ALAM semakin larut ketika lolongan anjing terdengar untuk yang kesekian kalinya. Entah dari mana datangnya. Suasana tetasa sepi mencekam.
Hanya sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Sementara gemericik air sungai di kolong jembatan itu meski sayup-sayup tapi berkesinambungan.
Hujan, telah lama tidak turun, sehingga volume air ber-kurang. Permukaan air sungai itu terlihat turun sekitar setengah meter.
Lolongan anjing kembali terdengar. Tapi pemilik gubuk kardus yang berada di kolong jembatan itu tidak peduli. Ia tidak menangkap firasat apa-apa. Mungkin karena hatinya telah beku, sehingga ketidak peduliannya pada apapun semakin menggunung. Baginya anjing itu mau melolong ratusan kalipun tidak akan membawa perubahan hidup untuknya.
"Yang kita butuhkan saat ini adalah sebungkus nasi dengan lauk-pauknya," gumamnya lemas. "Perutku lapar sekali. Tapi malam-malam begini mau cari makanan di mana?" Dielus-elusnya kucing hitam yang berada dalam pelukannya sejaktadi. Ia berharap dengan mengelus-elus hewan itu siapa tahu rasa laparnya bisa berkurang. Kucing adalah hewan jinak yang apabila dielus-elus maka ia akan
M
semakin anteng. Tapi kali ini tidak. Hewan itu gelisah.
Kepalanya bergerak ke sana ke mari. Sepasang matanya tajam mengawasi ke segala arah. Sementara kedua telinganya tegak berdiri, seolah hendak menangkap suara sekecil apapun yang mencurigakan.
"Iya, ya. Aku tahu, kau pun pasti lapar. Tahan sajalah.
Besok kita cari makanan sebanyak-banyaknya biar perut kita kenyang. Sekarang selain lapar aku juga ngantuk.
Mending kita tidur saja," katanya sambil menguap lebar.
Kucing itu tidak peduli. Kegelisahannya semakin bertambah. Kini sepasang matanya tertuju ke satu arah.
Seluruh bulu-bulu di tubuhnya tegak berdiri. Kemudian dengan tiba-tiba ia berontak dan melompat dari pelukan majikannya.
"Eeeh, mau ke mana kau? Ayo, sini!" Reflek ia bangun dan bermaksud mengejar. Tapi saat itu juga terdengar teriakan seseorang dari arah depan.
Ia terpaku di tempatnya. Mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Seorang pria, ia yakin begitu meski masih dalam jarak yang berbentuk siluet, tubuhnya kurus dan lari sekencang-kencangnya, bahkan nyaris beberapa kali terjatuh seperti dikejar-kejar setan.
"Tolong, tolong! Seseorang ingin membunuhku," teriak-nya dengan suara agak serak. Dari jarak dekat terlihat di wajahnya ada bekas luka cakar yang masih baru. Tubuhnya yang bertelanjang dada pun menampakkan luka-luka yang sama. Si Gembel yang masih mematung di tempatnya masih kelihatan bingung. Bahkan seperti tidak mempeduli-kan saat pria kurus itu, terJerembab di dekatnya.
"To... tolong, Pak. Seseorang ingin membunuhku.
Tolong...."
"Siapa?" tanya si Gembel sambil celingak-celinguk memandang ke segala arah, dan tidak melihat apa serta siapa pun di sekitar tempat itu selain mereka berdua.
"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan mem-bunuhku." Pria kurus itu meraih tangannya. Tubuhnya gemetar ketakutan.
"Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin mem-bunuhmu. Ah, sudahlah! Jangan ngomong macam-macam."
Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya yang tadi kabur entah ke mana.
Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar, berusaha meyakinkan si Gembel. "Seseorang ingin membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku. Tolong-lah."
"Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang bisa kubantu? Paling-paling aku kabur supaya orang itu tidak sekalian membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!"
Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon asam. Hijau kebiru-biruan. Persis mata kucing dalam kegelapan.
"Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!"
cegah si pria itu seraya menarik tangannya.
"Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauh-jauhnya dari sini. Mana mungkin si Manis akan mem-bunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja dia mencakarmu. He, apa tadi kau telah membuat si Manis kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak mem-pedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya atau tidak. Perlahan didekatinya pohon asam itu sambil memanggil-manggil si Manis.
Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Dan itu membuat si Gembel terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya sekarang bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan lepas begitu saja.
"Si... siapa kau?!" tanyanya dengan suara gagap ketakutan melihat si Manis benar-benar berwujud seorang wanita muda yang berparas cukup manis.
Makhluk manis itu tidak memperdulikannya. Sorot matanya yang mengerikan itu tertuju pada pria kurus yang berada di belakang si Gembel. Tenang dan perlahan dihampirinya pria itu yang cepat bangkit berdiri dan terus kabur. Sikap wanita itu masih tenang, demikiah pula langkahnya. Namun si Gembel melihat sesuatu yang aneh.
Wanita itu saat ini seperti tidak menapak di atas tanah, dan tahu-tahu telah melayang ke hadapan pria yang sedang dikejarnya.
"Oh, tidak! Tidak...!" Pria kurus itu berteriak histeris kebingungan kemudian berbalik arah. Tapi ke mana saja ia melangkah wanita itu selalu telah berada di hadapannya.
Sampai kemudian ia terpojok di batang pohon asam tempat di mana wanita itu tadi pertama kali menampakkan diri.
"Tidak. Oh, Lestari, sadarlah aku ini Burhan. Masak kau tidak mengenaliku? Lestari, sadarlah! Sadarlah. Aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau lupa?"
Wanita yang dipanggil Lestari itu terus melangkah pelan.
Sorot matanya masih setajam tadi. Sama sekali tidak ter-lihat perubahan pada mimik wajahnya mendengar kata-kata pria yang mengaku bernama Burhan itu.
"Lestari, bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini?
Setan apa yang telah merasuki tubuhmu? Lestari, aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau tidak mengenaliku?
Sadarlah, jangan biarkan dirimu dipengaruhi iblis jahat!"
bujuk Burhan lagi dalain situasi yang tidak berdaya.
Lestari telah berada persis di hadapannya. Seperti semula, tidak terlihat sedikit pun perubahan pada mimik wajahnya. Datar dan dingin. Hanya sorot matanya yang berkilau menyiratkan nafsu membunuh. Perlahan
diangkat-nya sebelah tangan, dan Burhan jelas melihat kelima jari-jari wanita itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam, siap dihunjamkah ke tubuhnya.
"Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah menjadi jerit kesakitan yang panjang saat kelima kuku-kuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di arah jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka tampak di telapak tangannya yang tergenggam jantung korban yang dipenuh darah.
Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil sekujur tubuhnya. Keinginan untuk kabur secepatnya dari tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya seperti terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan sedikit pun. Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya yang berlumuran darah ke atas, dan pada saat yang bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya.
Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan semangatnya terbang entah ke mana.
"Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang? Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini. Aku belum mau mati. Aku belum mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang memuncak ia berdo'a, sesuatu yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti yang entah dari mana datangnya, muncul menghalau makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin.
Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain, tapi yang penting ternyata do'anya terkabul. Ketika perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel celingukan, mencari-cari dengan pandangannya ke sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir kalau-kalau makhluk wanita itu bersembunyi di suatu
tempat yang sangat dekat lalu menerkamnya ketika ia lengah. Tapi setelah yakin kalau dirinya selamat, ia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.
***
Siang harinya polisi telah hadir di tempat itu bersama beberapa wartawan cetak maupun elektronik, juga tidak ketinggalan mobil ambulan yang akan membawa mayat Burhan ke rumah sakit untuk diotopsi.
"Ini korban ketujuh, Pak. Apa komentar Anda atas kejadian ini, dan sejauh mana usaha polisi untuk mengatasinya?" tanya seorang wartawan cantik dengan pulpen dan notes di tangan..
Pria berusia sekitar tiga puluh empat tahun dan berseragam polisi dengan pangkat letnan itu memandang wartawati itu sejenak, kemudian pada wartawan lainnya yang siap mencatat dan merekam jawabannya.
"Ini tindakan kriminal murni, dan kami bersungguh-sungguh akan menangkap pelakunya untuk diajukan ke pengadilan dan diproses, sesual dengan hukum yang berlaku...."
"Apakah polisi sudah mendapatkan titik terang siapa kira-kira pelaku pembunuhan itu?" tanya seorang wartawan.
"Kami akan berusaha sungguh-sungguh."
"Apakah itu artinya belum?" kejar wartawan yang lain.
"Jawaban itu tidak tepat. Kalau kami katakan sudah, itu tidak objektif sebab kami sedang mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan keterlibatan dan keterkaitannya, dan bila kami katakan belum itu menunjuk-kan bahwa kita dalam mencurigai dan menuduh seseorang menggunakan prosedur yang telah ditetapkan perangkat hukum. Dan tidak bisa main tunjuk seenaknya." Letnan
polisi itu mengakhiri jawabannya dan menghindar dari kerumunan para wartawan. Meski satu atau dua wartawan masih menguntit dan mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang usil, namun dengan lihai ia menolak.
Bersama beberapa rekannya ia memeriksa ke sekeliling tempat itu dengan teliti.
Dengan santai ia mengintruksikan pada bawahannya agar para wartawan tidak mengganggu proses penyeiidikan yang tengah dilakukannya. Namun ketika wartawati yang pertama kali mengajukan pertanyaan itu mengikutinya, ia memberi isyarat pada dua anak buahnya yang coba mencegah untuk membiarkannya saja.
"Pertanyaan apa itu? Kau memancing yang lainnya untuk menanyakan hal-hal yang sulit untuk kujawab,"
katanya setelah wartawati itu mendekat.
"Lho, memangnya ada larangan untuk bertanya kepada petugas yang bertanggung jawab dalam suatu masalah?"
Balik bertanya wartawati itu sambil tersenyum mengejek.
"Kita telah sepakat untuk sementara ini kasus jangan terlalu dibesar-besarkan."
"Itu akan menimbulkan ketakutan masyarakat. Mereka tidak mendapat informasi yang jelas, dan selalu was-was kalau suatu saat jiwa merekalah yang akan melayang. Ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik."
Letnan polisi itu menoleh. Sekilas memandang tajam pada si wartawati. "Saras, kali ini aku bicara kepada seorang teman bukan kepada wartawati, oke?"
"Oke, baiklah. Sebagai seorang teman aku bertanya, sampai sejauh mana informasi yang telah kau kumpulkan dalam kasus pembunuhan ini?"
"Banyak sekali. Meski tidak seluruhnya kuceritakan, tapi kita bisa melihatnya dari poin-poin yang penting. Seperti kasus yang terdahulu, maka kecurigaanku masih tetap kepada orang terdekat si korban. Hanya saja aku belum
menemukan motif, apa yang membuat mereka melakukan hal seperti itu."
Wartawati yang bernama Saras itu mengernyitkan dahi, kemudian matanya memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu, sebelum kembali memandang tawan bicaranya.
"Apakah kau tidak memikirkan hal-hal aneh yang pernah kukatakan tempo hari?"
"Soal apa?"
"Keterlibatan makhluk gaib di balik kasus ini?"
Letnan polisi itu sudah mau tersenyum, namun diurungkannya ketika melihat bola mata cewek itu mendelik galak. Pada percakapan sebelumnya Saras menawarkan alternatif, kalau pembunuhan itu ada kaitannya dengan alam gaib, namun letnan polisi itu melecehkannya dan menganggapnya irrasional sehingga membuat Saras kesal dan marah.
"Oke, baiklah. Lantas apa yang mendasari penilaianmu itu?"
"Situasi yang hampir sama. Coba perhatikan, korban pertama tewas di tebing terjal, tidak jauh dari lokasi ada pohon asam, lalu ada gubuk tidak terurus...."
"Tapi korban kedua ternyata tewas mengambang di sungai, dan lokasi itu jauh dari pohon asam," tukas letnan polisi itu.
"Kita tidak bisa memperkirakan di mana pertama kali dia tewas, kan? Dan sampai sekarang belum terungkap,"
jawab Saras tangkas. "Lalu perhatikan korban ke tiga, keempat, kelima, bahkan sampai korban yang sekarang.
Menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ada tebing, walaupun itu cuma sekedar antara permukaan sungai dan permukaan tanah di atasnya pada ketinggian dua atau tiga meter, lalu ada pohon asam, kemudian gubuk tidak terurus. Apakah dengan ciri-ciri khas begitu kau tidak berusaha untuk memancing si pelaku yang sebenarnya?"
"Memasang jebakan maksudmu?"
"Nah, ternyata kau mulai pintar dan ada kemajuan."
"Terima kasih. Aku justru melihat pembunuhan itu dari sisi yang lain."
"Apa maksudmu?"
"Ini bukanlah rangkaian pembunuhan yang direncanakan, tapi tindak kriminal murni antara dua orang yang belum jelas motifnya. Tapi itu tidak sulit, karena tidak lama pun akan terungkap."
"Dengan menangkap pelaku yang sementara ini menunjukkan bukti-bukti kuat?"
"Ya. Itu alasan logis, dan dengan bukti yang dimiliki maka si pelaku sudah jelas melakukan pembunuhan.
Apalagi yang mau dicari? Saras, kita tidak perlu berpikir yang macam-macam, dan menarik garis terlalu jauh untuk mengusut pelaku pembunuhan. Polisi telah dibekali ilmu khusus untuk mengusut masalah semacam ini."
"Dengan mengabaikan kebenaran yang hakiki?"
"Kebenaran hakiki yang bagaimana yang kau maksud-kan? Setiap korban yang jatuh, maka beberapa pihak dicurigai, kemudian terdapat salah seorang yang paling bisa untuk dicurigai. Pengamatan dilakukan, kemudian bukti dikumpulkan, lalu semua digabungkan dan fakta membuktikan kalau si pelaku memang terlibat dalam pembunuhan. Lalu apa lagi yang mesti dicari-cari?"
"Kau mengabaikan banyak hal. Enam dari tersangka pelaku pembunuhan merasa yakin kalau mereka tidak merasa membunuh korban, dan tidak punya motif untuk membunuh. Mereka tidak mengetahui dari mana bukti ter-kumpul sehingga mereka tersudut menjadi tersangka...."
"Itu alasan klise tiap pembunuh. Mereka selalu menolak untuk didakwa sebagai tersangka," tukas letnan polisi itu.
"Apakah kau tidak bisa menafsirkan tatapan mata mereka yang jujur? Tidak bisakah kau melihat mereka
melalui mata hati nuranimu bahwa mereka tidak berdusta?"
"Saras, coba mengerti!" Letnan polisi itu menghela nafas, kemudian melirik anak buahnya. Sebagian dari mereka agaknya coba menguping pembicaraan kedua insan itu, tapi begitu atasannya melirik cepat-cepat mereka mengalihkan perhatian.
"Aku tahu!" tukas Saras cepat. "Kau ingin mengatakan kalau polisi harus selalu mengandalkan bukti-bukti dalam segala tindakannya, dan mengenyampingkan hati nurani, kan?"
"Syukurlah kalau kau telah mengerti...."
"Kalau begitu mengapa kalian tidak mencerna fakta-fakta serta bukti-bukti yang ada? Fakta selalu terlihat kalau cara yang ditempuh si pelaku hampir sama, dan korban pun tewas dengan cara yang sama. Kemudian ketika korban mencapai angka seratus, maka seratus orang pelaku pula yang ditangkap karena mereka melakukan pembunuhan dengan metoda yang sama. Apakah ini tidak menunjukkan suatu bukti kalau mereka terorganisir?
Dengan begitu pasti ada seorang atau entah apa namanya yang mengomandani mereka. Apakah kau cukup puas dengan hanya menangkap anggota mereka, dan membiar-kan anggota lainnya terus berkeliaran mencari mangsa?
Bukankah secara logika akan lebih baik menangkap dalangnya, sehingga dengan begitu mencabut akar per-masalahan sampai tuntas sehingga tidak ada lagi korban baru, atau paling tidak mengurangi frekwensinya?" Kata-kata yang dilontarkan Saras berapi-api penuh semangat bercampur dengan perasaan jengkel, sehingga nadanya agak tinggi, membuat anak buah letnan polisi itu kembali melirik pada mereka.
Lama Letnan polisi itu terdiam. Entah merenungi alasan-alasan yang diungkapkan Saras, atau memikirkan apa yang
sedang dipikirkan anak buahnya tentang mereka berdua.
Seolah ia bisa merasakan kecurigaan dari tatapan mata anak buahnya tentang hubungan mereka, bukan lagi antara seorang wartawati yang sedang mewawancarai seorang yang berwenang dalam berita yang sedang dikejar-Nya, dan sebaliknya. Tapi hubungan itu seperti berkembang ke arah lain.
Saraswati adalah seorang wartawati media cetak yang bertugas meliput berita-berita kriminal. Dan dalam menjalankan tugasnya, tidak jarang ia berhubungan dengan oknum-oknum polisi yang bertanggung jawab terhadap kasus yang sedang diliputnya. Salah seorang oknum polisi itu adalah Letnan Hendri, perwira polisi berusia tiga puluh empat tahun yang masih berstatus bujangan. Pertemuan mereka memiliki frekwensi yang cukup tinggi, di mana dan kapan saja dalam situasi yang berbeda. Sehingga hal itu membuat gosib yang ramai diantara kolega-kolega kedua belah pihak bahwa diantara kedua insan itu ada hubungan bilateral yang cukup intim.
Tak jarang bila mereka sedang berdua, maka pembicaraan formil ditiadakan, dan keduanya berkomunikasi sebagaimana layaknya kawan dekat, sehingga emosi dan ungkapan perasaan terkadang ter-lontar begitu saja tanpa sungkan-sungkan. Seperti kejengkelan Saraswati terhadap sikap letnan polisi itu me-nanggapi masukan yang dilemparkannya seputar masalah yang sedang mereka hadapi.
Lama baru terdengar hela nafas letnan polisi itu sebelum ia melirik Saraswati dan berkata," Baiklah. Kalau begitu kita cari tempat yang nyaman untuk membicarakan- nya. Dalam suasana yang tidak diliputi ketegangan."
"Baik. Di mana?" sambut Saraswati antusias.
"Bagaimana kalau di restoran Dewata jam setengah delapan malam?"
Saras melihat Letnan Hendri tersenyum. Ia menggeleng geli.
"Apakah ini ajakan kencan?"
"Kau boleh menyebutnya apa saja." Letnan Hendri mengangkat bahu dengan kedua telapak tangan terbuka.
"Baik. Aku menganggapnya ini bagian, dari tugasku."
"Oke. Terserahmu saja."
"Kalau begitu aku pulang dutu." Wanita itu memasukkan notes dan pulpen ke dalam tas yang disandangnya. Tanpa banyak basa-basi lagi ia meninggalkan tempat itu diiringi tatapan mata letnan polisi itu beberapa saat lamanya.
***
ADRIAN MAPALADKA
2
MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI
NJAR baru saja akan memeriksa catatan-catatan pembukuan yang tadi sore diberikan Kusno padanya. Hari ini kebetulan ia tidak pergi ke toko sehingga orang kepercayaannya itu terpaksa datang ke rumahnya untuk menitipkan laporan.
Telepon di mejanya berdering. Ia sempat melirik jam di meja. Pukul sebelas malam.
"Halo. Betul. Saras?" Meski tidak melihat ia yakin kalau lawan bicaranya di seberang sana pasti mengangguk.
"Tadi jam sembilan aku telepon, tapi nggak ada yang angkat. Ke mana?" tanya wanita itu.
"He-euh. Aku dari bengkel. Ada sedikit kerusakan pada mesin mobil. Untung ketahuan. Coba kalau dipakai untuk perjalanan jauh lalu mogok di jalan, kan berabe. Eh, jadi nggak besok berangkat?" sahut Anjar.
"Aduuuuh, aku minta maaf yang sebesar-besarnya deh, Jar. Kali ini nggak bisa lagi...."
"Ini penting lho, Ras. Orangtuaku ingin betul kenal dengan kamu."
"Aku juga kepengen banget kenal sama beliau, tapi tugasku belum bisa ditinggalkan. Kamu ngerti, kan?"
Anjar terdiam.
A
"Jar?"
"Ya, ada apa?"
"Kamu nggak marah, kan? Aduh, tolong deh. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Liputanku kali ini hampir mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan.
"Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?"
"He-euh!"
"Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi kamu...."
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu.
"Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan selamat."
"Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya saja aku berpikir bahwa pekerjaan itu terlalu, berbahaya bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau minta di-tempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?"
"Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?"
Saraswati ketawa cekikikan.
Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli ataukah tidak. Pada dasarnya ia mengetahui kalau Saras-wati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-lelakian, tapi ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai lelaki. Kalau kebetulan mereka nonton film, maka anak itu suka film action, yang berbau mesiu, perkelahian, dan petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah yang kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan bangga menunjukkan foto-fotonya, baik dalam seragam karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika berarung jeram bersama kawan-kawan prianya.
Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang feminim. Saras merasa hal itu menggelikan buatnya. Ia merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan
kelemahan, sesuatu yang tidak disukai, bahkan tidak pernah diajarkan ayahnya yang pensiunan tentara kepada-nya.
"Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar mengalihkan pembicaraan. "Yang ngangkat Katmi. Dia
"Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar mengalihkan pembicaraan. "Yang ngangkat Katmi. Dia