• Tidak ada hasil yang ditemukan

I DALAM telaga Sinto Gendeng memandang tak berkesip pada perempuan yang baru masuk ke dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah takut.

"Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto Gendeng berseru.

Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan itu.

"Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di tempat yang aman. Kemari mendekat...."

"Orang tua, kau... kaukah yang tadi mengirimkan suara pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya.

"Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita tentang dirimu padaku...."

"Maksud Kakek, Tuyul Orok?"

"Ya."

"Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri."

Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam.

Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana."

Perlahan-lahan si kakek buka matanya.

"Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku

D

akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum kau kutolong harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari dalam telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku sebelah belakang."

Sinto Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki Sepuh itu. Matanya yang cekung berputar melirik.

Bintang Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto Gendeng, belum mau beranjak melakukan apa yang dikatakan Ki Sepuh.

"Kau tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan menggigit. Pegang saja kakinya, tarik ke sini." Kata-kata itu diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian Sinto Gendeng tetap saja memaki panjang pendek.

"Kakek edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja bilang aku cukup jinak, tidak menggigit!"

Ki Sepuh tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang Malam untuk segera mengeluarkan Sinto Gendeng dari dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah hamil muda itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia pegang dua kaki Sinto Gendeng.

"Nek, maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku tidak kuat. Lagi pula aku dalam keadaan hamil. Aku terpaksa, menarik kakimu."

Sinto Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara.

Cepat keluarkan aku dari dalam telaga. Bagaimana caranya terserah kamu!"

Walau tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup susah bagi Bintang Malam menariknya, membawanya ke belakang Ki Sepuh.

"Aduh, tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata Bintang Malam.

"Daging dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang berat," ujar Ki Sepuh. Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagi-lagi membuat Sinto Gendeng mengomel.

Sesuai yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si kakek, Bintang Malam angkat ke atas jubah gombrong Ki Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam jubah.

"Hai! Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini!

Mengapa aku dimasukkan ke dalam jubah bau apak ini!!

Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng ber-teriak.

"Itu tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat."

Berkata Ki Sepuh.

Sinto Gendeng memaki.

“Aku tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah menolongmu sebisaku. Aku tak punya kekuatan apa-apa.

Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!”

Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat kemudian terdengar ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa arti dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama disini. Dan ada satu syarat! Asal kau tidak kentut saja!

Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!”

Aku janji tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji."

"Janji apa?" tanya Sinto Gendeng.

"Asal kau tidak kencing!" jawab si kakek.

Sinto Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan.

"Kau kakek-kakek lucu!"

"Kau juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?"

"Aku tak akan memberitahu sebelum tahu banyak tentang dirimu!" Jawab Sinto Gendeng.

"Begitu? Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau sudah tahu namaku. Jadi tak perlu ditanyakan lagi.

Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?"

"Manusia edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu

padamu! Buat apa!"

Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa tahu kau naksir padaku. Ingin tahu apa aku masih sendirian atau bagaimana."

"Amit-amit jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin baik!"

"Nah tepat dugaanku!"

"Dugaan apa?" tanya Sinto Gendeng.

"Kalau seorang nenek mulai memuji seorang kakek, berarti si nenek ada hati pada si kakek. Bukan begitu?

Aduh...!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa yang kau lakukan?!"

"Sekali lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi punggungmu!"

Bintang Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi tertawa melihat kelakuan dan mendengar bicara sepasang kakek nenek itu.

"Ba... baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo tanyakan apa yang hendak kau ketahui."

"Kawasan Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar Pemancung Roh. Kau berada di tempat ini. Dalam keadaan di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng...."

"Nah Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku tidak akan menggigit punggungmu atau pinggulmu. Ha...

ha... ha!"

"Tua bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan Kelelawar Pemancung Roh!"

"Dia muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja tapi membuat kejut bukan alang kepalang pada Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan, saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika kakek ini memang benar guru Kelelawar Pemancung Roh musuh besarnya itu, bukankah berarti saat itu sama saja

dia berada dalam sarang harimau?

Bintang Malam sendiri memang pernah mendengar kabar tentang seorang penghuni aneh di Goa Air Biru. Tapi dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah bicara padanya.

"Nek, kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu tadi itu saja?" Ki Sepuh menegur.

Dengan suara bergetar Sinto Gendeng berkata.

"Ketahuilah, muridmu itulah yang telah membuat aku lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu Hawa Kematian."

"Tidak heran." Sahut si kakek.

"Eh, apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng.

"Aku saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang lain."

Sinto Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam terbelalak.

"Kek, jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus kepalamu dengan kerangkeng besi ini?"

"Sejak lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya sengsara...."

"Mengapa dia melakukan kekejaman begini keji terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam.

"Ya, ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng.

"Dia memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang.

Aku menolak. Ketika dia memaksa sambil mengancam akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya.

Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia minta yang empat lainnya. Ketika aku menolak, kepalaku dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu pada-nya. Lebih baik dia membunuhku dari melihat dia men-celakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan tak ada gunanya. Semua sudah terjadi."

"Murid terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng.

"Selama lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana kau makan, bagaimana kau minum Kek?" tanya Bintang Malam.

"Ya, bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?"

Sinto Gendeng menyambung pertanyaan Bintang Malam.

"Aku tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan murid terkutuk itu setiap hari dua kali datang ke sini untuk menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu. Aku tak pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar sebagai keringat. Aku juga tak pernah buang air besar.

Kalau aku kencing dan buang air besar pasti tempat ini sudah kotor dan busuk."

"Aneh..." ucap Bintang Malam.

"Luar biasa," ujar Sinto Gendeng.

"Nek, Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat kau lumpuh tentu ada sebabnya. Silang sengketa apa yang ada diantara kalian?"

"Empat puluh tahun lalu aku bersama orang-orang Kerajaan menumpas kaum pemberontak di kawasan selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada sangkut paut darah dengan Kelelawar Pemancung Roh aku habisi. Salah seorang diantaranya adalah ayah kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat.

Kakek rambut putih, apapun yang dibuat muridmu, apapun yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut bertanggung jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau tidak bisa mendidiknya!"

Ki Sepuh menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk ucapanmu itu. Aku telah menerima hukuman atas kebodohanku sendiri."

"Kek, dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa mem-bebaskan diri?" tanya Bintang Malam.

"Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu yang

membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku tahu nama ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah satu diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya.

Dengan ilmu itu dia telah menyedot seluruh tenaga dalam, hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya mem-punyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat dua tanganku, menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima tahun dirangket seperti ini aku jarang sekali bisa tidur..."

"Muridmu yang jahanam itu pasti juga telah menotok jalan darahku hingga, aku tidak bisa menggerakkan dua tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin kau tahu caranya agar aku bisa bebas?"

"Nek, dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan yang disebut Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Kabarnya jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa senjata tertentu yang mampu memusnahkan totokan itu."

"Mungkin tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto Gendeng.

"Mungkin tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup sakti, pada waktu dirimu ditotok pasti sudah menolak totokan."

"Sialan!" Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu men-dengar ucapan Ki Sepuh.

"Selain Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan Kalajengking Putih yang bisa membebaskan dirimu dari totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan tambahan.

"Kalajengking Putih? Edan! Baru sekali ini aku mendengar ada Kalajengking berwarna putih. Dimana bisa ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang bisa menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu Hawa Kematian?"

"Kelelawar Pemancung Roh satu-satunya orang yang memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia mencurinya dari aku."

"Obat apa? Bagaimana bentuknya? Dimana disimpannya?"

"Obatnya semacam cairan yang dibuat dari minyak bunga matahari langka. Yang tumbuh menghadap mata-hari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu bulan gelap...."

"Jadi bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto Gendeng.

"Bukan," jawab Ki Sepuh lalu meneruskan keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan sama saja dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari."

Sepasang mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanam-kan ucapan si kakek dalam benaknya.

"Mengenai cairan bunga matahari yang ada pada murid-mu itu. Kau tahu dimana dia menyimpannya?"

“Minyak itu disimpan dalam telur penyu yang sudah kering. Dimana murid murtad itu menyimpannya aku tidak tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana”

"Ada yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di puncak Pegunungan Dieng...."

"Betul," membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu lalu waktu musim kemarau yang sangat panjang, pernah terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah semuanya bersama pepohonan lain."

"O ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa sembuh dari kelumpuhan celaka ini!" keluh Sinto Gendeng dalam hati.

"Ki Sepuh...."

"Diam, jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong ucapan Sinto Gendeng. "Aku mendengar suara orang

mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk ke dalam jubahku di samping si nenek."

"Kek...."

"Aku sudah tahu siapa yang datang...." Ucap Sinto Gendeng.

"Jangan bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di samping si nenek. Jangan ada yang bicara. Jangan ada yang bergerak. Usahakan menahan nafas!"

Mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa banyak membantah lagi Bintang Malam segera menyelinap masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek.

TAMAT

Dokumen terkait