ARENA tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka bayi bergerak lakukan perintah, Ki Sepuh Tumbal Buwono menegur.
"Sepuluh kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku.
Mengapa tidak dilaksanakan?"
"Ki Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang tadi selalu bicara mewakili teman-temannya akhirnya menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang Pemimpin. Jika sampai dicemari...."
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa.
"Kalian anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang Pemimpin perlu diberi minuman istimewa. Kini dia mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya dia merasa beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke dalam telaga atau kalian yang aku ceburkan sebagai gantinya!"
Sinto Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka bayi ketakutan mendengar ancaman si kakek. Padahal jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja dari duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau lehernya putus digorok besi yang melingkari lehernya, menyerupai mata gergaji tajam luar biasa.
K
Nyatanya, sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto Gendeng.
"Hai! Awas kalau kalian berani...." Sinto Gendeng berteriak.
Tubuh si nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu dilempar. Byuurr!
"Kampret kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Ter-telentang di dalam telaga dia menunggu. Sebentar lagi tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakut-kannya tidak terjadi. "Eh...?" Sinto Gendeng putar sepasang matanya.
Telaga di dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar memiliki kedalaman sampai sepuluh kaki. Namun inilah keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di permukaan telaga. Begitu juga dengan tubuh Sinto Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti juga ditelan perasaan heran dan aneh. Tubuhnya terasa sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek.
Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka bayi tak ada lagi di tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya kakek jubah biru gombrong duduk memandang ke arahnya sambil senyum-senyum.
"Tua bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyum-senyum terus. Jangan-jangan bangsa kakek-kakek ganjen!"
Ucap Sinto Gendeng dalam hati.
Di bagian dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang menjadi tempat masuknya aliran air baru. Di sebelah atas air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air mengalir menuju bangunan dibawah tanah tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air mengalir
terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau yang melekat di pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lama-lama menjadi bersih.
Sinto Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada dalam telaga. Keluar sendiri tentu saja tidak bisa. Dua kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih jubah biru yang duduk di dalam cegukan batu hanya senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini tak bisa melakukan hal itu karena lehernya terjerat kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan tangan, tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada dalam telaga. Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri.
Tapi ditunggu sampai sekian lama tak ada tanda-tanda dia bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik ke arah si kakek.
"Orang tua berjubah biru! Pertama kali kau telah menghinaku, dengan menceburkan diriku ke dalam telaga.
Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di dalam telaga ini?”
"Ah, rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam air sejuk. Kau ingin naik sekarang?"
"Kalau kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?"
tukas Sinto Gendeng. Si nenek kemudian gigit bibirnya sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar, kakiku sebelah bawah dalam keadaan lumpuh. Dua tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong mengeluarkan aku dari dalam telaga?"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum.
"Disini hanya kita berdua. Tak ada orang lain."
Menerangkan Ki Sepuh Tumbal Buwono.
"O ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!"
"Nek, kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang seseorang. Aku bisa minta bantuannya mengeluarkan kau dari dalam telaga."
"Siapa? Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran.
Tubuhnya mulai menggigil kedinginan karena terlalu lama di dalam air.
"Sabar saja. Sebentar lagi pasti muncul..."' jawab Ki Sepuh. "Sekarang orang itu sedang kebingungan. Aku harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat."
"Siapa orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng bertanya.
"Salah seorang istri Kelelawar Pemancung Roh."
"Mengapa berlaku totol menolong istri makhluk jahanam itu?!"
"Perempuan itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya adalah korban-korban tak berdaya yang perlu ditolong."
"Hemmm begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang sudah kedinginan setengah mati kau biarkan. Ki Sepuh, kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap burung di udara, burung dalam celana dilepaskan."
Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum.
"Nek, kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi.
Ujar-ujar yang aku dengar tidak begitu bunyinya."
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek gendeng. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa.
***
BINTANG Malam lari sambil tiada hentinya menangis.
Sengsara derita hidupnya selama sepuluh tahun menjadi istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan.
Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat
membebaskan diri. Namun selalu sia-sia. Hanya bunuh diri saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau Tuyul Orok berujud bukan seperti manusia, tapi bagai-manapun juga dia adalah anak darah daging yang dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak yang malang itu. Dibunuh oleh ayahnya sendiri!
Dalam larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil itu tidak tahu mau menuju kemana. Dia berlari sepanjang lorong yang akan membawanya ke tepi pantai. Biasanya begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan kelelawar dan pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang berputar-putar mengelilinginya. Mereka telah mendapat perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang punya niat melarikan diri maka makhluk-makhluk itu sudah diberi wewenang untuk membunuh.
Sekali ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga puluh kelelawar kepala bayi termasuk anaknya telah menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung Roh, dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng.
Lalu masih ada puluhan kelelawar anak buah Kelelawar Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian.
Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar seratusan. Saat itu kelelawar-kelelawar yang masih hidup itu hanya terbang kian kemari di atas pantai. Belasan ekor diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu makhluk ini memandang dengan mata menyorot merah dan keluarkan suara beringas, kini semua memperhatikan dengan pandangan sayu.
Bintang Malam tidak sempat memikirkan mengapa binatang-binatang itu kini berada dalam keadaan seperti itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat
itu. Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul Orok digendongnya, dilarikan dari pantai dibawa ke dalam kamar di dalam bangunan di bawah tanah.
"Ibu, kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu.
Masuk ke dalam Goa Air Biru di kaki Bukit Jati. Disitu ada seseorang yang bisa menolong Ibu...." Ucapan Tuyul Orok terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro terasa sesak dan jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang Malam saat itu tidak memperhatikan apa yang diucapkan anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, meng-gendong Tuyul Orok, berusaha sampai ke tempat kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau sang anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh oleh ayahnya sendiri!
Begitu ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang Bintang Malam segera lari ke arah utara, menuju Bukit Jati.
Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan juga pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak tahu dimana beradanya goa yang konon airnya merupakan satu-satunya sumber air minum Kelelawar Pemancung Roh.
Ketika sang surya condong ke barat, megap-megap kehabisan nafas Bintang Malam sampai di kaki Bukit Jati.
Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak kuasa lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari.
"Gusti Allah...." Bintang Malam menyebut nama Tuhan.
"Kalau Kau ambil nyawaku saat ini juga aku ikhlas Ya Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini. Sepuluh tahun...."
Ucapan Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di telinganya mengiang satu suara.
"Perempuan malang, berdirilah. Kuatkan kakimu.
Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus langkah ke arah kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa
yang hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga langkah di belakang pohon itu ada semak belukar. Masuk ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus sampai kau menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke dalam goa, ikuti jalan berbatu biru yang diapit dua jalur aliran air biru. Di ujung goa ada sebuah telaga. Kau akan menemukan diriku di seberang telaga air biru."
Bintang Malam bangkit berdiri sambil mengusap telinganya. Perempuan ini memandang berkeliling.
"Ada orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku hanya aku dan Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku masuk ke Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar Pemancung Roh. Dia pasti tengah berusaha mencariku.
Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian meng-habisiku di tempat itu!"
Bintang Malam bingung, hatinya merasa ragu.
"Bintang Malam, buang semua keraguan dihatimu.
Lekas berjalan kesini...." Suara mengiang kembali memasuki telinga.
"Anakku mengatakan ada orang di dalam goa yang akan menolongku.
Siapa?" Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam hati. “Kalau aku menjawab dengan ilmu mengirimkan suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung Roh." Semakin bingung perempuan ini.
"Bintang Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam jika berada di luar sana."
"Ya Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu, selamatkan diriku sampai ke dalam goa." Setelah memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki Bukit Jati ke arah kanan. Di satu tempat dia menemui pohon kelapa yang disambar petir. Seperti petunjuk suara
tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan semak belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya Bintang Malam menerobos masuk memasuki semak belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui mulut goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam goa ada satu jalan kecil dari batu biru, diapit dua aliran air berwarna biru. Bintang Malam melangkah sepanjang jalan batu ini.
Beberapa puluh langkah memasuki goa benar saja, Bintang Malam menemui sebuah telaga cukup besar.
Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat sosok seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di dalam satu cegukan besar di dinding batu. Bintang Malam membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si kakek. Kepala berada dalam kerangkeng besi, kulit sepucat mayat, mata cekung berwarna biru. Perempuan ini letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut menahan takut. Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat sewaktu melihat dan baru menyadari bahwa di dalam telaga di depannya mengambang sesosok tubuh.
***
WIRO SABLENG