindakan pengusaha yang tidak patut sebagai majikan yang baik, meliputi tidak tersedianya air bersih di lingkungan perusahaan dan penerapan target produksi yang mengalami peningkatan dari hari-ke hari dan hal ini tidak manusiawi terlebih akhir-akhir ini jika buruh yang tidak mencapai target mendapat sanksi dari pegusaha kepada buruh

dengan Pasal 1602 huruf y B.W. menyebutkan “si majikan pada umumnya diwajibkan melakukan atau tidak berbuat segala apa yang di dalam keadaan sepatutnya harus dilakukan atau tidak diperbuat oleh

seorang majikan yang baik”). Selain itu terdapat penerapan Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu yang bertentangan dengan Pasal 59 UU No.

13/2003. Seharusnya PKWT itu adalah batal demi hukum dan buruhnya berubah status menjadi buruh tetap.

Tuntutan perburuhan meliputi tidak adanya jaminan kesehatan bagi buruh dan keluarga, merupakan bentuk tidak diberikannya

jaminan sosial tenaga kerja bagi buruh dan keluarganya (Pasal 99 ayat (1) UU 13/2003). Sayangnya tidak ada ketentuan sanksi apabila terjadi

pelanggaran.

Selain itu dalam kasus ini juga terdapat pelanggaran di bidang hukum publik. Tidak adanya jaminan pelaksanaan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat merupakan tindakan union busting (Pasal 28 joPasal 43 UU 21/2000). Tanpa diminta, Negara

seharusnya melakukan penuntutan maksimal penjara 1 bulan – 5 tahun, dan/atau denda 100-500 juta); Tidak adanya alat pelindung diri (K3)merupakanpelanggaran (Pasal 35 ayat (3)joPasal 186 UU 13/2003). Tanpa diminta, Negara seharusnya melakukan penuntutan maksimal penjara 1 bulan – 4 tahun, dan/atau denda 100-400 juta). Sayangnya Negara belum mengambil tindakan pengamanan dalam kasus union busting dan pelanggaran K3. Pegawai pengawas seharusnya dapat memberikan sanksi administrasi bagi pengusaha yang melanggar hak-

hak normatif. (pasal 190 UU 13/2003). Sanksi administrasi dapat berupa

teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan

kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran,

penghentian sementara sebagian atau seluruhnya alat produksi, sampai

pada pencabutan izin. Sayangnya kewenangan pengawas tidak meliputi hal yang berkaitan dengan pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UU 13/2003.

Putusan PHI Jakarta Pusat Nomor: 68/PHI/G/2009/PHI. PN.JKT. PST memenangkan buruh. PHK dinyatakan tidak sah dan semua buruh harus bekerja kembali sesuai kemampuan pengusaha. Putusan ini belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena PT MS mengajukan kasasi ke MA. PHK tidak sah dan mewajibkan pengusaha mempekerjakan kembali sesuai kemampuannya adalah titik lemah dari putusan itu yang belum memberikan sanksi jika putusan tidak dilaksanakan. Fakta pengusaha tidak mempekerjakan kembali dan

tidak memberikan hak buruh jika di PHK (pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak). Buruh tidak mendapat ganti rugi

Kasus-kasus

proses peradilan disamping beberapa dari penggugat menarik diri dengan menerima pesangon dari pengusaha.

Peran pemerintah dalam menengahi kasus ini juga perlu dipertanyakan. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait mempunyai peran sentral dalam menyelesaikan kasus di tingkat tripartit. Pemerintah tidak mempunyai posisi yang kuat karena pemerintah hanya dapat memberikan anjuran yang masih dapat ditolak oleh salah satu pihak. Kekuatan eksekusi hanya ada pada pengadilan. Jika berbicara pengadilan, buruh akan sangat anti pati terhadap pengadilan karena menurut buruh pengadilan merupakan suatu lembaga yang tidak

efektif dan efisiensi terikat pada prosedur yang tidak ramah terhadap

buruh. Sehingga walaupun putusan tersebut berpihak kepada buruh belum tentu memberikan keadilan bagi buruh.

Referensi

http://fprsatumei.wordpress.com/2008/08/13/tak-suka-buruh-

berserikat-manajemen-pt-mms-phk-446-buruh/

Wijayanti, Asri, “Hak Berserikat Buruh di Indonesia”, Disertasi, Pascasarjana, Universitas Airlangga, 2011

Kasus 7

Dalam dokumen BAB-BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN INDONESIA (Halaman 104-110)