• Tidak ada hasil yang ditemukan

on!" Joni tersentak dari lamunan, ketika mendengar suara yang memanggil dirinya.

"He, Dun!" kata Joni. Ternyata yang memanggil dirinya itu adalah teman baiknya, Midun.

"Kamu sedang apa, Jon ?" tanya Midun.

"Aku sedang melamun."

"He, apa yang kamu lamunkan?"

"Rahasia. Aku nggak bisa kasih tahu kamu, soalnya aku khawatir nanti kamu ikut-ikutan."

"Ikut-ikutan apa?"

"Melamun. Soalnya aku sedang melamun ingin jadi orang kaya."

"Ah, kamu Jon. Kukira apa? Masa cuma melamun aja aku iri."

"He, siapa tahu."

"Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong kenapa rumahmu sepi? Ke mana emakmu?"

"Emakku sedang pulang kampung."

"Kamu nggak diajak?"

"Kamu ini bagaimana sih, Dun? Kalau aku diajak sama Emakku, mana mungkin kau bisa bicara sama aku saat ini?"

"Oh, iya ya. Sorry. Jadi kamu sendirian dong?"

"Ya, begitulah."

"Wah, kamu asyik dong bisa bebas."

"Seharusnya begitu."

J

"Kok seharusnya?"

"Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini nggak punya uang, mana mungkin bisa. Kau kan sendiri tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai uang."

"Sudah pasti."

"Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin aku bisa melakukan sesuatu."

"Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?"

"Ngasih. Lima juta."

"Lima juta?"

"Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding."

"Maksudmu?"

"Aku cuma diberi uang lima ribu perak."

"Untuk berapa hari?"

"Katanya sih untuk beberapa hari."

"Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal membuat kamu kelaparan."

“Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari Emak pergi aku sudah nggak punya uang."

"Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih!

Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?"

"Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!"

“Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?"

"Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku sedang melamun, bagaimana caranya jadi orang kaya?"

"Dan lamunanmu itu berhasil?"

Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya semakin nampak murung.

"Aku punya saran,"

Joni memandang sahabatnya itu.

"Apa saranmu?"

"Sebaiknya kau menyusul emakmu saja."

"Ke kampung? Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan kaki kesana?”

"Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh."

Joni menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.

Lebih baik aku. Ke rumah pamanku aja."

"Di mana tempat tinggal pamanmu itu? Apa kau tahu alamatnya?"

"Tahu."

"Kalau begitu, sebelum kau mati kelaparan di sini, sebaiknya kau lekas pergi ke tempat tinggal pamanmu!"

"Tapi bagaimana kalau Emakku pulang? Past! Emak bakal mencari-cariku?"

"Itu soal gampang nanti aku yang akan memberitahu emakmu, bahwa kau pergi ke rumah pamanmu."

"Saranmu bagus juga yah, baiklah kalau begitu. Terima kasih. Tapi….??"

"Tapi apa lagi?"

"Bagaimana dengan rumahku ini, siapa yang akan menjaganya? Aku khawatir nanti ada barang-barang berharga milik Emakku yang hilang. Jika itu sampai terjadi, pasti Emak bakal marah sekali!"

"Barang berharga? Memangnya emakmu banyak memiliki barang berharga? Setahuku di dalam rumahmu nggak ada apa-apa kecuali cuma tempat tidur reotmu itu!"

"Jangan menghina! Biar begitu-begitu, Emakku banyak memiliki barang simpanan yang harganya tak ternilai.

Kekayaan milik orang tuamu nggak ada seujung kuku dibanding dengan kekayaan milik Emakku!"

"Ah, yang benar Jon. Apa diam-diam emakmu itu masih keturunan raja minyak dari Arab?"

"Hus, sudahlah. Pokoknya sebenarnya Emakku itu orang kaya cuma pura-pura miskin."

"Pura-pura apa miskin beneran?"

"Pura-pura. Kalau Emakku mau, rumahmu itu bisa dibelinya buat kandang ayam, tahu. Kamu nggak percaya?

Pertamina dan gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta itu punya siapa?"

"Punya Emakmu?"

"Gila! Punya Pemerintah, goblok!"

"Oh, aku kira punya emakmu."

"Ah, sudahlah. Kau mau percaya atau nggak terserah.

Yang jelas biar bagaimanapun juga aku nggak bisa meninggalkan rumahku ini, khawatir Emakku marah."

"Ck... Ck... Ck... aku nggak menyangka ternyata diam-diam emakmu banyak memiliki harta simpanan Jon."

"Ya, begitulah. Tapi, ssst. Kau jangan sampai bilang-bilang sama orang lain lagi ya, nanti bisa bahaya. Rumahku bisa dirampok orang dan aku bisa dibuatnya celaka!"

"Nggak Jon. Buat apa aku bilang-bilang sama orang lain."

"Bagus. Soalnya yang tahu soal kekayaan Emakku itu cuma kamu aja! Lain orang nggak ada yang tahu. Mereka cuma tahu aku dan Emakku itu orang miskin, orang nggak punya."

"Nggak tahunya Kong Melarat."

"Hus, Konglomerat!"

Madun mengangguk-anggukkan kepalanya antara per-caya dan tidak perper-caya. Apa benar emak si Joni banyak memiliki kekayaan? Setahu Madun, selama ini emak si Joni adalah seorang tukang pembuat kue yang hidupnya miskin dan banyak dikasihani orang. Sesampai di rumahnya Madun masih saja tetap diam melamun memikirkan semua yang telah diucapkan Joni. Berbeda dengan Joni sendiri, sepulang temannya itu Joni tertawa terbahak-bahak. Sambil menjatuhkan tubuhnya yang tinggal tulang itu ke atas tempat tidur miliknya yang terbuat dari kayu sudah reot, sehingga menimbulkan suara cukup gaduh.

"Hahahahaha.... si Madun kena aku kibuli. Madun percaya kalau Emak punya simpanan berharga dalam rumah ini, padahal sih ... Emak nggak punya apa-apa, selain punya diriku dan gubuk reot ini!"

***

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI 2

JONI CARI PENGALAMAN II

ONI masih berbaring di tempat tidurnya. Meskipun dirinya terasa mengantuk, tapi matanya sulit untuk di-pejamkan. Itu sebabnya sedari tadi Joni cuma ter-lentang saja di atas tempat tidur sambil matanya me-mandang ke atas, menatap langit-langit kamar yang tidak berlapis. Menyebabkan genteng rumahnya yang banyak berlobang-lobang terlihat jelas. Pantas saja kalau hujan rumahnya bocor. Ternyata genteng rumahnya banyak yang telah pecah dan rengat.

Melihat semua itu Joni menghela napas panjang. Hati-nya sedih. Dari mana ia bisa memperoleh uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah banyak rusak itu?

"Oh, Tuhan..." tiba-tiba Joni berdoa, "Berikan Emak saya rejeki yang banyak. Jangan cuma pas-pasan untuk makan aja, kasihan Emak saya. Wajahnya semakin tua gara-gara pusing memikirkan cari duit. Kalau bisa, Tuhan. Biar semua orang sedunia memesan kue sama Emak, pasti deh Emak bakal senang betul hatinya. Karena dengan begitu Emak pasti bakal dapat duit banyak. Tuhan, tolonglah rubah nasib Emak dan diri saya!"

Joni terus berdoa meminta pertolongan Tuhan sampai telinganya mendengar suara ketokan.

"Siapa?" tanya Joni sambil melompat bangun. Berlari ke arah pintu.

J

"Saya!" terdengar suara jawaban dari balik pintu. Hati Joni curiga. Ia tidak segera membuka pintu rumahnya, karena suara yang didengarnya itu tidak dikenalnya. Suara seorang lelaki.

"Ya, saya tahu. Tapi katakan dulu, siapa dirimu?"

"Saya!"

"Saya siapa?"

"Saya rampok. Lekas buka! Kalau tidak pintu rumahmu ini saya dobrak!"

"Oh, jangan! Pintu rumah saya jangan dirusak, nanti Emak saya marah!"

"Biar saja. Saya tidak perduli. Paling kamu yang dimarahi sama emakrnu, saya sih tidak"

"Kalau begitu, baik, baik. Pintunya akan saya buka.

Jangan kamu rusak," lalu Joni membuka pintu rumahnya.

Saat di buka, mata Joni terbelalak kaget. Karena di hadapannya berdiri seorang lelaki bertubuh besar bertampang sangar, memandang Joni sambil umbar tawanya.

"Hehehehe... terima kasih Joni!" kata lelaki itu. Tanpa dipersilahkan langsung menerobos masuk dan duduk.

Joni bengong seperti sapi ompong.

"Kok, rumahmu sepi, Jon?" tanya lelaki itu yang mengaku seorang rampok.

"Ya, rumah saya memang sepi. Emak lagi pulang kampung!"

"Maksud saya, bukan sepi orangnya. Tapi sepi barangnya. Rumah kok seperti lapangan bola, nggak ada perabotnya."

"Ya, maklum aja. Namanya juga rumah orang miskin."

"Rumah orang miskin? Ah, kamu bohong, Jon. Saya tidak percaya. Soalnya di Jakarta ini banyak sekali orang kaya yang pura-pura miskin."

"Memang. Tapi kalau keadaan saya memang benar-benar miskin. Sungguh saya nggak bohong dan nggak pura-pura."

"Jadi sungguh kamu miskin beneran?"

“Ya "

"Kasihan."

"Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang kasihan sama diri saya dan Emak saya."

"Begitu?"

"Ya, begitu."

"Kalau begitu, mereka itu semua tolol!"

"Kok, kamu bisa bilang begitu?"

"Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi sama kamu yang pura-pura miskin!"

"Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh."

"Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi terhadap diri saya, jangan coba-coba. Nanti rambutmu yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?”

"Tempat simpanan apa? Setahu saya Emak nggak punya simpanan. Sungguh, ada juga Emak saya suka menyimpan di Wc….!"

"Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu semua oranq juga punya."

"Jadi...?"

"Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik emakmu itu. Saya kasih waktu lima menit. Lewat dari lima menit, nyawamu melayang."

"Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake melayang segala."

"He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!"

"Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di kasih waktu sepuluh taun juga saya nggak bisa mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu Emak nggak punya simpanan apa-apa pasti kamu salah alamat. Lha, orang miskin kok di rampok."

"Jadi benar kamu orang miskin? Emakmu tidak punya simpanan barang berharga?"

"Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak penasaran. Paling-paling yang kamu temukan cuma kecoa!"

"Brengsek!"

"Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih?

Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang kaya mana orang miskin. Jangan main sikat aja. Untung belum jatuh kroban nyawa."

''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas kaya."

"Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya juga pingin."

"Kamu juga pingin kaya?"

Joni menganggukkan kepala,

"Wah, kalau begitu kita sama dong."

"Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan."

"Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak punya simpanan apa-apa, saya permisi."

"He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?"

"Pulang."

"Pulang? Kok buru-buru? Ngak minum teh dulu?"

"Terimakasih."

"Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang mengaku rampok itu bergegas pergi, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni.

"Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan emakmu punya simpanan yang berharga kasih tahu saya ya!"

"Beres. He, nggak. Enak aja!"

Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang menatapnya sambil geleng-geleng kepala.

"Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang punya duit, langsung main samperin!" gerutu Joni dengan hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak aman.

Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika tidak ingin dirinya mati konyol. Didorong oleh rasa takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni justeru sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal

pamannya itu. Cuma yang diingat Joni, kalau tidak salah pamannya itu tempat tinggalnya di pinggir sebuah jalan raya, tak jauh dari kantor polisi, di sebelah kanannya ada lampu merah, sedang disebelah kirinya yang Joni ingat ada toko!

Joni tidak tahu pasti alamat tempat tinggal pamannya secara tepat, apakah pamannya itu tinggal di Bandung, di Surabaya atau di Bogor, Joni sama sekali tidak tahu.

Namun, Joni tetap nekad. Ia tetap pergi mencari tempat tinggal pamannya itu.

"Waktu diajak sama Emak, pertama-tama aku naik bus, Jadi sekarang ini aku harus naik bus!" kata Joni dalam hati.

Tanpa peduli bus ke arah mana yang harus ia naik? Ketika ada sebuah bus yang lewat Joni mempehatikan dengan hati ragu.

"Senen! Senen! Ayo, naik! Masih kosong!" teriak kondektur bus. Padahal penumpang yang ada di dalam bus itu sudah penuh berjejal seperti ikan sarden.

"Ayo, Dik naik! Lekas! Di dalam-masih kosong!" teriak si kondektur lagi memaksa Joni naik. Tapi Joni menolak sambil mengelengkan kepala.

"Mau ke mana Dik? Senen!" tanya si kondektur sama Joni setengah memaksa.

Joni menggelengkan kepalanya lagi.

"Aku mau ke Madangkara!" sahut Joni bikin si kondektur matanya melotot.

"Dari pada ke Madangkara lebih baik ke neraka, Dik!"

"Masa bodoh! Terserah gua!" kata Joni tidak peduli si kondektur marah-marah.

Bus berikutnya muncul lagi, berhenti didepan Joni. Kali ini busnya tidak begitu padat dengan penumpang.

"Grogol, Dik! Grogol!" teriak si kondektur pada Joni.

"Grogol lewat Bogor ya, Bang?" tanya Joni.

“Oh, tidak, Dik. Grogol itu lewat Mexico!" jawab si kondektur sewot. Joni tersenyum, diapun lalu naik bus itu.

Ternyata Joni tidak kebagian tempat duduk, terpaksa Joni harus berdiri sambil menggelantungan seperti Tarzan.

Tidak berapa lama setelah bus berjalan.

Kondektur datang menghampiri Joni seperti biasa menagih ongkos.

“Ongkos.... ?" kata si Kondektur.

"Ongkos?" tanya Joni sambil tersenyum.

"Ya, ongkos," jawab si Kondektur bus garang.

"Wah, sayang gak punya uang Oom." kata Joni.

Membuat mata si Kondektur terbelalak.

"Nggak punya uang? Jadi...?"

"Numpang Oom. Dekat aja kok."

"Betul dekat?"

"Ya, Oom."

"Kalau dekat buat apa naik bus, lebih baik jalan kaki.

Ayo, turun!" bentak si Kondektur galak. Tubuh Joni didorong hampir saja Joni jatuh. Sebenarnya Joni mau marah tapi karena melihat badan si Kondektur yang cukup besar dan tampangnya seram, hati Joni jadi ciut.

"Hu, sombongnya! Numpang aja nggak boleh!" gerutu Joni setelah diturunkan dari bus. Tapi percuma, makian Joni tidak didengar oleh si Kondektur, karena setelah menurunkan Joni bus itu langsung tancap gas dibarengi terlakan si Kondektur.

"Tarik, Pirrrrrrrrrrr...!!"

TAMAT

Dokumen terkait